"Serius, kamu sedang tidak ada masalah kan, Chel?"Rachel menggelengkan kepala, tersenyum tipis ke arah Alsya lalu berakhir menyengir aneh. Karena tak tahu harus pulang kemana, Rachel pada akhirnya memutuskan untuk menginap di kos-an sahabatnya, Alsya. Selanjutnya Rachel belum tahu kemana dia harus pulang dan pergi. Kembali pada orang tuanya, Rachel tak berani. Mamanya baru siuman dan belum sepenuhnya sehat. Keluarganya sedang berbahagia akan hal itu, tak mungkin Rachel merusak kebahagian keluarganya dengan kondisinya sekarang. "Trus kenapa mendadak kamu ke sini sih? Jelas dong bicaranya. Aku khawatir sama kamu, Chel." Alsya mengerutkan kening, menepuk paha Rachel yang duduk di sebelahnya dengan kesal. Dia sejujurnya khawatir kenapa Rachel ke sini. Dia takut telah terjadi sesuatu pada sahabatnya ini. A--apa terjadi sesuatu pada Rachel dan suaminya yah? Karena itu Rachel tiba-tiba datang ke mari. "Besok kan kamu sidang skripsi dengan Denny. Sejujurnya … aku juga ikut. Itu-- aku mil
Semalam Rachel ketiduran dalam mobil, ketika dia bangun hari sudah pagi dan pakaiannya telah berganti. Kaivan tak ada di kamar dan Rachel hanya bisa menelan ludah sendiri karena itu. Namun karena hari ini dia sidang skripsi, Rachel harus keluar rumah lagi. Tapi kali ini dia izin pada Kaivan -- melalui pesan yang dia kirim pada suaminya tersebut. "Tidak ada balasan sama sekali." Rachel menghela nafas dengan perasaan gunda yang melanda. "Dilihat juga tidak. Aku harus gimana?" monolognya sendiri sembari duduk lesu di depan cermin meja rias. Sepuluh menit dia menunggu balasan Kaivan, namun dia sama sekali tak mendapat balasan apapun. Pada akhirnya Rachel memutuskan untuk pergi ke kampusnya. Dia tidak bisa menunggu pesan Kaivan lebih lama lagi. ***"Yeiiii … kita semua lulus!" pekik teman-teman Rachel dengan bahagia. "Kita foto bareng yah."Mereka sama-sama foto bareng, satu angkatan dan satu geng. Mereka lempar bunga bersama, lalu di sesi Poto berikutnya mereka sama-sama pamer tanga
"O--ouh, begitu ya, Yah?" ucap Rachel gelagapan yang saat ini tengah berbicara dengan ayahnya lewat via telpon. Ayahnya mengatakan jika Kaivan dan anak angkat mereka yang tak lain adalah Jake, datang ke rumah sakit untuk menjenguk Mamanya Rachel. Ayahnya sangat bahagia menceritakannya dan katanya Mamanya Rachel juga senang karena dikunjungi oleh menantunya yang baik hati. Tanpa mereka tahu jika pria itu telah mengusir Rachel dari rumahnya. Dan … beberapa bulan lagi Kaivan akan menikah dengan perempuan lain. 'Mungkin Pak Kaivan datang ke rumah sakit untuk berbicara dengan Ayah mengenai perceraian kami. Dan mungkin juga karena melihat kondisi Mama yang baru pulih, Pak Kaivan tidak jadi mengatakan niatannya. Hah, syukurlah kalau begitu.' batin Rachel dengan senyum getir dan mata yang berkaca-kaca. "Oke, Ayah. Rachel tutup telponnya juga. Rachel baru pulang dari kampus, masih capek banget." 'Iya, Nak. Selamat untuk sidang skripsi kamu.'"Makasih, Ayah. Rachel tutup dulu yah. Assalamu
Rachel sendiri terus meramalkan doa supaya Kaivan tak melihatnya. Dia berharap pria itu juga segera pergi dari sini. 'Jangan ke sini, jangan ke sini!' pekik Rachel dalam hati, mengintip dari lembaran tissue yang menutupi wajahnya. Sedikitnya dia bisa melihat yang terjadi, di mana para ibu-ibu celingak-celinguk dan Kaivan terlihat berjalan ke arah sini. Deg deg deg Jantung Rachel semakin berdebar kencang, semakin Kaivan mendekatinya semakin jantungnya ingin meledak dalam sana. Plas'Kejadian tak terduga tiba-tiba saja terjadi. Tiba-tiba angin bertiup entah dari mana, membuat tissue di atas wajah Rachel -- yang ia jadikan penutup wajah langsung terbang tertiup angin. 'Alam pun tak berpihak padaku. Hiks ….' batin Rachel yang masih memilih memejamkan mata dan enggan membukanya, takut jika Kaivan sudah berada tepat di depan wajahnya. Hingga secara mengejutkan elusan lembut dan halus menyentuh permukaan pipinya, sontak perlahan membuat Rachel membuka kelopak matanya, di mana setelah
"Haah." Terdengar helaan nafas dari Kaivan. Dia duduk si sofa kamarnya sembari menatap Rachel yang sudah tertidur, setelah Kaivan tadi melampiaskan kemarahannya dengan memukul Rachel menggunakan sabuk secara habis-habisan. Sekarang ada perasaan sedih dan kasihan melihat kondisi istrinya itu. Rachel tidur dengan meringkuk seperti bayi kedinginan, memeluk tubuhnya sendiri dengan lelehan air mata di pipi. Isakan beberapa kali masih terdengar keluar dari Rachel, walau tertidur pulas namun perempuan itu masih menangis. Kaivan … sangat menyesal! Namun dia terlanjur dipenuhi oleh emosi. Dia terlanjur dikuasai murkah dan amarah. Dia benar-benar tidak bisa mengendalikan diri saat itu. Dia sulit! Sangking takutnya dia jika Rachel pergi meninggalkannya. "Haah." Kaivan kembali menghela nafas, berdiri dari sofa dan beranjak mendekati istrinya yang tertidur dalam keadaan menangis di atas ranjang. Kaivan sudah mengobati luka Rachel -- akibat cambukan tadi, sudah mengganti pakaian Rachel dengan y
"Kau bilang aku yang menyuruhmu pergi dari sini. Kapan aku mengatakannya?" Rachel menundukkan kepala, melirik Kaivan dengan ekor mata -- takut untuk menatap langsung pria itu. "Waktu aku menjenguk Mama ke rumah sakit. Pak Kaivan menelpon dan menyuruhku untuk tak pulang," jawab Rachel dengan mencicit pelan dan lirih. Tubuhnya terasa panas, dadanya juga sangat panas dan sesak. Kekerasan yang pria ini lakukan padanya terus mengiyang di kepala Rachel. Kaivan mengerutkan kening, rahangnya mengatup dan kembali kemarahan menguasai dirinya. Namun kemarahan itu lenyap seketika, melihat Rachel yang menunduk takut dan enggan menatapnya. "Kau takut padaku?" tanya Kaivan dengan pelan dan datar, terus memperhatikan tubuh Rachel yang bergetar hebat. Rachel menganggukkan kepala pelan. Memangnya siapa yang tak takut pada orang yang telah berbuat kasar pada kita?!Kaivan terdiam sesaat, terpukul melihat sikap Rachel. Dia seperti de javu. Tetapi ini berbeda! Wanita itu-- dia ketakutan dan menutup
Ceklek'Kaivan menoleh ke arah Rachel, menatap istrinya tersebut yang duduk di atas ranjang dan terlihat sedang sibuk dengan handphone-nya. Andai Kaivan tahu jika sebenarnya Rachel hanya men-scroll galeri handphonenya saja. Tak ada yang dia lakukan selain itu -- dan dia begitu karena gugup Kaivan masuk dalam kamar nya. 'Ichi suka laki-laki yang kukunya memakai hena.'Mengingat hal itu, jantung Rachel berpacu dengan kuat. Matanya membulat dengan tubuh yang panas dingin. Ka--Kaivan mewarnai kukunya dengan hena karena dia tahu Rachel suka pria yang seperti itu. Apa yang sebenarnya Kaivan rencanakan dan darimana dia tahu itu? "Ini sudah larut malam, kenapa kau masih belum tidur, Ichi?" Rachel menoleh ke arah Kaivan. Dia tersenyum canggung dengan air muka gugup luar biasa. Dia tidak tidur karena menunggu Kaivan, tetapi tak mungkin dia mengatakan itu bukan?! "Aku … tidak mengantuk, Pak--Mas." "Tidurlah." Kaivan berucap rendah, memasuki kamar mandi. Sedangkan Rachel, dia langsung berb
"Setelah kau wisuda, kita akan bulan madu," sahut seseorang dari belakang Rachel dengan suara serak dan rendah, sontak membuat Rachel tergelonjak kaget. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Kaivan yang …-Deg deg deg Kaivan berdiri tepat di belakang Rachel, jadi ketika dia menoleh kebelakang Rachel langsung menghadap ke arah perut pria itu. Masalahnya, Kaivan hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang, dia telanjang dada. ABS serta roti sobeknya yang menggugah terlihat, terpampang jelas di depan wajah Rachel. Jantung Rachel berdebar dengan kencang, matanya melotot sempurna dengan pipi yang sudah memerah padam -- syok tetapi menikmati pemandangan perut suaminya. Ingin berpaling, tapi … astaga! Kapan lagi kan?! Lagipula pepatah mengatakan rezeki tak boleh ditolak, cui. "Kau melihat apa?" Kaivan merunduk, bersedekap dengan alis sebelah alis terangkat, menatap istrinya dengan sorot geli dan smirk tipis yang menyungging di bibir manisnya. "Hah?" Rachel sontak mendongak, menat
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny