Dari mulai melangkah masuk ke rumah hingga duduk di sofa, Raffa sama sekali tidak melepas genggaman tangannya pada Belinda. Dia yakin, jika saat ini kekasihnya itu pasti merasa sangat gugup dan canggung. Ini kali pertama Belinda berhadapan dengan ibu dan ayah, ketegangan begitu kentara di wajah perempuan berusia 33 tahun itu. Sementara ibu memerhatikan putranya dalam diam, berbeda dengan ayah yang menyambutnya dengan hangat. Ya, setidaknya ayah sudah bersikap benar, karena tidak mau menambah suasana menjadi semakin panas. Dulu, beliau pun pernah menentang dan sempat menaruh rasa tidak suka kepada Belinda. Alasannya? Tentu kalian masih ingat alasan ayah tidak menyukai kekasih anak laki-lakinya itu. Selain masih berstatus sebagai istri orang, Belinda juga alasan mengapa Bima menyuruh seseorang memukuli Raffa. Namun, saat ayah mengetahui kabar jika Belinda tengah hamil, beliau berusaha menerima semua kenyataan yang sudah terlanjur terjadi ini. Anggap saja nasi sudah menjadi bubur. D
Mendapat perlakuan tak menyenangkan, tak lantas membuat Belinda berkecil hati, apalagi marah. Dirinya cukup bisa memahami perasaan bu Farah yang belum sepenuhnya menerima kehadirannya di sini. Belinda mengerti jika ibu hanya menginginkan yang terbaik untuk Raffa. Tidak mungkin juga ada orang tua yang mau menerima begitu saja pacar anaknya yang masih berstatus istri pria lain.Ditambah dengan awal mula pertemuannya dengan Raffa, yang cukup membuat siapa saja pasti berpikiran negatif. Belinda juga tidak bisa memaksa ibu agar mau menerima dan merestui hubungan ini. Biarlah semua berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai apa yang digariskan Tuhan. "Udah, Bel?" Raffa menghampiri Belinda yang baru saja keluar dari arah dapur. Belinda cuma mengangguk tanpa bersuara, dan tak berniat mengatakan apa yang baru saja terjadi di dapur. Cukup dia telan semuanya sendiri, tanpa memperkeruh keadaan yang awalnya sudah tidak berjalan sesuai harapan. Sudut mata Belinda melirik ibu yang sudah duduk di me
Setelah berkeliling mencari tukang rujak, akhirnya Raffa menemukannya tepat di pinggir jalan sebelum masuk ke area gedung Apartemen. Dia lantas turun dan menghampiri tukang rujak tersebut. Belinda yang tidak ikut turun hanya melongokkan kepala di jendela mobil. "Raf, minta sambelnya yang pedes sama mangganya dibanyakin," pintanya yang sudah tidak sabar ingin segera memakan buah asam itu. Sementara Raffa cuma mengangguk dan mengacungkan jempolnya. Menuruti permintaan bumil agak susah-susah gampang, untuk sementara ini Belinda masih mengidam hal-hal yang wajar. Beberapa saat kemudian, Raffa kembali masuk ke mobil dan menyerahkan plastik transparan kepada Belinda. "Aku beliin sekalian sama buah-buahannya yang banyak. Itu ada dua bungkus." Manik Belinda berbinar, menerima bungkusan dari Raffa. "Udah enggak sabar pengen makan ini," cicitnya disertai ringisan di bibir. Entah mengapa semenjak hamil Belinda malah lebih sering makan buah ketimbang nasi atau pun makanan sejenisnya. Melihat
Belinda terpejam erat kala wajah Raffa perlahan mendekat, dia bahkan dapat merasakan hangatnya napas pemuda itu menerpa kulit pipinya. Tubuhnya menegang dan napasnya tertahan di ujung tenggorokan. Kejahilan Raffa rupanya sukses membuat perempuan berambut pirang itu tak berkutik. Seringai jahil tersungging di bibir Raffa, dia gemas bukan main dan ingin sekali menerjang Belinda detik ini juga. Sayangnya, ide gila itu harus buyar manakala bunyi pintu lift yang terbuka. Ting! Raffa berdecak, sementara Belinda sontak membuka matanya lebar-lebar."Minggir!" Belinda langsung mendorong dada Raffa, lalu keluar dari benda berjalan itu setelah berhasil bebas dari kungkungan. "Dasar mesum!" Belinda bersungut-sungut lantaran kesal setengah mati. Bagaimana bisa ada laki-laki yang tingkat ke-mesumannya begitu tinggi. Menyebalkan!"Bel! Tunggu, Bel!" Raffa keluar dan mengejar Belinda yang lebih dulu membuka pintu unitnya. Setelah pintu unit Raffa terbuka, tubuh Belinda malah membeku di tempat. M
Ketiga orang tersebut menoleh ke arah pintu secara serentak, saat terdengar bunyi passcode unit Raffa ada yang menekan dari luar. Pintu di dorong oleh sosok yang sudah menyebabkan kesalahpahaman ini terjadi. Siapa lagi, jika bukan si Vano. ck! Sontak berdiri, Raffa gegas menghampiri Vano yang menyeringai lebar sambil garuk-garuk kepala. "Eh, udah pulang?" cicit Vano yang tidak merasa bersalah sama sekali. Raffa berdecak, lalu berkacak pinggang seraya memicingkan mata. "Bisa jelasin gak, nih, maksudnya apa?" "Emm... itu... emmm...." Vano berpindah menggaruk dagu sambil melirik Veronica yang duduk di ujung sana. Otaknya tengah berpikir keras mencari jawaban yang pas. Ini semua kesalahannya, yang telah lancang membawa gadis itu ke unit Raffa, dan bukannya ke unitnya. Veronica memaksa ingin tahu tempat tinggalnya, agar sewaktu-waktu bisa mendatangi Vano kapan saja untuk menepati janji. "Woi!" Raffa kesal setengah mati pada manusia yang satu ini. "Bukannya jawab malah bengong. Gara-
"Aku capek, Raf." Belinda memiringkan tubuh, menaruh kepalanya di atas dada telanjang Raffa yang naik turun. Napas keduanya bersahutan dan memburu, sesaat menyelesaikan percintaan panas sore ini. Raffa meraih tangan Belinda, membawanya agar melingkari perutnya. "Tidur, Bel. Kamu nginep di sini aja." Raffa menundukkan wajahnya untuk mengecup kening Belinda yang masih berpeluh. Kehangatan ini tak pernah membosankan bagi Raffa. Bisa memeluk Belinda seperti sekarang merupakan hal yang membahagiakan. Inginnya, Raffa menikahi Belinda secepatnya, supaya dia bisa menghabiskan malam-malamnya dengan penuh gelora, sekaligus bisa berpelukan seperti ini tiap harinya. Namun, untuk saat ini Raffa harus sedikit bersabar. Menunggu sampai bayi mereka lahir, barulah dia bisa menikahi kekasihnya ini. "Tapi aku gak bawa baju ganti, Raf." Jemari lentik Belinda sibuk bermain di dada Raffa. "Kalo soal itu, mah, gampang. Entar aku beliin di bawah. Kalo enggak, pakek baju aku juga nggak papa." Raffa menge
Raffa menggeliat dan membuka mata saat merasakan pergerakan pada lengannya. Belinda menggeser posisi kepalanya yang semula berada di dada Raffa ke lengan pemuda itu. Raffa memiringkan kepala untuk menatap wajah cantik kekasihnya yang sedang tertidur pulas. Bibirnya tersenyum lantas mendaratkan kecupan di kening Belinda. Setelah itu mengangkat perlahan-lahan kepala Belinda dari lengannya, lalu menaruhnya di bantal. Raffa bangkit, terduduk dan membantu memakaikan selimut sampai batas dada Belinda yang masih polos. Diusapnya sebentar pipi mulus itu, lalu mengecupnya. Usai memastikan Belinda tidur dengan posisi yang nyaman, Raffa lantas melirik jam digital yang ada di kamar. "Jam sembilan." Dia pun bergerak pelan agar tidak menimbulkan suara berisik yang bisa menggangu tidur Belinda. Turun dari ranjang, lalu masuk ke kamar mandi untuk membasuh seluruh badannya. Setelah selesai mandi, Raffa gegas berganti baju dan keluar dari kamar. Perutnya terasa sangat lapar, Raffa berniat memesan ma
Siang ini pekerjaan Raffa masih belum beres semuanya. Padahal, sore nanti dia ada jadwal mengantar Belinda ke Rumah Sakit untuk cek kehamilan rutin setiap sebulan sekali. Menginjak di bulan ke empat ini, dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan Ultrasonografi atau yang biasa dikenal dengan USG.Kesempatan tersebut jelas tidak ingin dilewatkan oleh Raffa. Namun, apa daya, di jam yang semakin berjalan cepat, nyatanya pekerjaan belum ada yang terselesaikan satu pun. Ayah memberinya tugas untuk merekap ulang data pendapatan perusahaan. Alhasil, Raffa harus mengerjakan tugas tersebut dengan teliti dan hati-hati."Ck! Udah jam tiga tapi kerjaan gue belum ada yang beres." Raffa tak henti melirik jam digital yang ada di layar ponselnya sembari membagi fokusnya pada layar laptop."Raf!" Ayah tiba-tiba muncul di depannya."Iya?" Raffa mendongak, beralih menatap ayah. "Ada, yang bisa saya bantu, Pak?" Di kantor, Raffa tetap menjaga batasan antara ayah dan anak. Dia cukup bisa memosisikan d
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam