Milan, Italy Amelia mengguncang pelan lengan kekar sang suami yang memeluk bantal. "Mas, bangun! Mandi, terus shalat tahajud dulu," ucapnya lalu mengusap rambut coklat tebal laki-laki itu.Inno hanya bergumam lirih tanpa membuka matanya yang masih terasa begitu berat. Mereka harus bergantian begadang menemani Gabriele. Belum lagi permainan panasnya bersama sang istri sebelum tidur membuat tenaga laki-laki itu terkuras. "Masss, ayo bangun." Kembali Amelia memanggil. Dia menunduk, mencium pelan pipi Inno. Inno refleks melingkarkan sebelah lengannya di bahu Amelia. "Mau lagi, hm?" godanya dengan suara serak sembari mengerjap pelan.Terdengar rengkekan Gabriele dari ranjang box-nya. Amelia melepaskan diri dari lingkaran tangan sang suami.Dia bergegas mendekati si kecil yang sepertinya kehausan. Inno segera bangkit dari rebahannya. Tanpa sadar, laki-laki itu belum memakai apa-apa.Amelia menggelengkan kepala melihat tingkah sang suami yang tak punya malu. "Mas, bisa nggak sih ke kamar m
Inno memperhatikan istrinya yang langsung salah tingkah. "Kenapa bisa begitu, gimana? Bukankah itu yang kamu inginkan? Kita pulang ke Indonesia dan bantu cari makamnya Bunga?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alis.Inno menyahut karena mengira istrinya itu berbicara padanya, padahal Amelia tengah menanggapi ucapan Bunga. Amelia terlihat salah tingkah sembari menggaruk kepalanya. Bunga mentertawakan sikap Amelia yang gugup. Gadis kecil itu itu mengusap-usap pipi chubby Gabriele dengan sayang. "Em, iya, kenapa Mas bisa begitu cepat berubah pikiran? Maksudnya aku begitu, Mas. Iya, begitu." Amelia menjawab dengan gugup.Inno menatap menyelidik. Lalu, dia mengikuti arah pandangan wanita itu. Ternyata, Amelia tengah mengamati Bunga. Hantu cilik itu menurutnya sangat cantik. Tidak menyeramkan seperti hantu-hantu dalam film horror. Mata Bunga sipit, memiliki tulang pipi ramping seperti Jelita, cucu Pak Rudi. Mereka seperti anak kembar. Bedanya, Bunga berambut ikal, sedangkan Jelita berambut
"Bunga!" ucap Evan tercekat. Bunga langsung mendongak. "Bunga nggak boleh bicara begitu, ya. Papanya Bunga sayang sama Bunga kok," lanjut Evan lirih.Bunga menggeleng kuat. "Nggak, Om. Dia jahat!" Bunga bersikeras. Evan mendesah pelan kemudian mengusap kepala bocah dalam pangkuannya. "Oh, ya, kamu ke mana saja? Lama nggak nemuin Om?" tanya laki-laki itu mengalihkan perhatian gadis kecilnya."Bunga nemenin Adik Kecil.""Oh, kamu senang bermain dengannya?" tanya Evan antusias.Bunga mengangguk-angguk dengan senyum terulas di bibir pucatnya. "Iya, Adik Kecil lucu. Tante Cantik dan Om Ganteng baik. Seperti Om Evan. Nggak seperti Papa, jahat banget!" Bunga kembali teringat akan papanya.Mendengar hal itu, Evan memejamkan mata. "Seandainya kamu tahu Bunga, aku adalah papamu, Nak," bisiknya dalam hati.Bunga langsung mendongak menatap Evan dengan tatapan tajam. "Kalau Om papanya Bunga, siapa yang membunuh Bunga dan mamaku, Om?" tanyanya menuntut penjelasan. Evan terkesiap kaget. "Bunga kamu
"Lalu kenapa kamu bisa di sini?" tanya Amelia mengalihkan perhatian Bunga yang tampak sedih.Bunga menunduk dan menceritakan apa yang dia alami ketika bertemu laki-laki di restaurant fast food. Berulang kali Bunga memanggil laki-laki itu, namun rupanya laki-laki tersebut tak meresponnya.Bunga duduk di depan laki-laki yang tengah menyantap makanannya. Bunga yang merasa lapar dan ingin makan hanya bisa memandangi dengan hati sedih."Ya sudah, kamu makan. Jangan sedih lagi." Amelia berucap pelan dengan tatapan miris. Dia melirik sekilas ke arah sang suami yang memperhatikannya.Inno menatap sang istri yang sedang berbicara sendiri dengan tangan menyangga dagunya. Laki-laki itu mengikuti arah pandangan Amelia. Makanan yang ada di piring kecil itu tidak berkurang sedikit pun."Setelah ini kamu mau ke mana, Bunga?" tanya Amelia lagi.Hantu cilik itu mendongak dan menatapnya. Tatapan mata kosong tanpa kehidupan itu menyayat hati Amelia.Bunga menoleh ke arah Inno yang menunduk, mengusap-usap
"Bangsat, sialan!" Umpatan Heri memancing Amelia dan Aisyah menoleh. Mereka mengikuti arah pandangan kedua laki-laki tersebut.Di bangku-bangku belakang mereka, semua penonton berwajah sama. Wajahnya datar dengan jenis kelamin perempuan semua. Rambutnya sama-sama digerai berantakan. Menyadari ada yang tidak beres, Heri dan Inno segera mengajak Amelia dan Aisyah untuk bangkit. Aisyah yang penakut memilih berjalan di depan Amelia sambil memegang erat tangan kakak iparnya. Keempat orang itu segera bergegas keluar dari dalam bioskop. Belum hilang rasa penasaran, begitu sampai di lorong, keempatnya lagi-lagi dibuat terkejut.Bukan lorong ke bioskop dengan karpet empuk yang mereka lewati, akan tetapi semak-semak di dalam bangunan tua yang terbengkalai. "Sialan, kenapa kita bisa kejebak ke dalam tempat seperti ini? Bukankah kita tadi masuk mall?" tanya Heri retoris sambil memindai sekeliling bangunan. "Nggak ada waktu berpikir, kita harus keluar dari sini!" jawab Inno sambil memegang erat
Heri menoleh dan langsung mendekati Inno disusul Amelia dan Aisyah. Kening mereka sama-sama berkerut ketika melihat kantong plastik dari toko keperluan anak cukup terkenal. Benda beserta isinya itu, sudah kotor bercampur debu juga lumpur. "Kok ada banyak barang anak di sini, mungkinkah ..," Inno menggantung kalimatnya dan kembali mengamati barang tersebut.Amelia ikut berjongkok di dekat suaminya. "Lha, ini kan baju sama bando yang dipakai Bunga? Mas, apa mungkin ini makam Bunga?" tanyanya sembari mendongak menatap Heri.Heri menggeleng tak mengerti. "Pusing kepalaku, Mel. Aneh banget ini," jawabnya sembari memijit pelipis.Rahasia apa lagi ini? Beberapa pakaian dan barang yang Amelia diketahui adalah milik Bunga. Tetapi hantu kecil itu selalu mencari keberadaan papanya dan dia berkata kedinginan juga kepanasan karena tidak memiliki rumah. "Aku juga bingung Mas, Bunga pernah cerita sewaktu aku koma. Dia bilang tubuhnya kepanasan dan kehujanan. Dibuang begitu saja lalu dimakan semut,
"The choice is yours!" ulangnya lagi.Evan memejamkan mata rapat.Laki-laki di depannya kembali tersenyum miring. Lalu, keduanya berpandangan, ada tatapan terluka, dendam juga tatapan penuh kemenangan di balik kaca mata minus itu."Beritahu kedua teman kamu itu supaya nggak macam-macam, atau mereka juga akan tahu betapa brengseknya aku, hm?" ucapnya dengan seringaian sinis.Evan mendorong keras tubuh lelaki itu sehingga bersandar di dinding. "Dengar Bangsat!" ucapnya sembari mengacungkan telunjuknya di depan hidung pria itu. "Sekali saja kamu menyentuh mereka, kupastikan kamu akan mati. Aku nggak peduli kalau harus masuk penjara. Kita akan membusuk bersama di penjara, sepertinya nggak terlalu buruk!" ancamnya dengan rahang mengeras.Setelah berkata begitu, Evan beranjak. Namun, baru selangkah kakinya terayun, ucapan lelaki berperawakan lebih tinggi darinya itu cukup membuat darahnya seolah membeku. Dengan seringaian penuh kemenangan dia berbisik di dekat telinga Evan.Evan mengepalkan
"Dengan cara Rianti merasuki ragaku seperti dulu. Kemungkinan Bu Salmah akan mengenaliku, Mas!" ucap wanita itu."Ide gila. Konyol kamu, Amelia!" sergah Inno tak terima. Dia tidak ingin jin itu kembali merasuki raga istrinya. Kenangan tentang istrinya yang bertindak di luar kendali membuat Inno tidak rela. Inno hendak kembali berucap, tetapi Paman Usman mengisyaratkan untuk memberi Amelia kesempatan berbicara. "Hanya dengan cara itu Mas, masalah ini cepat selesai." Amelia mengulangi kata-katanya. Inno menggeleng lemah. "Ya Allah," gumamnya sembari memijit pelipis.Apa yang dikatakan istrinya memang benar. Tetapi, haruskah dia merelakan Amelia kerasukan jin lagi? Inno menatap Paman Usman, Heri, dan Dimas bergantian. Berharap ada ide lain dari mereka. Laki-laki muda berkuncir asal itu menatapnya. "Mbak Amelia akan baik-baik saja, Mas. Kita ambil risiko supaya semua ini cepat selesai dan setelah itu kita hidup tenang, Mas." Dimas berkata pelan, yang disetujui oleh Amelia. Laki-laki it
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak