"Bukan aku yang dalam incaran polisi, tapi dia, Doni. Jangan khawatir," ucapnya dengan seringaian iblis sambil menunjuk sebuah foto. "Iya, Tuan. Pikirkan kesehatan Anda, Tuan," sambung Doni yang dibalas anggukan kepala laki-laki berkacamata tersebut."Tolong atur kepulanganku ke New York, secepatnya. Sudah waktunya aku medical check-up. Aku akan lihat drama saling tusuk antara dua orang sahabat ini, dari sana. Sepertinya seru. Seperti pedang yang sama-sama tajam saling tusuk." Laki-laki itu berucap lirih namun sarat dendam. Tatapan matanya dingin, apalagi ditambah senyumnya yang sinis jika mengingat orang-orang yang begitu dia benci.Drrtt ... Drrrtt ... Handphone bergetar di atas meja.Laki-laki tampan itu tersenyum sambil mengangkat telepon yang masuk. "Hallo Bundaku, Sayang. Apa kabarnya, nih?" tanyanya dengan senyum mengembang.Terdengar nada kesal dari seberang sana. "Isco! Kamu, ya. Katanya mau datang ke Bogor, tapi mana? Hanya janji terus. Nggak kangen sama Bunda?" todong suar
"Maksudnya kamu apa, Nak?" Evan tertegun mendengar ucapan puterinya. "Bunga, Bu-nga tahu dari mana?" tanyanya lagi.Bunga terdiam, raut wajahnya terlihat sangat khawatir dan gelisah. Evan tidak mengerti apa yang dibicarakan gadis kecil dalam pangkuannya tersebut. Namun, tiba-tiba Evan teringat sesuatu. Dengan tangan bergetar, Evan mengambil handphone di dalam saku celana bahannya. "Bapak Evanio Endriardo," panggil seorang lelaki yang sudah berdiri di depan meja Evan sembari mengulurkan tangan.Evan mendongak dan segera bangkit untuk membalas jabat tangan laki-laki yang merupakan kliennya itu. Evan tersenyum kaku dengan pikiran kacau. Dia sangat mengkhawatirkan keselamatan Amelia dan Inno.Evan kembali menunduk, tetapi Bunga tidak ada lagi di sekitarnya. Laki-laki itu melirik ke kanan kiri. Bunga kembali menghilang entah ke mana. "Bunga, kamu ke mana lagi sih, Sayang? Ya Allah, apa yang terjadi?" gumamnya lirih.Ballroom hotel berbintang itu berisi ratusan orang-orang penting dari se
Amelia mendongak menatap ke depan sana. Lelaki tampan yang berdiri di samping Bunda Theodora itu, tersenyum pada tamu undangan."Bu, Ibu ingat sama Bapak. Bapak lebih ganteng lho, Bu dari laki-laki itu," bisik Erin menggoda. Amelia meliriknya sekilas dan menggeleng samar. "Rin, kamu sudah memuji suami orang di dekat istrinya, lho," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari laki-laki tersebut. Erin tertawa lirih. "Tenang Bu, Pak Inno aman sama saya. Eh, maksudnya dari saya," celetuk Erin lagi sambil cekikikan. Amelia yang gemas hanya mencibir. "Awas, jadi pelakor, Rin. Nggak jadi naik gaji kamu!" ancamnya."Perkenalkan, nama saya Isco Daniel Ferdinand. Terima kasih, atas kedatangan Anda semua di hari istimewa Bunda saya tercinta. Sebuah kehormatan yang besar bisa bertemu dengan Anda semua. Terima kasih atas kemurahan hati semua donatur sehingga kita tetap bisa berbuat sesuatu untuk saudara-saudara kita yang lain. Sekali lagi, terima kasih. Tuhan Memberkati." Laki-laki bernama Isco D
"Erin, Ela, ayo pulang!" Amelia menghampiri kedua gadis yang mulai menyantap makan siangnya. Keduanya mendongak menatap Amelia dengan bingung. Wajah istri bosnya itu terlihat panik dan gelisah. Erin dan Ela pun akhirnya mengangguk, lalu segera bangkit.Amelia merasa tak enak hati pada keduanya. "Kita makan siangnya di jalan saja, ya. Aku harus bertemu seseorang secepatnya, Rin. Maaf banget, ya. Ela, tolong telepon Pak Joko sekarang," ucapnya dengan suara bergetar.Erin dan Ela mengangguk mengerti. Mereka segera menuruti perintah istri bosnya. Kedua gadis itu pun merasa heran dengan sikap Amelia yang tiba-tiba gelisah dan aneh seperti sekarang ini. Mobil Camry hitam itu, akhirnya meninggalkan tempat parkir yayasan. Dengan diiringi senyuman penuh arti, dari sudut bibir laki-laki yang berada di dalam sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam.Erin dan Ela hanya bisa memperhatikan Amelia yang sibuk dengan handphone. Sesekali tatapan wanita cantik itu mengarah ke Pak Joko yang berada di bel
"Ada apa Dion? Jawab!" Perasaan Inno sangat kacau, ditambah melihat bangkai mobil yang ditumpangi sang istri. Inno memijit pelipisnya, dan berulang kali mengucapkan istighfar. Dion melirik sekilas sang bos, lalu berucap lirih, "Ela meninggal, Pak. Ibu sama Pak Joko masih di UGD.""Innalillahi wa innailaihi raji'uun, ya Allah. Tadi pagi, kami masih sempat bercanda. Ela yang biasanya diam itu, mendadak bercanda minta kenaikan gaji," Inno menjeda kalimatnya. Mata lelaki itu berembun ketika mengingat peristiwa sebelum mereka pergi ke Bogor. "Tadi pagi anak kami rewel banget. Biasanya nggak begitu, kalau mamanya mau pergi. Kenapa aku nggak peka dan mencegah mereka pergi, kenapa?" sesalnya dengan suara bergetar.Dion memahami kepedihan bosnya itu. "Sabar, Pak. Anda dan Ibu orang yang sangat baik. Makanya, Allah memberikan cobaan ini pada Anda. Saya yakin, Anda dan Ibu bisa melalui semua ini. Ibu akan segera sembuh begitu pun dengan Pak Joko," ucapnya lirih.Inno mengangguk lemah dan mengam
Bugh ... bugh ... bugh!Tiga buah pukulan mengenai rahang, sudut bibir, dan pelipis Isco yang membuatnya jatuh dari kursi kebesarannya.Dia terkejut dengan serangan yang tiba-tiba itu."Apa-apaan sih, kamu?" tanyanya sembari bangkit.Evan langsung mencengkeram kerah kemeja laki-laki tersebut. "Bangsat! Sudah aku bilang, sedikit saja kamu sentuh sahabat aku, maka kamu mati, bangsat!" teriaknya.Laki-laki tersebut mengusap sudut bibirnya yang berdarah, lalu tersenyum miring. Dia hendak memencet tombol intercom untuk memanggil security, namun dengan cepat Evan menyambar benda tersebut lantas membantingnya keras ke lantai."Hh, dasar pengecut. Bisanya hanya mengancam dan bersembunyi di balik bodyguard nggak gunamu itu. Banci. Sekarang berlakulah seperti laki-laki, serahkan dirimu pada polisi!" ucap Evan, lalu menghempaskan tubuh laki-laki tersebut.Sebelum beranjak, Evan menatap Isco dengan tajam sambil mengacungkan jari telunjuknya. Evan menghentikan langkah di ambang pintu dan menatap se
Isco tersedak-sedak. Tekanan kuat di leher membuatnya susah bernapas. Sekuat tenaga, lelaki itu mendorong tubuh wanita di depannya. Tetapi semakin dia mendorong maka cengkeraman Rianti semakin kuat. Isco lupa jika yang dia hadapi bukan lagi gadis yang dia cintai yang bergantung padanya seperti dulu. Tetapi Rianti dalam wujud jin yang penuh dendam padanya."Arrrghh, to-long, ja-ngan..." suara Isco terbata-bata. Kedua matanya memerah dan basah. Otot-otot dilehernya mengeras.Melihat penderitaan Isco berada di jurang kematian, wanita berdress merah itu menyeringai puas.Rianti tertawa mengejek. "Beginilah rasanya meregang nyawa, Isco! Aku pernah merasakan lebih sakit dari ini. Kamu biarkan aku sekarat begitu saja. Kamu hanya melihatku, ketika aku meminta tolong. Lalu, kamu benamkan tubuhku begitu saja seperti binatang. Setelah kamu mendapatkan kepuasan dari tubuhku. Rasanya sakit kan, Isco?" tanyanya dengan seringaian mengerikan."A-arrgh ... Ma-maaf, Ri--" "Tuan, Tuan! Anda tidak apa-a
"Kenapa kamu tega sama aku, Van. Inikah yang dikatakan sahabat? Supaya kamu bisa menusukku dengan mudah?" tanya Inno lagi dengan parau. "Kalau kamu mencintai istriku, kenapa kamu hendak membunuhnya? Apa kamu nggak lihat keadaan anakku? Tega kamu, Van!"Evan memejamkan mata lalu mengusap rahangnya yang perih. Inno menatap nanar pada sahabatnya yang justru telah menusukkan pisau ke punggungnya begitu dalam."Dengarkan aku dulu, Nok. Bisakah kamu beri aku waktu bicara?" Evan bertanya lirih.Inno tak menjawab. Dia memalingkan wajah dari Evan dan melepaskan cengkraman tangannya. Mata laki-laki itu basah dan setetes air jatuh ke pipi. Kenyataan ini teramat sangat menyakitkan. Sahabat baiknya adalah sosok yang diduga otak dalam kecelakaan maut tersebut. Juga orang yang mencintai istrinya. Tidak bisa tergambarkan, bagaimana perasaan Inno saat ini. Marah, sakit, dan kecewa berbaur menjadi satu meremukkan hatinya. Tatapan mata Inno tertuju ke arah sang istri yang masih tergolek tak sadarkan dir
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak