Heri mengernyitkan dahi, ada suara lain ikut bernyanyi di dalam mobil itu. Dia menarik napas lelah kemudian mematikan audio. Tidak ada suara apa-apa.Heri bersiul-siul. Dia tersenyum geli mengingat kejadian tadi. "Untungnya, nggak jadi nabrak orang. Bisa panjang urusan kalau dia sampai meninggal. Bisa-bisa dihajar massa dan jadi viral dengan judul, 'polisi nabrak orang sampai mati dan dihajar massa'. Astaga! Bisa jadi judul sinetron hidayah," gumamnya, kemudian tertawa dalam hati menyadari pikiran unfaedah itu. Mobil warna dark blue itu terus melaju pelan di komplek perumahan. Untuk mengusir sunyi, Heri kembali menyalakan audio mobilnya. Seperti tadi, dia kembali menirukan lagu yang diputar. Dan kembali pula, suara lirih itu mengikuti nyanyian tersebut. Suara itu berasal dari jok belakang. Heri melirik ke arah center mirror. Kosong, tidak ada penumpang lain di mobil itu. Dia kembali bersikap tak peduli. Heri mengusap tengkuknya yang terasa dingin seperti ada yang meniupnya."Terus m
Dia sangat geram. Lagi dan lagi, nama Marvinno yang masuk ke indera pendengarannya. Nama tersebut membuat darahnya seolah mendidih. "Marvinno..." desisnya dengan rahang mengeras.Dia kembali menatap ke luar kaca jendela mobil dan menghembuskan napas kasar. Laki-laki tersebut, sebenarnya sangat tampan walaupun bersikap dingin. Apalagi, dengan tattoo bergambar kalajengking menghias leher putihnya. Siapa pun yang melihat pasti akan berkata, dia type pria macho. Jambang tipis menghiasi rahangnya yang kokoh. Dan kaca mata minus itu, membingkai sepasang matanya yang setengah sipit."Maafkan aku, Sayang," ucapnya lirih sambil menatap foto seorang gadis cantik di wallpaper handphonenya. Dia tampak frustasi sambil menyugar rambut hitam pendeknya yang tertata rapi. Tak berapa lama, Mercy hitam itu pun, melaju pelan meninggalkan kawasan elite perkantoran dan hunian mewah para eksekutif muda.*Milan, ItalySelama lima hari, Evan dan anggota klub otomotif dari Indonesia menyelesaikan rangkaian
Amelia mencubit kuat perut sang suami sebagai tanda protes. Inno memang hanya membekap mulut Amelia dengan bibirnya, tidak melakukan aktivitas ciuman. Akan tetapi, Amelia merasa tidak enak hati dengan Evan.Amelia mendorong dada Inno. "Nggak tahu tempat. Mesum!" sentaknya sembari menatap jengkel pada sang suami.Inno hanya meliriknya tak peduli dan berkata tegas, "Kenapa kamu nggak peka jadi orang?" Laki-laki itu tak mau kalah. Laki-laki bertubuh jangkung itu segera melangkah di depan Evan dan Amelia, sembari sesekali mengarahkan kamera digitalnya ke suatu objek. Evan melirik ke arah Inno yang berjalan di depan mereka. Laki-laki itu mencondongkan badannya ke arah Amelia dengan ekor mata mengawasi gerak-gerik Inno. Evan yakin, ada sesuatu yang disembunyikan kedua temannya mengenai ramalan tersebut. "Mel, sebenarnya ada apa? Kenapa jawaban kalian nggak memuaskan?" tanyanya setengah berbisik. Amelia menatap ke arah sang suami. "Aku juga nggak terlalu ngerti, Mas. Mungkin memang benar,
"Aku memang nggak sengaja, Mas. Kalau sengaja tuh begini!" Amelia memegang tangan Inno dan melingkarkan kedua lengan sang suami di pinggangnya.Inno menarik napas kasar. Dia melirik istrinya dengan wajah tertutup mendung. Amelia semakin jahil, dia mengusap-usap dada bidang sang suami di balik t-shirt lengan pendek itu. Wajahnya mendongak menantang tatapan mata laki-laki berwajah rupawan itu.Sekuat tenaga Inno menahan dirinya. Istrinya memang sering bersikap jahil ketika dirinya tengah kesal. "Jangan menggodaku, ayo sarapan," ucap Inno sambil memutus pandangan terlebih dahulu.Amelia mengangguk dan meraih tengkuk suaminya, lalu mencium bibir merah lelaki itu. Tak ada pilihan bagi Inno, selain meruntuhkan gengsinya. Dia membalas ciuman sang istri kemudian membungkuk dan mencium perut besar wanita itu."Papa ganteng, Dik, kalau berhenti marah-marah," goda Amelia seolah berbicara pada bayi mereka."Absurd!" Sahut Inno. Amelia tertawa kecil sembari mengusap rambut coklat setengah basah su
Setelah dirasa istrinya aman di dalam mobil, Inno segera berlari ke arah Evan yang masih baku pukul dengan seorang pria bule penduduk setempat.Aksi perkelahian itu menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Evan dengan bahasanya, begitu juga dengan orang itu. Umpatan-umpatan berbahasa Italia yang tidak dimengerti oleh Evan keluar dari mulut pria tersebut."Evan, stop!" teriak Inno sembari menarik bahu sahabatnya. Evan menoleh sekilas dan menyentak lengan Inno dengan keras. "Dia hampir membuat istri dan anakmu celaka, Nok! Kamu biarkan begitu saja?" tanyanya. Inno menggeleng samar, tangannya terkepal kuat di sisi tubuh. Inno beralih menatap mencengkeram jersey yang dikenakan laki-laki tersebut. "Dannazione!" Umpatnya. Dove sono posizionati i tuoi occhi, hah?!" (Sialan! Mata kamu ditaruh di mana, hah) teriak Inno geram, lalu memukul wajah laki-laki yang tadi menabrak istrinya."Sialan, ada polisi, Nok," ucap Evan. Inno menoleh dan mengendurkan cengkeramannya.Laki-laki itu mengh
Malpensa, International AirportHampir dua minggu, Evan menghabiskan waktu liburan di Italia. Malam ini, Inno dan Amelia mengantar Evan ke Bandara Malpensa, Milan. Evan memeluk sahabatnya sebentar. "Aku tunggu kalian di Jakarta. Setelah baby Gabriele lahir, ajak pulang ke Indonesia," pintanya sembari menatap bergantian pada pasangan suami istri itu.Inno mengangguk dan menyunggingkan senyumnya. "InsyaAllah, kamu hati-hati. Ingat pesan aku semalam, hidup itu terus berjalan. Kamu berhenti, waktu nggak akan mau menunggumu. Kamu berhak bahagia. Setahun lagi, anakku sudah dua, Van," ucapnya tanpa beban.Evan mendelik mendengar kelakaran di ujung kalimat sahabatnya. Sedangkan Amelia langsung cemberut. "Sudah kumat nggak warasnya!" sindir Evan sembari menggeleng. Tak berapa lama, laki-laki itu pun segera menuju ke boarding gate.Inno menunduk, menatap sang istri dan merangkul bahu wanita cantik itu. "Kamu mau jalan-jalan ke mana setelah ini, Nyonya Marvinno?" tanyanya. "Atau check-in hotel d
Amelia menangis dalam pelukan sang suami. Dia tidak percaya jika mereka mengatakan, Rianti masih hidup dan berada di Singapore. Amelia sangat yakin jika gadis tersebut sudah meninggal dunia hampir lima tahun lalu."Aku harus pulang ke Indonesia. Aku nggak bisa berdiam terus. Aku harus mencari sendiri kalau mereka nggak mampu mencarinya!" Amelia histeris di dalam pelukan sang suami.Inno berusaha terus bersabar. Istrinya tengah hamil tua. Inno meyakini mood perempuan hamil itu mudah sekali berubah. "Tunggu sampai anak kita lahir, ya Sayang. Kita nggak bisa pulang sekarang." Inno berucap pelan sambil mengusap kepala istrinya dengan sayang.Amelia menggeleng dan mengendurkan pelukan sang suami. Dia mendongak menatap manik coklat hazel tersebut. "Sampai kapan aku harus tersiksa, Mas? Sampai kapan aku harus menerima teror mimpi ini dan bayangan -bayangan yang muncul tiba-tiba dalam kepalaku?" tanyanya parau.Inno tak bisa menjawab. Laki-laki itu dilema. Menempuh perjalanan udara sekitar 15
"Aku mohon bertahanlah, Sayang," ucap Inno lirih sembari meraih tangan Amelia dan menggenggamnya. Sementara tangan kirinya memegang setir.Laki-laki itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah sakit Santa Monica, Milan.Dokter Claudia Morelli langsung memeriksa keadaan Amelia. Wanita itu kini telah tersadar dan pertama kali yang dia lihat adalah wajah khawatir Inno. Amelia melirik telapak tangannya yang ada dalam genggaman tangan sang suami. Dia menariknya pelan yang membuat Inno menatapnya. Inno beralih mengusap pelan kepala Amelia. "Kamu pasti baik-baik saja, Sayang," ucapnya lirih.Amelia menyunggingkan senyum satu sudut. "Aku kira, aku sudah mati!" sahutnya ketus, lalu memalingkan wajah dari Inno."Jangan bicara seperti itu!"Mendengar ucapan sang suami, Amelia kembali tersenyum sinis. Lalu menatap tajam wajah Inno yang berada begitu dekat dengannya. "Kalau aku mati, Mas Inno nggak repot lagi, Mas Inno ngga--" Inno membungkam ucapan sang istri dengan bibirnya
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak