Alifa mengusap pipi sang suami dengan lembut. Sepasang matanya menatap sang suami dengan tatapan dalam. "Kenapa nggak tidur? Apa yang kamu pikirkan, Mas?" tanyanya lirih.Farrel menggeleng samar, kemudian dia memeluk istrinya, mencium puncak kepala wanita itu. "Lagi nggak bisa tidur saja. Sudahlah, nggak apa-apa." Laki-laki itu menjawab sambil menarik selimut sampai batas leher.Tak puas dengan jawaban suaminya, Alifa mengguncang pelan lengan atas laki-laki itu. Farrel menggenggam jemari tangan Alifa dan menciumnya. "Mas, kalau ada masalah ngomong dong, jangan diam saja begitu. Dari gerak geriknya kelihatan, kalau lagi ada masalah." Alifa kembali mengungkit. Terdengar dengusan kasar dari bibir Farrel. Dia menoleh menatap istrinya dengan tatapan penuh arti. Laki-laki itu kemudian merubah posisi berbaringnya menjadi bersandar di kepala ranjang. Alifa ikut duduk dan menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. Farrel langsung menunduk dan bertemu pandang dengan Alifa. Rasa bersalah itu
Alifa memalingkan wajah ketika bertemu pandang dengan Farrel. Laki-laki itu menatapnya dengan sayu, lalu mengulurkan tangan. Alifa hanya meliriknya malas."Fa, apa kamu ingin mengatakan sesuatu, Sayang?" tanyanya. Bibir pucat itu tersenyum samar. "Tolong pandang aku, Fa. Kenapa kamu nggak mau melihatku? Apa aku begitu menjijikkan bagimu, Fa?" Farrel kembali bertanya dengan suara lirih.Alifa menatap Farrel sekilas, selanjutnya kembali memalingkan wajah. "Fokuslah pada kesehatan kamu dulu, Mas. Jangan banyak pikiran. Aku heran kenapa kamu begitu bodohnya menyiksa dirimu seperti itu?""Aku akan lakukan apa pun untuk mendapatkan maafmu, Fa. Percaya sama aku, aku menyesal banget telah melakukan hal tersebut. Seharusnya, aku bisa mendamaikan mereka, bukan malah menjadi bensin di atas bara api," sesalnya. Farrel memejamkan matanya yang mengembun."Apa kamu akan bangga Mas, seandainya nanti anak kamu mengetahui cerita tentang hal ini? Lalu, bagaimana dengan Bapak, Ibuk, dan keluarga besar ki
Novi memutar bola mata malas mendengar jawaban Alifa. Dengan gemas, dicubitnya lengan Alifa yang membuat wanita itu mengaduh. Alifa berdecak sembari mengusap-usap lengannya yang panas."Aku memang nggak tahu, Nov. Kuat dilakoni ora kuat lambaikan tangan ke kamera."Novi semakin gregetan dengan jawaban Alifa yang seenaknya. "Sebenarnya, kamu itu mencintai Mas Farrel nggak sih, Lif? Kalau kamu nggak mau sama dia, sini hibahkan ke aku saja!" serunya cengengesan.Alifa langsung melotot dan tersenyum mengejek. "Suamiku mantan sahabatku, seperti cerita novel online!" cibirnya. "Lanjutkan halumu, Vi. Siapa tahu diangkat ke sinetron ikan terbang dan beranak cucu episode!" Alifa melanjutkan sindirannya dengan wajah datar. Novi tertawa terbahak yang membuat beberapa orang menatap ke arah mereka."Ups, dilihatin Pak Dosen ganteng," ucap Novi cengengesan ketika bertemu pandang dengan Kevin yang kebetulan lewat di dekat mereka.Kevin menggelengkan kepala samar mendengar ucapan to the point gadis t
Bruk!Tubuh Alifa terhuyung, menabrak seseorang yang langsung memeluknya dengan erat. Adelia yang tadi tertawa puas, berharap Alifa jatuh, kini membekap bibirnya. Kedua matanya melotot karena terkejut."S-sialan. Dasar brengsek!" makinya dengan tatapan tajam. Farrel tersenyum miring sekilas dan menunjuk wajah Adelia dengan tatapan tajam. "Maki saja sepuasmu, Del. Sampai kapan kamu akan dendam denganku?" tanyanya sinis. "Sampai dendam Karina terbalaskan!" sahut Adelia dengan sombong.Farrel mengangguk-angguk, lalu berdiri di depan Alifa. "Baiklah, lampiaskan ke aku saja. Aku kasih tahu, Del. Sebelum kamu lampiaskan dendam kamu, coba kamu tanyakan dulu ke Gladis, teman baik Karina yang mengetahui kejadian itu. Jangan buta kamu, Del. Aku memang bersalah dan sudah mengakui hal itu. Tapi apa yang dilakukan Karina dan Trisna juga Pakdhe kamu itu sudah cukup impas!" sahutnya tegas."Kamu memang brengsek, Rel. Seandainya, kamu nggak ikut campur, Karina nggak mati.""Sudahlah, tanpa aku atau
Farrel menatap nanar pada Alifa yang masih bersikap acuh. Laki-laki itu mengeraskan rahangnya, menghadapi sikap keras kepala sang istri."Kalau begitu, kamu nggak usah ke rumah Ibuk. Kamu nggak usah pergi, kalau nggak mau kembali lagi!" Farrel berkata tegas.Alifa menggeleng. "Kalau nggak mau antar aku, ya sudah. Aku bisa panggil taksi!" sahutnya tak mau kalah.Lagi dan lagi, Farrel harus bersabar menghadapi sikap egois nan keras kepala istrinya. Laki-laki itu memilih menurut demi menghindari pertengkaran. Dalam perjalanan ke rumah orang tua Alifa, mereka memilih diam. Sampai di sana, Farrel tak langsung pulang. Dia justru mengikuti istrinya memasuki kamar. Farrel menatap Alifa dengan pandangan miris, ketika wanita itu bersikap begitu acuh."Kenapa kamu nggak pulang saja, Mas?" tanya wanita itu pada akhirnya. Farrel mendengus kasar dengan tatapan tajam ke arah istrinya. "Apa kamu ingin mereka tahu tentang masalah kita?" tanyanya lirih. "Masalah ini kita selesaikan baik-baik, jangan
Kevin menegakkan punggungnya. Ditatapnya wajah murung Alifa dengan intens. "Sadar, Fa. Kamu lagi hamil. Nggak baik kamu bicara begitu, Fa. Jangan sedih lagi, demi anak kamu." Laki-laki itu memberikan nasihat bijak untuk sahabatnya, sembari mengusap pelan punggung kurus tersebut.Alifa menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Capek, Mas Kev. Capek banget. Banyak hal yang nggak bisa aku terima dari Mas Farrel. Pernikahan ini seperti menjebakku, Mas Kevin." Wanita itu langsung menangis.Kevin menyandarkan kepala Alifa ke bahunya. "Pikirkan sekali lagi, Fa. Tenangkan pikiran kamu dulu," ucap lelaki itu lirih."Aku sudah nggak sanggup. Besok, masalah apa lagi yang datang pada kami? Lusa, kenyataan apa lagi yang aku tahu tentang suamiku? Lalu bagaimana anakku nanti kal--""Kevin!"Suara itu langsung menghentikan ucapan Alifa. Kevin dan Alifa lantas menoleh. Kevin berdiri kaku menatap Farrel yang juga menatapnya datar. Tidak ada emosi dan kemarahan di wajah Farrel seperti biasanya jika melih
"Ndul, serius nih? Kamu menyerah begitu saja?" tanya Dino tak percaya. "Ingat, Ndul. Dia lagi hamil. Hormon orang hamil itu bikin dia aneh-aneh. Sekali kamu menjatuhkan talak, kamu nyesel, Ndul," lanjut pemuda berambut gondrong tersebut.Vio yang sejak tadi memilih menjadi pendengar, berdecak lirih. "Kalau menurut aku sih, mending lepasin saja tuh istri egois. Kamu pasti dapat gantinya kok, Ndul!" serunya geram.Farrel melirik malas pada Dino dan Vio. "Dengar ya. Aku itu sudah berusaha banget jelasin segala macam. Sudah meminta maaf puluhan kali, tapi dia acuh dia selalu ungkit kesalahan aku. Pusing aku.""Tenangkan pikiran kamu, Rel. Kalian berdua jangan jadi kompor. Kita bantu cari solusi!" sahut Danang sembari menatap Vio dan Dino bergantian."Bagaimana kalau kita mendem sedikit saja biar tenang?" cetus Vio yang langsung di tendang kakinya oleh Dino."Jadi, kamu belum bisa berhenti juga, Nyet? Sana mendem sendiri. Kita bertiga mah sudah tobat!"Vio menggaruk kepalanya sembari nyeng
Farrel menghentikan motornya jauh dari perkiraan kampus Alifa. Sudah seminggu, laki-laki itu tidak melihat istrinya. Istri? mengingat sebutan itu hati Farrel kembali nelangsa.Alifa memang masih berstatus istri sahnya, namun sudah sebulan mereka tidak lagi tinggal satu rumah. Setiap kali Farrel datang menjenguk, seperti biasa, sikap Alifa kaku dan dingin. Farrel juga merasa lelah. Jika keberadaannya tak lagi diharapkan, untuk apa dia memaksa? Laki-laki itu tak ingin membebani perasaan Alifa. Dia ingin Alifa bahagia dengan jalan hidup yang dia pilih.Farrel menatap miris ke depan sana. Alifa, istrinya terlihat tersenyum sumringah ketika berbicara dengan Kevin. Hal yang tidak terlihat selama satu bulan terakhir ini. "Ternyata, senyummu nggak pudar, Fa. Setidaknya di depan Kevin. Baiklah, ini yang kamu inginkan." Laki-laki itu bergumam dengan senyum miris.Farrel bergegas turun dari motornya dan melangkah tegas ke arah Kevin dan Alifa. Keduanya tertegun melihat keberadaan Farrel yang ti