"Amelia itu baik, ya, Ais? Pantesan Inno begitu cinta sama dia. Sudah berapa hari dia di Jogja?" pancing Brenda lirih.Aisyah mengangguk dan tersenyum sekilas. Gadis remaja itu masih fokus pelajaran Bahasa Korea. "Iya, Kak. Baik banget, malah. Padahal, aku pernah nyakitin dia, Kak," jawab Aisyah tanpa menghentikan coretan penanya.Brenda semakin ingin tahu. Dia memperhatikan Aisyah dan tulisan Aisyah bergantian. Semenjak Amelia pulang ke Yogyakarta, ini kali pertama Brenda datang ke rumah itu lagi. "Dulu Ais nggak suka sama Kak Amelia, Kak. Aku pikir yang Kak Inno nikahin itu teman aku, sepupunya Kak Amelia. Ternyata bukan. Tapi, Kak Amelia nggak marah begitu aku bilang jika suatu saat Kak Inno menikahi Haznia gimana, gitu. Buktinya, dia selalu baik sama Ais dan semua yang ada di rumah ini, Kak," ceritanya antusias.Brenda menaikkan sebelah alis. "Menikah lagi? Bukankah, mereka baru menikah itu pun siri?" tanyanya semakin penasaran.Aisyah berdehem lirih sambil mengangguk. Gadis itu
Brenda meringis menahan ngilu di kakinya. Gadis itu memegangi lengan Inno dengan erat. Inno menunduk mengamati kaki Brenda. Dari jarak yang begitu dekat, Brenda bisa mencium wangi maskulin dari tubuh laki-laki tampan itu.Sejenak, Brenda memejamkan mata. Hatinya berdetak lebih cepat, apalagi Inno juga memegang bahunya berusaha membantu Brenda berjalan."Ah, sakit banget."Inno langsung menghentikan langkah. Dia kembali menunduk menatap ke arah kaki Brenda yang memerah.Laki-laki itu menatap Brenda dengan ragu. "Kak, mobilnya di mana?" tanyanya sambil menoleh kanan kiri."Di depan, No. Nggak apa-apa, kalau kamu buru-buru. Aku bisa sendiri," jawab Brenda lirih. Inno tidak menanggapi. Hatinya dilema. Dia merasa bersalah pada Amelia yang baru beberapa menit yang lalu memperingatkannya untuk tidak berdekatan dengan Brenda. Namun, membiarkan Brenda jalan sendirian ke mobil, sama saja dirinya menjadi laki-laki pengecut. Jarak mobil Brenda lumayan jauh. "Kak, aku antar ke rumah sakit. Mobil
Irfan menyunggingkan senyum satu sudut. Pemuda tanggung itu memasukkan sebelah telapak tangan ke saku celana putih abu-abunya. sedangkan sebelahnya lagi memegang dahi kakaknya."Apaan, sih, nggak sopan!" sentak Amelia sambil menepis tangan sang adik."Yaelah, cuma ngecek doang, Mbak. Kirain panas dingin, ngebet ke Jakarta lagi," ejek Irfan tanpa beban.Amelia mencibir dan meninggalkan adiknya dengan hati dongkol. Irfan mensejajarkan diri di samping sang kakak. Dia memang punya kebiasaan jahil suka menggoda kakaknya itu."Kan, benar aku bilang juga apa. Jungkir balik beneran kan, jatuh cinta sama Mas Inno.""Hiiih, bisa diam, nggak!" Amelia kembali berkata ketus. Rasanya ingin sekali mengusap wajah cengengesan adiknya dengan bulu bambu. "Mau nggak antar aku ke bandara?" tanya Amelia lagi masih dengan nada ketus.Irfan mengangguk pelan. "Iya, mau, tapi nggak gratis, Mbak," ucapnya tanpa beban."Perhitungan banget sih, ke bandara doang. Mobil juga Abah yang beli bukan kamu.""He he he."
"Aisyah, ganggu saja, ada orang lagi enak-enak," ucap Inno sambil tertawa lirih. Amelia ikut tertawa, dia menatap sayu pada sang suami yang memperlakukannya dengan lembut dan hati-hati. Selanjutnya, hanya suara telivisi yang menyatu dengan desahan lirih mereka di kamar tersebut."Mas, aku belum makan, lapar," ucap Amelia manja sambil memeluk tubuh Inno yang berbaring di sampingnya.Inno mengusap dan merapikan rambut sang istri yang berantakan. Laki-laki itu menunduk, kemudian mencium bibir Amelia singkat."Ya, sudah, ayo makan.""Nggak mandi dulu?" tanya Amelia sembari bangkit dan menyambar handuk untuk membalut tubuh polosnya."Mandi dulu kalau di dalam ada ulangan gimana?" goda Inno.Amelia mencibir. Dia tidak ingin menanggapi ucapan sang suami yang seperti tengah mengejar target. Inno tertawa kecil melihat wajah cemberut menggemaskan istrinya. "Besok kamu temani aku kondangan," ucap Inno sambil mengulurkan sendok ke bibir istrinya. Amelia mengangguk. "Nanti sebelum pulang, kita k
"Ini Kak, ikat rambutnya," ucap Amelia sambil memberikan benda tersebut. Dengan gerakan kaku, Brenda mengambilnya."Maaf, ya, Mbak. Aku nggak tahu kalau jatuh, habisnya ngerasain kaki sakit banget," terangnya.Amelia mengangguk samar. "Nggak apa-apa, Mas Inno sudah jelasin, kok," jawabnya.Tak ingin berlama-lama berinteraksi dengan wanita itu, Amelia bergegas menuju car port. Brenda meremas tali rambut dalam genggamannya. Dalam hati dia mengumpat berkali-kali. Dia tidak menyangka jika Amelia kembali lagi secepat ini."Kalau masih belum sehat benar, ya nggak usah maksain ngajar, Nak," ucap Bu Rini.Bu Rini bisa merasakan jika Brenda nyaman berada di rumah ini, apalagi jika ada Inno. Wanita paruh baya itu menarik napas pelan. Dia juga tidak ingin anak dan menantunya itu ada percekcokan. "Sudah baikan kok, Tante. Hanya terkilir," jawab Brenda sambil nyengir.Selama dua jam mengajar Aisyah, pikiran Brenda kembali melayang ke arah Inno. Entah mengapa, gadis itu begitu terobsesi pada Inno,
"Hei, what happened?" tanya Matteo sembari menatap intens pada Amelia.Amelia menggeleng pelan, kemudian mengusap pipinya cepat. Dia menunduk sambil menggenggam kuat handphonenya. Matteo mengikuti pergerakan tangan wanita itu dan mengambil pelan benda tersebut."Kakek tidak pernah menyarankan kamu menikah secepat ini, Inno. Jadi, terima konsekuensinya! Kami sudah mengingatkan berkali-kali, selesaikan dulu studi dan pekerjaanmu. Kamu keras kepala!"Matteo menatap Amelia dengan tatapan penuh arti kemudian tersenyum. "You misunderstand. Actually that's not how it happened. We received you with open arms, but there was indeed an agreement between Inno and Grandpa not to take you to Italy at this time. You'll find out later, Amelia," ucap lelaki itu pelan.Amelia mengangguk dan menangkupkan telapak tangan di depan dadanya. "Ya, i know," jawabnya singkat, kemudian meninggalkan depan kamar tempat Kakek Inno menginap.Pemandangan laut pantai selatan memang begitu memukau dengan ombaknya yang
"Amelia, Amelia! Kamu kenapa?" Amelia tak menjawab. Dia malah meninggalkan Inno keluar kamar. Inno mengekor dan sampailah di taman samping rumah. Inno mengambil tempat duduk di samping Amelia.Amelia melirik kesal pada Inno sembari menarik napas kasar. "Ngapain ikut? Memang booking perempuan gitu nggak bayar, ya?" tanyanya ketus.Inno menggaruk pelipis dengan alis naik sebelah. "Namanya booking ya, bayar lah. Yang nggak bayar itu kalau sama pacar, gratis. Sama istri juga gratis tapi enaknya dobel-dobel." Inno menjawab jujur walaupun dia tidak pernah merasakan berhubungan dengan selain istrinya.Laki-laki itu ingin terlihat mengerti di hadapan sang istri, tanpa disadari bahwa itu blunder baginya. Mendengar jawaban Inno, Amelia semakin jengkel. Dia memukul lengan atas Inno berkali-kali."Lha, lha, aku kan jawab jujur, kenapa ngamuk?" Inno memegang lengan Amelia sambil tertawa. Amelia menatap ke arahnya dengan tatapan tajam kemudian kedua matanya terpejam. Sedetik kemudian, setetes air
"Bernardo, bukankah dia polisi yang pernah menangani kasus penyelundupan kokain itu? Lalu, apa motifnya dia diduga terlibat kecelakaan tersebut?" Inno meremas kertas tersebut menjadi tak berbentuk. Kedua tangannya terkepal kuat. Rahangnya mengeras, mengingat peristiwa sekitar 11 tahun yang lalu."Madre, kenapa Papa tidur terus di dalam situ? Aku ingin lihat Papa! Aku ingin mengajak Papa bermain pesawat. Kenapa Papa bohongi Inno?" teriak Inno kecil. Tangan mungilnya bergerak-gerak berusaha membuka peti mati yang tertutup rapat. Inno hanya bisa menangis histeris ketika peti mati itu diturunkan ke liang lahat. Tubuh kecilnya terus meronta dalam gendongan Zamal Abdel, suami Claudio Morelli. Bu Rini mematung tak menghiraukan tangisan Inno kecil karena dia sendiri masih syok. Bahkan, wanita itu sempat pingsan ketika peti mati suaminya ditimbun tanah.Kalau boleh jujur, setiap mengingat peristiwa itu, Inno belum bisa merelakan kepergian papanya. Semakin dirinya tumbuh dewasa, rasa kehilang
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak