"Aku capek, Raf." Belinda memiringkan tubuh, menaruh kepalanya di atas dada telanjang Raffa yang naik turun. Napas keduanya bersahutan dan memburu, sesaat menyelesaikan percintaan panas sore ini. Raffa meraih tangan Belinda, membawanya agar melingkari perutnya. "Tidur, Bel. Kamu nginep di sini aja." Raffa menundukkan wajahnya untuk mengecup kening Belinda yang masih berpeluh. Kehangatan ini tak pernah membosankan bagi Raffa. Bisa memeluk Belinda seperti sekarang merupakan hal yang membahagiakan. Inginnya, Raffa menikahi Belinda secepatnya, supaya dia bisa menghabiskan malam-malamnya dengan penuh gelora, sekaligus bisa berpelukan seperti ini tiap harinya. Namun, untuk saat ini Raffa harus sedikit bersabar. Menunggu sampai bayi mereka lahir, barulah dia bisa menikahi kekasihnya ini. "Tapi aku gak bawa baju ganti, Raf." Jemari lentik Belinda sibuk bermain di dada Raffa. "Kalo soal itu, mah, gampang. Entar aku beliin di bawah. Kalo enggak, pakek baju aku juga nggak papa." Raffa menge
Raffa menggeliat dan membuka mata saat merasakan pergerakan pada lengannya. Belinda menggeser posisi kepalanya yang semula berada di dada Raffa ke lengan pemuda itu. Raffa memiringkan kepala untuk menatap wajah cantik kekasihnya yang sedang tertidur pulas. Bibirnya tersenyum lantas mendaratkan kecupan di kening Belinda. Setelah itu mengangkat perlahan-lahan kepala Belinda dari lengannya, lalu menaruhnya di bantal. Raffa bangkit, terduduk dan membantu memakaikan selimut sampai batas dada Belinda yang masih polos. Diusapnya sebentar pipi mulus itu, lalu mengecupnya. Usai memastikan Belinda tidur dengan posisi yang nyaman, Raffa lantas melirik jam digital yang ada di kamar. "Jam sembilan." Dia pun bergerak pelan agar tidak menimbulkan suara berisik yang bisa menggangu tidur Belinda. Turun dari ranjang, lalu masuk ke kamar mandi untuk membasuh seluruh badannya. Setelah selesai mandi, Raffa gegas berganti baju dan keluar dari kamar. Perutnya terasa sangat lapar, Raffa berniat memesan ma
Siang ini pekerjaan Raffa masih belum beres semuanya. Padahal, sore nanti dia ada jadwal mengantar Belinda ke Rumah Sakit untuk cek kehamilan rutin setiap sebulan sekali. Menginjak di bulan ke empat ini, dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan Ultrasonografi atau yang biasa dikenal dengan USG.Kesempatan tersebut jelas tidak ingin dilewatkan oleh Raffa. Namun, apa daya, di jam yang semakin berjalan cepat, nyatanya pekerjaan belum ada yang terselesaikan satu pun. Ayah memberinya tugas untuk merekap ulang data pendapatan perusahaan. Alhasil, Raffa harus mengerjakan tugas tersebut dengan teliti dan hati-hati."Ck! Udah jam tiga tapi kerjaan gue belum ada yang beres." Raffa tak henti melirik jam digital yang ada di layar ponselnya sembari membagi fokusnya pada layar laptop."Raf!" Ayah tiba-tiba muncul di depannya."Iya?" Raffa mendongak, beralih menatap ayah. "Ada, yang bisa saya bantu, Pak?" Di kantor, Raffa tetap menjaga batasan antara ayah dan anak. Dia cukup bisa memosisikan d
Meskipun agak sedikit terlambat, namun Raffa tetap menyempatkan diri untuk menjemput Belinda di rumahnya. Rencana ingin menemani sang kekasih pun akhirnya bisa ditepati. "Sorry, ya, Bel, aku telat. Kamu jadi nunggu lama," kata Raffa sambil membukakan pintu mobil untuk Belinda. Di jalan dia sempat ngebut karena takut Belinda marah. "Enggak apa-apa, Raf. Aku tahu kamu itu sekarang sibuk. Ya... aku bisa maklum." Perempuan yang perutnya sudah terlihat sedikit membuncit itu tersenyum maklum dengan keterlambatan Raffa. Belinda bukanlah tipe perempuan yang suka merengek ataupun rewel. Kedewasaannya itu selalu sukses membuat Raffa semakin mencintainya. Dia merasa beruntung, lantaran Raffa mau siaga di tengah kehamilannya yang semakin membesar. Meluangkan waktu untuk menemani seperti ini saja rasanya sudah sangat cukup baginya. "Thanks, Honey...." Raffa mencium kening Belinda, kemudian membawanya masuk ke mobil. Lalu dia membantu memasangkan sabuk pengaman ke Belinda. Setelah memastikan kek
"Ini anakku, Bel?" Manik Raffa berkaca-kaca, rasanya dia belum memercayai semua ini, sekaligus tak pernah bosan memandangi foto hasil USG dari dokter obgyn. Sejak keluar dari Rumah Sakit sampai kini berada di dalam mobil, Raffa terus saja berbicara mengenai calon anaknya yang diketahui berjenis kelamin perempuan. Hasil pemeriksaan Ultrasonografi yang pertama kali dijalani oleh Belinda mampu membuat kedua calon orang tua tersebut tak henti-hentinya berucap syukur. Kondisi janin yang kian membesar itu menjadi pertanda jika bayi mereka sehat dan bertumbuh dengan baik di dalam perut. "Anak aku juga, Raf. Bukan cuma anak kamu," balas Belinda sambil mencebikkan bibir. Raffa terkekeh mendengar celetukan Belinda. "Iya-iya, anak kita maksud aku," ujarnya meralat ucapan yang kemungkinan membuat Belinda merasa tidak terima lantaran anaknya hanya diakui olehnya. "Semoga anak kita sehat sampe menjelang hari kelahiran," doa Raffa disertai elusan pada perut Belinda yang menyembul di balik dress.
Makan malam yang seharusnya hanya dilakukan oleh mereka berdua, kini mendadak jadi berempat. Suasana bahagia pun berubah menjadi menegangkan, lantaran Belinda harus duduk berhadapan dengan sang calon ibu mertua.Ya, kedua orang yang menghampiri Raffa dan Belinda adalah ayah dan ibu. Pertemuan yang tidak disengaja tersebut, justru membuat Belinda menjadi salah tingkah. Walaupun sudah beberapa kali bertemu dan sempat terlibat obrolan kecil. Nyatanya, hubungannya dengan Bu Farah belum ada perkembangan sama sekali.Ibu dari kekasihnya itu masih saja bersikap dingin dan datar. Padahal, jika dihitung, mereka sudah lebih dari lima kali bertemu. Lalu, Belinda harus apa? Selama ini dia sudah berusaha untuk mendekati bu Farah dan lebih mengenal karakternya. Namun, ketidak acuhan beliau malah semakin menciptakan jarak. Belinda bingung dan tidak tahu harus berbuat apalagi.Contohnya, ya... seperti sekarang ini. Belinda pikir, ibu akan senang ketika melihat foto hasil USG miliknya. Foto empat dime
Keesokkannya, Raffa berangkat ke kantor dengan perasaan campur aduk. Pasalnya, mulai hari ini dia sudah berbeda jabatan. Gelar CEO kini disematkan pada dirinya. Senang? Jelas ada rasa senang terselip di hatinya saat ini.Namun, di antara rasa senang itu juga terselip rasa was-was dan khawatir. Raffa tidak bisa membayangkan apa kata para staf di kantor nanti, ketika tahu bahwa dirinya kini telah menjadi CEO di perusahaan ayahnya."Tegang banget gue." Raffa bergumam sendiri di dalam lift. Beruntung di dalam ruang berjalan itu cuma ada Raffa. Tangannya tremor sejak masuk ke lobby kantor hingga sekarang. ck!Lantas, dia pun memindai sejenak penampilannya. Dari bawah hingga atas. Pakaian yang Raffa pakai pun tentu berbeda. Kemarin, ayah sempat bilang jika dia harus memakai baju stelan dan jas. Supaya lebih terkesan berwibawa dan rapi."Gue keren juga pakek ini," puji Raffa untuk dirinya sendiri, sambil menatap pantulan dirinya pada dinding lift. Kemudian, membenarkan letak dasi sebentar, s
"Istirahat, Bel. Sini duduk. Itu biarin aja. Besok biar dibersihin sama tukang bersih-bersih yang biasa ke sini," ucap Raffa meminta Belinda untuk beristirahat dan membiarkan bekas pesta kecil-kecilan yang baru saja selesai itu.Acara dadakan yang diatur oleh teman-teman kantor Raffa. Merayakan kenaikan jabatan pemuda itu sekaligus ingin mengenal calon istri dari CEO mereka yang baru. Belinda menurut dan mengurungkan niat yang hendak membersihkan meja mini bar. Dia lalu berjalan menuju dapur dan mencuci tangannya yang sedikit lengket di wastafel. Perempuan berperut buncit itu awalnya sempat minder saat tahu jika Raffa ingin memperkenalkannya pada rekan-rekan kerjanya. Merasa tidak percaya diri lantaran kondisinya yang saat ini tengah berbadan dua. Dari segi usia pun Belinda berada di atas mereka-mereka. Ditambah dengan statusnya yang masih belum jelas. Hal tersebut tentu menjadi alasan kuat baginya untuk tidak ikut bergabung. Namun, Raffa telah mematahkan semua pemikiran negatif Bel