Amelia terdiam. Dia mengusap-usap matanya yang berembun. Di layar handphone, Inno menatapnya sembari menunggu jawaban."Kenapa nggak jawab, Amelia? Seandainya aku yang nggak subur, apa kamu nggak mau nerima itu? Apa tujuan pernikahan kita hanya karena ingin punya anak saja?" ulangnya.Amelia menggeleng tegas. Dia mengerucutkan bibirnya. Inno menarik napas pelan. Jujur, dia juga takut jika dirinya yang ditakdirkan mandul, lalu Amelia pergi darinya."Syukurlah. Jadi, nggak ada alasan untuk ngomongin hal ini. Kalau ada orang tanya sudah hamil belum? Tinggal jawab. Jangan sedih gini. Aneh malahan kalau aku di sini, terus kamu hamil.""Nauzubillah min dzalik! Memangnya, aku perempuan apa an? Enak saja!" sahut Amelia tidak terima.Inno terkekeh pelan. "Aku nggak nuduh juga nggak berharap. Eh, nanti kalau aku libur kamu minta dibelikan apa? Mau tas, sepatu, atau..." rayunya.Amelia menyahut cepat, "Nggak! Aku minta Mas cepat selesaikan kuliah biar kita nggak berpisah lagi." Dia menatap suamin
Indonesia. Nama yang sangat tidak asing bagi laki-laki muda tersebut. Ada kenangan perih tak tergambarkan jika mengingat nama negara tersebut. Kedua tangannya mencengkram erat setir mobil."Jadi, dia tinggal di Indonesia? Apa ini hanya kebetulan saja?" gumamnya lagi. Informasi biodata singkat tentang Inno sangat mengejutkan dirinya. Laki-laki itu mengira, Marcio Morelli hanya memiliki satu cucu laki-laki, yakni Matteo Morelli. Tidak disangka jika keberadaan Marvinno Morelli justru sangat vital berada di dalam keluarga kaya raya itu. Dia baru menyadari jika Marvinno adalah putera mahkota pemilik warisan kekayaan dari Agosto Morelli.Laki-laki muda dengan dandanan elegan itu kembali menyunggingkan senyum misterius. Indonesia. Sekali lagi, dia menggumamkan nama tersebut sembari menyusun rencana. *Kisah laki-laki ini sudah selesai di TEROR BUNGA TASBIH HITAM season 1, di sini cuma aku tulis sedikit saja. Yang mengikuti season 1 pasti tahu, dia siapa. Sedih dan kasihan pokoknya.*😕*Ven
"Mel, kamu ngapain?" tanya Umi ketika melihat sang anak celingukan di dapur.Amelia mengerutkan kening. Dia berbalik dan menatap Umi tak berkedip. Melihat tingkah aneh anaknya, Umi mengibaskan tangan di depan wajah Amelia."Eh. Lah, tadi Irfan bilang mau antar Umi. Memangnya dia ke mana?" tanya Amelia penasaran.Umi yang tidak tahu menahu, menggeleng pelan. Merasa dibohongi sang adik, Amelia mengerutkan bibirnya. Dia tak berhenti istighfar mengingat tingkah menyebalkan Irfan."Irfan tadi bawa mobilnya Mas Inno dan minta duit, Umi. Katanya, dia antar Umi. Jadi, ya, aku tambahin. Nggak tahunya dia bohong dan nggak tahu ke mana," jawabnya jengkel.Umi terkekeh. Dia bisa memaklumi kejengkelan Amelia karena ulah Irfan yang tidak berhenti membuat kakaknya itu kesal.Berulang kali, Irfan melirik handphone yang tidak berhenti berbunyi. Berulang kali pula, dia mematikan benda itu. Irfan memarkir mobil di tempat parkir bandara. Pemuda berwajah Timur Tengah itu melangkah cepat menuju ke pintu ke
Inno saling pandang dengan Irfan. Laki-laki itu ikut bangkit sambil membawa serta cangkirnya. Sebelum beranjak, Inno menepuk pelan bahu Irfan yang masih mematung. Wajah pemuda itu masih tertekuk dalam."Maafkan, Mbakmu, Fan. Biar aku bicara sama dia," ucapnya lirih. "Maaf ya," ulang Inno tidak enak hati.Irfan mengangguk kemudian bergegas menuju ke kamarnya sendiri. Inno merebahkan tubuh di samping Amelia yang tengah berbaring miring sambil memeluk rangkaian bunga mawar tadi.Menyadari kehadiran Inno, Amelia membalikkan badan menghadap suaminya. Dia menjulurkan tangan dan meletakkan bunga tersebut ke atas nakas.Inno menatap dalam istrinya yang masih cemberut. "Jangan begitu sama Irfan. Masa iya, uang tiga ratus ribu saja main hutang-hutangan?" Inno meraih tangan Amelia dan menggenggamnya. "Dan Mas percaya ucapannya?" tanya Amelia kesal.Inno menarik napas pelan, lalu menggeleng. "Aku percaya kalian hanya becanda, Amelia. Aku yang nyuruh dia jemput ke bandara. Aku juga nggak percaya
"Viana, pacarnya Inno, Mel." "Shit, mulutmu, Her!" sentak Inno kesal serta refleks menendang kaki sahabatnya itu.Heri langsung meringis dan menatap protes pada Inno. Selanjutnya, laki-laki berambut cepak itu menatap Amelia sambil mengacungkan kedua jari membentuk huruf V."Maksudnya aku mantan pacarnya Inno, Mel. Mantan dia kan banyak. Ajeng, Fatma, Viana, dan Daniela," lanjutnya jujur.Amelia bergantian menatap Inno dan Heri. Inno menunduk sembari memijit pelipisnya. Sedangkan Evan terkekeh pelan seolah mengejek. Inno melirik malas pada kedua sahabat yang sangat menyebalkan itu."Oh, begitu. Terus sekarang masih penasaran sama Viana, Mas?" tanya Amelia dengan tatapan tajam.Inno langsung mendongak. Laki-laki itu bangkit dan mendekati Amelia. Dia kembali melirik sinis ke arah Heri yang tidak bisa mengontrol ucapan."Van, kita keluar, yuk. Nggak enak, nih, jadinya.""Punya rasa nggak enak juga, Her," sindir Evan, tak urung ikut berdiri.Amelia melirik sekilas pada kedua sahabat Inno
"Menikahlah lagi, Mas. Aku ridho. Keluarga Morelli harus punya keturunan, Mas," ucap Amelia dengan air mata kembali jatuh.Inno menepis kasar tangan sang istri dan menatap tajam wanita itu. Amelia menunduk dalam sembari membekap wajahnya dengan telapak tangan."Omong kosong macam apa ini, Amelia!" sergah Inno. Laki-laki itu memegang dagu istrinya. "Lihat aku, Amelia," titahnya dengan nada melunak.Amelia masih menunduk tak berani membalas tatapan mata suaminya."Tatap aku, Amelia!" titah Inno lagi. "Apa kamu pikir ucapanmu itu lucu, hah?" tanyanya sinis.Amelia mendongak, lalu menggeleng pelan. Dia mengulurkan tangan, mengusap lengan sang suami. Lalu memegang jemari tangan Inno dan menempelkan di dadanya."Aku serius, Mas. Aku nggak akan meninggalkan Mas Inno. Mas silakan menikah lagi supaya memiliki anak dan anak itu kita rawat bersama. Bukankah Viana masih mengharapkan Mas?" ucapnya parau.Inno kembali tersenyum sinis. "Kamu pikir, aku akan mau menuruti ide konyolmu itu? Aku lebih b
"Nak, kamu kenapa? Amelia!" panggil Bu Rini khawatir.Amelia menggeleng pelan dan setengah berlari menuju ke mobil yang terparkir di halaman."Bu, saya disuruh Pak Inno antar ber--""Saya ikut ke kantor, Pak!" sahut Amelia cepat sembari membuka pintu belakang.Pak Dinan mengangguk pelan dan tanpa bertanya apa pun segera melajukan mobil menuju ke Il Giorno Office. Sesekali laki-laki paruh baya itu melirik spion tengah, menatap Amelia yang berulang kali pula menghapus air mata.Sampai di depan lobby, Amelia bergegas turun dan sedikit berlari menuju ke lift. Bahkan dia hanya mengangguk samar menjawab sapaan karyawan yang berpapasan dengannya.Inno yang kebetulan keluar dari ruangan tersenyum sembari mengulurkan tangan melihat kedatangan sang istri."Terima kasih, Sayang, kamu antar sendiri."Amelia menepis pelan tangan laki-laki itu. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia memasuki ruangan Inno dan menghempaskan tubuh di sofa. Dia menunduk dalam dengan bahu berguncang karena tangis."Hei, ka
"Kamu boleh bicara apa pun, Amelia. Setelah itu dengarkan penjelasan aku!"Amelia tersenyum satu sudut dan kembali mengusap pipinya yang basah. "Penjelasan apa, Mas? Penjelasan nggak ingin punya anak, hm? Ya, baiklah. Kita sepakat. Menikahlah dengan orang yang membuat Mas mau punya anak!" ucapnya sinis.Inno mengangkat telapak tangan dan mengepalkan dengan rahang mengeras. Dadanya naik turun menahan emosi. Perlahan laki-laki itu menurunkan tangannya. Inno menatap tajam pada sang istri yang masih terisak."Kenapa nggak jadi? Tampar dan pukul aku!" tantang Amelia.Inno menarik tubuh sang istri dan kembali memeluk erat wanita itu. "Hentikan bicaramu, Amelia. Kita cari tempat bicara, jangan di sini," ucapnya melunak."Apa salahku, Mas? Apa aku nggak pantas jadi anggota keluarga Morelli? Apa anak keturunanku haram bagi keluarga terpandang seperti kalian?" racau Amelia dengan napas tersengal. Mengingat kertas dari rumah sakit tadi, hatinya benar-benar remuk.Inno memegang wajah sang istri d
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak