"Kau bilang apa?" Kaivan tiba-tiba menatap tajam dan tak suka pada Rachel. "Menurutmu apa wanita yang sudah menikah, biaya hidupnya tetap ditanggung oleh ayahnya?"
Rachel mengerjab beberapa kali. "Tidak," jawabnya ragu sembari mendongak dan menatap takut-takut pada Kaivan."Jika begitu, kenapa kau masih mengharap nafkah dari ayahmu? Apa nafkah dariku meragukan?"Rachel kembali menggelengkan kepala. Dia mengerjab beberapa kali. Tatapan Kaivan padanya seperti menuntut penjelasan-- seolah gelengan kepala Rachel tak menjawab apapun bagi Kaivan."Aku tidak tahu kalau penebus hutang dikasih dan dapat uang."Kaivan menaikkan sebelah alis, menatap Rachel dengan tatapan datar. Dia kemudian memilih berdiri dari tempat ia duduk. Dia tiba-tiba terkekeh pelan-- nadanya cukup meremehkan dan juga menyinggung."You stupid." Kaivan berkomentar pelan, tetapi kekehannya semakin renyah. Harusnya Rachel tersinggung dan marah karena dikatai bodoh, tetapi yang ada dia malah cengang dan terpesona oleh kekehan Kaivan. 'Kenapa dia tertawa manis sekali? Seperti suaranya ini nyanyian merdu saja. Padahal cuma ketawa doang.' batin Rachel, menganga sedikit sembari memperhatikan Kaivan yang sedang tertawa."Menarik." Kaivan tiba-tiba tersenyum. Topeng ini setengah dsn memperlihatkan bibir pria ini, jadi Rachel bisa melihat senyuman pria ini dengan jelas. Dan itu … lebih manis dari gula. "Aku semakin tertarik padamu, Ichi."Kaivan mengacak surai Rachel dan setelah beranjak dari dalam kamar, meninggalkan Rachel yang sudah menganga lebar sembari meletakkan tangan di atas kepala. Dia mengulangi apa yang Kaivan lakukan di atas kepalanya-- mengelus pucuk kepalanya sendiri."Kok aku deg degan yah? Padahal kan Ayah juga sering elus kepala aku."***Walau semalam dia menikah, tetapi Rachel tak peduli. Dia tetap ke kampus demi menemui dosennya dan mengakhiri kutukan gelar mahasiswa abadi yang membebani hidupnya.Saat ini Rachel sedang di Poto copy, tentu saja untuk mem-print Skripsinya."Neng, nama file-nya apa?"Rachel sekilas menoleh ke arah Kang Poto copy, lalu dia kembali fokus merogok tas-- berusaha meraih handphonenya yang berdering. Takutnya itu panggilan dari dosennya. Bisa-bisa dia semakin dipersulit karena hanya tak mengangkat telpon."Itu … yang cover, proposal bab 1 dan hasil.""Ini beneran yang mau diprint?" Kang Poto copy tersebut terlihat tak yakin. "Salah file sepertinya. Atau … gimana? Coba lihat dan periksa deh, Neng."Rachel berdecak setengah kesal. Langganan Poto copy-nya ini kenapa juga banyak cincong begini?! "Iya, emang itu. Print sana lah, Bang. Ini dosennya udah mendesak.""Tapi, Neng …-"Rachel mengangkat tangan satu-- isyarat agar di kang Poto copy tersebut diam. Dosennya menelpon. "Halo Pak.""….""Iya, Pak. Aku sudah di daerah kampus.""…""Iya, Pak. Saya bentar lagi sampe, Pak."Setelah sambungan telpon mati, Rachel langsung mendesak tukang Poto copy. "Cepat, Bang. Dosennya udah ngedesak."***Rachel benar-benar merasa sial dan malu luar biasa. Bisa-bisanya judul berubah menjadi 'Pengaruh seorang istri memberi jatah malam Jum'at dengan menggunakan lingerie merah pada suami dalam rumah tangga.'Gara-gara judul biadap itu, Rachel gagal bimbingan. Damn! Jika dia tidak baca judul skripsi-nya sebelum akan masuk ke ruang dosen tadi … bayangkan bagaimana malunya Rachel! Dan … mungkin Rachel akan pindah langganan Poto copy deh setelah ini. Dia malu jika harus bertemu kang Poto copy tadi."Pantas saja tadi aku disuruh meriksa. Sialan, siapa yang ubah-ubah judul aku sih?!" Rachel menggerutu sepanjang koridor kampus. Niatnya sekarang adalah pulang. Dia benar-benar malu dan rasanya saat ini Rachel ingin bertapa saja."Aku yakin ini pasti ulah si Denny. Bangsat emang! Punya sahabat akhlaknya minus banget!" cerocos Rachel-- malah menuduh orang yang tak bersalah.Dia tak tahu saja jika orang yang menukar judul skripsi-nya tersebut adalah suaminya sendiri.***Karena insiden judul tadi, Rachel benar-benar pulang ke rumah Kaivan. Cik, Rachel sangat tak mood! Bahkan ketika sahabatnya, Alsya, mengajaknya untuk nongkrong, Rachel memilih menolak. Padahal biasanya Rachel lah yang paling rajin nongkrong."Aku harus meditasi." Rachel berjalan cepat-cepat ke dalam rumah. Ketika di tangga, dia berhenti karena melihat Kaivan ada di sana.'Aduuhhh … dia di sini lagi. Tapi … jangan-jangan ini makhluk yang tukar judul ane. Ah, masa iya? Mukanya saja lempeng begitu. Udah lempeng malah dilapisi topeng aneh juga. Orang dingin kek dia mana mungkin iseng dan jahil.' batin Rachel-- berhenti di anak tangga pertama.Kaivan menaikkan sebelah alis, ikut berhenti melangkah-- turun dari tangga, ketika dia tepat di depan Rachel. Alisnya terangkat sebelah dengan tatapan datar yang menghunus ke arah istrinya. "Kau pulang lebih awal. Kenapa?""Itu … dosennya nggak datang. Jadi aku batal bimbingan." Rachel terpaksa berbohong. Ya kali dia mengatakan yang sejujurnya. Yang ada pria ini akan meledeknya dan mengatainya bodoh lagi."Humm." Kaivan berdehem dan kembali melanjutkan langkahnya.Rachel juga buru-buru naik ke lantai atas sembari mengelus dada dengan wajah pias dan tegang. "Aku sepertinya mulai gila. Dia tidak melakukan apa-apa padaku, tetapi bisa-bisanya aku selalu takut berhadapan dengannya."'Mungkin karena membayangkan wajah buruk rupanya dibalik topeng. Jadi aku refleks takut saja. Cik, aku jadi penasaran dengan luka bakar di wajahnya. Kalau se buruk itu, apa aku bisa yah menerimanya dan tetap mau jadi istrinya?! Ah, kayak aku punya pilihan untuk tak jadi istrinya saja.' Rachel terus hanyut dalam pikirannya sendiri, tanpa sadar jika Kaivan ada dibelakangnya-- bukan mengikuti Rachel, handphone Kaivan tertinggal dalam kamar.Ceklek'Rachel masuk dalam kamar. Dia melepas mini ranselnya lalu meletakkan skripsi bajingan dengan judul sialan itu di atas meja rias. Setelah itu. Dia membuka baju kaosnya-- membuat tubuh bagian atasnya ini hanya berbalut crop top bra. Kemudian setelah itu, dia malah sibuk mencari remot AC untuk menurunkan suhu. Cik, gara-gara judul sialan itu, Rachel gerah dan kepanasan begini."Ekhmm."Tiba-tiba suara deheman rendah terdengar. Rachel otomatis menoleh dan mencari sumber suara tersebut. Ketika melihat Kaivan ada di kamar dan terlihat berjalan juga ke arahnya, Rachel dengan santai malah tersenyum sembari mengangguk ramah-- layaknya seorang yang mengatakan 'mari, Pak.Kaivan menjauhkan pandangannya dari Rachel. Entah tujuan perempuan ini apa? Menggodanya, heh?!Kaivan meraih handphone di atas meja rias, kebetulan bersebelahan dengan skripsi Rachel. Kaivan melirik sejenak pada skripsi tersebut, evil smirk-nya seketika menyungging di bibir. Cih, dia tebak istrinya ini batal bimbingan bukan karena dosennya tidak datang. Tetapi karena sebuah judul unik pada skripsi istrinya."Anak kecil sepertimu ternyata punya naluri penggoda. Mengesankan!" Suara datar dan lempeng Kaivan mengalun dalam kamar, membuat Rachel yang tak paham dan belum konek mengerjab serta menggaruk kepala."Aku … penggoda? Siapa yang mau aku goda, Pak?"Kaivan memutar tubuh dan menatap Rachel. Tatapannya tetap datar. "Tubuhmu bagus juga. Mau dibayar berapa?"Rachel yang konek seketika menyilangkan tangan di dada lalu langsung mengambil baju kaosnya tadi dan kembali mengenakannya. "Maaf, Pak, Maaf. Aku lupa kalau nggak pake baju. Maaf yah …," ucapnya dengan begitu panik.Padahal … Kaivan kan suaminya. Kenapa dia malah meminta maaf?! Kaivan …-- akh, tidak! Pria ini saja risih dengannya yang hanya mengenakan crop top bra.Kaivan tak mengatakan apa-apa dan pergi begitu saja dari kamar."Astaga. Apes dua kali!" Rachel mengelus dada. Tadi dia apes di kampus dan sekarang dia apes di rumah pria bertopeng ini. "Tapi … apa aku nggak menggoda yah? Kayaknya dia risih sekali melihatku. Apa anu'ku kekecilan yah?" monolog-nya yang malah memperhatikan ukuran dadanya."Tuan jatuh cinta pandang pertama pada Nona?" Kaivan menatap Hansel, tangan kanannya sekaligus sekretarisnya juga. Pria ini adalah orang yang menyatakan Kaivan untuk menikah dengan salah satu putri Abimanyu. Kebetulan saat itu keluarga Abimanyu punya hutang yang cukup besar pada Kaivan. Jadi karena sudah sangat mendesak dan tidak punya wanita yang bisa ia nikahi, jadilah Hansel menyarankan agar Kaivan menggertak serta mengancam keluarga Abimanyu agar mereka memberikan putri mereka untuk Kaivan nikahi. Putri paling tua yang belum menikah yang dipilih untuk menikah dengannya. Namun, karena tahu Kaivan punya wajah buruk rupa, jadilah wanita itu berusaha menolak menikah dengan Kaivan. Salah satunya dengan berpura-pura hamil. Kaivan tahu itu, tetapi dia tak mempermasalahkannya. Toh, dia mendapatkan ganti yang jauh lebih baik dari Melisa. "Aku tidak jatuh cinta pada perempuan itu. Aku membenci wanita. Mereka makhluk pemandang fisik dan gila-gila harta." Kaivan berucap acuh, sibuk denga
"Tidak jelas sekali. Revisi? Salahnya di mana coba? Cik."Walau mengeluh begitu, Rachel tetap merevisi surat tersebut. Setelahnya dia kembali menemui Kaivan, agar bisa diizinkan keluar. Kali ini dia menemui pria itu di ruang tengah. Kaivan sedang bersantai di sana-- Televisi menyala tetapi pria itu malah fokus pada tablet mahal di tangannya. Hah, karena terhalang topeng jadi Rachel tak bisa melihat bagaimana ekspresi Kaivan. Padahal dia penasaran!"Pak." Rachel memanggil pelan. Ketika Kaivan menoleh padanya, Rachel langsung memberikan surat yang telah ia revisi tersebut pada Kaivan. "I--ini suratnya.""Humm." Kaivan meraih surat tersebut, tetapi malah meletakkannya begitu saja di atas meja. Dia juga mematikan tablet mahalnya dan meletakkannya di atas surat tersebut--menutupi surat tersebut dari penglihatan siapapun. Setelah itu dia berdiri dan langsung menarik Rachel dari sana. "Tuan--Pak … bagaimana dengan surat dan aku--aku ingin keluar dengan …-" Rachel terbata-bata, jalannya ter
"Wanita kucel ini … siapa, Kaivan?" Parah Kendall, nenek dari Kaivan tersebut berucap dengan nada dingin sembari menatap Rachel dari ujung kepala hingga ujung kaki. Decakan tak suka beberapa kali terlontar dari mulutnya-- menyinggung perasan Rachel dan juga membuat Rachel cukup tak nyaman juga. Hah, apa yang Rachel takutkan terjadi juga. Keluarga suaminya tak menyukainya. "Rachel Queenza Kendall, istriku." Kaivan menjawab, suaranya lebih dingin dari Parah dan aura mengerikan juga menguar dari tubuhnya. "Jelek sekali!" sarkas Parah dengan terus melayangkan tatapan tak suka pada Rachel. Ucapannya tersebut mengundang gelak tawa bagi anak-cucunya yang memang berkumpul untuk menyambut Kaivan. Percayalah, itu sangat menyakitkan bagi Rachel. Seumur hidup ini pertama kalinya Rachel diperlakukan tak layak--dihina-hina. Dia malu dan sakit hati sekali. "Diam!" Suara bentakan Kaivan mengalun kuat, semua orang di sana langsung diam dan seketika juga suasana menjadi horor dan hening. Bukan h
Bug'Tiba-tiba Kaivan mendadak berhenti melangkah, Rachel yang kurang fokus-- berjalan lotoy dibelakang Kaivan, pada akhirnya menabrak punggung lebar Kaivan. "Auuu …." Rachel memekik sakit, mengusap kasar keningnya sendiri sembari menatap penuh tanda tanya pada Kaivan yang tiba-tiba berhenti melangkah -- sekarang malah menatap Rachel dengan tajam, entah maksud pria ini apa. "Pertama, berhenti memanggilku Abang. Kedua, jadi menurutmu suami istri itu tidur berpisah, heh?" Karena takut dengan aura pria dingin di depannya ini, Rachel reflek meneguk saliva dengan susah payah dan bergerak mundur beberapa langkah untuk memberi jarak dengan Kaivan yang punya tatapan membunuh ini. Astaga, Rachel merasa tatapan Kaivan ini seperti pedang yang siap mencincang halus tubuh Rachel. Menakutkan!"Ba--baik, Bang Kai." "Kau--" Kaivan mengatupkan rahang sembari menatap semakin tajam ke arah Rachel. Sedangkan Rachel, dia menutup mulut -- matanya membulat horor dengan air muka panik luar biasa. Dia t
"Ini uang untukmu dan jika ada keperluan lain kau bisa menggunakan kartu ini. Simpan dengan baik dan manfaatkan dengan baik juga." Kaivan memberikan sejumlah uang pada Rachel, menyodorkan tangannya kemudian saat Rachel telah mengambil uang tersebut. Rachel meraih tangan suaminya, menyalimnya dan mencium punggung tangannya juga. Dia tersenyum manis sembari dengan bayang-bayang makanan dalam kepalanya. Uuu … uangnya banyak sekali dan dia bisa poya-poya di kantin fakultasnya. "Langsung pulang ke rumah kita. Jangan kemari," peringat Kaivan -- Rachel menganggukkan kepala. "Siap, Bang -- Mas Kaivan ma-maksudku," jawab Rachel dengan terburu-buru meralat panggilannya pada suaminya ini. Piyuuhhh … hampir saja dia memanggil suaminya dengan Bang Kai lagi. Hampir! Kaivan hanya menatap datar pada istrinya, setelah itu dia beranjak dari sana tanpa mengatakan apapun lagi. Dia diikuti oleh William dan juga Hansel yang sudah seperti pengawal pribadinya. Namun, bisa dikatakan juga begitu karena sel
Rachel kini di kampus. Namun sebelum ke kampus tadi, Rachel meminta Hansel yang menjemputnya mengantarnya ke grosir pakaian -- milik keluarganya. Rachel mengambil beberapa baju kaos dan kemeja lalu membawanya ke kampus. Seperti biasa, jika Rachel kekurangan uang dari ayahnya, dulu, Rachel akan mencuri beberapa pakaian di grosir kemudian menjualnya pada teman-temannya dengan harga dua kali lipat. Cih, Rachel jual murah? No. Rachel mah mata duitan. Sebenarnya dia bisa meminta uang pada ayahnya atau pamannya, namun dia segan karena dia sudah bersuami. Dia juga tadi berniat meminjam uang pada Hansel, tapi harga diri suaminya … ah, memalukan. Dia masih punya uang. Hanya saja tertinggal di rumah Kaivan. Dan … itu jauh, bisa-bisa Rachel yang masih harus ke kang Poto copy dulu, terlambat menemui dosennya. "Anjing! Revisi lagi. Biadap memang dosen itu!" umpat Rachel sembari berjalan di koridor kampus. Dia telah selesai bimbingan dan dia revisi lagi. "Anying!! Argkkkk … sial sial sial! Diba
"Hu'um. Aku tadi habis …-" ucapan Rachel berhenti saat menyadari sosok lain dalam mobil suaminya. Ada seorang pemuda duduk di bangku belakang. Rachel menoleh syok dan horor pada pria itu. "Hai …." "Kau!"Pria itu menyapa sedangkan Rachel terlihat panik dan juga kaget secara bersamaan. Dia menatap lamat wajah pemuda tersebut kemudian menatap baju kaos yang pemuda tersebut kenakan. Itu baju yang Rachel jual tadi. Lalu Rachel menatap suaminya, melogo dengan air muka yang masih kaget. "Dia siapa, Bang-- Mas?" tanya Rachel dengan wajah kaku dan air muka konyol. "Anak kita," jawab Kaivan dengan santai, membuat Rachel memekik kaget. "What?!"***Sampainya di rumah mewah milik Kaivan, dia menyuruh istrinya dan juga seseorang yang spesial dalam mobilnya tadi untuk ke ruangannya. Setalah keduanya di ruangan Kaivan, pria itu langsung menjelaskan siapa pemuda tadi. Dia juga mengenalkan keduanya. "Ichi, ini Jake Aleron Kendall. Dia akan menjadi putra kita." Kaivan berucap datar, tanpa men
"Sepupu Mas mengambil uang yang Mas berikan tadi pagi padaku. Uangku tertinggal semua di sini, jadi aku tidak punya uang selain itu. Tapi dia sudah mengambil semuanya. Aku tidak mungkin meminta uang pada Pak Hansel. Trus aku ke grosir dan mengambil beberapa baju untuk aku jual, supaya bisa bayar hutang Poto copy dan ongkos pulang," sungut Rachel, menundukkan kepala dengan melirik takut-takut pada suaminya. "Humm." Kaivan berdehem pelan. "Pergi dan beristirahatlah," tambahnya dengan aura yang sudah berubah mengerikan. Rachel mengangguk patuh, memilih beranjak dari sana sembari berjalan dengan langkah lesu dan murung. Dia merasa jika Kaivan tidak berpihak padanya. Tentu saja! Rachel kesannya mengadu domba suaminya dengan keluarga suaminya sendiri. Ketika diambang pintu, Rachel tiba-tiba berhenti. Dia menoleh ke arah Kaivan. "Itu …-"Kaivan tiba-tiba menoleh padanya, membuat Rachel cukup takut dan kaget juga. Namun, dia ingin mengatakan sesuatu. Jadi dia tetap bertahan di sana. Hanya
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny