Dini dan Belinda berjalan bersisian keluar Mall, tepat berada di belakang bu Farah yang berjalan sendiri. Sementara Marina sudah lebih dulu berada di luar, tepatnya di parkiran.Mobil masing-masing sudah menunggu mereka sejak setengah jam yang lalu. Rencananya, habis dari Mall, Belinda dan Marina ingin langsung pulang saja. Lagi pula, mereka juga merasa tidak enak karena bu Farah sama sekali tidak menawari mereka untuk mampir atau sekadar berbasa-basi.Mengajak ngobrol pun tidak. Bu Farah terlihat bersikap dingin dan datar. Benar-benar tidak menganggap keberadaan Belinda yang sudah susah payah menemaninya berbelanja."Itu beneran ibunya Raffa?" Dini belum bosan menanyakan pertanyaan itu. Bahkan hampir sepuluh kali dia bertanya demikian kepada Belinda. Wajar bila Dini tidak percaya jika perempuan yang sedang berjalan di depannya ini adalah ibu dari Raffa Anggara. Pemuda yang pernah menjadi penghangat ranjangnya beberapa tahun yang lalu. Belinda berdecak. "Aduh, Mbak... Mbak udah hamp
Bu Farah bergegas masuk ke mobil dan meminta sang sopir mengikuti ke mana mobil yang membawa Belinda pergi saat ini. Kemudian, beliau teringat akan sesuatu.Lantas, Bu Farah buru-buru mengambil ponsel dari dalam tas. Berniat menghubungi sang suami secepatnya. Biar bagaimanapun, ayah harus segera mengetahui kabar ini. Lebih baik, beliau tidak menghubungi Raffa, karena putranya itu pasti akan merasa sangat syok, saat mendengar berita ini.Sambil meringis kecil, bu Farah mencari kontak ayah Anggara dengan tangan yang masih tremor. Kejadian beberapa saat yang lalu masih membekas di ingatan dan menyebabkan seluruh tubuhnya terasa sakit. Beruntung luka yang dialami tidak terlalu parah dan tidak separah yang dialami Belinda dan calon cucunya."Halo?" Ayah menyapa di ujung sana."Ha-halo?" Bu Farah tergagap, tenggorokannya tercekat dan sesak. "Yah..." Suara ibu bergetar menahan tangis."Ibu kenapa?" Ayah seakan tahu apa yang tengah dialami sang istri. "Ibu nangis?"Tangisan ibu pun pecah di d
Selama Raffa hidup, baru kali ini dia dihadapkan oleh situasi dan pilihan yang benar-benar rumit dan sulit. Bagaimana mungkin, dia memilih antara Belinda dan calon anaknya dalam keadaan yang mendesak seperti sekarang. Ibarat kata, nyawa kedua orang itu kini tengah berada di tangannya.Andai pun bisa, Raffa pasti akan memilih keduanya agar diselamatkan. Namun, kondisi kandungan Belinda yang masih berusia tujuh bulan, sangat tidak memungkinkan untuk bayinya lahir dengan selamat. Benturan keras yang dialami Belinda waktu kecelakaan, berakibat sangat fatal, dan mengakibatkan ketuban pecah."Kemungkinannya cuma tiga puluh persen. Dan, itu pun tidak bisa dipastikan," ucap sang dokter memecah lamunan Raffa yang detik ini tengah dilanda rasa cemas sekaligus takut.Marina pun sama, hanya diam sambil menahan tumpukan sesak yang menyelimuti dada. Dia sama sekali tidak dapat memberikan solusi untuk masalah ini. Inginnya pun pasti berharap Belinda dan bayinya bisa selamat. Akan tetapi, penjelasan
Sudah hampir tiga jam lebih, namun operasi yang dijalani Belinda belum juga selesai. Kecemasan dan kekhawatiran amat kentara sekali di wajah semua orang yang menunggu di sana. Apalagi Raffa yang sama sekali belum bisa merasa tenang bila dokter yang menangani belum keluar dari ruang operasi.Pemuda itu terlihat gusar, kuyu dan berantakan. Satu sisi pikirannya di isi oleh kondisi Belinda, di sisi lain dia memikirkan keselamatan bayinya. Seorang putri yang sudah lama dinantikan kehadirannya. Semoga, kedua orang yang paling dicintainya itu bisa keluar dari ruangan tersebut dengan kondisi yang sama. Yakni, sehat dan tanpa kekurangan suatu apa pun."Raf...." Dini menghampiri Raffa, dia sama sekali belum sempat bertegur sapa dengan mantan penghangat ranjangnya itu. Dini sempat pangling, dengan perubahan yang cukup siginifikan dalam diri Raffa.Penampilan pemuda yang dia ambil keperjakaannya, sungguh sangat berbeda. Semakin terlihat dewasa dan berwibawa. Ternyata, peran Belinda dalam kehidupa
Lelehan air mata berkali-kali luruh tanpa permisi di wajah yang tertutup oleh masker itu. Seandainya, tidak ada dokter dan perawat di ruangan tersebut, mungkin Raffa sudah menangis sejadi-jadinya sejak tadi. Meluapkan segala perasaan yang detik ini tengah menyelimuti. Haru, sedih, senang, gembira sekaligus masih tidak percaya, bila apa yang dilihatnya kini adalah nyata.Perwujudan antara dirinya dan wanita yang paling dicintainya benar-benar ada di depan matanya. Seorang bayi perempuan mungil, kecil dan sangat cantik itu kini sudah bisa dia lihat, kendati masih terhalang kaca inkubator.Ya, bayi yang diperkirakan oleh dokter tidak selamat, pada akhirnya lahir dengan sehat tanpa kekurangan suatu apa pun. Hanya saja, usia kandungan yang masih terlalu dini untuk melahirkan, menyebabkan berat badan bayi Belinda masih di bawah syarat yang seharusnya.Bayi perempuan dengan bobot hanya 1,8 ons tersebut, harus mendapatkan penanganan ekstra dari medis. Dan, terpaksa harus di tempatkan di ruang
"Raf...." Marina yang baru saja tiba segera mendekat, bersamaan dengan Raffa yang juga baru keluar dari ruang ICU. Raffa menghela pendek, seraya menyeka sudut matanya dengan punggung tangan. Dia lalu membuka penutup kepala dan masker yang dikenakan. Langsung terlihat wajahnya yang sembab dan maniknya yang memerah. Kesedihan menggelayuti pemuda itu. Bima yang melihat pun turut merasakan kesedihan Raffa. Lelaki itu langsung menuju ke rumah sakit begitu mendengar kabar Belinda kecelakaan. Dia sendiri syok dan sempat tidak percaya jika Belinda mengalami kecelakaan, hingga mengalami pendarahan, dan terpaksa harus melahirkan secara sesar. Geram, marah, kesal bercampur menjadi satu ketika Marina menceritakan kejadian naas tersebut. Bima hanya bisa menahan diri untuk tidak meluapkan kemarahannya, mengingat mereka tengah berada di rumah sakit. "Kondisi Belinda, gimana? Apa kata dokter?" tanya Marina yang sama sekali belum mengetahui kondisi Belinda. Dia hanya mengetahui kondisi bayi Belinda
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam