Amelia mengeryit. "Bunga? Bunga siapa? Maksudnya kamu apa?" tanyanya beruntun. Dia kembali dibuat bingung karena seperti pernah melihat gadis kecil dengan rambut ikal dan mata sipit ini.Bunga mendongak sambil memilin jemari lentik Amelia. "Tante Cantik yang bisa nemuin aku sama papa aku. Papa aku jahat Tante, dia bunuh mamaku dan bunuh aku," ucapnya parau.Amelia memejamkan matanya. Ucapan Bunga semakin membuat kepalanya sakit. "Aku nggak ngerti. Siapa nama papa kamu?" tanyanya lagi dengan bingung."Aku nggak tahu namanya, Tante. Papa Mengubur Mama. Mamaku kedinginan dan gelap. Mama nggak bisa bersama aku, Tante. Papa memisahkan kami, aku dibuang di rumput-rumput dekat pemakaman. Tubuhku dibiarkan begitu saja, kalau hujan basah, dan dingin. Kalau panas, kepanasan dan akhirnya dimakan semut, Tante." Bunga berkata lirih dengan kedua mata basah.Mereka berhenti dan saling pandang. Amelia berlutut dan mengusap air mata yang membasahi pipi bocah bergaun putih itu. Kemudian dia memeluk Bun
Amelia memalingkan wajahnya dari Inno. Melihat wajah tampan yang menunjukkan penyesalan mendalam itu, Amelia mengalami perang batin. Benarkah Inno benar-benar menyesal atau hanya ingin mencari simpati untuk mendapatkan kepercayaan dirinya lagi? Entahlah.Tiba-tiba air mata itu menyeruak menembus pertahanan egonya. Dia mengusap cepat air mata yang sudah meleleh di pipi putihnya.Inno meraih jemari tangan sang istri dan membawanya ke dada. "Apa kamu belum bisa memaafkan aku, Sayang? Aku tahu, apa yang aku lakukan memang keterlaluan. Tapi, demi Allah, Sayang, aku nggak sengaja," ucapnya lirih. Amelia tak menanggapi, apa yang terjadi tiga hari yang lalu, memang bukan murni kesalahan dari Inno. Tetapi jika keduanya bisa sama-sama menahan emosi maka tidak akan terjadi hal buruk yang akan membahayakan nyawa keduanya."Mana anakku, tolong bawa ke sini secepatnya. Apa dia baik-baik saja?" tanyanya dengan nada tak bersahabat.Amelia mengkhawatirkan kondisi sang bayi yang belum dilihatnya. Inno
"Aku rasa, Bunga sekarang ada di sekitar sini, Mas," ucap Amelia lagi.Inno semakin tidak mengerti. "Maksudnya kamu apa? Kamu bisa lihat dia?" tanyanya ingin tahu.Amelia menggeleng dan beranjak menuju ke dapur. Dia menyeduh dua gelas susu. "Nggak lihat, cuma merasakan saja. Perasaan aku, dia seneng bermain sama Gabriele," jawabnya santai sambil meletakkan dua buah gelas di atas meja."Kamu jangan ngaco lah, Sayang."Amelia menggeleng, dia menatap Gabriele yang menggerakkan bola mata coklatnya ke samping dan melepaskan empong dari bibir mungilnya. Amelia mengikuti arah pandangan Gabriele. Kemudian dia berbisik di telinga suaminya, "Sepertinya, Bunga ada di dekat kita, Mas." Amelia kemudian tersenyum penuh arti."Ngawur!" Sahut Inno sambil menjentikkan jarinya di kening sang istri. Amelia benar, Bunga memang berada di depan Inno. Gadis kecil itu tersenyum menatap Gabriele dan mengajak Gabriele bercanda. Tetapi, tidak dilihat oleh Inno, hanya bisa dirasakan kehadirannya oleh Amelia. Be
"Maksudnya kamu, kalau orang yang bertemu kamu di sini maka orang itu papamu, begitu?" tanya Evan sambil menatap dalam wajah Bunga.Bunga tidak langsung menjawab. Dia malah memandangi wajah Evan. Bunga mengangkat tangannya dan menyentuh pipi laki-laki tersebut. Evan memejamkan mata, membiarkan jemari lentik kecil itu menyapu wajahnya.Evan tersenyum ketika Bunga mencium pipinya. Laki-laki itu membuka matanya dan menatap wajah mungil Bunga yang tampak malu-malu."Cium lagi dong, Sayang," pinta Evan. Bunga menurut dan menciumi wajah Evan dengan sayang. Evan memeluk bocah dalam pangkuannya itu. Bunga tersenyum, ketika ratusan kupu-kupu itu terbang mendekat dan seolah kompak memberikan isyarat padanya untuk mengikuti. "Om, ayo kita ke sana!" serunya sambil melepaskan diri dari pelukan Evan. Evan mengangguk menurut.Evan terdiam ketika melihat ratusan kupu-kupu di sekeliling mereka. Kupu-kupu itu seolah mengajak Bunga bermain. Bunga tersenyum lebar dan berlari-lari kecil di padang rumput
"Kamu minta aku berlama-lama di dalam kamar mandi supaya kamu bisa ngobrol dengan Bunga, kan?" cecar Inno.Inno telah memergokinya. Tidak ada pilihan bagi Amelia selain mengangguk salah tingkah dan tersenyum. Dia beranjak menidurkan Gabriele ke boxnya. Wanita itu segera mengambil wudhu dan shalat Maghrib di belakang suaminya."I love you, Mas. Ganteng banget kalau pakai peci gini, kelihatan sholih. Nggak mesum lagi." Amelia berkata lirih setelah mencium tangan sang suami. Inno sama sekali tak tersanjung dengan pujian istrinya. Dia menatap datar wanita itu dengan alis terangkat sebelah. "Terima kasih, tapi kita tetap bicara mengenai Bunga!" ucapnya tegas.Amelia mengangguk kaku dan bergegas melipat sajadah mereka. "Tapi, Bunga bukan hantu biasa Mas. Dia baik. Buktinya nggak gangguin Gabriele," kata Amelia bersikeras. Mendengar ucapan istrinya, Inno menarik napas kasar. Dia memijit pelipisnya. Lalu, menggeleng samar menghadapi sikap keras kepala istrinya. "Aku bisa gila kalau begini.
Milan, Italy Amelia mengguncang pelan lengan kekar sang suami yang memeluk bantal. "Mas, bangun! Mandi, terus shalat tahajud dulu," ucapnya lalu mengusap rambut coklat tebal laki-laki itu.Inno hanya bergumam lirih tanpa membuka matanya yang masih terasa begitu berat. Mereka harus bergantian begadang menemani Gabriele. Belum lagi permainan panasnya bersama sang istri sebelum tidur membuat tenaga laki-laki itu terkuras. "Masss, ayo bangun." Kembali Amelia memanggil. Dia menunduk, mencium pelan pipi Inno. Inno refleks melingkarkan sebelah lengannya di bahu Amelia. "Mau lagi, hm?" godanya dengan suara serak sembari mengerjap pelan.Terdengar rengkekan Gabriele dari ranjang box-nya. Amelia melepaskan diri dari lingkaran tangan sang suami.Dia bergegas mendekati si kecil yang sepertinya kehausan. Inno segera bangkit dari rebahannya. Tanpa sadar, laki-laki itu belum memakai apa-apa.Amelia menggelengkan kepala melihat tingkah sang suami yang tak punya malu. "Mas, bisa nggak sih ke kamar m
Inno memperhatikan istrinya yang langsung salah tingkah. "Kenapa bisa begitu, gimana? Bukankah itu yang kamu inginkan? Kita pulang ke Indonesia dan bantu cari makamnya Bunga?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alis.Inno menyahut karena mengira istrinya itu berbicara padanya, padahal Amelia tengah menanggapi ucapan Bunga. Amelia terlihat salah tingkah sembari menggaruk kepalanya. Bunga mentertawakan sikap Amelia yang gugup. Gadis kecil itu itu mengusap-usap pipi chubby Gabriele dengan sayang. "Em, iya, kenapa Mas bisa begitu cepat berubah pikiran? Maksudnya aku begitu, Mas. Iya, begitu." Amelia menjawab dengan gugup.Inno menatap menyelidik. Lalu, dia mengikuti arah pandangan wanita itu. Ternyata, Amelia tengah mengamati Bunga. Hantu cilik itu menurutnya sangat cantik. Tidak menyeramkan seperti hantu-hantu dalam film horror. Mata Bunga sipit, memiliki tulang pipi ramping seperti Jelita, cucu Pak Rudi. Mereka seperti anak kembar. Bedanya, Bunga berambut ikal, sedangkan Jelita berambut
"Bunga!" ucap Evan tercekat. Bunga langsung mendongak. "Bunga nggak boleh bicara begitu, ya. Papanya Bunga sayang sama Bunga kok," lanjut Evan lirih.Bunga menggeleng kuat. "Nggak, Om. Dia jahat!" Bunga bersikeras. Evan mendesah pelan kemudian mengusap kepala bocah dalam pangkuannya. "Oh, ya, kamu ke mana saja? Lama nggak nemuin Om?" tanya laki-laki itu mengalihkan perhatian gadis kecilnya."Bunga nemenin Adik Kecil.""Oh, kamu senang bermain dengannya?" tanya Evan antusias.Bunga mengangguk-angguk dengan senyum terulas di bibir pucatnya. "Iya, Adik Kecil lucu. Tante Cantik dan Om Ganteng baik. Seperti Om Evan. Nggak seperti Papa, jahat banget!" Bunga kembali teringat akan papanya.Mendengar hal itu, Evan memejamkan mata. "Seandainya kamu tahu Bunga, aku adalah papamu, Nak," bisiknya dalam hati.Bunga langsung mendongak menatap Evan dengan tatapan tajam. "Kalau Om papanya Bunga, siapa yang membunuh Bunga dan mamaku, Om?" tanyanya menuntut penjelasan. Evan terkesiap kaget. "Bunga kamu
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak