Tiga Minggu setelah kehamilan Rachel. "Cik." Kaivan berdecak kesal, lalu menyender ke kursi sembari memijit keningnya sendiri. "Tuan kenapa?" tanya Hansel, panik bercampur khawatir melihat kondisi tuannya yang tiba-tiba wajahnya sudah pucat serta matanya memerah dan berat. "Kepalaku sakit, Hansel." Kaivan menghela nafas dengan panjang, menoleh ke arah Hansel dengan tatapan memohon dan sayup, "tolong bawa aku pulang.""Oke, Tuan." Hansel bergegas menghampiri Kaivan, namun dengan cepat Tuannya tersebut memberi isyarat agar Hansel tak perlu membantunya."Aku bisa berjalan sendiri. Kau cukup mengantarku pulang.""O--oh, baik, Tuan." Hansel hanya bisa menganggukkan kepala. Lalu dia berjalan di belakang Kaivan sembari mengawasi tuannya. Dia khawatir pada Kaivan!Tuannya ini jarang sekali demam, bahkan dia merasa tidak pernah. Namun entah kenapa sekarang Kaivan mendadak sakit. Tatapan Kaivan sangat sayup dan wajahnya juga pucat. Tapi …-'Bisa-bisanya aura Tuan masih menyeramkan.' ***"
"Jangan bicara begitu, Mas Kaivan. Nggak ada yang direpotkan karena sudah kewajiban aku sebagai istri untuk merawat Mas Kaivan," ucap Rachel, mengusap rambut Kaivan yang sudah berbaring di atas ranjang mereka. Kemudian setelah itu, Rachel membuka pantofel yang suaminya pakai, membuka tuxedo Kaivan juga. "Mas Kaivan, tunggu sebentar yah." Setelah itu Rachel beranjak dari sana, membawa handphonenya untung menghubungi Mamanya. Demi apapun! Rachel bingung harus melakukan apa. Ini pertama kalinya dia berhadapan dengan orang sakit. Sedangkan Kaivan, dia memejamkan mata dan memaksa diri untuk tidur. Walau sebenarnya tubuhnya semakin panas namun kedinginan juga. "Halo, Mama." Rachel berucap pelan, takut Kaivan terbangun dan terusik dengan suaranya. Padahal dia ada di balkon kamar mereka, seharunya seharusnya suaminya tak akan mendengarnya lagi. 'Ada apa, Sayang?' Sapa lembut Mama Rachel, Arumi, pada putrinya. 'Ouh, iya, kabar kamu gimana? Sehat? Kaivan dan cucu Mama sehat juga kan?'"Rac
Namun ketika sampai di sana, suaminya sudah makan–terlihat begitu lahap dan sangat senang. Yang jelas itu bukan masakan Rachel! Deg deg "Rachel," panggil seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah Mamanya. Rachel tersenyum tipis, kemudian berjalan ke ruang makan tersebut. Dia meletakkan ayam kecap buatannya di depan suaminya lalu beralih untuk menyalam tangan Mama dan juga Ayahnya. "Udah jam tiga baru kamu ngasih suami dan anak kamu makan. Gimana sih, Nak?" tegur Arumi sembari menatap memicing dan penuh peringatan pada putrinya. "Itu Mas-mu jadi kelaparan loh."Dengan meringis, Rachel menoleh dan menatap ke arah suaminya–memperhatikan bagaimana cara Kaivan makan, terlihat terburu-buru dan lahap juga. Memang! Itu seperti bukan Kaivan dan mirip dengan seseorang yang kelaparan. Tapi kan …-"Mama salah paham kali. Orang Mas Kaivan udah makan jam satu tadi, trus jam dua makan lagi dan sekarang makan lagi. Jelas bukan kelaparan dong, Mah. Emang Mas Kaivan begitu sejak aku hamil. Ma
"Ouh, jadi begini kelakuan kamu, Rachel?! Pantas saja …." Dengan panik dan takut, Rachel menarik kakinya dari pangkuan Kaivan–sontak berdiri dengan raut muka pucat pias dan kalang kabut. "Itu … Mama salah lihat," ucap Rachel, buru-buru pindah posisi ke belakang tubuh Kaivan yang masih duduk di lantai kemudian langsung memijit pundak Kaivan–sembari menyengir lebar ke arah Mama dan Ayahnya. "Istri durhaka!" komentar Arumi dengan menatap penuh peringatan pada putrinya. Walau sejujurnya dalam hati dia merasa terharu dan bahagia. Melihat bagaimana Kaivan memperlakukan putrinya, Arumi merasa lega dan juga senang. Kaivan sangat baik, meratukan Rachel dan bisa mendidik Rachel juga. "Biarkan saja, Mamanya Achel. Itu tandanya Kaivan gentle dan sejati," ucap Dean dengan terkekeh pelan. Dia dan istrinya baru kembali dari rumah mereka, setelah dan sehabis menjemput pakaian.Dean dan Arumi sepakat akan tinggal di sini selama kehamilan Rachel, menjaga dan membantu Kaivan mempersiapkan persalinan
Delapan bulan kemudian. "Eaaaaaakkk …." Rachel sontak menjatuhkan kepalanya cukup kuat ke bantal, air mukanya pucat dan tatapannya sangat sayup. Namun, bibirnya menyunggingkan senyuman hangat dan indah di bibirnya. Tes' Tanpa dia bisa cegah cegah, air matanya jatuh–mengalir dari ekor mata, penuh perasaan bahagia dan haru. Dia berhasil berjuang, dia telah melahirkan anaknya dan Kaivan. Cup'Kaivan yang menemani proses persalinan istrinya, mengecup kening Rachel. Tangannya masih menggenggam erat tangan mungil Rachel– di mana tadi tangan Rachel begitu kuat mencengkeram tangannya, namun sekarang melemah dan mengendor. "Terimakasih, Wife," bisik Kaivan sembari tersenyum bahagia, menyatukan keningnya dengan kening Rachel, sesekali dengan penuh cinta serta haru, mengecup mesra bibir mungil dan pucat istrinya. Tak bisa dipungkiri, bulir kristal juga jatuh dari matanya. Kaivan tak dapat menahannya! Tadi dia menangis melihat istrinya yang kesakitan, dan sekarang air matanya jatuh karena
"Yeah, Jagoan Kakak menang lagi," ucap Jake sembari ber tos ria dengan seorang anak kecil berusia lima tahun. Setelah itu, dia menggendong adiknya tersebut dan membawanya masuk dalam mobil mewah miliknya–masih baru dan hadiah ulang tahunya yang ke dua puluh lima dari Papanya. Yah, lima tahun berlalu begitu degan cepat! Semua berubah namun jauh lebih baik. "Danial ingin berbicara dengan Papa, Kak Jake," ucap anak kecil tersebut dengan nada khas miliknya, terkesan datar tetapi menggemaskan karena wajah tampannya yang imut. Namanya Danial Rafindra Kendall, putra pertama dari CEO kejam bernama Kaivan Rafindra Kendall. Namun, orang-orang lebih tahu Danial sebagai putra kedua dari CEO licik dan sadis tersebut, karena mereka tahunya Jake lah yang merupakan putra pertama Kaivan. Banyak orang yang tertarik dan terpesona pada wajah tampan Danial. Banyak perusahaan yang menawarkan agar Danial debut sebagai model atau artis cilik di agensi mereka, sangking kuatnya daya tarik anak tersebut. Di
"Kalau Mas Kaivan tetap tidak berubah, masih suka belanja begini-begini tiap hari, dan kalau sampai besok Mas tetap keukeh beliin perlengkapan bayi lagi-- mau cowok atau cewek, awas saja! Anakmu lahir langsung ku titipkan dia ke panti asuhan!!"Kaivan dengan kikuk menggaruk tengkuk, terkekeh pelan sembari menatap istrinya dengan sorot geli. "Iya, Sweetheart.""Humm." Rachel meraih tangan suaminya, kemudian menyalimnya dan mencium punggung tangan Kaivan, "gih, mandi, Mas," ucap Rachel. Kaivan menganggukkan kepala, mengecup bibir Rachel singkat kemudian beranjak dari sana untuk melaksanakan perkataan istrinya. ***"Sweetheart, bantu aku memakai baju," ucap Kaivan, menyerahkan bajunya pada Rachel. Kemudian dia duduk di pinggir ranjang.Sedangkan Rachel, dia menghela napas dan menurut untuk membantu suaminya tersebut memakai baju. Yah, jangan ditanya! Kaivan memang manja, melebihi putra mereka. Kaivan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya, mendongak sembari menatap Rachel dengan
"Mama, Danial ingin mewarnai mobilnya dengan warna gray," celutuk Danial pada Mamanya– keduanya di depan tv yang ada dalam kamar Rachel maupun Kaivan, duduk di atas karpet berbulu sembari menggambar dan mewarnai. Kaivan tak jauh dari mereka, pria itu bekerja di kamar ini– di meja kerjanya yang dibatasi oleh rak tembus pandang. Berisi beberapa dokumen dan hiasan. "Ck." Kaivan berdecak kesal. Ini sudah dua jam setelah dia merajuk. Namun tak ada tanda-tanda jika putranya akan keluar dari kamar ini, serta tak ada juga tanda-tanda Rachel berniat membujuknya. "Tampan, coba kasih warna merah di mobil satunya," ucap Rachel dengan pelan namun masih bisa didengar lelah kaivan. 'Kapan terakhir Ichi memujiku tampan?' batin Kaivan, semakin panas dingin dan dongkol di tempatnya. Kenapa Rachel harus memuji Danial tampan?! Come on! Kaivan cemburu dan ingin dipuji juga. "Mama sangat cantik," celutuk Danial tiba-tiba, bertopang dagu sembari menatap lamat dan penuh kekaguman pada Mamanya. Bahkan an
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny