"Kamu boleh bicara apa pun, Amelia. Setelah itu dengarkan penjelasan aku!"Amelia tersenyum satu sudut dan kembali mengusap pipinya yang basah. "Penjelasan apa, Mas? Penjelasan nggak ingin punya anak, hm? Ya, baiklah. Kita sepakat. Menikahlah dengan orang yang membuat Mas mau punya anak!" ucapnya sinis.Inno mengangkat telapak tangan dan mengepalkan dengan rahang mengeras. Dadanya naik turun menahan emosi. Perlahan laki-laki itu menurunkan tangannya. Inno menatap tajam pada sang istri yang masih terisak."Kenapa nggak jadi? Tampar dan pukul aku!" tantang Amelia.Inno menarik tubuh sang istri dan kembali memeluk erat wanita itu. "Hentikan bicaramu, Amelia. Kita cari tempat bicara, jangan di sini," ucapnya melunak."Apa salahku, Mas? Apa aku nggak pantas jadi anggota keluarga Morelli? Apa anak keturunanku haram bagi keluarga terpandang seperti kalian?" racau Amelia dengan napas tersengal. Mengingat kertas dari rumah sakit tadi, hatinya benar-benar remuk.Inno memegang wajah sang istri d
Inno kembali mendengus kasar. Tatapannya kini semakin menajam. Laki-laki itu merebut handphone istrinya dan meng-cancel pembelian tiket."Mas, apaan, sih?" cegah Amelia berusaha merebut handphonenya.Tidak hanya meng-cancel pembelian tiket, Inno juga mematikan handphone milik istrinya kemudian mengantonginya. "Mas Inno nggak bisa kayak gini. Jangan mau enaknya sendiri dong, Mas!" "Enaknya sendiri? Aku cuma ingin membicarakan masalah ini baik-baik dan menyelesaikannya dengan cara dewasa. Bukan main kabur dari rumah. Paham?" "Terserah!"Amelia bergegas bangkit. Wanita itu duduk di tepi tempat tidur dengan wajah menunduk dalam. Kedua tangannya membekap wajah dan kembali menangis di situ.Inno mendekat dan bersimpuh di karpet. Inno meraih tangan Amelia dan menggenggam jemari tangan wanita itu. Amelia menatapnya sekilas, selanjutnya membuang pandangan."Entah kenapa aku benci sama Mas Inno, sekarang. Aku kecewa banget. Hatiku terasa sakit. Aku nggak ada artinya sebagai seorang istri. Ma
"Kami juga sudah berusaha, Bu. Semoga saja mendapatkan kabar bagus dalam satu atau dua bulan lagi. Dan semoga saja anak kami nggak ngambekan seperti mamanya."Bu Rini langsung menepuk punggung anaknya dengan gemas. Dia tidak tahu dari mana Inno mewarisi sifat seenaknya sendiri seperti itu. "Suami nggak bersyukur. Seribu satu istri seperti Amelia itu. Kamu yang seharusnya banyak berbenah!" tegur wanita paruh baya itu gemas. "Sudah bawa jusnya ke atas!"Tatapan Inno tertuju pada plastik bening di tangannya. Laki-laki itu mengangguk kemudian bergegas menuju ke kamar. Di situ, Amelia meringkuk di tempat tidur sambil memeluk bantal.Dengan hati-hati, Inno mengambil alih bantal itu. Amelia membuka mata sebentar kemudian kembali menutupnya. Entah mengapa melihat wajah tidak bersalah sang suami, Amelia semakin sebal."Sayang, jusnya dapat nih!" ujar Inno sambil menempelkan gelas plastik itu ke lengan sang istri.Amelia berjingkat kaget. "Ish, apaan sih, Mas. Dingin tahu!" sungutnya kesal.La
"Sstt, Sayang, kamu ngomong apa?" tanya Inno lirih. Laki-laki itu melirik ke arah dokter yang berada tak jauh dari mereka. " Ya, sudah kita pulang, Sayang," ajak laki-laki itu sambil membantu sang istri bangkit.Sepanjang perjalanan pulang, keduanya saling diam. Amelia memilih memejamkan mata. Selain kepalanya pusing, dia sibuk berpikir. Benarkah dirinya hamil? Bukankah, waktu dua minggu yang lalu saat melakukan test di rumah negatif?"Alhamdulillah ya Allah," ucap Inno dalam hati. Dia meraih tangan sang istri dan menciumnya. Laki-laki itu tak berhenti berucap syukur.Sampai di rumah, mereka sudah ditunggu Bu Rini di ruang keluarga. Inno langsung memeluk ibunya dan mencium kedua belah pipi wanita itu.Laki-laki itu berbisik lirih sambil memberikan amplop hasil test kehamilan. "Inno tetapi janji, Bu. Alhamdulillah akhirnya, Amelia hamil. Aku pikir dia bersikap aneh karena ngerjain Inno saja." Laki-laki itu tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya."Alhamdulillah, ya Allah!" pekik Bu Rin
"V-vi, Vi ... Vi. Tolong lepaskan," ucap Inno sembari melepaskan tangan Viana di perutnya.Pelukan Viana terlepas. Gadis itu merubah posisi di depan Inno. Menatap mata Inno yang langsung memalingkan wajah. Inno mundur selangkah hendak berbalik, namun Viana menyambar lengannya.Inno melirik tangannya. "Tolong, lepaskan!" ucapnya tegas."Inno, kenapa kamu benar-benar berubah?" tanya gadis cantik itu.Inno menyunggingkan senyum sekilas. Laki-laki itu mengusap wajahnya kasar lalu memasukkan handphone ke saku celananya kembali."Maaf, memangnya apa yang kamu harapkan dari laki-laki beristri? Bukankah hubungan kita sudah selesai beberapa tahun lalu?" tanya laki-laki berambut coklat itu.Viana mengangguk pelan. "Ya, aku tahu. Aku hanya ingin kita tetap berteman, sama seperti kamu berteman dengan Ajeng," sahut Viana."Nggak jelas," gumam Inno lirih. "Sebenarnya apa tujuan kamu, Viana?" tanya Inno sinis.Laki-laki itu menyesalkan, keinginan menghibur istrinya justru membuatnya bertemu mantan k
Pintu lift berhenti di lantai 6. Mendengar langkah kaki mendekat, Lisa dan Viana kompak mendongak. Inno dengan pakaian semi formalnya tampak begitu tampan. Laki-laki itu menatap bergantian pada Lisa dan Viana yang tertegun. Gadis itu menatap tak berkedip mantan kekasihnya yang jauh lebih tampan dari beberapa tahun lalu."Viana, kamu di sini?" tanya suara baritone itu.Sontak Viana bangkit dan mendekati Inno. "Eh, i-iya. Maaf kalau nggak kasih tahu karena aku pikir aku sudah bilang sama kamu kemarin sore." Viana berkata sambil melirik ke arah Lisa.Inno mengangguk samar kemudian menatap Lisa lagi. "Baiklah. Lisa, bisa antar Bu Viana ke ruang meeting?" tanya laki-laki itu, kemudian bergegas menuju ke pintu ruang kerjanya."Tapi, Pak. Di ruang meeting ada Pak Lorenzo dan Pak Dery. Mereka sedang ada tamu," beritahu Lisa dengan ragu.Inno mengurangkan niatnya membuka pintu di depannya. Laki-laki itu tampak berpikir sejenak."Oh, gitu ya?""Aku sudah bertemu Om Dery dan Pak Lorenzo. Aku j
"Apa yang ada di otakmu, Inno?" teriak laki-laki paruh baya itu dengan tatapan layaknya seekor singa.Lalu, tatapan tajamnya beralih pada Viana yang berdiri kaku di samping Inno. Laki-laki itu bergerak mendekat dengan kedua telapak tangan berada di saku celananya."Nona Alviana Rebecca, silakan tinggalkan ruang kerja keponakan saya. Dan saya memutuskan tidak menerima kerjasama dengan Anda dalam bentuk apa pun. Silakan keluar!" Pak Dery berkata pelan namun tegas.Viana tak menyahut. Dia sempat melirik ke arah Inno. Laki-laki itu menatapnya sekilas."Maaf, Vi. Maafkan atas kejadian tadi," sesalnya.Pak Dery tersenyum sinis. Dia menatap Viana yang melangkah gontai keluar dari ruangan Inno. Wanita itu merutuk karena tidak bisa menahan diri. Seharusnya dia tidak melakukan hal itu di kantor. Jika dia berhasil mengajak Inno kerjasama, bukankah keduanya akan sering bertemu? Dan bukan tidak mungkin dia bisa merebut Inno dari Amelia secara perlahan. Namun, sekarang semua buyar dan musnah karena
"I love you, Sayang. I love so much. Kamu istri yang sempurna, Sayang. Nggak ada yang perlu dimaafkan. Kalau ada yang harus meminta maaf itu aku. Aku sudah sering membuatmu kecewa."Suara Inno bergetar. Rasanya ingin sekali dia memutar waktu supaya tidak terjebak dengan pesona sesaat yang diberikan oleh Viana. Hati Inno tersayat sakit. Penuh penyesalan. Tidak sepantasnya dia berciuman dengan wanita lain, bahkan menggerayangi tubuh wanita tersebut. Dirinya telah memiliki kekasih halal. Dirinya seorang suami yang setiap saat didoakan dengan tulus oleh istrinya. Diurus semua keperluannya."Sudah, ah. Ayo kita shalat Dhuhur dulu, Mas.""Iya, Sayang."Senyum Inno tersungging menatap wajah cantik dalam balutan mukena itu. Amelia menunduk dan mencium tangan suaminya takzim."Assalamualaikum anak Papa, Mama," Inno menunduk sembari mengusap perut istrinya. "Habis ini kamu mau ke mana, Sayang?""Aku ingin di sini saja sampai sore. Nungguin Mas kerja," jawab Amelia sembari merapikan sajadah.In
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak