Farrel menatap nanar pada Alifa yang masih bersikap acuh. Laki-laki itu mengeraskan rahangnya, menghadapi sikap keras kepala sang istri."Kalau begitu, kamu nggak usah ke rumah Ibuk. Kamu nggak usah pergi, kalau nggak mau kembali lagi!" Farrel berkata tegas.Alifa menggeleng. "Kalau nggak mau antar aku, ya sudah. Aku bisa panggil taksi!" sahutnya tak mau kalah.Lagi dan lagi, Farrel harus bersabar menghadapi sikap egois nan keras kepala istrinya. Laki-laki itu memilih menurut demi menghindari pertengkaran. Dalam perjalanan ke rumah orang tua Alifa, mereka memilih diam. Sampai di sana, Farrel tak langsung pulang. Dia justru mengikuti istrinya memasuki kamar. Farrel menatap Alifa dengan pandangan miris, ketika wanita itu bersikap begitu acuh."Kenapa kamu nggak pulang saja, Mas?" tanya wanita itu pada akhirnya. Farrel mendengus kasar dengan tatapan tajam ke arah istrinya. "Apa kamu ingin mereka tahu tentang masalah kita?" tanyanya lirih. "Masalah ini kita selesaikan baik-baik, jangan
Kevin menegakkan punggungnya. Ditatapnya wajah murung Alifa dengan intens. "Sadar, Fa. Kamu lagi hamil. Nggak baik kamu bicara begitu, Fa. Jangan sedih lagi, demi anak kamu." Laki-laki itu memberikan nasihat bijak untuk sahabatnya, sembari mengusap pelan punggung kurus tersebut.Alifa menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Capek, Mas Kev. Capek banget. Banyak hal yang nggak bisa aku terima dari Mas Farrel. Pernikahan ini seperti menjebakku, Mas Kevin." Wanita itu langsung menangis.Kevin menyandarkan kepala Alifa ke bahunya. "Pikirkan sekali lagi, Fa. Tenangkan pikiran kamu dulu," ucap lelaki itu lirih."Aku sudah nggak sanggup. Besok, masalah apa lagi yang datang pada kami? Lusa, kenyataan apa lagi yang aku tahu tentang suamiku? Lalu bagaimana anakku nanti kal--""Kevin!"Suara itu langsung menghentikan ucapan Alifa. Kevin dan Alifa lantas menoleh. Kevin berdiri kaku menatap Farrel yang juga menatapnya datar. Tidak ada emosi dan kemarahan di wajah Farrel seperti biasanya jika melih
"Ndul, serius nih? Kamu menyerah begitu saja?" tanya Dino tak percaya. "Ingat, Ndul. Dia lagi hamil. Hormon orang hamil itu bikin dia aneh-aneh. Sekali kamu menjatuhkan talak, kamu nyesel, Ndul," lanjut pemuda berambut gondrong tersebut.Vio yang sejak tadi memilih menjadi pendengar, berdecak lirih. "Kalau menurut aku sih, mending lepasin saja tuh istri egois. Kamu pasti dapat gantinya kok, Ndul!" serunya geram.Farrel melirik malas pada Dino dan Vio. "Dengar ya. Aku itu sudah berusaha banget jelasin segala macam. Sudah meminta maaf puluhan kali, tapi dia acuh dia selalu ungkit kesalahan aku. Pusing aku.""Tenangkan pikiran kamu, Rel. Kalian berdua jangan jadi kompor. Kita bantu cari solusi!" sahut Danang sembari menatap Vio dan Dino bergantian."Bagaimana kalau kita mendem sedikit saja biar tenang?" cetus Vio yang langsung di tendang kakinya oleh Dino."Jadi, kamu belum bisa berhenti juga, Nyet? Sana mendem sendiri. Kita bertiga mah sudah tobat!"Vio menggaruk kepalanya sembari nyeng
Farrel menghentikan motornya jauh dari perkiraan kampus Alifa. Sudah seminggu, laki-laki itu tidak melihat istrinya. Istri? mengingat sebutan itu hati Farrel kembali nelangsa.Alifa memang masih berstatus istri sahnya, namun sudah sebulan mereka tidak lagi tinggal satu rumah. Setiap kali Farrel datang menjenguk, seperti biasa, sikap Alifa kaku dan dingin. Farrel juga merasa lelah. Jika keberadaannya tak lagi diharapkan, untuk apa dia memaksa? Laki-laki itu tak ingin membebani perasaan Alifa. Dia ingin Alifa bahagia dengan jalan hidup yang dia pilih.Farrel menatap miris ke depan sana. Alifa, istrinya terlihat tersenyum sumringah ketika berbicara dengan Kevin. Hal yang tidak terlihat selama satu bulan terakhir ini. "Ternyata, senyummu nggak pudar, Fa. Setidaknya di depan Kevin. Baiklah, ini yang kamu inginkan." Laki-laki itu bergumam dengan senyum miris.Farrel bergegas turun dari motornya dan melangkah tegas ke arah Kevin dan Alifa. Keduanya tertegun melihat keberadaan Farrel yang ti
"Ja-jadi, Mas Farrel mau jadi TKI?" tanya Alifa parau sembari memindai penampilan Farrel yang memang sedikit berubah. Rambutnya terpotong rapi dengan warna hitam asli.Farrel mengangguk mantap dan kembali mengulas senyum. Melihat senyum yang seolah tanpa beban itu, kembali membuat hati Alifa terasa diremas sakit. Waktu satu bulan tak bersama sang suami membuat lelaki itu jauh berubah. "Em, sebentar." Farrel menatap ketiga temannya dan Kevin bergantian. Seolah mengerti, mereka pun menyingkir, memberi tempat pada pasangan suami istri itu untuk berbicara."Iya, aku sudah proses menjadi calon TKI ke Jepang, Fa." Farrel berucap pelan sembari menatap wanita di depannya. Ada bias kaca yang menghiasi kedua mata sang istri."Ta-tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu ingin ke sana? Bukankah kamu memiliki banyak usaha?" tanya Alifa dengan suara bergetar.Farrel kembali tersenyum sekilas tanpa mengalihkan pandangan dari istrinya. "He he," lelaki itu tertawa lirih. "Aku ingin memperbaiki hidupku, aku ing
Alifa mengangguk. Wanita itu berusaha merenungkan ucapan dari Kevin dan teman-temannya. Memang, tak selamanya pernikahan itu berjalan dengan mulus. Tidak ada pernikahan yang tanpa pertengkaran dan perselisihan.Alifa kembali mengingat semua kebaikan suaminya. Selama menjadi suami, Farrel telah banyak berubah. Laki-laki itu memang masih sering keluar malam, tetapi untuk melatih bela diri. Farrel sudah meninggal dunia berandalannya dan selalu berusaha memprioritaskan sang istri."Kalau kamu mencari yang sempurna, kamu nggak akan menemukannya. Tapi kalau kamu mencari laki-laki yang mau melakukan apa pun untuk kamu, hari ini kamu telah membuangnya." Ucapan Danang kembali berdengung di ingatan Alifa. Entah bagaimana jalan pikirannya, Alifa juga merasa heran dengan dirinya sendiri yang terlalu egois."Mas Farrel itu suami yang langka. Dia memang berandalan, Lif, tapi berandalan berkualitas. Lihat saja, usahanya. Kalau kebanyakan pemuda memilih kerja kantoran, dia memilih usaha sendiri, pad
"Bagaimana, Fa? Kamu bisa menjawabnya?" tanya Farrel lirih. Jantungnya berdegup kencang. Laki-laki itu berharap, Alifa akan memberikan jawaban yang sesuai harapannya. Alifa menunduk dalam. Menarik nafas berkali-kali dan menimbang semuanya.Lalu perlahan Alifa mendongakkan wajah. Menatap sendu pada Farrel yang masih setia duduk di depannya. "Apa jawaban aku juga akan merubah pendirianmu, Mas?" tanyanya lirih.Farrel terdiam. Merubah pendirian? Bukan hal mudah membatalkan secara sepihak kontrak kerja yang sudah disepakati. Kalau Farrel mundur, bukan hanya kehilangan uang puluhan juta. Namun, Farrel akan kehilangan kepercayaan dari orang yang telah memberikan jalan untuk menjadi TKI sampai sejauh ini. Juga tentu saja omelan dari pihak PJTKI yang akan memberangkatkannya."Kalau kamu berubah pikiran, kita nggak akan bercerai, Fa. Aku akan pertahankan rumah tangga kita seperti niat awal aku menikahimu. Aku sangat mencintai kamu, nggak peduli bagaimana perasaan kamu sama aku setelah kamu ta
"Melahirkan? Ta-tapi, Dok, HPL-nya masih semingguan lagi?" tanya Farrel seperti orang bodoh. Dia memang tidak terlalu paham tentang seluk-beluk maju mundur kelahiran. Yang dia tahu, istrinya dijadwalkan melahirkan seminggu lagi. Dokter berwajah ayu itu tersenyum mendengar pertanyaan polos calon ayah muda itu. "Wajar saja, Pak. Memang perkiraan lahirannya seminggu lagi, tapi hal yang wajar kalau maju seminggu. Jangan khawatir," jelasnya.Farrel mengangguk mengerti. Tidak bisa dipercaya, sembilan bulan lalu, dirinya dan Alifa masih berstatus orang lain. Bahkan seperti musuh. Tetapi kini, Alifa akan menjadi ibu dari anaknya.Alifa bersikeras melahirkan secara normal walaupun sehari semalam dia harus merasakan kesakitan. Farrel dengan setia menunggunya. Laki-laki itu beberapa kali menyeka sudut matanya yang basah ketika Alifa mengalami kontraksi dan menahan sakit."Aku nggak tega lihat kamu begini, Fa. Kita ambil jalan caesar saja ya, Sayang." Farrel berkali-kali meminta pada sang istri