"Ayo pulang, Sofia, kamu udah puas bikin aku malu!" tiba tiba Mas Akbar menarik lenganku dan mengajakku bangun dari pelaminan yang bahkan belum diduduki pengantinnya. Ada raut murka sekaligus malu di wajah Mas Akbar, mendapatkan hari pernikahannya dihancurkan oleh wanita berdaster yang sedang hamil.
"Puas? puas apanya? aku belum puas Mas, selama belum bikin kamu menderita seperti ini," jawabku sambil mengusap air mata, pandangan kami sejajar agar dia memahami betapa marah dan kecewanya aku saat ini. Meski aku tertawa jahat, tapi hati ini hancur lebur, tak berbentuk lagi, bahkan aku tak bisa membedakan mana tangis dan mana senyum yang saat ini harus kutunjukkan di depan semua orang. "Jangan pura-pura nangis, padahal kamu baru saja merusak momenku!" bentaknya sambil menyeretku. Alangkah hancur hati diperlakukan sekasar ini di hari aku mengetahui bahwa kini diriku membawa calon bayi, calon kehidupan baru untuk keluarga kami, bahkan untuk keluarga besarnya. "Lepaskan, jangan menyeretku sekasar itu, aku sedang hamil," balasku sambil menyentak tangannya. "Mana mungkin wanita hamil punya tenaga sebesar itu untuk merusak acara orang lain," desisnya. "Itu buktinya," ucapku sambil melirik testpack yang masih teronggok di atas meja. "Itu palsu! mana kutahu jika kamu telah membeli test positif itu dari orang lain, hanya untuk membuat alasan!" Kini ucapan pedasnya lebih menusuk perasaanku. Apa benar aku serendah itu demi mendapatkan perhatiannya, aku sungguh ingin tahu? Sungguh! "Usir dia Mas, dia merusak acara kita, ceraikan saja dia!" jerit pengantinnya maju untuk menyerangku namun aku menahan ayunan tangan itu sebelum sampai di wajahku. "Jangan lancang kamu, di sini posisimu hanya pelakor," ucapku sambil menepis kasar lengannya hingga wanita itu nampak kesakitan. "Hei, jaga sikapmu!" Mas Akbar berteriak dan maju dengan tatapan tajam, seolah dia bukan suamiku, dia mencekal lenganku dan melayangkan pukulan untuk pertama kalinya sejak sepuluh tahun dari aku mengenalnya. Plak! Berdenyut dan panas rasanya pipi ini ditampar dengan tangan kokoh Mas Akbar. Kepalaku yang memang sejak pagi terasa pusing, makin sakit saja ditingkahi pukulan tadi. Dan yang lebih membuat kecewa bukan sakitnya, tapi senyum sinis semua orang yang menertawakan aku seperti wanita konyol. "Ayo, kuantar pulang!" dia menarik lenganku sekali lagi. "Lepas, kau tak berhak memaksaku, kau pikir kau siapa? Apa kau membeli kepalaku. Berapa kau bayar aku dari ayahku untuk kau jadikan pelayan seumur hidupmu, berapa? Katakan hah!?" Selagi melayangkan pertanyaan kudorong dadanya dengan kencang hingga suamiku tak bisa berkata-kata lagi. "Jangan dorong suamiku!" Wanita cantik itu menjerit, dan menarik Mas Akbar dari hadapanku, dan memasang badannya untuk melindungi Mas Akbar. "Aku memang tak kuat, tapi aku akan melindungi Mas Akbar dari istri gila sepertimu," ucap wanita lancang itu. "Makasih, Sayang, tapi biarkan aku mengurus wanita ini," bisiknya yang sontak membuat wanita itu membalikkan badan, memeluk dan menggeleng cepat. "Gak bisa, Mas, tadinya aku memang kesal sama kamu tapi, aku kemudian aku sadar, pernikahan kita tak akan terjadi tanpa restu Allah, mungkin Dia menakdirkan kita bersama untuk menjauhkan kamu dari cobaan istri seburuk ini," ucapnya sambil mendelik padaku. Andai kini dia tak dilindungi keluarga besarnya, ingin sekali kutampar wajah dan kucabik-cabik mulut pedasnya. "Gak apa sayang, kamu tenangkan tamu, biarkan aku bawa pulang dia," ucap Mas Akbar mengecup punggung tangan istrinya. Tentu, kobaran api di dadaku makin panas. Demi melihat kejadian itu, aku terbelalak nyaris mengira ini hanya mimpi, tak kubayangkan demi menyakitiku, dia rela memamerkan kemesraan di depan semua orang. "Bagus ... selamat ... " Aku bertepuk tangan dan bersuit merayakan kesakitan ini, jujur, sesungguhnya ingin kusembunyikan air mata, dan tertawa sekuat mungkin, untuk menutupi betapa rapuhnya diriku yang kehilangan arah. "Apa yang kalian tunggu, kenapa pestanya seperti tempat pemakaman, ayo nyalakan lagu!" ucapku pada pemain orgen. Pemain orgen dan biduan hanya melongo dan tak tahu harus berbuat apa. Semua orang diam, menonton atraksi yang sebenarnya menghibur bagi sebagian orang yang punya penyakit hati dan tak punya empati. "Baik, kalau tak ada yang mau menyanyi, aku saja yang akan menyanyi," ucapku sambil merampas microphone dari tangan biduan. Orang orang riuh, sebagian tertawa, sebagian lain heran, karena seorang istri yang dikhianati suaminya, habis ditampar malah bernyanyi. Masa bodoh, aku akan bersikap gila, seperti keinginan Mas Akbar. Aku akan memberinya hadiah balasan karena sudah memberiku hadiah kehamilan terbaik di dunia. Ya ... madu baru. Luar biasa! "Musik, putar musik, atau kusiramkan bensin ke piano kalian!" Musikpun mengalun dengan volume yang dikeraskan, orang orang berdatangan dan sebagian besar merekam. "Silakan yang mau rekam, ayo rekam, captionnya menyanyi di akad suami, check!" Orang orang tertawa terhibur, sementara hatiku luluh lantak tak berbisa. Coba kau ingat-ingat kembali siapa yang ada di saat kamu terluka. Aku bukan dia ... Namun ya kau tak pernah merasa Kekasih di mana kurangnya aku padamu, sehingga kau tak dapat melihat cinta? Sakitmu selalu ada aku untukmu, senangmu, tak pernah kau bagi untukku. Makin lama, makin kelu, rasanya tak kuasa lidah dan tenggorokan ini untuk melanjutkan lagu Melayu yang mengisyaratkan betapa terluka hatinya seorang pencinta. Kuletakkan mic dan meninggalkan tempat itu membawa sejuta luka yang tak terhingga, jiwaku tersayat, hatiku tercabik, dan tak bisa kugambarkan lagi sakitnya. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk, tapi tidak ke tempat lain, melainkan sebuah ruangan berdinding kaca dengan karpet berbentuk kubah masjid. Di sana aku kerap melabuhkan sujud, memanjatkan harapan dan doa, semoga Yang Kuasa mendengar permintaan ini untuk menjaga pernikahan dan suamiku. "Mana janji-Mu, katakan, mana buktinya. Katanya Kamu akan mengabulkan doa siapa saja yang bersujud dan memohon!" teriakku marah, aku tersungkur, tenagaku habis, suaraku serak, tersedot habis untuk marah di tenda tadi. Kini hanya air mata saja yang bisa menandakan betapa sedihnya diri ini. Memang kurang sopan, tapi aku putus asa, kecewa dan merasa sudah tak berarti lagi hidup di dunia ini. "Aku meminta bayi untuk menguatkan pernikahan kami, tapi Engkau malah menghancurkannya dengan memberiku bayi, kenapa Engkau kejam sekali, Tuhan! Kenapa?!" Aku menangis dan melempar apa yang ada di sekitarku, aku hancur berkeping-keping, putus asa dan hampa.Pukul tujuh malam.Suara deru mobil di halaman rumah membangunkan aku dari posisi tertidur di ruang shalat, mungkin karena begitu lelah, hingga diri ini jatuh dalam lelap."Ayo, masuk, jangan ragu."Suara Mas Akbar terdengar, namun siapa yang dia suruh masuk? Sesaat aku tercenung hingga aku menyadari sesuatu, jangan sampai ... apa yang kuduga terjadi."Aku cemas Mas," balas seorang wanita."Jangan takut, aku akan selalu membelamu, kini tempat ini adalah rumah kita. Rumah yang kubangun untuk istriku."Segera dengan langkah kaki secspat kilat aku menuju ruang tamu dan benar saja, Mas Akbar membawa pulang istrinya."Apa lagi ini?" tanyaku pelan. Kusapu pandangan pada suami dan wanita yang kini sudah berpenampilan rapi dengan rambut tergerai indah."Aku membawanya karena sudah terlanjur semua orang mengetahui statusku, jadi, kami harus bertanggung jawab.""Oh ya, begitu ya?" tanyaku sinis."Ya, aku harap pengertianmu," jawabannya lirih. Belum juga aku mengatakan apa apa, dia sudah menyu
Sampai pagi Pukul tujuh malam.Suara deru mobil di halaman rumah membangunkan aku dari posisi tertidur di ruang shalat, mungkin karena begitu lelah, hingga diri ini jatuh dalam lelap."Ayo, masuk, jangan ragu."Suara Mas Akbar terdengar, namun siapa yang dia suruh masuk? Sesaat aku tercenung hingga aku menyadari sesuatu, jangan sampai ... apa yang kuduga terjadi."Aku cemas Mas," balas seorang wanita."Jangan takut, aku akan selalu membelamu, kini tempat ini adalah rumah kita. Rumah yang kubangun untuk istriku."Segera dengan langkah kaki secepat kilat aku menuju ruang tamu dan benar saja, Mas Akbar membawa pulang istrinya."Apa lagi ini?" tanyaku pelan. Kusapu pandangan pada suami dan wanita yang kini sudah berpenampilan rapi dengan rambut tergerai indah."Aku membawanya karena sudah terlanjur semua orang mengetahui statusku, jadi, kami harus bertanggung jawab.""Oh ya, begitu ya?" tanyaku sinis."Ya, aku harap pengertianmu," jawabannya lirih. Belum juga aku mengatakan apa apa, dia
"Uangku ... Mana uangku ...."Aku seolah mendengar kembali suara sendiri, tapi lamat-lamat suara itu samar dan tenggelam.Kucoba membuka mata, meski masih berat, kulirik di sisi pembaringan, di mana aku terbaring lemah. Ada Mas Akbar terlihat menatapku dengan penuh cemas."Kamu udah baikan?"Aku tak menjawab, andai bisa aku tak mau berjumpa dengannya. Hanya kuhela napas pelan lalu membuang muka darinya."Dengar Sayang, aku akan mengembalikan uangmu, dalam waktu dekat," bisiknya pelan."Kapan, kau berbohong lagi, Mas," desisku."Secepatnya, Sayang.""Menjauhlah!" Aku menepis dia yang ingin menyentuhku, Sakit hatiku belum terobati terlebih ketika mengingat bagaimanakah caranya dia di tenda kemarin. Aku ingin kabur tapi aku malu pada kedua orang tuaku karena sudah mati matian mempertahankan dan meyakinkan mereka untuk merestui pernikahan kami."Ini tidak akan lama aku berjanji padamu akan membawa pergi Lisa dari rumah ini.""Lalu, apa yang kau tunggu, Mas?""Aku menunggu semua masalah
Malam menjelang dan entah kenapa hari itu mati lampu di komplek rumah kami. Tetangga belum menyadari bahwa suamiku sudah membawa istri barunya, ditambah si jalang itu tidak keluar dari rumah.Aku duduk dalam kegelapan, meratapi hati yang kian mengkerut, cintabyang dulu berkembang makin menyusut, dan bayi yang kini ada dalam kandunganku masa depannya belum pasti. Haruskah dia lahir di tengah konflik pernikahanku dengan Mas Akbar? Haruskah dia memiliki dua ibu dalam satu rumah?Kulirik ke arah ruang tamu, sementara pintu kamar sedikit terbuka suasana hening, meski dua manusia tak tahu malu itu duduk berdekatan. Mungkin, sepanjang hari mereka tidak memakan apapun, sementara aku sudah memesan makanan dari go-jek dan melahapnya di kamar sendirian.Nampak mereka hanya duduk diam di sofa ruang tengah. Sebenarnya aku tidak akan marah namun karena lama kelamaan posisi mereka nampak dekat dan wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu mas Akbar, hatiku menjadi panas."Aku ingin bicara!"Me
"Tapi aku nggak terima Mas caranya nggak kayak gini juga," ucapnya mengeluh."Aku adalah tipe orang yang tidak suka dengan kotor selalu ingin Rumah bersih, rapi dan kinclong, kedatanganmu bukan bukan hanya sudah mengotori hatiku tapi juga mengotori rumah ini. Apa kamu tidak pernah diajarkan tentang kebersihan oleh ibumu?""Hei, jangan menyinggung pengasuhan ibuku," ujarnya geram."Tentu saja, karena kurasa pengasuhannya gagal, jangankan untuk hal-hal yang lebih besar dari itu membersihkan saja kau tidak tahu," desisku."Lalu apa pengaruhnya dengan hidupku? Toh, masih ada pembantu!""Ya, ya, kau nyonya kaya yang bisa mengupah semua orang untuk jadi pelayanmu," sindirku."Memang, kenapa tidak?!" Jawabannya membuatku sangat kesal."Kau seperti bocah yang selalu merengek minta mainan, bahkan kau pasti merengek meminta suamiku pada ayahmu!" lanjutku."Lancang sekali ...." Dia bersiap maju untuk memukulku namun Mas Akbar segera mencegahnya dan menyeretnya masuk ke dalam kamar."Ah, sebal
Hatiku sakit mendengar perkataan pedas ayah mertua yang dulu begitu baik dan friendly terhadap menantunya. Dulu beliau begitu baik dan penuh perhatian, ada apa semua orang kini berubah drastis dan jadi lebih egois. Mereka lebih mementingkan dirinya sendiri daripada perasaan orang lain.Kukemas air mata sembari mengeluarkan koper dari dalam lemari, kuambil pakaian dan perhiasan milikku dan memasukkannya ke dalam koper.Hatiku hancur ketika melihat gaun pengantin yang masih tergantung di lemari, kupikir, gaun itu akan kupakai sekali seumur hidup dan pernikahan kita akan kujaga kesuciannya sampai mati. Namun, percuma, aku dijatuhkan dan dilukai."Kuambil sisa pakaian dan memasukkan barang-barang yang ada di dalam kaca rias, lalu berakih mengambil benda milikku pada lemari dekat tempat tidur. Hatiku sakit melihat foto kami di sana.Prang!Kulempar benda itu ke dinding hingga hancur berkeping-keping. Mungkin mendengar keributan atau khawatir Mas Akbar langsung masuk untuk memastikan keada
Dalam kebimbangan dan diamku ayah mertua kembali berteriak."Ayo pilih saja kau masih belum bisa melepas Akbar atau kamu minta diceraikan dengan jaminan?!"Sungguh ucapan ayah mertua sudah keterlaluan dan menginjak harga diriku. Boleh jadi diri ini miskin dan sudah tidak punya siapa-siapa lagi, namun tidak serta merta itu membuatnya bebas mengatakan hal yang tidak manusiawi."Baik, ayah jika demikian besar kebencian ayah pasaku, tak masalah, aku akan pergi," jawabku.Pria itu terlihat tak suka dengan jawabanku hingga langsung naik pitam dan berteriak keras "Wanita arogan ini ... kalo begitu pergilah, jangan bawa apapun dari rumah ini, kau sudah kuberikan kenyamanan dan rasa manja, namun kau sungguh tak tahu diri, sekarang, menjauhlah dari rumah ini!""Ayah, jangan katakan itu, dia sedang hamil anakku," sela Mas akbar."Biarkan dia pergi, begitu lahir bayi itu akan kita ambil, selama mengandung jangan pernah kabulkan permohonan cerainya, andai dia mau cerai, biar tahu rasa!"Tak m
Aku terbangun ketika telah mendapati diri ini terbaring di dalam kamar berselimutkan bed cover hangat yang dulu adalah selimut kesayanganku. Kuedarkan pandangan pada ruang bernuansa pink ini dan, dan keadaannya masih sama seperti aku meninggalkannya. Meja kerja yang tempelan kertas memo, tumpukan boneka, serta celengan masih ada di atas lemari bajuku.Dengan mengumpulkan tenaga Aku berusaha duduk, kuperhatikan beberapa foto polaroid yang tergantung di sebuah tali gantung hias yang ada di sebelah kananku. Foto-foto itu diambil sebelum aku menikah dengan Mas Akbar sekitar 8 tahun yang lalu. Ada foto bersama teman-teman di sebuah tempat wisata, ada foto wisuda ku yang diapit kedua orang tua dengan wajah bangga mereka, ada juga fotoku yang terlihat gembira dengan hewan kesayangan.Dulu sempurna sekali hidupku hingga tiba-tiba semuanya berubah dalam 3 hari, apa yang ada di sekitarku mengalami kehancuran akibat pernikahan Mas Akbar.Tiba rasa bersalah dan penyesalan mendarat terlebih d
Sekembalinya Mas Azlam dari kantor polisi, dia menemuiku, membawakan makanan dan mendaratkan kecupan hangat di kening."Gimana Sofi, masih sakit?""Iya, Mas, tapi aku udah dikasih penghilang nyeri," balasku cepat."Sekarang makan ya," bujuknya."Udah makan sih tadi, btw, gimana di kantor polisi tadi?""Lancar. Aku udah kasih keterangan lengkap, dan pastikan Akbar dihukum karena perbuatannya.""Dia memang bersalah, tapi aku berniat tidak memperpanjang masalah, Mas. Kita baru saja menikah, Aku punya bayi yang masih kecil di mana dia membutuhkan kasih sayang dan perhatian, kamu juga sibuk dengan kerjaanmu, kita tak akan punya waktu untuk bolak balik mengurusi perkara," ucapku pelan."Jadi kau tidak setuju pria itu ditahan?" Mas Azlam terbelalak padaku "Bukan begitu ...""Jadi, kau mau bebaskan dia, penjahat yang sudah menusukmu disamping memberi luka berkepanjangan sejak dulu?""Aku setuju dia dihukum, tapi ada baiknya serahkan kasusnya ke polisi, biar mereka yang tangani.""Bagaimana
Ada apa dengan Mantan suamiku, aku tak paham mengapa dia menusuk bahu ini dengan pusat apa dia ingin membunuh atau bagaimana? aku sungguh tak mengerti mengapa dia melakukannya. Acara pernikahan yang tadinya akan bahagia dan sakral menjadi gaduh dan penuh teriakan panik. Mas Azlam datang setelah diteriaki banyak orang untuk menyelamatkanku, tentu ekspresinya langsung histeris melihatku bersimbah darah. Tak peduli seberapa indah pakaian yang dikenakannya, pria itu langsung menghampiriku dan menggendong diri ini ke mobilnya."Siapa saja, panggilkan polisi! Sofia, siapa yang lakukan ini," ucapnya panik sambil menggotong tubuhku.Kembang goyang dan melati berguguran satu persatu dari sanggulku, benda itu terlepas dan siapa yang peduli ... nyawa lebih penting sekarang. "Baik, Mas," ucap adik dari calon suamiku itu dengan panik dan gerakan cepat."Suruh polisi untuk menemukan mantan suami Sofia, dasar biadab pria itu," ujar Mas Azlam dengan napas terengah-engah karena marah." ... bertahan
Rasanya ada sedikit rasa tak percaya bahwa hari ini adalah hari bahagia. Aku tak menyangka, bahwa pada pernikahan kedua justru momennya terasa sangat berbeda, aku merasakan energi baik dan optimisme yang cerah akan masa depanku.Sejak subuh, tim make up artist datang dan meriasku di depan kaca yang diberi lampu, rasanya tak percaya bahwa waita yang sudah disulap begitu cantik dalam balutan kebaya ungu itu adalah aku."Bagaimana riasannya, Mbak, Mbak suka?" tanya periasnya dengan ramah."Iya, saya puas sekali, saya seolah telah menjadi orang dan kepribadian yang baru," jawabku tersenyum puas."Saya yakin calon suami Mbak akan terpesona, hingga lupa bagaimana cara mengucapkan kabul," candanya sambil meletakkan kerudung pengantin di atas kembang goyang yang menghiasi sanggul."Selalu ada keharuan dan semangat ketika melihat mata calon mempela berbinar bahagia," ucap wanita yang sudah cukup terkenal dengan riasannya di kota ini."Terima kasih ya, sudah mau datang dan membantu saya," b
Kata orang, siapa saja yang akan menghadapi hari bahagia, mereka pasti akan diliputi banyak halangan dan rintangan. Jujur aku berdebar, sedikit gelisah dan takut, bahwa melepas status janda ini akan kembali membawa luka yang sama seperti saat aku bersama Mas Akbar.Kupeluk bayi yang ada di dalam gendonganku, sejak kehadirannya aku sering mencurahkan isi hati dan berbicara dengan putriku Sabrina. Bayi cantik yang seakan mengerti kegelisahan ibunya kadang memberikan respon dengan sentuhan tangan kadang juga serupa senyuman yang menguatkan."Mama mau membuka hati dan mencoba menikah kembali apakah Sabrina membolehkan itu terjadi?" tanyaku sambil memeluk bayi itu dan mencoba menidurkannya."Anakmu pasti setuju, Ibu yakin bahwa dia bahagia melihat mamanya bahagia," timpal ibu yang tiba-tiba datang membawakan segelas susu dan meletakkannya di meja kamarku."Aku gundah Bu...""Yang membuat dirimu gundah adalah pendekatanmu dengan Azlam atau masa lalumu yang terus menakut-nakuti?""Sebenarnya
Dari kejauhan matahari mulai menunjukkan sinarnya. Kupandangi cahaya jingga cantik di ufuk timur dari jendela kamar sambil merenungi kejadian selama beberapa hari belakangan.Semua itu hanya tentang satu orang.Mungkin aku wanita terkejam karena hanya memikirkan diri sendiri dan tidak berusaha untuk menunjukkan betapa aku ingin bersama dengan Irfan. Perasaan ini merasa bersalah dan sejauh yang kupahami, selama ini akulah yang tidak memperjuangkan cinta. Kalimat di bibir ingin bersama, namun aku hanya pasrah terhadap penolakan keluarganya. Aku hanya duduk berpangku tangan sementara hanya dia sendiri yang berusaha untuk segalanya. Ya, hanya dia. Rasanya ini tidak adil, tiba-tiba aku memilih pria lain yang ternyata lebih mapan darinya tapi beginilah dunia wanita, meski kadang kami mementingkan perasaan, wanita juga harus realistis sewaktu-waktu. Aku memilih Mas Azlam dengan segala pertimbangan yang sudah ku pikirkan matang-matang. Aku tahu Irfan terluka, dia sedih dan kecewa karena
"Assalamualaikum ..." Keluarga Budhe Mega sudah sampai, mereka turun dari mobil, mengucapkan salam dan kedua orang tuaku menyambut dengan wajah berbinar. "Assalamualaikum, Sofia," ucap Mas Azlam mengulurkan tangan, agak ragu diri ini menyambut, gemetar telapak tanganku dan berdebar perasaan di dalam dada. Entah kenapa aku sangat malu padanya."Walaikum salam Mas," balasku. Hati ini sudah tak karuan canggungnya. Sempat kumarahi diri sendiri mengapa aku harus bersikap sekaku ini, aku menyambut tangan ibu dan adik Mas azlam dengan ramah tapi tatapan mataku terus terarah padanya.Kuperhatikan kali ini penampilannya baru, rambutnya lebih rapi, wajahnya bersih dari bulu-bulu halus, dia terlihat makin tampan dan jujur mungkin, aku terpesona."Mana bayinya, Tante?" tanya Mas Azlam pada ibu."Sebentar, Tante ambil ya," ucap ibu sambil bersemangat menuju kamarku. Tak lama kemudian ibu datang membawa anakku dengan kebanggaan yang terpancar jelas di roman wajahnya."Ini dia, Sabrina, dia cucuku
Aku mendengar tangisan bayiku mengudara memenuhi ruangan ini. Seakan mendapatkan energi baru, aku merasa seolah baru saja dihidupkan dari kematian panjang. Sakit yang sejak pagi pagi mendera langsung lenyap begitu saja ketika tahu bahwa anakku terlahir sehat tak kurang satu apapun."Alhamdulillah, Bu. Bayinya perempuan," kata Ibu Bidan sembari sibuk membungkus anakku dan meletakkannya ke tempat tidur hangat, selanjutnya bidan yang nampak lembut hati itu mendekati dan melanjutkan perawatanku.Karena begitu lelah, perlahan kesadaranku mulai menurun, rasanya kelopak mata ini mulai terasa berat selagi bidan menjahitkan bagian kewanitaanku. Mungkin aku tertidur setelahnya, aku lupa tentang betapa sakitnya perjuangan berjam jam tadi dan betapa geramnya aku pada mas Akbar yang datang tanpa diundang. Tadinya, diri ini sedikit khawatir bahwa mungkin saja dia akan menculik anak kami, tapi rasa kantuk yang mendera saat itu sama sekali tidak bisa kutahan.Aku terbangun dan membuka mata,
Sebulan lebih berlalu.Aku tak mengerti mengapa hari ini firasatku tak nyaman, aku tak tahu mengapa hatiku galau tak berujung, mendung di ujung sana membuat perasaanku makin tak menentu."Kamu kenapa Nak?"Ibu yang tidak tahan memperhatikan aku uyang terus berdiri di dekat pintu dan menatap hamparan kebun lantas bertanya,"Apa ada hal yang menggangu?""Tidak, aku hanya mulai merasa tak nyaman di perut," jawabku.Ibu mendekat lantas mengelus perutku yang membuncit besar, dia tersenyum lembut dan mengajakku duduk."Apa hari taksiran persalinan sudah dekat?""Mungkin sudah," jawabku gamang."Akhir-akhir ini kamu sering berdiam diri dan termenung? Apa kedua pria yang melamarmu itu membuatmu sangat galau dan sedih?""Sedikit tentang itu, tak semuanya menggangguku. Aku hanya galau mempersiapkan mental untuk hari kelahiran," jawabku.Wanita tercintaku itu lalu tersenyum sambil menghela nafas panjang. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat."Ibu paham bahwa di masa akhir akhir ke
Kini aku sendiri, termenung di bangku menatap luas hamparan hijau padi dengan perasan gamang. Aku berada dalam kebingungan dan dilema panjang. Aku tahu, bahwa Tuhan menjanjikan setelah kesusahan ada kebaikan dan kebahagiaan, tapi kebaikan yang datang sekarang ada dua dan aku bingung menentukan akan condong ke arah yang mana.Galau hati ini memilih antara Irfan pemuda mandiri, dan penuh perhatian, dia selalu membuatku ceria atau Mas Azlam yang lembut, alim dan mapan yang merupakan kerabat dekat, keduanya punya sisi baik, di mana aku sulit menentukan harus memilih siapa.Kini cara satu satunya adalah mencatat hal hal yang kurang baik atau aral yang akan membuat hubungan kami di masa depan tak akan bahagia. Misalnya Irfan, kedua orang tuanya menentang, mereka kompak menyoroti kehamilan dan status jandaku. Mereka merasa bahwa anak mereka yang lebih memilihku yang dicampakkan suami adalah sebuah keputus-asaan.Orah tua dan keluarga Irfan merasa bahwa menikahiku adalah aib yang mema