"Mell! Mellani! Bangun sayang, di bawah ada polisi nyariin kamu!" Terlihat seorang perempuan dengan tergesa membangunkan Mellani yang sedang terpejam di kamarnya.
"Polisi?!" Mellani yang mendengar kata polisi langsung membuka paksa matanya yang terpejam yang akhirnya menimbulkan rasa perih dan pusing di kepala. Akan tetapi, gadis itu tidak peduli dengan apa yang dirinya rasakan karena kata ‘polisi’ telah terlebih dahulu membuatnya panik.
"Iya sayang, ada polisi nyariin kamu, Mamah bingung kamu bikin ulah apa lagi sekarang? Semalam kamu party lagi? Mabuk? Duh, anak Mamah yang satu ini!"
"Ssst, diam, Mah! Sebentar, Mella pusing!" Mellani yang meihat sang ibu panik jadi semakin panik.
Mellani membuka paksa matanya, Kepalanya terasa berat, sementara ibunya sibuk mengambil handuk dan baju untuk anak gadisnya yang masih tergeletak di atas ranjang.
"Oh God, pusing banget kepala gue!" Mellani memukul pelan kepalanya dengan genggaman tangannya.
"Sudah, cepet cuci muka terus ganti baju yang rapi,kamu itu!" Ibu Mellani membantu anaknya untuk bangun sambil memijit pelipisnya pelan.
Setelah dirasa sudah membaik, Mellani bergegas menuruti perkataan ibunya. Tubuhnya berjalan gontai menuju kamar mandi, kesadarannya belum sepenuhnya pulih.
"Polisi? Apaan lagi sekarang?" Mellani mencuci wajah sambil menggerutu.
Suara pintu digedor terdengar saat wajah Mellani masih dipenuhi busa.
"Mell, ayo cepat sedikit, anak Mamah lama sekali cuci mukanya." Terlihat sekali jika ibu Mellani tidak sabar menunggu anak gadisnya menyelesaikan semuanya.
"Iya, Mah! Sebentar! Sepuluh menit, nggak perlu gedor-gedor pintu segala!" Mella berteriak.
Akan tetapi, tiba-tiba di telinga gadis itu mendengar suara asing yang terus memanggil namanya. Suara asing yang benar-benar membuat gadis itu tidak nyaman dan cenderung menimbulkan rasa takut di dalam hati gadis tersebut.
"Mellaaa!"
"Mellaaa-nii!""Me-llaaa-ni!""Sialan ...!" Mellani mengumpat.
Entah kenapa suara itu kini menggema di gendang telinganya, itu jelas bukan suara ibunya.Itu suara...."Aaa! Sial! Sial!"
Mellani bergegas membereskan dirinya, secepatnya dia ingin keluar dari kamar mandi. Entah kenapa tiba-tiba suasana menjadi dingin, bulu kuduknya berdiri.
Mellani membersihkan diri dengan tergesa. Setelah selesai dia pun segera keluar dari kamarnya dan turun ke lantai satu rumahnya.
Disana ayah, ibu, dan dua orang dengan seragam polisinya terlihat duduk, mereka tengah membicarakan sesuatu yang serius."Mellani sayang, sini duduk."
Ibunya menepuk sofa pertanda agar dia segera duduk di sampingnya.
Suasana tampak tegang.Mellani menampakkan senyum dengan terpaksa."Ini Mellani anak saya, Pak Polisi. Semalam dia memang pergi dengan temannya, tapi dia tidak pergi dengan pacarnya si Bagas. Benarkan Mell, kamu tidak pergi sama Bagas?" Ayah Mellani mulai berbincang kembali dengan para petugas kepolisian.
Mellani hanya mengangguk. Entah kenapa tenggorokannya terasa sangat kering dan susah untuk berkata-kata.
"Begini, Pak. Di dalam ponsel korban, kami menemukan percakapan terakhir antara korban dengan saudari Mellani via WA, Pak. Kami hanya menjalankan tugas untuk menjemput saudari Mellani untuk ditindak lanjuti sebagai saksi. Karena tanggal percakapan itu empat hari yang lalu. Jadi bapak tidak perlu khawatir, kami hanya ingin meminta keterangan dari saudari Mellani. Jadi mohon kerjasamanya, dan ini surat pemanggilan resmi dari kantor polisi pak." Pak polisi menyerahkan sebuah kertas ke ayah Mellani.
"Apa kami boleh mendampingi anak kami, Pak Polisi?" Ibu Mellani menerima surat yang disodorkan oleh polisi dengan tangan gemetar.
"Boleh, Bu. Silahkan jika ingin mendampingi saudari Mellani, tapi kami mohon kerja samanya agar pekerjaan kami lebih mudah dan cepat selesai."
"Sebenarnya ada apa, Pak Polisi? Siapa korban yang Bapak sebut? Lalu, kenapa saya dipanggil sebagai saksi?" Mellani akhirnya tak tahan untuk tidak bertanya.
"Begini kronologinya kenapa saudari Mellani kami panggil. Kami mendapat laporan ditemukan seorang pria di sebuah rumah kosong. Lebih tepatnya di sebuah villa di Bogor. Keadaannya sangat tragis, tapi nyawanya masih dapat diselamatkan. Keluarganya meminta untuk memproses kasus ini, dan kebetulan seperti yang saya sebutkan di awal, dalam ponsel korban terdapat percakapan terakhir dengan anda. Jadi kami mohon kerjasamanya." Pak Polisi menjelaskan dengan singkat.
Tubuh Mellani bergetar hebat, dia tidak menyangka keadaan kekasihnya sungguh tragis, entah harus sedih atau marah. Kini banyak pertanyaan di pikirannya. Empat hari menghilang, ternyata dia di Bogor, dan ditemukan dalam keadaan sekarat.
"Baik, Pak. Saya akan mematuhi semua prosedur pemeriksaan, Pak." Mellani pun akhirnya menurut dan tak menimbulkan gaduh.
"Mamah sama papah ikut kamu Mell, kamu jangan khawatir, Sayang!" Ibu Mellani memeluk anaknya erat, mencoba memberikan semangat kepada anak semata wayangnya.
Mellani tersenyum, setidaknya keluarganya tidak menghilang saat mereka butuhkan.
Selesai pemeriksaan Mellani beserta kedua orang tuanya pergi ke Rumah Sakit Mahardika tempat di mana Bagas dirawat.
Nampak ibunya Bagas menangis pilu, kakak kandung Bagas juga ada di sana.
Tiba-tiba ibunya Bagas menampar pipi mulus Mellani dan berteriak histeris. Anak lelakinya sibuk memegangi tangan sang ibu, mencoba menenangkannya agar tak lagi melukai Mellani.
"Apa yang kamu lakukan sama anak saya! Sekarang dia cacat seumur hidup! Bagas anak saya tidak bisa menjalani kehidupannya sebagai lelaki normal. Kamu puas sekarang!" Ibu Bagas meraung-raung.
"Bu, sudah. Tenang, Bu! Istighfar, Bu! malu diliatin banyak orang, Bu." Anak lelaki yang memegangi ibunya bagas berusaha keras agar ibunya itu menjadi tenang dan tidak menimbulkan masalah di rumah sakit.
Mellani sendiri hanya mampu menangis sambil memegangi pipinya yang terasa panas dan merah.
"Apa-apaan kamu, Jeng Rina! Kenapa kamu tampar anak saya, kamu akan saya laporkan ke polisi atas tuduhan tindak kekerasan!" Tentu saja ibu Mellani tidak terima anak gadis kesayangannya itu di tampar.
"Sudah, Mah. Tenang, Mella tidak apa-apa." Mella memegang tangan sang ibu.
Nafas Bu Rosa terengah-engah, dia tidak menyangka calon besannya menampar anak gadisnya, sebenarnya salah Mellani apa hingga jeng Rina begitu murka.
"Bu, bisa tolong dibicarakan secara baik-baik? Maafkan ibu saya, saya memohon kerendahan hati agar tidak mempermasalahkan hal ini ke polisi, kasihan Bagas adik kami. Ibu saya sangat syok melihat keadaannya." Kakak Bagas menunjukkan wajah penuh permohonan.
"Tapi bukan berarti Jeng Rina bisa...." Ibu Mellani masih belum bisa menerima calon besannya itu bertindak semaunya. Namun, lai-lagi Mellani mencegah ibunya yang sedang marah itu.
"Sudahlah, Mah! Tenanglah. Kita dengarkan dulu penjelasan dari keluarga Bagas. Ada apa sebenarnya yang telah terjadi. Kenapa Bagas bisa seperti ini.” Akhirnya Pak Rudi-ayah Mellani angkat suara, dia paham betul kalau istrinya sudah bicara, tidak mau kalah dan tidak akan ada titik penyelesaiannya.
"Sudah sekarang jelaskan! Mau ngomong apa kamu!"
Akhirnya bu Rosa sedikit melunak. Dia melirik lalu mengusap pundak Mellani yang nampak kesakitan memegangi wajahnya, seumur-umur dia tidak pernah memukul anaknya, apalagi wajahnya. Pantang baginya melukai anak perempuan di bagian wajahnya.
Mas Agung-kakak tertua di keluarga Bagas akhirnya berbicara. Mas Agung adalah pengganti kepala keluarga Bagas, sang ayah telah lama meninggal. Ibunya telah pergi ke kamar Bagas untuk menenangkan diri.
"Maaf, Pak, Bu. Bagas adik saya kini keadaannya sangat menyedihkan. Memang nyawanya tertolong. Dia berhasil melewati masa kritis dan sudah sadar. Tapi kini jiwanya sebagai lelaki telah menghilang, dia kehilangan bagian kejantanannya. Saat ditemukan keadaannya remuk dan tak tak mungkin untuk kembali menjadi normal. Ibaratkan kaki ia telah lumpuh dan tak mampu lagi berjalan seumur hidupnya. Kini adik saya hanya melamun, tak mau makan dan tak mau berbicara. Menangis pun tidak. Dia hanya termenung, seakan kini raganya kosong dan hidup tanpa jiwa. Jadi mohon maafkan sikap ibu kami tadi, dia sangat terpukul." Dari setiap kata yang terucap jelas sekali jika lelaki yang bernama Agung itu begitu sedih dan terpukul dengan apa yang menimpa adiknya itu.
"Kenapa yang disalahkan anak saya? Mellani tidak tahu apa-apa?" Ibu Rosa tetap meminta penjelasan, kenapa Mellani, anak gadisnya yang dituduh.
"Sebenarnya, Bu ...."
Mas Agung nampak ragu ketika hendak melanjutkan perkataannya.
"Sudah, lanjutkan, Nak! Kami harus benar-benar paham kondisi saat ini, karena hal ini menyangkut anak kami, Mellani." Pak Rudi berbicara pelan tapi tegas.
"Sebenarnya sebelum menghilang, Bagas berpamitan ingin pergi ke Bogor dengan Mellani, Pak."
"Sebenarnya sebelum menghilang Bagas pamit ingin pergi ke Bogor dengan Mellani, Pak. Itu sebabnya ibu saya marah dan menuduh Mellani yang mencelakai Bagas. Ibu saya marah bukan tanpa sebab." Mas Agung berusaha menjelaskan dengan tenang.Mellani begitu kaget, bagai disambar petir di siang bolong. Mellani tak menyangka Bagas menggunakan namanya sebagai alasan untuk bisa pergi ke Bogor. Padahal dirinya sama sekali tidak tahu menahu soal Bogor, apalagi sampai acara menginap di villa. Yang ada Mellani sendiri juga sibuk mencari keberadaan kekasihnya yang seolah hilang di telan Bumi.Empat hari yang lalu tiba-tiba Bagas menghilang. Ponsel tidak aktif, Facebook, IG dan segala sosmednya juga tidak aktif. Dirinya sudah berusaha mencari keberadaannya tapi hasilnya zonk. Teman Bagas sama sekali tidak ada yang tahu. Tapi ternyata dirinya melupakan hal yang sangat penting, dia lupa menanyakan keberadaannya kepada keluarganya.Bukan tanpa alasan kenapa Mellani lupa, lebih tepatnya malas untuk berku
"Aaa!" Mellani berteriak sangat kencang, sampai terdengar ke telinga orang tuanya yang berada di lantai bawah rumah mereka.Bu Rosa berlari tergopoh-gopoh menuju kamar anak gadis mereka."Kenapa, Mell? Kamu kenapa, Sayang?" Bu Rosa langsung memeluk erat tubuh anaknya yang terduduk sambil menunjuk-nunjuk sesuatu, tubuh Mellani bergetar hebat."Ya Tuhan, apa itu! Pa! Papa! Pa!" Bu Rosa berteriak keras memanggil suaminya.Tak lama terdengar suara langkah kaki menaiki anak tangga dengan tergesa. Pak Rudi datang terburu-buru. Begitu masuk ke kamar anak gadisnya, matanya sibuk memindai ke seluruh sudut kamar tersebut. Tak lama beliau mengambil secarik kertas yang ditunjuk oleh tangan anaknya dan mencium aromanya."Darah?"Pak Rudi kemudian menatap istrinya, sang istri hanya mengedikkan bahu pertanda jika dirinya tidak tahu apa-apa.Pak Rudi terlihat keluar dari kamar sambil berkacak pinggang, sementara tangan kanannya memegang ponsel yang dia tempelkan di telinganya. Dari suaranya terdengar
"Di—a Ayu, Mah. Ayu yang membunuh Bagas dan meneror Mella." Mellani berkata pelan dan terbata-bata, suaranya terdengar bergetar menahan takut."Ayu? Ayu temanmu SMA? yang meninggal waktu hiking dulu?" Bu Rosa berusaha memperjelas apa yang dimaksud oleh Mellani.Mellani mengangguk mengiyakan perkataan ibunya, dia tak menyangka kalau ibunya masih ingat dengan Ayu sahabatnya, lebih tepatnya sahabat yang dia khianati."Jangan mengada-ada kamu, Mell! Ayu temanmu itu sudah lama meninggal, jangan bercanda kamu, Mamah tidak suka!" Bu Rosa melotot sambil meninggikan nada suaranya. Sebab, menurutnya pengakuan anak gadisnya itu benar-benar tidak masuk akal. Mana mungkin orang sudah meninggal bisa meneror orang lain, bahkan menulis pesan ancaman segala."Mella nggak bercanda, Mah! Suara yang Mella dengar memang Ayu, dia ngajak Mella ke neraka. Hanya saja entah mengapa riwayat panggilan di ponsel Mella hilang semua. Tapi Mella yakin kalau itu Ayu, Mah!" Mellani masih terus bersikukuh dengan pendap
"Rokok?" Sasha menyodorkan sebungkus rokok kepada Mellani yang terlihat melamun."Sorry, gue udah berhenti ngerokok, Sha!" Mellani melambaikan tangannya sebagai bentuk penolakan."Okay. Tapi jangan terlalu dipikirin begitu, Mell. nanti gampang miskin kita." sasha dengan santainya menghembuskan asap rokok yang dirinya hirup itu ke udara.Di sini, Mellani dan Sasha sedang berada di sebuah cafe, setelah sebelumnya mereka pergi ke rumah duka untuk mengucapkan salam perpisahan kepada Jonathan untuk yang terakhir kalinya."Gue pikir lo benci sama Jo, Mell? Sekarang lo malah ngajak gue buat melayat ke rumahnya. Nggak habis pikir gue sama jalan pikiran lo, Mell." Sasha berucap sambil membakar ujung rokok di bibir seksi miliknya karena rokoknya mati.
"Mellani kenapa, Mah?" Mellani yang telah sadar memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri, sakit sekali. Untuk bersandar di ranjangnya saja dia tak mampu."Jangan bangun dulu, Sayang. Kata dokter Anwar kamu anemia, akhir-akhir ini kamu kurang tidur? Terlalu capek kepikiran Bagas pasti. Kamu istirahat saja, tapi minum obat dulu, tadi kamu sudah makan belum Mell waktu pergi?" Ternyata sedari tadi Bu Rosa menemani sang anak yang sedang terbaring sakit di ranjangnya"Sudah, Mah. Mana obatnya biar Mella minum terus istirahat. Lah, papah kemana, Mah?" Mellani celingukan mencari keberadaan sang ayah"Ini obatnya, Mell. Papah kamu sedang pergi, ada urusan penting katanya. Tapi papah nitip salam ke kamu. Katanya kalau mau makan sesuatu suruh WA papa, nanti dibelikan." Bu Rosa berkata sambil memberikan beberapa pil obat dan air minum."Tante Sabrina...." Mella mendesis begitu tahu jika sang ayah pergi, suaranya tak terdengar jelas membuat Bu Rosa penasaran."Kamu bilang apa, Sayang? Mama
"Hallo, ada apa Mell? Tumben telpon?""Ke rumah kamu? Tumben banget, ada masalah penting apa, Mell?""Okey, gue lagi di jalan mau pulang sih, gue puter balik aja sekarang, sepuluh menitan gue sampai rumah lo ya.""Eh, betewe, ada om lo gak nih di rumah, Mell? Gue kangen lihat mukanya yang polos tau!""Ah, nggak asik. Tapi ya sudahlah. Okey, bye."Sasha bergegas memutar laju mobil setelah berbincang dengab Mellani via ponsel.Namun malang, perempuan yang selalu terlihat seksi dan menggoda itu tak tahu jika ada mobil lain yang melaju kencang. Kecelakaan pun tak terhindarkan."Aaa!"Di rumah, Mellani terlihat gusar menunggu temannya yang tak kunjung datang"Gimana keadaan anak Mamah, sudah mendingan belum, Mell?""Sudah, Mah." Mellani mendekati ibunya yang sedang sibuk membaca majalah."Mah...."" Iya, Sayang. Ada apa?""Temen Mella ada yang dateng nggak ke rumah?""Nggak ada siapa-siapa yang datang, Mell. Memang siapa yang mau datang?""Sasha, Mah. Dia sudah janji tiga puluh menit yang
"Sudah mendingan belum, Sha?""Ya, lumayanlah, tinggal kakinya aja nih, masih harus pakai tongkat buat bantu jalan."Pagi ini Mellani menjenguk Sasha di rumahnya, sudah sebulan Sasha sakit, walaupun mereka bukan sahabat tapi Sasha cukup dekat dengannya dan sering dia ajak bertukar pikiran. Terlebih rasa bersalah masih Mellani rasakan karena dirinyalah penyebab Sasha kecelakaan."Sorry ya, Sha. Gara-gara gue, lo jadi begini""Gue gak butuh permohonan maaf ,Mell. Tapi gue butuh yang lain." Sasha merubah roman wajahnya. Dari yang tadinya santai menjadi serius."yang lain? Maksudnya apa, Sha?"Sasha menyeringai dengan lebar."Kasih gue no hp Om Ilham, baru gue maafin lo, bagaimana? Adil kan?"Sasha menjulurkan tangan kanannya, tapi langsung ditepis pelan oleh Mellani."Jangan mimpi gue kasih, om gue cowok baik-baik nggak seperti dompet-dompet yang kamu simpan selama ini, Sha. Lebih baik kamu mencari korban lain aja deh." Mellani membuang muka, tak sudi Om Ilham yang baik hati itu dipermai
"Aaa!"Mellani berteriak frustasi. Sepulang dari rumah Sasha dirinya langsung merebahkan badan di ranjang kamar. Matanya menatap langit-langit kamarnya, masih nampak jelas tatapan mengerikan dari bola mata Sasha."Kalau penghianatan persahabatan, gue bakal bunuh dia!"Perkataan Sasha tersus terngiang di kepalanya. Bahkan badannya menggigil ketakutan.Di mata Mellani, seorang Sasha adalah perempuan yang hebat, ah bukan hebat tapi mengerikan, ya mengerikan.Bagaimana tidak mengerikan, saat mata itu terpancar dendam, tiba-tiba auranya berubah menjadi semangat saat dirinya bertanya perihal membuat lelaki menjadi miskin.Sasha sangat bersemangat menceritakan bagaimana dirinya merayu lelaki agar menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuknya, ya walaupun ada harga yang harus dia bayar, Sasha harus menumbalkan tubuhnya agar dijamah mereka hingga mereka puas.Tanpa sadar dirinya menceritakan kebusukan ayahnya yang berselingkuh dengan wanita, sebut saja tante Sabrina.Mellani tanpa diminta
Tuuut … tuuut … tuuut …."Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, silahkan hubungi beberapa saat lagi!"Bagas berkali-kali menghubungi nomor Mellani, tapi selalu gagal. Bagas coba lagi dan hasilnya masih sama, Mellani kekasihnya tidak bisa dihubungi. Bagas khawatir hal buruk menimpa sang kekasih.Dia ingin mengabarkan kepada kekasihnya itu kalau dirinya sedang perjalanan menuju vila di Bogor.Hari ini dirinya sangat bahagia karena akhirnya Mellani mau diajak pergi berdua. Lebih tepatnya Mellani yang mengajak dirinya untuk berlibur berdua di puncak, Bogor.Walau sudah ada rencana untuk menikah, Mellani sangat menjaga jarak dengan dirinya. Jangankan berhubungan badan seperti kebiasaan teman-temannya yang lain. Jika dirinya nekat memegang tangan sang kekasih maka dirinya akan di hajar habis-habisan secara verbal. Dia tidak akan bisa berjumpa kembali dengan Mellani untuk waktu yang lama dan hal itu pasti membuat Bagas panik.Bagas yang begitu mencintai Mellani sangat takut kehilangannya.
20 April 2016, Waduk Sermo , Kulon Progo, DIY. "Ayu ... Yu ... Ayu ...! Kamu di mana? Ayu!"Mellani yang masih remaja tengah mencari sahabatnya yang tiba-tiba menghilang. Tadi sehabis acara api unggun dia langsung tidur di tenda karena terlalu lelah, seingatnya dia dan Ayu tidur berdampingan. Tapi ketika dirinya terbangun karena digigit nyamuk Ayu sudah tidak ada disampingnya. Tak biasanya sahabat cantiknya itu pergi begitu saja tanpa berpamitan dengannya. Karena khawatir dan juga penasaran, akhirnya walau hanya bermodalkan nekat yang dia paksakan, Mellani menyusuri jalan pegunungan menuju waduk. Memang lokasi perkemahan sekolahnya agak sedikit menurun dan agak sedikit menjauhi daerah waduk sehingga saat akan menuju ke arah waduk dia harus menanjak.Senter kecilnya dia arahkan lurus ke depan. Mellani mengeratkan pelukan di tubuhnya karena ternyata jaket yang dia kenakan tidak mampu menahan hawa dingin malam ini.Dia menanjak perlahan menuju waduk. Entah kenapa kakinya dengan s
"Hello, Ham? Ada apa?"Pak Rudi tengah memberi makan ikan kesayangannya di kolam belakang rumahnya saat adik iparnya menelepon. "Benarkah? Oke! Mas akan segera ke sana dengan mbakmu sekarang juga."Panggilan berakhir. Terlihat Pak Rudi mulai bersiap memanggil sang istri."Siapa yang telpon, Pah?"Entah sejak kapan Mellani sudah bediri di belakang Pak Rudi dan memperhatikan ayahnya tengah sibuk menelepon seseorang dengan wajah serius. "Oh, ini Om Ilham tadi telpon, Mell. Dia mau ketemu Mamah sama Papah, ada keperluan yang sangat mendesak.""Mellani ikut ya, Pah? Bosen di rumah nih? Nggak ada temen main.""Kamu di rumah saja ya, Mell. Kalau bosen di rumah, kamu kasih makan ikan peliharaan Papah saja. Ini urusan orang tua, anak kecil seperti kamu nggak akan paham. Hahaha."Pak Rudi mengacak rambut anak gadisnya. Sementara anak gadis kesayangannya hanya memasang wajah cemberut. Pak Rudi yang gemas dengan sang putri pun mencium puncak kepalanya. Dahi Pak Rudi berkerut saat indra pencium
"Tawaranmu gue terima, Jo. Kapan kita jalan?" Jonathan membaca pesan di ponselnya dengan penuh kebanggaan. Dirinya menyeringai hingga nampak gigi putihnya yang berjajar rapi. Dia sangat senang karena usahanya selama ini tak sia-sia. Dirinya merasa jumawa, karena selalu bisa mendapatkan apa yang dirinya mau, termasuk wanita manapun. "Akhirnya, walau modal banyak nggak apalah yang penting gue bisa puas! Haha! Semua wanita pasti bertekuk lutut di hadapan seorang Jonathan Aditama, Haha! " Jo membalas pesannya ke nomor perempuan di seberang sana sambil tertawa terbahak-bahak. "Malam ini, Honey, jam 23.00 di hotel xx. Kamar 305." Dengan cepat Jonathan dengan semangat sambil membayangkan jika dirinya akan segera melewati malam dengan penuh kenikmatan. "Kok malam banget, Jo? Nggak salah? Kok di hotel? Kita kan cuma mau ngobrol. Di kafe kan bisa, nggak harus di hotel kan, Jo!" "Nggak apa-apa, Sayang. Biar aku bisa lebih mengenal hatimu dengan leluasa, semakin malam semakin indah. Aku sun
Jam tujuh pagi Sasha sudah ada di rumah Mellani untuk bertemu. Tak biasanya wanita cantik nan seksi itu berkunjung di jam-jam seperti ini. Karena biasanya kehidupan Sasha berbeda dengan wanita lainnya. Dia itu malamnya bangun, pagi sampai siang tidur. Saat tahu jika Mellani sedang sarapan dari pembantu rumah, langkah kaki Sasha langsung mengarah ke meja makan dekat dapur. "Lo udah sehat, Sha? Tumben datang ke rumah gue! Pagi-pagi pula, ganggu orang mau sarapan aja ..!" Mellani menatap Sasha dengan wajah malasnya. "Hahaha, gue memang sengaja datang pagi-pagi Mellani sayang. Pembantu gue cuti sakit hari ini, jadi nggak ada yang masakin gue, gue numpang makan lah, sekali ini doank. Makan makanan junk food tiap hari nggak sehat buat jantung dan kegemukan. Nanti gue bisa cepat mati. Deposito gue masih sedikit. " Sasha terkekeh, sementara itu sang tuan rumah hanya memutar bola matanya dengan malas. " Terserahlah." Mellani memilih tak ambil pusing dan membiarkan Sasha melakukan apa yang
Pak Rudi perlahan menemui adik iparnya yang berada di sebuah makam. Sang adik tengah berdiri sambil mengawasi proses pembongkaran sebuah makam demi melanjutkan penyelidikannya, hal ini terpaksa dia lakukan. Saat tahu orang yang ditunggunya datang menghampiri dirinya. Ilham segera melambaikan tangannya sambil tersenyum. "Kenapa baru sampai, Mas Rudi? Saya kira Mas akan lebih cepat datang ke sini, mengingat proses pembongkaran makam Ayu sudah bisa dilakukan, walau ada beberapa kendala." "Maafkan aku, Ham. Ada sedikit masalah di Jakarta, sahabat mbakmu meninggal." Terlihat jelas raut wajah sendu Pak Rudi. Dahi Ilham berkerut mendengar jawaban kakak iparnya itu.. "Sahabat? Sahabat yang mana, Mas?" "Sabrina, kamu masih ingat Sabrina, Ham? Adik tingkat mbakmu waktu kuliah, dia seangkatan kamu kok, yang orangnya cantik dan putih itu loh. Masa kamu lupa?" Ilham hanya menanggapinya dengan raut muka dingin mendengar nama Sabrina dan hanya mengeluarkan kalimat "oh " saja. Tak mungkin dirin
"Bagas meninggal Mell, gantung diri.""Apa! Bagas gantung diri!?" Mellani terpekik.Sesuatu tiba-tiba terasa mengalir di aliran darahnya, entah perasaan apa itu. Rasanya hangat dan menyenangkan dan tanpa sadar Mellani tersenyum tipis. Normalnya dia harusnya bersedih karena Bagas kekasihnya meninggal, tapi entah kenapa justru saat mendengar kabar itu dirinya merasa.PUAS!"Hallo … hallo … hallo Mellani, kamu masih mendengar suaraku?” Mas Agung berteriak dari dalam hp Mellani, dirinya tergagap." Ooh ... emm iya Mas, Mellani masih mendengarkan kok""Kamu bisa datang kesini, Mell?""Tapi mas, aku takut dengan ibumu, dia sangat, galak. Mas tahu sendirikan sewaktu di rumah sakit gimana sikap ibu ke Mella."Mellani berkata dengan jujur mengenai perasaannya itu, dia masih ingat tamparan dari ibunya almarhum Bagas kekasihnya itu. Tamparan yang membuat pipi halusnya memerah panas. "Hmm ...." Suara mas Agung terdengar mendesah pelan."Datanglah Mell, aku akan menjamin keselamatanmu." Akhirny
Mellani dan kedua orang tuanya pergi melayat ke rumah tante Sabrina.Tampak Bu Rosa sangat sedih mengetahui kabar meninggalnya tante Sabrina yang dia anggap kawan karib tapi nyatanya lintah penghisap dalam rumah tangganya.Bu Rosa tak tahu jika wanita yang dia anggap sahabat nyatanya duri dalam daging rumah tangganya. Wanita yang dengan tega bermain api dengan suaminya sendiri. Sementara itu, Pak Rudi, ayah Mellani dari raut wajahnya nampak di tegar-tegarkan, walau mungkin dalam hatinya remuk karena gundik kesayangannya meninggal.Sabrina ... wanita simpanannya.Walaupun almarhumah mata duitan tapi bagi Pak Rudi dia adalah wanita yang selalu mengobarkan hasrat lelakinya.Wanita yang pandai dalam memberikan sentuhan demi sentuhan kasih sayang yang tak diberikan oleh istrinya.Uang tak masalah bagi Pak Rudi. Berapapun akan dia berikan karena wanitanya yang telah terbujur kaku itu telah mengisi sebagian sisi hatinya yang kosong karena haus belaian seorang wanita.Istrinya yaitu Bu Rosa
"Aaa!"Mellani berteriak frustasi. Sepulang dari rumah Sasha dirinya langsung merebahkan badan di ranjang kamar. Matanya menatap langit-langit kamarnya, masih nampak jelas tatapan mengerikan dari bola mata Sasha."Kalau penghianatan persahabatan, gue bakal bunuh dia!"Perkataan Sasha tersus terngiang di kepalanya. Bahkan badannya menggigil ketakutan.Di mata Mellani, seorang Sasha adalah perempuan yang hebat, ah bukan hebat tapi mengerikan, ya mengerikan.Bagaimana tidak mengerikan, saat mata itu terpancar dendam, tiba-tiba auranya berubah menjadi semangat saat dirinya bertanya perihal membuat lelaki menjadi miskin.Sasha sangat bersemangat menceritakan bagaimana dirinya merayu lelaki agar menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuknya, ya walaupun ada harga yang harus dia bayar, Sasha harus menumbalkan tubuhnya agar dijamah mereka hingga mereka puas.Tanpa sadar dirinya menceritakan kebusukan ayahnya yang berselingkuh dengan wanita, sebut saja tante Sabrina.Mellani tanpa diminta