"Ini pacarnya Raffa?" tanya ibu memastikan, beliau memandangi foto Belinda, lalu memandang Raffa yang tak bergerak di tempatnya.Bu Farah mengamati wajah Belinda yang menurutnya sangat cantik. Pantas saja, anak bandelnya ini jatuh cinta pada perempuan yang jelas-jelas masih berstatus istri orang. Di lihat dari sisi mana saja, Belinda memang sangat cantik.Akan tetapi, yang jadi pertanyaan bu Farah saat ini adalah, mengapa ayah tidak memberitahunya sejak dulu. Kenapa baru sekarang ayah menunjukkan ini semua kepada ibu."Kenapa Ayah baru bilang sekarang, setelah anak kita pulang? Kenapa enggak dari dulu?" Ibu memicingkan mata ke arah ayah.Beliau betul-betul tidak memahami apa maksud suaminya yang menyembunyikan semuanya. Harusnya ayah mengatakan ini sejak dulu soal pekerjaan Raffa. Jadi ibu bisa menyuruhnya pulang sebelum anaknya bertindak terlalu jauh.Ayah menghela panjang lantas melirik Raffa sekilas. "Ayah cuma enggak mau Ibu kepikiran. Dan, menyuruh anak itu pulang," jawab ayah de
"Argh!" Raffa mengacak rambutnya sendiri dengan perasaan kesal yang bercampur kebingungan. Memukul-mukul kemudi lantas mendesah gusar berkali-kali. "Gue mesti gimana, Bel? Gimana?" Bibirnya sejak tadi menggumamkan nama Belinda sebab hanya nama itu yang memenuhi isi kepalanya saat ini. Ya, Raffa merasa otaknya buntu. Sejak kepulangannya dari rumah ayah dan ibu beberapa waktu yang lalu. Memilih untuk mampir sebentar ke rumah Belinda meski hanya memandang dari kejauhan. Kerinduan Raffa kepada perempuan itu seolah terobati. Dia sangat ingin ke sana, menemui sang pujaan hati, namun, hari yang masih sore tidak memungkinkannya untuk menyusup masuk ke dalam. Ada banyak penjaga yang berdiri di depan gerbang rumah Belinda. Jika dia nekad itu sama saja dengan dia menyerahkan nyawanya secara cuma-cuma. Tidak! Raffa tidak sebodoh itu. Cintanya pada Belinda tidak akan pernah merubahnya menjadi orang yang bersumbu pendek. Dia harus bisa menahan diri sampai tujuannya tercapai. "Sabar, Bel. Suatu sa
Mendadak hening.Belinda tidak berani menatap sang suami yang masih duduk di sofa sudut kamarnya. Pikirannya tertuju pada Raffa yang katanya baru saja dari sini.'Kenapa Raffa ke sini? Bukankah aku sudah pernah bilang sama dia, jangan dateng lagi ke sini.' Belinda membatin gusar. Apa yang dikatakannya pada Raffa saat pertemuan terakhir mereka, seakan tak dihiraukan oleh pemuda itu. Belinda hanya takut, jika anak buah Bima melihat kedatangannya.Bima juga terdiam. Matanya menyorot Belinda dengan tatapan tak terbaca, seperti tengah memikirkan sesuatu. Mengurung Belinda merupakan hal yang sama sekali tidak dia inginkan. Bima tak pernah bermaksud untuk membuat perempuan yang dinikahinya ini bersedih. Lantas, mengapa Bima belum juga mau menceraikannya? Padahal jelas-jelas dia tahu soal hubungan Belinda dan Raffa.'Maafin saya, Bel. Saya enggak ada maksud bikin kamu sedih. Tapi, saya juga belum bisa melepaskan kamu. Saya perlu melihat terlebih dahulu kesungguhan pemuda itu. Apakah dia benar
Bima segera mengangkat Belinda, merebahkan tubuh lemah itu dengan sangat hati-hati. Dia sangat menyayangi Belinda seperti adik kandungnya sendiri. Melihat keadaannya yang semakin hari semakin lemah, Bima sungguh merasa iba."Kamu kenapa, Bel? Apa kamu sangat mencintai pemuda itu?" Bima mengusap lembut kening Belinda, dia tidak pernah tahu jika istrinya ini akan mencintai pria lain yang usianya masih sangat muda. Lantas, tak mau terjadi sesuatu pada Belinda, Bima gegas menghubungi seseorang yang merupakan temannya. Dia memintanya untuk segera ke sini untuk memeriksa kondisi perempuan bermanik biru itu. Usai menghubungi, Bima turun ke lantai bawah hendak menyuruh pembantu membuatkan makanan. "Istri saya sakit, apakah selama ini dia jarang makan? Kenapa tubuhnya semakin hari semakin kurus?" Bima bertanya pada dua pembantu yang sengaja dipekerjakannya khusus untuk melayani Belinda. Dia menatap dua wanita paruh baya itu dengan penuh tanya. Sang pembantu tersebut hanya mampu menunduk dan
Raffa kembali ke Apartemen menjelang malam. Semangatnya benar-benar sama sekali menghilang semenjak dia tak lagi bisa bertemu dengan Belinda. Pikirannya carut marut, kerinduannya kepada perempuan itu kian menggunung setiap harinya. Raffa harus menahannya untuk sementara waktu sampai dia cukup berhasil dalam membangun karirnya. Masuk ke kamar lantas bergegas membasuh diri untuk menyegarkan tubuh yang seharian ini terasa sangat lelah. Tak hanya sekadar mandi, Raffa berharap air yang membasahi tubuhnya ini dapat meluruhkan seluruh permasalahannya yang saat ini tengah menimpanya.Dulu dia pikir tak akan pernah mencintai seorang wanita sedalam ini. Dia tidak pernah berpikir untuk menyukai lawan jenis lantaran tak ingin terjebak dalam komitmen yang menurutnya hanya membuang-buang waktu saja. Bisa dikatakan, Raffa tak pernah melirik seorang wanita sejak dulu karena baginya makhluk yang bernama perempuan itu sangatlah rumit dan merepotkan. Lalu, entah bagaimana Takdir mengujinya dengan memb
Rumah Belinda. "Hoek...hoek...." Pagi-pagi sekali Belinda terbangun dari tidurnya sebab merasakan gejolak yang sangat luar biasa di perutnya. Dia langsung berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan bening ke wastafel. Mual yang beberapa hari ini melandanya begitu sangat menyiksa. Belinda juga merasakan pusing yang teramat dan selera makannya pun berkurang. "Astaga... aku ini kenapa? Kepalaku sakit, perutku mual, mulutku rasanya enggak enak. Hoek...." Belinda kembali memuntahkan cairan bening dari mulutnya yang terasa pahit. Setelah dirasa sudah agak mereda, Belinda berkumur dan membasuh wajahnya agar terasa segar. Menegakkan tubuhnya, dan menatap dirinya sendiri lewat pantulan cermin. Telapak tangan Belinda meraba permukaan kulit wajahnya yang nampak pucat dan kuyu. Ada lingkar hitam di area matanya, penampilannya benar-benar menyedihkan. Dia pun bertanya-tanya dalam hati, penyakit apa yang sebenarnya tengah dideritanya. Hampir setiap pagi s
"Aku mau makan yang asem-asem, Mas. Kayak mangga mengkel, terus kweni," sahut Belinda sambil menelan ludah dan liurnya yang tiba-tiba menetes. Membayangkan asamnya buah tersebut berada di dalam mulutnya, sepertinya itu sangat enak. Bima mengulum senyum. Itu artinya Belinda sedang mengidam. Perkiraan dokter ternyata tidak salah. "Iya, nanti biar aku suruh pelayan cariin buah itu. Sekarang kamu makan dulu, terus minum obat ini. Biar pusing dan mual kamu berkurang." Bima mengambil mangkuk bubur tersebut, lalu menyodorkan ke depan muka Belinda. "Hoek...." Belinda menepis tangan Bima dengan cepat, memalingkan muka lantas berkata, "dibilang aku mual kalo cium baunya. Ganti yang lain aja, Mas! Aku mau roti bakar pakek selai nanas." Bima menghela, "Ya udah. Ini biar nanti dibawa ke bawah lagi sama pelayan." Dia meletakkan mangkuk bubur itu lagi ke nakas, lantas mengambil segelas jus jeruk. "minum jusnya aja kalo gitu. Ini jus jeruk buat mengurangi rasa mual." Belinda menerima gelas jus t
"Selamat bergabung di sini. Semoga kamu betah." Ayah menyambut Raffa dengan tangan terbuka, kehadiran putranya membuat seluruh karyawan wanita terkagum pada sosok Raffa yang sangat tampan dan menawan.Tidak sedikit dari mereka berbisik-bisik membicarakan Raffa. Ayah menyadari akan hal itu. Raffa menjadi pusat perhatian begitu dia melangkahkan kaki di perusahaannya. "Terima kasih, Yah. Raffa akan berusaha sebaik mungkin. Mohon bimbingannya." Raffa mengulurkan tangan ke ayah dan langsung di sambut oleh pria paruh baya itu. "Sama-sama. Nanti ayah suruh orang buat mengajarimu lebih dulu. Menjelaskan apa saja pekerjaan kamu di sini. Dia kebetulan asisten ayah," ucap ayah seraya menepuk pundak sang putra yang terlihat lebih dewasa. "Baik, Yah. Raffa akan belajar pelan-pelan," sahut Raffa dengan keyakinan penuh yang saat ini berkobar di dadanya. Dia akan membuktikan kepada Ayana jika dia bisa berubah dan mau belajar. Demi Belinda.Lantas, ayah berlalu dari kubik tempat di mana Raffa akan
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam