Denis mengemudikan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata, layaknya seorang pembalap tangguh. Raut wajahnya tampak murung, matanya nanar, sepanjang perjalanan ia terdiam seribu bahasa. Mungkin hari ini merupakan hari terburuk dalam hidup Denis, seluruh kelelahan dunia nampak tertumpuk di pundaknya.
Baru saja tiba di rumah pagi tadi, dan ia langsung kembali pergi mengantar ibunya, sepanjang perjalananpun ia harus adu mulut dengan sang adik, di tambah lagi dengan permintaan Leona yang mendesak ingin bergabung di perusahaan. Seolah belum cukup, kini ia harus merasakan amarah Saras yang pasti menyulutnya habis-habisan. Tak heran, Denis terpaksa pergi meninggalkan rumah sang Mama, demi menghindari kemungkinan Saras bertindak nekat dan memberitahu Leona semua kebenaran yang ada. "Mas, bisa pelan-pelan nggak sih?" Leona meminta dengan suara penuh ketakutan. "Kamu kenapa bawa mobil seperti ini? Kalau kita kenapaSementara itu, kepergian Leona dan Denis yang mendadak meninggalkan kebingungan. Terlebih lagi, Laras mendapati raut wajah menantu tertuanya yang tidak menyenangkan. Membuat wanita paruh baya itu semakin heran. "Ini semua salah Mbak Saras! Lagian, kenapa Mbak Saras ngintip mereka sih?" gerutu Dini kesal. Ketiganya tinggal di lantai yang sama, dan ketika Dini mendengar suara nyaring termos stanilis yang jatuh dari tangan Saras, ia bergegas keluar dari kamarnya untuk memastikan keadaan. Saras memandang adik iparnya dengan tatapan permusuhan. Suasana menegangkan itu hanya menambah pusing kepala Laras. "Apa benar kamu mengintip mereka, Ras? Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Kamu tahu Leona juga istri Denis, dan dia berhak atas perhatian suaminya. Lagian, saat ini Denis juga kan lebih banyak menghabiskan waktu denganmu, tapi kamu tetap saja egois," tegur Laras, mencoba untuk menyeimbangkan situasi.
Sementara itu, Denis mengemudi dengan raut wajah yang cemas. Berulang kali pria itu mencoba menghubungi Saras, tapi tidak ada jawaban dari ponsel istri tuanya itu. Denis menahan amarah dan kekhawatirannya, "Angkat teleponnya, Saras. Kenapa kamu tidak menjawab sih?" Dengan perasaan tertekan, Denis terus mengumpat dalam hati. Usahanya untuk menghubungi Saras sudah berkali-kali, namun nihil. Akhirnya, Denis mencoba menghubungi ibunya, berharap bisa mengetahui keberadaan Saras. Setelah beberapa dering, suara ibunya terdengar di ujung telepon. "Halo, Mah," sapa Denis dengan suara yang parau. "Ada apa, Denis? Bagaimana dengan Leona?" tanya Laras dengan wajah khawatir, lebih menghawatirkan menantu kayanya. "Di mana Saras, Mah? Kenapa dia tak menjawab telepon Denis?" Denis tidak menyahuti pertanyaan ibunya, hatinya gundah dan gelisah memikirkan kondisi istri yang dicintainya. la merasa begitu terluka, menyadari ba
"Untuk apa kamu kemari?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir Saras dengan nada mencemooh, sambil mendorong tubuh suaminya. Amarah yang mendalam masih menyelimuti hatinya. la menggendong Mayra, sementara Miko turun dari taksi dengan langkah terhuyung-huyung. "Jangan begini, Ras. Kita perlu bicara," ucap Denis dengan nada penuh penyesalan, sambil menggendong Miko dan menyeret koper istrinya masuk ke rumah. Namun, Saras tak memberikan perhatian, ia berlalu naik menuju kamarnya dengan langkah tegap. Mayra diberikannya pada pengasuh, "Miko, tunggu di sini, ya. Papa ingin bicara dengan Mama dulu," kata Denis sebelum meletakkan putranya bersama pengasuh, dan bergegas mengejar Saras naik ke lantai dua. Brak! Saras menutup pintu kamarnya dengan keras, seakan-akan ingin menunjukkan betapapun ia sangat kesal. Hatinya terasa tertusuk saat mengingat hujatan mertua dan
"Bu, sudah sampai," kata sopir taksi sambil menepikan mobil di depan kafe milik Tari. Leona, yang tengah termenung, tersadar. la memberikan beberapa lembar uang pada sopir taksi sebelum turun. "Bu, ini terlalu banyak," ujar pengemudi itu. "Tidak apa-apa, untuk Bapak dan anak-anak di rumah," sahut Leona dengan senyum ramah. Dengan langkah mantap, Leona memasuki kafe. Pandangannya mengitari seluruh ruangan, kafe milik sahabatnya cukup ramai hari ini. "Bu Leona, apa ibu mencari Bu Tari?" tanya seorang manajer kafe dengan ramah. "Iya, apa beliau ada?" tanya Leona sembari tersenyum. "Ada di ruangannya, Bu. Perlu saya antar?" tawar wanita itu dengan lagi. Leona menggeleng. "Tidak perlu, saya kesana sendiri saja," tolaknya halus. Tokk.. Tok.. Tok.. "Masuk..."
"Maafin aku ya, sayang, untuk semua kesalahanku selama ini. Aku seringkali lebih fokus pada pekerjaan daripada mengurusmu," ucap Denis dengan penyesalan yang mendalam. Denis mengeluarkan buket bunga lavender, bunga kesukaan Leona, dan menyodorkannya sebagai tanda permintaan maaf. "Yuk, kita duduk! Aku sudah siapkan makan malam romantis untuk kita berdua. Maaf kalau hanya di rumah, waktu yang singkat membuatku bingung cara yang tepat untuk minta maaf padamu," jelas Denis sembari tersenyum. Leona mengikuti Denis, meletakkan tubuhnya di atas kursi dengan rasa gundah dan gelisah. Jika ini terjadi di masa lalu, mungkin Leona sudah menangis haru dan terpesona oleh perhatian serta romantisme suaminya. Tapi kini, bukan air mata bahagia yang menggelayuti hati Leona, melainkan rasa takut yang semakin menyusupi setiap sel tubuhnya. Denis menggerakkan jari tangannya, memberi isyarat pada para pembantu yang langsung me
Mengandung unsur 18+ Perlahan Leona menyibak tirai yang menutup jendela kamarnya. Dari balik kain itu, ia menatap Denis yang mulai menjauh, raut wajahnya datar, sulit ditebak apa yang tengah Leona pikirkan. "Bodohnya aku masih berpikir kamu tidak selicik itu, Denis. Tapi nyatanya, kamu dan keluargamu memanglah manusia yang serakah," gumam Leona pelan. Tidak ada niat sedikitpun di hati Leona untuk menghentikan Denis, bahkan dia dengan tulus membubuhi tanda tangan di atas kertas yang Denis berikan. Leona merasakan luka yang amat sangat, dia kecewa, namun air matanya tak akan pernah lagi jatuh untuk pria seperti Denis. Perlahan, suara tawa Leona terdengar memenuhi seisi ruangan kamarnya, ia mengejek kesedihan yang mengepung hatinya sendiri. Dirinya memang bukan peminum, namun setengah gelas wine tak akan mampu merenggut kesadarannya. Dulu, keti
Di tengah gelap malam, Denis melumat bibir istrinya, memeluk erat tubuh Saras sambil membopongnya ke dalam rumah. Sebuah ungkapan mesra untuk memulai kisah baru mereka. Sementara itu, Tomi terpaku menyaksikan dari kejauhan. Setelah melihat majikannya masuk, barulah ia memarkirkan kendaraan, lalu menyusul masuk. Dia merupakan sosok yang akan selalu setia pada Denis, menemani baik dalam suka dan duka, meskipun itu menyimpang dari kebenaran. Seolah berpacu dengan waktu, Denis dan Saras memadu cinta dalam kebersamaan yang luar biasa. Keduanya saling berpadu, membuka pintu hati masing-masing, merasakan desir cinta yang tak terkira. Tanpa ragu, mereka saling membaur hingga tak ada sehelai benangpun yang mampu menghalangi kemesraan yang kian memuncak. Denis menatap Saras, penuh kasih sayang. Matanya yang lelap berbinar-binar, mencerminkan isi hati yang tak terbendung. Keduanya saling merengkuh, merasakan denyut cinta yang mengalir pada uj
Baru saja Saras hendak melangkah masuk ke kamar mandi, dering ponsel Densi bersahut keras, mengisi seluruh ruangan. Dengan posisinya yang pas di atas nakas, Saras dengan mudah mengambil ponsel suaminya. "Leona," ujar Saras memberi tahu Densi. Sudut bibir Densi terangkat, yakin bahwa Leona kini sedang mencarinya. Pastinya wanita itu syok, apalagi melihat tidak ada satu pun pakaiannya yang tertinggal di rumah itu. "Abaikan saja," potong Densi dengan nada acuh. Namun, Saras seolah tidak mendengar perintah suaminya dan malah menekan tombol 'jawab'. la mengaktifkan speaker agar Densi bisa mendengar percakapan mereka. "Halo mas, kamu dimana?" Itulah kalimat pertama yang kedua sojoli itu dengar. Saras tersenyum sinis, ia tengah membayangkan Leona menangis histeris mencari suaminya. "Jangan pernah lagi ganggu Denis, Karena dia bukan lagi suamimu, tunggulah surat cerai yang akan segera ia
Di sinilah Ferdy berada di ruang UGD. Pria tampan itu tengah di periksa dokter di dalam, dan setelah beberapa saat menunggu akhirnya sang dokter keluar juga.Leona menghampiri dokter itu lebih dulu dan bertanya pada sang dokter bagaimana keadaan suaminya. Tari dan Rendy mengikuti Leona dari belakang."Dok gimana keadaan suami saya" tanya Leona dengan wajah cemasnya.Dokter itu tersenyum dan menjawab pertanyaan Leona."Ibu tenang saja suami ibu tidak apa-apa hanya saja dia kekurangan asupan makanan dan membuat tubuhnya menjadi tak bertenaga. Apa sebelumnya suami ibu sering muntah" tanya sang dokter di akhir kalimat."Iya dok sejak saya hamil dia sering muntah di pagi hari dan suami saya juga gak nafsu makan dok" jawab Leona."Nah di situ kendalanya buk, suami ibu ini tengah mengalami yang namanya morning sikcnees setiap pagi atau nama lainnya sindrom couvade pada calon ayahnya, ini memang biasa terjadi buk di setiap pasangan yang
Dua bulan kemudianPagi-pagi sekali suara muntahan pria tampan memenuhi kamar mandi, ia tengah memuntahkan isi perutnya yang sama sekali tak mengeluarkan apa-apa yang keluar hanyalah cairan bening dan kental. Siapa lagi kalau bukan Ferdy ya Ferdy tengah mengalami morning sickness atau bisa di sebut sindrom couvade, morning sickness seharusnya Leona yang mengalami kini berbanding balik Ferdy lah yang mengalaminya, dua Minggu sudah Ferdy tak masuk kerja di karnakan tubuhnya yang tak bertenaga dan nafsu makan pun berkurang.Ya Leona tengah hamil anak pertamanya, dan morning sickness itu Ferdy yang mengalami bukan Leona, awalnya memang baik-baik saja tetapi saat kandungan Leona memasuki 2 Minggu mual muntah selalu menghampiri Ferdy tiap pagi. Leona terkadang merasa khawatir akan kondisi Ferdy yang semakin lama semakin lemas tak bertenaga Leona pernah menyuruhnya untuk pergi ke rumah sakit agar di berikan beberapa vitamin atau semacam obat agar Ferdy bisa bertenaga lagi
Ferdy mengemudi mobilnya dengan kecepatan sedang sembari tangannya mengelus puncak kepala sang istri, senyuman Ferdy tak pernah luntur sejak tadi pria tampan benar-benar sangat bahagia setelah dirinya menikahi wanita yang amat ia cintai, sebelum pulang. Leona meminta Ferdy mengantarkan dirinya ke makam sang ayah dan ibunya, wanita cantik itu merindukan orang tuanya, Ferdy dengan cepat mengiyakan ucapan sang istri.Sesampainya di pemakam, Ferdy dan Leona sama-sama turun dari mobil. Ferdy menggandeng tangan Leona menuju makam ayahnya yang bersebelahan dengan makam ibunya."Assalamualaikum Pah Mah "ucap Leona dan Ferdy yang saat ini sudah berada di tengah makam orang tuanya."Pah Mah, lihatlah Leona sekarang gak sendiri lagi. Leona udah ada yang jagain" ucap Leona pertama kali."Sekarang Papa sama Mama jangan sedih lagi liat Leona dari atas sana, Leona sekarang udah bahagia seperti yang pernah ayah bilang" ucap Leona dengan suara serak, Leona berusah
Tangan lebar nan kasar itu kini berada di bukit kembar Leona, Ferdy merasakan bukit Leona yang masih terasa padat dan berisi, dan perlahan tapi pasti Ferdy meremas bukit kembar Leona dengan lembut hingga membuat Leona sedikit melenguh di sela-sela lumatan bibir mereka. Setelah di rasa Leona kehabisan patokan oksigen, barulah Ferdy melepaskan tautan bibirnya dari bibir Leona. Leona menghirup udara sebanyak-banyaknya seakan udara di kamar mandi tidak cukup untuk dirinya.Ferdy belum menghentikan aksinya, kini kepalanya berada di ceruk leher sang istri dan kembali membuat tanda kepemilikan di sana, padahal tanda semalam belum hilang dan sekarang Ferdy memberikannya lagi.Leona menutup matanya merasakan Ferdy yang menghisap lehernya sedikit kuat dan itu membuat Leona meleguh karnanya apa lagi di tambah sensasi yang di berikan Ferdy yaitu meremas salah satu bukit kembar Leona."Ah Mas hentikan sudah cukup gumam Leona sambil menahan sesuatu yang bergej
Leona melebarkan matanya melihat pusaka Ferdy yang besar dan sedikit panjang.Leona meringis sendiri dalam hatinya. Apakah muat punya Ferdy masuk ke goa kenikmatannya, ah rasanya pasti menyakitkan tapi enak batin Leona.Perlahan Ferdy memposisikan tubuhnya di tengah-tengah paha Leona, "Kamu siap sayang?" tanya Ferdy.Leona mengangguk sebagai jawaban.Melihat anggukan sang istri. Pria tampan itu mulai meluruskan posisinya, dan perlahan tapi pasti pusaka yang sudah berdiri tegak itu mulai memasuki goa surganya."Gak usah di tutup matanya, ga usah malu. Teriak aja sayang, mendesah aja yah gak bakalan ada yang dengar kamar ini kedap suara kamu bisa teriak sekerasnya" ucap Ferdy.Sebelum melakukannya lagi Ferdy melumat bibir Leona, ia juga mulai memasukkan Pusakanya di goa kenikmatan istrinya kali ini Ferdy tidak pelan-pelan lagi, melainkan sekaligus sebab dirinya sudah penuhi oleh nafsu yang tertahan."Aahhh Mas enak banget"ucap
Ragu-ragu Leona mengangguk kecil, melihat anggukan sang istri. Ferdy mendekati Leona dan menyuruh istrinya itu membalikkan tubuh.Leona berbalik dengan wajahnya menghadap cermin wastafel sembari memandang Ferdy yang mulai membuka perlahan resleting gaun nya.Jantung Leona saat ini tidak sedang baik-baik saja, ia merasakan detak jantung yang begitu cepat serta keringat dingin di telapak tangannya, Leona benar-benar sangat gugup, apa lagi saat melihat Ferdy yang sudah melepaskan resleting gaun dan menatap punggungnya yang putih bersih tanpa noda."Putih banget kulit kamu sayang" ucap Ferdy pelan.Leona tersenyum malu mendengar perkataan sang suami.Ferdy mulai membuka gaun yang tak berlengan itu. Cara Ferdy membukanya yaitu dengan menurunkan gaun tersebut ke bawah tetapi sebelum melakukannya Leona menahan tangan Ferdy agar tak meneruskan membuka gaun tersebut."Kenapa sayang?" tanya Ferdy yang bingung."Kamu mau ngapain" tanya
Setelah ijab qobul disebutkan oleh Ferdy para tamu pun memberikan selamat pada kedua mempelai, kini Ferdy dan Leona berdiri di pelaminan, beberapa tamu masih ada yang belum memberikan selamat dan mereka juga menyempatkan diri menyalami Ferdy dan Leona lalu mengucapkan kata samawa pada kedua mempelai.Dan sebagian tamu juga ada yang sudah pulang dan ada yang masih betah di acara tersebut.Pak Anwar pun mendekati pengantin baru itu, " Selamat yah nak atas pernikahan kalian, bapak berharap kalian bahagia hingga maut memisahkan, Pak Ferdy saya titipkan nak Leona yah, sayangi dia" Ucap Pak Anwar sembari menepuk pundak Ferdy kemudian menyalami mereka berdua.Tari dan Rendy juga tak lupa memberikan selamat untuk Ferdy dan Leona, mereka berdua pun segera menghampiri sahabatnya itu."Selamat yah Leona sekarang kamu udah jadi istri Ferdy. Semoga pernikahan kalian samawa sampai kakek nenek" Ucap Tari pada Leona, tangan mereka saling bertautan di udara.
Satu bulan kemudian.......Dan satu minggu penuh Ferdy dan Leona habiskan untuk persiapan acara pernikahannya, dari fitting baju pengantin sampai dekorasi ballroom hotel yang mereka sewa satu minggu yang lalu.Dan hari itu pun tiba. Ferdy yang ingin menikahi Leona setelah perjuangan panjang yang ia lewati. Semua kesalah pahaman yang pernah singgah di sela-sela hubungannya, dan drama lainnya semua ia lewati. Dan akhirnya semua telah selesai.Semenjak kembalinya Leona di sisi Ferdy, lelaki tampan itu selalu tersenyum dan tampak sekali kebahagiaan di wajahnya sebab Leona yang selalu membuat Fedry tersenyum di saat-saat suka dukanya.Dan disinilah Leona sekarang tengah memandang baju pengantin dan di temani Tari ,sedari tadi ia menatap wajahnya di cermin, di saat hari bahagianya kedua orang tuanya sudah tidak ada jujur Leona begitu sangat merindukan kedua orang tuanya. Andai mereka masih hidup pasti ibu dan ayah Leona sangat bahagia anaknya menikah de
Setelah meninggalkan bandara, Ferdy berjalan dengan langkah berat menuju rumahnya. Langit senja mulai meredup, menambah suasana kelam yang menyelimuti hatinya. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi oleh kenangan bersama Leona, setiap tawa, tangis, dan kebahagiaan yang pernah mereka bagi.Sesampainya di rumah, Ferdy merasa hampa. Ia duduk di tepi tempat tidur, memegang foto Leona yang selalu ada di meja kecil di samping tempat tidur. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya tumpah, membasahi pipinya."Saat kamu pergi, Leona, aku merasa seperti kehilangan sebagian dari diriku. Tapi aku tahu, kamu memilih jalan ini untuk kebaikan kita berdua. Aku hanya bisa berharap bahwa suatu hari, takdir akan mempertemukan kita kembali," gumam Ferdy dengan suara bergetar.Beberapa hari berlalu, dan Ferdy mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa. Namun, hatinya tetap terasa kosong. Ia terus merindukan Leona, meskipun berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihannya di dep