"Ayo pulang, Sofia, kamu udah puas bikin aku malu!" tiba tiba Mas Akbar menarik lenganku dan mengajakku bangun dari pelaminan yang bahkan belum diduduki pengantinnya. Ada raut murka sekaligus malu di wajah Mas Akbar, mendapatkan hari pernikahannya dihancurkan oleh wanita berdaster yang sedang hamil.
"Puas? puas apanya? aku belum puas Mas, selama belum bikin kamu menderita seperti ini," jawabku sambil mengusap air mata, pandangan kami sejajar agar dia memahami betapa marah dan kecewanya aku saat ini. Meski aku tertawa jahat, tapi hati ini hancur lebur, tak berbentuk lagi, bahkan aku tak bisa membedakan mana tangis dan mana senyum yang saat ini harus kutunjukkan di depan semua orang. "Jangan pura-pura nangis, padahal kamu baru saja merusak momenku!" bentaknya sambil menyeretku. Alangkah hancur hati diperlakukan sekasar ini di hari aku mengetahui bahwa kini diriku membawa calon bayi, calon kehidupan baru untuk keluarga kami, bahkan untuk keluarga besarnya. "Lepaskan, jangan menyeretku sekasar itu, aku sedang hamil," balasku sambil menyentak tangannya. "Mana mungkin wanita hamil punya tenaga sebesar itu untuk merusak acara orang lain," desisnya. "Itu buktinya," ucapku sambil melirik testpack yang masih teronggok di atas meja. "Itu palsu! mana kutahu jika kamu telah membeli test positif itu dari orang lain, hanya untuk membuat alasan!" Kini ucapan pedasnya lebih menusuk perasaanku. Apa benar aku serendah itu demi mendapatkan perhatiannya, aku sungguh ingin tahu? Sungguh! "Usir dia Mas, dia merusak acara kita, ceraikan saja dia!" jerit pengantinnya maju untuk menyerangku namun aku menahan ayunan tangan itu sebelum sampai di wajahku. "Jangan lancang kamu, di sini posisimu hanya pelakor," ucapku sambil menepis kasar lengannya hingga wanita itu nampak kesakitan. "Hei, jaga sikapmu!" Mas Akbar berteriak dan maju dengan tatapan tajam, seolah dia bukan suamiku, dia mencekal lenganku dan melayangkan pukulan untuk pertama kalinya sejak sepuluh tahun dari aku mengenalnya. Plak! Berdenyut dan panas rasanya pipi ini ditampar dengan tangan kokoh Mas Akbar. Kepalaku yang memang sejak pagi terasa pusing, makin sakit saja ditingkahi pukulan tadi. Dan yang lebih membuat kecewa bukan sakitnya, tapi senyum sinis semua orang yang menertawakan aku seperti wanita konyol. "Ayo, kuantar pulang!" dia menarik lenganku sekali lagi. "Lepas, kau tak berhak memaksaku, kau pikir kau siapa? Apa kau membeli kepalaku. Berapa kau bayar aku dari ayahku untuk kau jadikan pelayan seumur hidupmu, berapa? Katakan hah!?" Selagi melayangkan pertanyaan kudorong dadanya dengan kencang hingga suamiku tak bisa berkata-kata lagi. "Jangan dorong suamiku!" Wanita cantik itu menjerit, dan menarik Mas Akbar dari hadapanku, dan memasang badannya untuk melindungi Mas Akbar. "Aku memang tak kuat, tapi aku akan melindungi Mas Akbar dari istri gila sepertimu," ucap wanita lancang itu. "Makasih, Sayang, tapi biarkan aku mengurus wanita ini," bisiknya yang sontak membuat wanita itu membalikkan badan, memeluk dan menggeleng cepat. "Gak bisa, Mas, tadinya aku memang kesal sama kamu tapi, aku kemudian aku sadar, pernikahan kita tak akan terjadi tanpa restu Allah, mungkin Dia menakdirkan kita bersama untuk menjauhkan kamu dari cobaan istri seburuk ini," ucapnya sambil mendelik padaku. Andai kini dia tak dilindungi keluarga besarnya, ingin sekali kutampar wajah dan kucabik-cabik mulut pedasnya. "Gak apa sayang, kamu tenangkan tamu, biarkan aku bawa pulang dia," ucap Mas Akbar mengecup punggung tangan istrinya. Tentu, kobaran api di dadaku makin panas. Demi melihat kejadian itu, aku terbelalak nyaris mengira ini hanya mimpi, tak kubayangkan demi menyakitiku, dia rela memamerkan kemesraan di depan semua orang. "Bagus ... selamat ... " Aku bertepuk tangan dan bersuit merayakan kesakitan ini, jujur, sesungguhnya ingin kusembunyikan air mata, dan tertawa sekuat mungkin, untuk menutupi betapa rapuhnya diriku yang kehilangan arah. "Apa yang kalian tunggu, kenapa pestanya seperti tempat pemakaman, ayo nyalakan lagu!" ucapku pada pemain orgen. Pemain orgen dan biduan hanya melongo dan tak tahu harus berbuat apa. Semua orang diam, menonton atraksi yang sebenarnya menghibur bagi sebagian orang yang punya penyakit hati dan tak punya empati. "Baik, kalau tak ada yang mau menyanyi, aku saja yang akan menyanyi," ucapku sambil merampas microphone dari tangan biduan. Orang orang riuh, sebagian tertawa, sebagian lain heran, karena seorang istri yang dikhianati suaminya, habis ditampar malah bernyanyi. Masa bodoh, aku akan bersikap gila, seperti keinginan Mas Akbar. Aku akan memberinya hadiah balasan karena sudah memberiku hadiah kehamilan terbaik di dunia. Ya ... madu baru. Luar biasa! "Musik, putar musik, atau kusiramkan bensin ke piano kalian!" Musikpun mengalun dengan volume yang dikeraskan, orang orang berdatangan dan sebagian besar merekam. "Silakan yang mau rekam, ayo rekam, captionnya menyanyi di akad suami, check!" Orang orang tertawa terhibur, sementara hatiku luluh lantak tak berbisa. Coba kau ingat-ingat kembali siapa yang ada di saat kamu terluka. Aku bukan dia ... Namun ya kau tak pernah merasa Kekasih di mana kurangnya aku padamu, sehingga kau tak dapat melihat cinta? Sakitmu selalu ada aku untukmu, senangmu, tak pernah kau bagi untukku. Makin lama, makin kelu, rasanya tak kuasa lidah dan tenggorokan ini untuk melanjutkan lagu Melayu yang mengisyaratkan betapa terluka hatinya seorang pencinta. Kuletakkan mic dan meninggalkan tempat itu membawa sejuta luka yang tak terhingga, jiwaku tersayat, hatiku tercabik, dan tak bisa kugambarkan lagi sakitnya. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk, tapi tidak ke tempat lain, melainkan sebuah ruangan berdinding kaca dengan karpet berbentuk kubah masjid. Di sana aku kerap melabuhkan sujud, memanjatkan harapan dan doa, semoga Yang Kuasa mendengar permintaan ini untuk menjaga pernikahan dan suamiku. "Mana janji-Mu, katakan, mana buktinya. Katanya Kamu akan mengabulkan doa siapa saja yang bersujud dan memohon!" teriakku marah, aku tersungkur, tenagaku habis, suaraku serak, tersedot habis untuk marah di tenda tadi. Kini hanya air mata saja yang bisa menandakan betapa sedihnya diri ini. Memang kurang sopan, tapi aku putus asa, kecewa dan merasa sudah tak berarti lagi hidup di dunia ini. "Aku meminta bayi untuk menguatkan pernikahan kami, tapi Engkau malah menghancurkannya dengan memberiku bayi, kenapa Engkau kejam sekali, Tuhan! Kenapa?!" Aku menangis dan melempar apa yang ada di sekitarku, aku hancur berkeping-keping, putus asa dan hampa.Pukul tujuh malam.Suara deru mobil di halaman rumah membangunkan aku dari posisi tertidur di ruang shalat, mungkin karena begitu lelah, hingga diri ini jatuh dalam lelap."Ayo, masuk, jangan ragu."Suara Mas Akbar terdengar, namun siapa yang dia suruh masuk? Sesaat aku tercenung hingga aku menyadari sesuatu, jangan sampai ... apa yang kuduga terjadi."Aku cemas Mas," balas seorang wanita."Jangan takut, aku akan selalu membelamu, kini tempat ini adalah rumah kita. Rumah yang kubangun untuk istriku."Segera dengan langkah kaki secspat kilat aku menuju ruang tamu dan benar saja, Mas Akbar membawa pulang istrinya."Apa lagi ini?" tanyaku pelan. Kusapu pandangan pada suami dan wanita yang kini sudah berpenampilan rapi dengan rambut tergerai indah."Aku membawanya karena sudah terlanjur semua orang mengetahui statusku, jadi, kami harus bertanggung jawab.""Oh ya, begitu ya?" tanyaku sinis."Ya, aku harap pengertianmu," jawabannya lirih. Belum juga aku mengatakan apa apa, dia sudah menyu
Sampai pagi Pukul tujuh malam.Suara deru mobil di halaman rumah membangunkan aku dari posisi tertidur di ruang shalat, mungkin karena begitu lelah, hingga diri ini jatuh dalam lelap."Ayo, masuk, jangan ragu."Suara Mas Akbar terdengar, namun siapa yang dia suruh masuk? Sesaat aku tercenung hingga aku menyadari sesuatu, jangan sampai ... apa yang kuduga terjadi."Aku cemas Mas," balas seorang wanita."Jangan takut, aku akan selalu membelamu, kini tempat ini adalah rumah kita. Rumah yang kubangun untuk istriku."Segera dengan langkah kaki secepat kilat aku menuju ruang tamu dan benar saja, Mas Akbar membawa pulang istrinya."Apa lagi ini?" tanyaku pelan. Kusapu pandangan pada suami dan wanita yang kini sudah berpenampilan rapi dengan rambut tergerai indah."Aku membawanya karena sudah terlanjur semua orang mengetahui statusku, jadi, kami harus bertanggung jawab.""Oh ya, begitu ya?" tanyaku sinis."Ya, aku harap pengertianmu," jawabannya lirih. Belum juga aku mengatakan apa apa, dia
"Uangku ... Mana uangku ...."Aku seolah mendengar kembali suara sendiri, tapi lamat-lamat suara itu samar dan tenggelam.Kucoba membuka mata, meski masih berat, kulirik di sisi pembaringan, di mana aku terbaring lemah. Ada Mas Akbar terlihat menatapku dengan penuh cemas."Kamu udah baikan?"Aku tak menjawab, andai bisa aku tak mau berjumpa dengannya. Hanya kuhela napas pelan lalu membuang muka darinya."Dengar Sayang, aku akan mengembalikan uangmu, dalam waktu dekat," bisiknya pelan."Kapan, kau berbohong lagi, Mas," desisku."Secepatnya, Sayang.""Menjauhlah!" Aku menepis dia yang ingin menyentuhku, Sakit hatiku belum terobati terlebih ketika mengingat bagaimanakah caranya dia di tenda kemarin. Aku ingin kabur tapi aku malu pada kedua orang tuaku karena sudah mati matian mempertahankan dan meyakinkan mereka untuk merestui pernikahan kami."Ini tidak akan lama aku berjanji padamu akan membawa pergi Lisa dari rumah ini.""Lalu, apa yang kau tunggu, Mas?""Aku menunggu semua masalah
**Tanpa alas kaki, kunaiki taksi dan meluncur ke sebuah alamat. Sambil menahan tangis, dan debaran dada yang berlomba dengan ketegangan, aku terus berdoa agar musibah itu tidak terjadi.Seorang sahabatku menelpon dan memberi tahuku bahwa secepat mungkin aku harus mencegah petaka besar yang mungkin bisa mengubah jalan hidupku dan bayi ini.Ya, bayi yang baru kuketahui tumbuh di rahimku pagi tadi. Bayi yang kutunggu dari delapan tahun sejak akad nikah kami.❤️❤️Kubuka pintu taksi dan berlari ke sebuah tenda acara yang terlihat begitu mewah dengan desain rustic elegan. Selagi berlari menuju ke depan acara, aku terlambat. Kata sah sudah bergema, lututku lemas, dadaku sakit, begitu juga tenaga dan tulang-belulangku seolah dicabut paksa dari tubuh ini.Aku tersungkur tepat di depan saksi dan penghulu pernikahan suamiku."Apa ini Mas? Kamu nikah lagi .... ya Allah ....""Sofia ...." Mas Akbar langsung terkesiap melihat kedatanganku sementaraair mataku tumpah, tubuhku seketika kehilangan
❤️❤️Kehamilanku ternyata tak berguna lagi di hari pernikahanmu.**Sambil mengemas tangis dan meraup serpihan hati yang berserakan, kutinggalkan acara resepsi suamiku.Mirisnya, diriku yang sedih dan terluka sangat kontras dengan semua orang yang sedang berbahagia dengan perayaan cinta Mas Angga dan istri barunya.Di depan itu kulihat ada foto prewedding di pasang di kanvas berukuran besar, gaya mesra mereka yang saling menatap dan berpelukan menciptakan kobaran api di hatiku. Angin tiba tiba bertiup kencang menyibak rambutku dan menggoyangkan tumpukan bunga wisteria yang disulap bagai surga sehari untuk kedua mempelai.Aku makin gamang karena ratusan pasang mata masih menatap padaku.Air mataku meluncur, jatuh ke atas punggung kaki, lalu perlahan aku sadar, betapa konyolnya aku menangis begini.Seharusnya Mas Akbar, istri serta keluarganya memuliakanku karena posisiku lebih atas dari anak mereka. Seharusnya aku menjadi ratu bagi rumah tanggaku, bukan seperti gembel terbuang maca
"Uangku ... Mana uangku ...."Aku seolah mendengar kembali suara sendiri, tapi lamat-lamat suara itu samar dan tenggelam.Kucoba membuka mata, meski masih berat, kulirik di sisi pembaringan, di mana aku terbaring lemah. Ada Mas Akbar terlihat menatapku dengan penuh cemas."Kamu udah baikan?"Aku tak menjawab, andai bisa aku tak mau berjumpa dengannya. Hanya kuhela napas pelan lalu membuang muka darinya."Dengar Sayang, aku akan mengembalikan uangmu, dalam waktu dekat," bisiknya pelan."Kapan, kau berbohong lagi, Mas," desisku."Secepatnya, Sayang.""Menjauhlah!" Aku menepis dia yang ingin menyentuhku, Sakit hatiku belum terobati terlebih ketika mengingat bagaimanakah caranya dia di tenda kemarin. Aku ingin kabur tapi aku malu pada kedua orang tuaku karena sudah mati matian mempertahankan dan meyakinkan mereka untuk merestui pernikahan kami."Ini tidak akan lama aku berjanji padamu akan membawa pergi Lisa dari rumah ini.""Lalu, apa yang kau tunggu, Mas?""Aku menunggu semua masalah
Sampai pagi Pukul tujuh malam.Suara deru mobil di halaman rumah membangunkan aku dari posisi tertidur di ruang shalat, mungkin karena begitu lelah, hingga diri ini jatuh dalam lelap."Ayo, masuk, jangan ragu."Suara Mas Akbar terdengar, namun siapa yang dia suruh masuk? Sesaat aku tercenung hingga aku menyadari sesuatu, jangan sampai ... apa yang kuduga terjadi."Aku cemas Mas," balas seorang wanita."Jangan takut, aku akan selalu membelamu, kini tempat ini adalah rumah kita. Rumah yang kubangun untuk istriku."Segera dengan langkah kaki secepat kilat aku menuju ruang tamu dan benar saja, Mas Akbar membawa pulang istrinya."Apa lagi ini?" tanyaku pelan. Kusapu pandangan pada suami dan wanita yang kini sudah berpenampilan rapi dengan rambut tergerai indah."Aku membawanya karena sudah terlanjur semua orang mengetahui statusku, jadi, kami harus bertanggung jawab.""Oh ya, begitu ya?" tanyaku sinis."Ya, aku harap pengertianmu," jawabannya lirih. Belum juga aku mengatakan apa apa, dia
Pukul tujuh malam.Suara deru mobil di halaman rumah membangunkan aku dari posisi tertidur di ruang shalat, mungkin karena begitu lelah, hingga diri ini jatuh dalam lelap."Ayo, masuk, jangan ragu."Suara Mas Akbar terdengar, namun siapa yang dia suruh masuk? Sesaat aku tercenung hingga aku menyadari sesuatu, jangan sampai ... apa yang kuduga terjadi."Aku cemas Mas," balas seorang wanita."Jangan takut, aku akan selalu membelamu, kini tempat ini adalah rumah kita. Rumah yang kubangun untuk istriku."Segera dengan langkah kaki secspat kilat aku menuju ruang tamu dan benar saja, Mas Akbar membawa pulang istrinya."Apa lagi ini?" tanyaku pelan. Kusapu pandangan pada suami dan wanita yang kini sudah berpenampilan rapi dengan rambut tergerai indah."Aku membawanya karena sudah terlanjur semua orang mengetahui statusku, jadi, kami harus bertanggung jawab.""Oh ya, begitu ya?" tanyaku sinis."Ya, aku harap pengertianmu," jawabannya lirih. Belum juga aku mengatakan apa apa, dia sudah menyu
"Ayo pulang, Sofia, kamu udah puas bikin aku malu!" tiba tiba Mas Akbar menarik lenganku dan mengajakku bangun dari pelaminan yang bahkan belum diduduki pengantinnya. Ada raut murka sekaligus malu di wajah Mas Akbar, mendapatkan hari pernikahannya dihancurkan oleh wanita berdaster yang sedang hamil."Puas? puas apanya? aku belum puas Mas, selama belum bikin kamu menderita seperti ini," jawabku sambil mengusap air mata, pandangan kami sejajar agar dia memahami betapa marah dan kecewanya aku saat ini. Meski aku tertawa jahat, tapi hati ini hancur lebur, tak berbentuk lagi, bahkan aku tak bisa membedakan mana tangis dan mana senyum yang saat ini harus kutunjukkan di depan semua orang."Jangan pura-pura nangis, padahal kamu baru saja merusak momenku!" bentaknya sambil menyeretku.Alangkah hancur hati diperlakukan sekasar ini di hari aku mengetahui bahwa kini diriku membawa calon bayi, calon kehidupan baru untuk keluarga kami, bahkan untuk keluarga besarnya."Lepaskan, jangan menyeret
❤️❤️Kehamilanku ternyata tak berguna lagi di hari pernikahanmu.**Sambil mengemas tangis dan meraup serpihan hati yang berserakan, kutinggalkan acara resepsi suamiku.Mirisnya, diriku yang sedih dan terluka sangat kontras dengan semua orang yang sedang berbahagia dengan perayaan cinta Mas Angga dan istri barunya.Di depan itu kulihat ada foto prewedding di pasang di kanvas berukuran besar, gaya mesra mereka yang saling menatap dan berpelukan menciptakan kobaran api di hatiku. Angin tiba tiba bertiup kencang menyibak rambutku dan menggoyangkan tumpukan bunga wisteria yang disulap bagai surga sehari untuk kedua mempelai.Aku makin gamang karena ratusan pasang mata masih menatap padaku.Air mataku meluncur, jatuh ke atas punggung kaki, lalu perlahan aku sadar, betapa konyolnya aku menangis begini.Seharusnya Mas Akbar, istri serta keluarganya memuliakanku karena posisiku lebih atas dari anak mereka. Seharusnya aku menjadi ratu bagi rumah tanggaku, bukan seperti gembel terbuang maca
**Tanpa alas kaki, kunaiki taksi dan meluncur ke sebuah alamat. Sambil menahan tangis, dan debaran dada yang berlomba dengan ketegangan, aku terus berdoa agar musibah itu tidak terjadi.Seorang sahabatku menelpon dan memberi tahuku bahwa secepat mungkin aku harus mencegah petaka besar yang mungkin bisa mengubah jalan hidupku dan bayi ini.Ya, bayi yang baru kuketahui tumbuh di rahimku pagi tadi. Bayi yang kutunggu dari delapan tahun sejak akad nikah kami.❤️❤️Kubuka pintu taksi dan berlari ke sebuah tenda acara yang terlihat begitu mewah dengan desain rustic elegan. Selagi berlari menuju ke depan acara, aku terlambat. Kata sah sudah bergema, lututku lemas, dadaku sakit, begitu juga tenaga dan tulang-belulangku seolah dicabut paksa dari tubuh ini.Aku tersungkur tepat di depan saksi dan penghulu pernikahan suamiku."Apa ini Mas? Kamu nikah lagi .... ya Allah ....""Sofia ...." Mas Akbar langsung terkesiap melihat kedatanganku sementaraair mataku tumpah, tubuhku seketika kehilangan