Meskipun agak sedikit terlambat, namun Raffa tetap menyempatkan diri untuk menjemput Belinda di rumahnya. Rencana ingin menemani sang kekasih pun akhirnya bisa ditepati. "Sorry, ya, Bel, aku telat. Kamu jadi nunggu lama," kata Raffa sambil membukakan pintu mobil untuk Belinda. Di jalan dia sempat ngebut karena takut Belinda marah. "Enggak apa-apa, Raf. Aku tahu kamu itu sekarang sibuk. Ya... aku bisa maklum." Perempuan yang perutnya sudah terlihat sedikit membuncit itu tersenyum maklum dengan keterlambatan Raffa. Belinda bukanlah tipe perempuan yang suka merengek ataupun rewel. Kedewasaannya itu selalu sukses membuat Raffa semakin mencintainya. Dia merasa beruntung, lantaran Raffa mau siaga di tengah kehamilannya yang semakin membesar. Meluangkan waktu untuk menemani seperti ini saja rasanya sudah sangat cukup baginya. "Thanks, Honey...." Raffa mencium kening Belinda, kemudian membawanya masuk ke mobil. Lalu dia membantu memasangkan sabuk pengaman ke Belinda. Setelah memastikan kek
"Ini anakku, Bel?" Manik Raffa berkaca-kaca, rasanya dia belum memercayai semua ini, sekaligus tak pernah bosan memandangi foto hasil USG dari dokter obgyn. Sejak keluar dari Rumah Sakit sampai kini berada di dalam mobil, Raffa terus saja berbicara mengenai calon anaknya yang diketahui berjenis kelamin perempuan. Hasil pemeriksaan Ultrasonografi yang pertama kali dijalani oleh Belinda mampu membuat kedua calon orang tua tersebut tak henti-hentinya berucap syukur. Kondisi janin yang kian membesar itu menjadi pertanda jika bayi mereka sehat dan bertumbuh dengan baik di dalam perut. "Anak aku juga, Raf. Bukan cuma anak kamu," balas Belinda sambil mencebikkan bibir. Raffa terkekeh mendengar celetukan Belinda. "Iya-iya, anak kita maksud aku," ujarnya meralat ucapan yang kemungkinan membuat Belinda merasa tidak terima lantaran anaknya hanya diakui olehnya. "Semoga anak kita sehat sampe menjelang hari kelahiran," doa Raffa disertai elusan pada perut Belinda yang menyembul di balik dress.
Makan malam yang seharusnya hanya dilakukan oleh mereka berdua, kini mendadak jadi berempat. Suasana bahagia pun berubah menjadi menegangkan, lantaran Belinda harus duduk berhadapan dengan sang calon ibu mertua.Ya, kedua orang yang menghampiri Raffa dan Belinda adalah ayah dan ibu. Pertemuan yang tidak disengaja tersebut, justru membuat Belinda menjadi salah tingkah. Walaupun sudah beberapa kali bertemu dan sempat terlibat obrolan kecil. Nyatanya, hubungannya dengan Bu Farah belum ada perkembangan sama sekali.Ibu dari kekasihnya itu masih saja bersikap dingin dan datar. Padahal, jika dihitung, mereka sudah lebih dari lima kali bertemu. Lalu, Belinda harus apa? Selama ini dia sudah berusaha untuk mendekati bu Farah dan lebih mengenal karakternya. Namun, ketidak acuhan beliau malah semakin menciptakan jarak. Belinda bingung dan tidak tahu harus berbuat apalagi.Contohnya, ya... seperti sekarang ini. Belinda pikir, ibu akan senang ketika melihat foto hasil USG miliknya. Foto empat dime
Keesokkannya, Raffa berangkat ke kantor dengan perasaan campur aduk. Pasalnya, mulai hari ini dia sudah berbeda jabatan. Gelar CEO kini disematkan pada dirinya. Senang? Jelas ada rasa senang terselip di hatinya saat ini.Namun, di antara rasa senang itu juga terselip rasa was-was dan khawatir. Raffa tidak bisa membayangkan apa kata para staf di kantor nanti, ketika tahu bahwa dirinya kini telah menjadi CEO di perusahaan ayahnya."Tegang banget gue." Raffa bergumam sendiri di dalam lift. Beruntung di dalam ruang berjalan itu cuma ada Raffa. Tangannya tremor sejak masuk ke lobby kantor hingga sekarang. ck!Lantas, dia pun memindai sejenak penampilannya. Dari bawah hingga atas. Pakaian yang Raffa pakai pun tentu berbeda. Kemarin, ayah sempat bilang jika dia harus memakai baju stelan dan jas. Supaya lebih terkesan berwibawa dan rapi."Gue keren juga pakek ini," puji Raffa untuk dirinya sendiri, sambil menatap pantulan dirinya pada dinding lift. Kemudian, membenarkan letak dasi sebentar, s
"Istirahat, Bel. Sini duduk. Itu biarin aja. Besok biar dibersihin sama tukang bersih-bersih yang biasa ke sini," ucap Raffa meminta Belinda untuk beristirahat dan membiarkan bekas pesta kecil-kecilan yang baru saja selesai itu.Acara dadakan yang diatur oleh teman-teman kantor Raffa. Merayakan kenaikan jabatan pemuda itu sekaligus ingin mengenal calon istri dari CEO mereka yang baru. Belinda menurut dan mengurungkan niat yang hendak membersihkan meja mini bar. Dia lalu berjalan menuju dapur dan mencuci tangannya yang sedikit lengket di wastafel. Perempuan berperut buncit itu awalnya sempat minder saat tahu jika Raffa ingin memperkenalkannya pada rekan-rekan kerjanya. Merasa tidak percaya diri lantaran kondisinya yang saat ini tengah berbadan dua. Dari segi usia pun Belinda berada di atas mereka-mereka. Ditambah dengan statusnya yang masih belum jelas. Hal tersebut tentu menjadi alasan kuat baginya untuk tidak ikut bergabung. Namun, Raffa telah mematahkan semua pemikiran negatif Bel
Belinda mematut sekali lagi penampilannya di depan cermin rias besar, yang berada di kamar. Dia tersenyum kala melihat pantulan dirinya sendiri di sana. "Ih... gemes!" Perutnya yang kian hari semakin membesar itu menjadi hiburan tersendiri bagi perempuan bermanik biru itu. Dia suka sekali mengajak bicara sang calon buah hati yang kini semakin aktif di dalam sana.Sudah hampir menginjak tujuh bulan kehamilannya. Dan, rencananya akan diadakan syukuran besok hari di rumah orang tua Raffa. Tak terasa, sebentar lagi dia akan benar-benar menjadi ibu yang sesungguhnya. "Semoga kamu lahir dengan selamat dan sehat, ya, Nak...." ucapnya seraya mengelus perut buncit yang terlapisi kain daster pemberian Marina—istri pertama Bima. tok!tok!"Boleh Mbak masuk?" tanya Marina seraya melongokkan kepala di depan pintu kamar Belinda yang kebetulan sedikit terbuka.Pandangan Belinda sontak terangkat menatap sosok yang belakangan ini selalu membantunya. "Masuk aja, Mbak...." serunya dengan seulas senyum
Segala sesuatu yang perlu dibeli untuk acara besok sudah terkumpul di troli belanjaan yang didorong oleh Marina. Sementara Bu Farah tengah sibuk melihat-lihat beberapa perlengkapan bayi yang terlihat lucu-lucu dan menggemaskan. Jiwa keibuannya pun seketika itu juga muncul. Ada keinginan untuk membeli semua barang-barang tersebut. Apabila mengingat jika jenis kelamin calon cucunya adalah perempuan, maka Bu Farah ingin sekali membeli satu set perlengkapan bayi dengan warna merah muda. Dari mulai baju untuk baby born sampai perintilannya. "Lucu." Bu Farah mengambil salah satunya. Manik tua itu berbinar saat membayangkan cucunya memakai baju imut tersebut. "Pasti keliatan cantik." Tanpa berpikir panjang, beliau lantas memasukkan barang pilihannya ke troli yang masih kosong. Sementara dari kejauhan Marina dan Belinda yang melihat itu semua hanya saling melempar pandang. Mereka tidak berani berkomentar apa pun, apalagi mendekat. Sikap Bu Farah yang dingin membuat Belinda merasa segan dan
Dini dan Belinda berjalan bersisian keluar Mall, tepat berada di belakang bu Farah yang berjalan sendiri. Sementara Marina sudah lebih dulu berada di luar, tepatnya di parkiran.Mobil masing-masing sudah menunggu mereka sejak setengah jam yang lalu. Rencananya, habis dari Mall, Belinda dan Marina ingin langsung pulang saja. Lagi pula, mereka juga merasa tidak enak karena bu Farah sama sekali tidak menawari mereka untuk mampir atau sekadar berbasa-basi.Mengajak ngobrol pun tidak. Bu Farah terlihat bersikap dingin dan datar. Benar-benar tidak menganggap keberadaan Belinda yang sudah susah payah menemaninya berbelanja."Itu beneran ibunya Raffa?" Dini belum bosan menanyakan pertanyaan itu. Bahkan hampir sepuluh kali dia bertanya demikian kepada Belinda. Wajar bila Dini tidak percaya jika perempuan yang sedang berjalan di depannya ini adalah ibu dari Raffa Anggara. Pemuda yang pernah menjadi penghangat ranjangnya beberapa tahun yang lalu. Belinda berdecak. "Aduh, Mbak... Mbak udah hamp
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam