"Setelah kau wisuda, kita akan bulan madu," sahut seseorang dari belakang Rachel dengan suara serak dan rendah, sontak membuat Rachel tergelonjak kaget. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Kaivan yang …-Deg deg deg Kaivan berdiri tepat di belakang Rachel, jadi ketika dia menoleh kebelakang Rachel langsung menghadap ke arah perut pria itu. Masalahnya, Kaivan hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang, dia telanjang dada. ABS serta roti sobeknya yang menggugah terlihat, terpampang jelas di depan wajah Rachel. Jantung Rachel berdebar dengan kencang, matanya melotot sempurna dengan pipi yang sudah memerah padam -- syok tetapi menikmati pemandangan perut suaminya. Ingin berpaling, tapi … astaga! Kapan lagi kan?! Lagipula pepatah mengatakan rezeki tak boleh ditolak, cui. "Kau melihat apa?" Kaivan merunduk, bersedekap dengan alis sebelah alis terangkat, menatap istrinya dengan sorot geli dan smirk tipis yang menyungging di bibir manisnya. "Hah?" Rachel sontak mendongak, menat
Namun tiba-tiba saja …. Rachel menghentikan langkahnya, menatap sosok pria bertopeng dengan balutan toxedo mahal yang berjalan di depannya. Di sebelah pria bertopeng tersebut, terlihat Jake berjalan dengan membawa buket bunga mawar merah yang sangat besar, cantik dan sangat indah. Setelah di depannya, pria bertopeng yang tak lain adalah suaminya tersebut berhenti tepat di depannya. Rachel langsung mendongak, menatap ke arah wajah Kaivan yang berbalut topeng dengan air muka tegang dan bercampur aduk. Sangat sulit bagi Rachel menebak ekspresi Kaivan. Selain karena pria ini mengenakan topeng, garis bibirnya hanya membentuk horizontal dan tatapannya seperti biasa -- tajam dan menghunus dingin ke arah manik Rachel. Kaivan meraih bunga di tangan Jake, setelahnya dia memberikannya pada Rachel. "Untukmu, dan mari pulang," ucap pria itu singkat, meraih pergelangan tangan Rachel kemudian menarik istrinya dari sana. Sedangkan Jake, melihat sahabat Mamanya yang suka dempet padanya, buru-buru
"Atau kau sedang menungguku membuka kebayamu, Humm?" bisik Kaivan tiba-tiba dengan suara serak dan rendah, mengalun seksi dan begitu berat. Menggoda iman sekaligus membuat Rachel meremang."Ti--tidak begitu, Mas Kaivan." Rachel menoleh cepat dan panik ke arah Kaivan, menyingkirkan tangan besar nan kokoh milik suaminya dari pundak. Kaivan mengelus-elus pundak Rachel dengan gerakan yang membuat sekujur tubuh Rachel merinding disko, darahnya mengalir deras karena ini dan jantungnya berpacu lebih kencang dibandingkan sebelumnya. Rachel sejujurnya tak nyaman di posisi ini. Hanya saja dia tak punya keberanian mengatakannya. "Aku bisa melepas kebayanya sendiri. Dan … aku cuma ingin duduk-duduk dulu, Mas." Rachel membalik tubuhnya menghadap Kaivan, menatap muram dan takut-takut pada suaminya tersebut. "Humm." Kaivan berdehem rendah dan pelan, memutar tubuh Rachel agar membelakanginya. Lalu tanpa persetujuan Rachel, Kaivan mulai melepas kebaya yang melekat di tubuh istrinya. Cup'Ketika p
Setelah makan malam, Kaivan mengajak Rachel jalan-jalan ke pantai. Sedangkan Rachel sendiri, dia masih belum beradaptasi dengan tempatnya. Bahkan ketika sampai di pantai, baru menginjakkan kaki di pasir, Rachel sudah meminta pulang pada Kaivan. "Lebih baik kita di hotel saja, Mas Kaivan. Di sini orang-orang berpakaian tidak sopan dan … mereka tinggi-tinggi sekali. Aku tidak bisa mengerti apa yang mereka katakan trus mereka melirik-lirikku. Wajahku terlalu pribumi," cicit Rachel pelan, memeluk erat lengan Kaivan sembari berbisik-bisik. Baginya, orang-orang di sini menakutkan. Mereka tinggi, berkulit sangat putih dan berambut pirang. Tak seperti Rachel yang pendek, putih kuning langsat dan berambut hitam. Rachel bukan rasis. Hanya saja, dia merasa sendiri di sini. Tak ada yang sama dengannya. Kaivan? Suaminya ini tinggi, dia bisa berbahasa negara ini dan wajah Kaivan juga blasteran. Jadi dia tidak terlalu menonjol di sini. Mungkin orang menatap suaminya karena ketampanannya -- karena
Beberapa Minggu berlibur. Rachel dan Kaivan berada di outdoor kamar penginapan mereka, di mana Kaivan sedang berenang di kolam renang dan Rachel hanya menemani -- duduk setengah berbaring di kursi malas sembari mengemil biskuit stik berisi coklat di dalamnya. Rachel sangat malas berenang karena ini masih terlalu pagi baginya. Dia takut airnya dingin meskipun Kaivan sudah mengatakan jika airnya hangat. Intinya Rachel malas. Kabar gembiranya adalah nanti malam Rachel dan Kaivan akan kembali ke negara mereka. Ah, Rachel sudah tak sabar!! Dia merindukan Jake, William, Hansel dan dua sahabatnya yang kocak abis tersebut. Tadi malam Rachel mendengar suaminya berbicara dengan Neneknya lewat telpon, mengenai bulan madu dan …- ternyata ada alasan lain Kaivan berlama-lama di sini. Karena dia mengatakan pada Neneknya jika dia kemari selain mengajak Rachel liburan juga untuk perbaikan kulit Kaivan yang terbakar. Memang sih mereka cukup lama di sini, tetapi menurut Rachel jika dijadikan alasa
Kaivan berjalan ke ruang tamu, langkahnya santai dengan air muka yang terpasang dingin serta tatapan menghunus tajam. Ini pertama kalinya Kaivan akan menemui Neneknya dalam keadaan tanpa bertopeng. "Ada apa Nenek kemari?" Suara Kaivan mengalun rendah. Parah dan Alina menoleh ke arahnya, membuat kedua wanita itu langsung membelalak dan sontak berdiri. Mereka terkesima, kagum dan hampir tak percaya melihat wajah Kaivan. Wajahnya sangat mulus, tak ada bekas luka bakar dan … Kaivan sangat tampan. 'Ya Tuhan, dia sangat tampan.' batin Alina, tak berkedip dengan menatap Kaivan secara menganga dan mata melebar. Bahkan tanpa sadar tangannya ia letakkan di dada, merasakan debaran jantungnya yang menggila dan berdebar kencang karena terpana melihat Kaivan. A--apa selama ini wajah tampan yang Kaivan sembunyikan dibalik topeng, apa setampan ini? "Nak, kamu sangat tampan. Nenek lupa terakhir kali dengan wajahmu dan …-" Parah menghampiri Kaivan, membelai pipi cucunya tersebut dengan manik ber
Kaivan langsung merampasnya dan mencek sesuatu di handphone istrinya itu. "Kau menghapus pesannya?" ucap Kaivan datar, mengembalikan handphone pada Rachel. Rachel terdiam dan hanya mengamati Kaivan, di mana pria itu mengeluarkan handphonenya sendiri lalu mencek sesuatu di sana. "Berbalas pesan yang mesra dengan Mantan, heh?" sindir Kaivan, menatap tajam dan dingin ke arah Rachel yang sudah membeku di tempat, "Stiker hati. Kau suka pada pria ini?" tanya Kaivan selanjutnya, semakin menatap tajam ke arah istrinya. Aura mengerikan menguar dari tubuh Kaivan, mengelilingi tubuh Rachel dsn membuatnya merinding serta ketakutan. "Ingin menjalin hubungan dengannya juga?!" geram Kaivan. Tuk.' Meletakkan kasar handphonenya di atas nakas. Selanjutnya dia naik ke atas ranjang, mendekati Rachel~menatap istrinya tersebut penuh peringatan, marah dan emosi. Padahal baru saja mereka pulang berbulan madu, perempuan ini sudah memikirkan pria lain. Cih, Rachel berniat selingkuh?!"Aku tidak …-" Rache
"Siapa namanya? Kenapa bisa putus dan … intinya ceritain deh. Aku pengen tahu. Tenang ajah, sebagai gantinya kalian tak akan aku adukan ke Pak Kaivan mengenai kalian yang suka bergosip saat kerja." Di akhir, Rachel sengaja mengancam. Yah, agar para maid ini mau menceritakan mengenai mantan Kaivan. "Baik, Nyonya. Namanya Claudia Marsanda, kekasih Tuan Kaivan dari sejak high school hingga beberapa tahun setelah Tuan menyelesaikan pendidikannya di jenjang yang lebih tinggi. Mereka sudah pernah bertunangan dan juga berencana akan menikah. Suatu saat Tuan Kaivan ke luar negeri, lalu ketika pulang dari sana Tuan kecelakaan. Katanya setengah wajah Tuan terbakar, me--melepuh. Setelah peristiwa itu, Tuan putus dari Bu Claudia. Katanya karena wajah Tuan sudah tidak tampan lagi tetapi ada yang mengatakan Bu Claudia sengaja putus karena ingin melanjutkan karirnya sebagai model terkenal di luar negeri. Begitu, Nyonya Rachel. Dan … tolong rahasiakan ini karena Tuan Kaivan tidak suka jika masa lalu
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny