Farrel menghentikan motornya jauh dari perkiraan kampus Alifa. Sudah seminggu, laki-laki itu tidak melihat istrinya. Istri? mengingat sebutan itu hati Farrel kembali nelangsa.Alifa memang masih berstatus istri sahnya, namun sudah sebulan mereka tidak lagi tinggal satu rumah. Setiap kali Farrel datang menjenguk, seperti biasa, sikap Alifa kaku dan dingin. Farrel juga merasa lelah. Jika keberadaannya tak lagi diharapkan, untuk apa dia memaksa? Laki-laki itu tak ingin membebani perasaan Alifa. Dia ingin Alifa bahagia dengan jalan hidup yang dia pilih.Farrel menatap miris ke depan sana. Alifa, istrinya terlihat tersenyum sumringah ketika berbicara dengan Kevin. Hal yang tidak terlihat selama satu bulan terakhir ini. "Ternyata, senyummu nggak pudar, Fa. Setidaknya di depan Kevin. Baiklah, ini yang kamu inginkan." Laki-laki itu bergumam dengan senyum miris.Farrel bergegas turun dari motornya dan melangkah tegas ke arah Kevin dan Alifa. Keduanya tertegun melihat keberadaan Farrel yang ti
"Ja-jadi, Mas Farrel mau jadi TKI?" tanya Alifa parau sembari memindai penampilan Farrel yang memang sedikit berubah. Rambutnya terpotong rapi dengan warna hitam asli.Farrel mengangguk mantap dan kembali mengulas senyum. Melihat senyum yang seolah tanpa beban itu, kembali membuat hati Alifa terasa diremas sakit. Waktu satu bulan tak bersama sang suami membuat lelaki itu jauh berubah. "Em, sebentar." Farrel menatap ketiga temannya dan Kevin bergantian. Seolah mengerti, mereka pun menyingkir, memberi tempat pada pasangan suami istri itu untuk berbicara."Iya, aku sudah proses menjadi calon TKI ke Jepang, Fa." Farrel berucap pelan sembari menatap wanita di depannya. Ada bias kaca yang menghiasi kedua mata sang istri."Ta-tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu ingin ke sana? Bukankah kamu memiliki banyak usaha?" tanya Alifa dengan suara bergetar.Farrel kembali tersenyum sekilas tanpa mengalihkan pandangan dari istrinya. "He he," lelaki itu tertawa lirih. "Aku ingin memperbaiki hidupku, aku ing
Alifa mengangguk. Wanita itu berusaha merenungkan ucapan dari Kevin dan teman-temannya. Memang, tak selamanya pernikahan itu berjalan dengan mulus. Tidak ada pernikahan yang tanpa pertengkaran dan perselisihan.Alifa kembali mengingat semua kebaikan suaminya. Selama menjadi suami, Farrel telah banyak berubah. Laki-laki itu memang masih sering keluar malam, tetapi untuk melatih bela diri. Farrel sudah meninggal dunia berandalannya dan selalu berusaha memprioritaskan sang istri."Kalau kamu mencari yang sempurna, kamu nggak akan menemukannya. Tapi kalau kamu mencari laki-laki yang mau melakukan apa pun untuk kamu, hari ini kamu telah membuangnya." Ucapan Danang kembali berdengung di ingatan Alifa. Entah bagaimana jalan pikirannya, Alifa juga merasa heran dengan dirinya sendiri yang terlalu egois."Mas Farrel itu suami yang langka. Dia memang berandalan, Lif, tapi berandalan berkualitas. Lihat saja, usahanya. Kalau kebanyakan pemuda memilih kerja kantoran, dia memilih usaha sendiri, pad
"Bagaimana, Fa? Kamu bisa menjawabnya?" tanya Farrel lirih. Jantungnya berdegup kencang. Laki-laki itu berharap, Alifa akan memberikan jawaban yang sesuai harapannya. Alifa menunduk dalam. Menarik nafas berkali-kali dan menimbang semuanya.Lalu perlahan Alifa mendongakkan wajah. Menatap sendu pada Farrel yang masih setia duduk di depannya. "Apa jawaban aku juga akan merubah pendirianmu, Mas?" tanyanya lirih.Farrel terdiam. Merubah pendirian? Bukan hal mudah membatalkan secara sepihak kontrak kerja yang sudah disepakati. Kalau Farrel mundur, bukan hanya kehilangan uang puluhan juta. Namun, Farrel akan kehilangan kepercayaan dari orang yang telah memberikan jalan untuk menjadi TKI sampai sejauh ini. Juga tentu saja omelan dari pihak PJTKI yang akan memberangkatkannya."Kalau kamu berubah pikiran, kita nggak akan bercerai, Fa. Aku akan pertahankan rumah tangga kita seperti niat awal aku menikahimu. Aku sangat mencintai kamu, nggak peduli bagaimana perasaan kamu sama aku setelah kamu ta
"Melahirkan? Ta-tapi, Dok, HPL-nya masih semingguan lagi?" tanya Farrel seperti orang bodoh. Dia memang tidak terlalu paham tentang seluk-beluk maju mundur kelahiran. Yang dia tahu, istrinya dijadwalkan melahirkan seminggu lagi. Dokter berwajah ayu itu tersenyum mendengar pertanyaan polos calon ayah muda itu. "Wajar saja, Pak. Memang perkiraan lahirannya seminggu lagi, tapi hal yang wajar kalau maju seminggu. Jangan khawatir," jelasnya.Farrel mengangguk mengerti. Tidak bisa dipercaya, sembilan bulan lalu, dirinya dan Alifa masih berstatus orang lain. Bahkan seperti musuh. Tetapi kini, Alifa akan menjadi ibu dari anaknya.Alifa bersikeras melahirkan secara normal walaupun sehari semalam dia harus merasakan kesakitan. Farrel dengan setia menunggunya. Laki-laki itu beberapa kali menyeka sudut matanya yang basah ketika Alifa mengalami kontraksi dan menahan sakit."Aku nggak tega lihat kamu begini, Fa. Kita ambil jalan caesar saja ya, Sayang." Farrel berkali-kali meminta pada sang istri
"Aku nggak mau jadi orang egois lagi, Mas. Kamu lakukan itu demi Alfa.""Alfa dan kamu!" sahut Farrel cepat."Jadi, berangkatlah."Farrel melepaskan pelukannya. Dia menangkup wajah sang istri dan menatapnya dalam. Mulut boleh meminta pergi, namun tatapan mata wanita itu tidak merelakan dirinya pergi. Farrel tersenyum lalu mencium kening istrinya.Lalu pandangan lelaki itu tertuju pada Alfa yang tidur pulas di samping istrinya. Wajah merah bayi mungil itu membuat hati Farrel tidak ingin beranjak barang semenit. Bagaimana bisa, dia akan mengejar obsesi karena rasa kecewa dan melewati masa tiga tahun tanpa kehadiran kedua orang yang begitu dia cintai?"Aku sudah memutuskan dan ini terbaik untuk kita, Sayang. Melewati masa tiga tahun tanpa melihat pertumbuhan Alfa, itu hal yang sangat berat. Karena nggak bisa aku ulang lagi. Kalau mau ke sana, InshaAllah kalau kita ada rezeki, kita ke sana bertiga.""Tapi, Mas..."Farrel menggeleng tegas. "Nggak, Fa. Aku nggak akan meninggalkan kalian," s
Kisah Farrel-Alifa sudah selesai ya. Di season 2 aku akan tulis tentang kisah Nuraini. Gadis yatim piatu ( Di cerita yang berjudul MENYUSUI TUYUL menjadi target tumbal pesugihan kedua orang tuanya sendiri bareng Farrel.) Masih ingat, kan?Nah, setelah kedua orang tuanya meninggal, hanya Sigit dan neneknya yang menjadi harapan Nuraini. Namun rupanya, Sigit pun meninggal dan sebelum meninggal dia menitipkan Nuraini pada Agus yang tidak lain adalah orang spesial Sigit itu sendiri. Agus bersedia melindungi Nuraini dan menawarkan pernikahan dengan syarat. Bisa nggak ya, Nur ini mengembalikan fitrah Agus sebagai seorang suami dan laki-laki yang normal?Ikuti terus ya pembacaku, terima kasih 🤍
"Nur, ayo kita pulang!"Itu ajakan ketiga kalinya dari Agus pada Nuraini yang masih betah berlama-lama di makam Banu, kekasihnya. Namun, Nur masih bergeming. Dia hanya menoleh sekilas, kemudian kembali menatap batu nisan pemuda tersebut."Nuraini, kamu dengar saya?" tanya Agus lagi. Laki-laki itu berusaha tetap bersabar.Berlama-lama di area pemakaman, membuat Agus teringat akan Sigit. Laki-laki yang begitu dia cintai sampai Sigit menghembuskan napas terakhirnya. Bahkan cinta terlarang itu tidak sirna walaupun sang kekasih sudah berbeda alam dengannya."Pak Agus pulang saja duluan, Nur masih ingin di sini, Pak." Penolakan Nur tidak membuat Agus beranjak.Laki-laki itu justru mengambil tempat duduk di samping Nur dan ikut menatap ke arah batu nisan Banu. Agus kembali menarik napas panjang. Laki-laki berwajah rupawan itu melirik ke arah Nur."Kamu begitu mencintai Banu, ya, Nur?" tanyanya lirih.Nur menoleh sekilas, kemudian mengangguk. "I-iya, Pak. Mas Banu orang yang sangat baik, Mas
Tanpa berucap apa-apa, Agus segera berberes. Sedangkan Nur sibuk dengan si Kembar di dampingi Bu Aminah. Bayi berusia 1,5 bulan itu memang sangat menggemaskan. Bu Aminah dan anak-anak melepas kepergian si Kembar dengan mata berkaca-kaca. Tetapi mereka tidak bisa menahannya. Si Kembar memiliki keluarga dan rumah. Sebelum berangkat ke rumah sakit, Brian terlebih dahulu menghampiri Agus dan memeluk laki-laki itu. Brian menatap Agus dan menepuk pelan bahu laki-laki itu. "Perjuangkan rumah tangga kalian. Jangan sampai si Kembar kehilangan kasih sayang utuh dari orang tuanya, Gus," pesannya.Agustus mengangguk samar. "Terima kasih, Yan. Terima kasih, sudah menjaga si Kembar dan Nur. Kalau nggak ada kalian, aku nggak tahu nasib mereka," ucap Agus sambil melirik ke arah Nur dan kedua anaknya.Brian terkekeh kemudian pamit pada Agus dan Nur untuk ke rumah sakit. Laki-laki itu sengaja berangkat lebih pagi dengan alasan ada pasien yang hendak melahirkan. Padahal, Brian tidak ingin melihat kepe
"Kamu jangan khawatir gini, Yan. Sudah, ah. Berangkat dulu," pamit Agus lagi. Brian tidak bisa lagi mencegah temannya itu. Agus juga menolak diantar dengan alasan laki-laki itu ingin menyendiri. Brian hanya bisa mengangguk pasrah.Nuraini menunduk dalam tidak berani membalas tatapan mata Brian. Sesekali laki-laki itu meliriknya sambil makan. Pandangan Nur bertemu dengan Bu Aminah yang duduk di sebelah Brian."Agus kok lama pulangnya? Apa dia bilang pergi ke mana gitu, Nur?" tanya wanita itu.Nuraini menggeleng lemah. "Ndak, Bu. Cuma pamit ke klinik," jawabnya. Nuraini beralih memandang Brian. "Em, Mas. Tangan Mas Agus kenapa ya, kok bisa begitu?" tanyanya lirih.Dia merasa bodoh. Suami sendiri terluka, tetapi dirinya tidak tahu. Brian mengangkat sebelah alis mendengar pertanyaan konyol itu."Aneh banget. Kamu itu istrinya, Nur. Seharusnya kamu tanya, kenapa dia begitu? Kalau dia nggak datang ke Jakarta, Agus juga nggak luka begitu!" jawab Brian ketus.Bu Aminah langsung menoleh dan m
"Apa maksud Mas Brian bicara begitu?" tanya Nur lirih.Brian menggeleng samar, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sedangkan Nur, mendongak menatap laki-laki itu. Nuraini berharap dirinya salah dengar tentang pernyataan Brian."Aku nggak perlu mengulangi apa yang aku katakan, Nurkodir. Yang aku minta, pulanglah, dan perbaiki hubungan kalian. Cayenne dan Panamera nggak pantas menjadi korban keegoisan orang tuanya," ucap laki-laki itu masih dalam nada ketusnya.Nuraini mengangguk samar, kemudian bangkit dari tempat duduk. Brian mengarahkan pandangan pada beberapa anak yang tengah berkumpul di gasebo bersama guru les."Lihatlah mereka. Anak-anakku itu sewaktu kecil masih bisa aku bohongi tentang orang tuanya. Tapi setelah mereka besar dan sekolah, mereka selalu menuntut jawaban yang sama, Nur. Selalu menanyakan keberadaan orang tua kandungnya. Jangan buat Cayenne dan Panamera mengalami hal serupa dengan mereka," tunjuk Brian pada anak-anaknya. Nasihat si Kaku, pemilik mulut judes itu
"Cayenne, Panamera?" tanya Agus lirih.Brian mengangguk antusias. Dia mempersilakan Agus duduk sembari menunggu Bu Aminah. Rupanya, Bu Aminah membantu Nur memandikan Cayenne dan Panamera.Dada Agus berdesir mendengar tangisan bayi dari dalam kamar tamu. Laki-laki itu beranjak mendekati pintu yang sedikit terbuka. Sedangkan Brian sibuk dengan Axel dan Aruna, anak angkatnya yang berusia satu setengah tahun. "Iya, sebentar ya, Sayang. Gantian Adek Cayenne, dong!""Sudah, Nur, cepat susuin. Biar Ibu yang pakaiin Cayenne baju. Lagian, kamu itu disuruh stok ASI kok susah banget. Maunya tiap hari diomelin Brian. Apa nggak panas, dengerin Brian ngomel?" goda Bu Aminah sambil tertawa kecil.Nuraini menggeleng pelan. "Sudah biasa, Bu. Mas Brian cerewet, tapi perhatian sama si Kembar," ucap Nur sambil melangkah mendekati pintu hendak menutup pintu tersebut.Wanita itu tertegun. Begitu juga laki-laki yang berdiri di depan pintu. Keduanya mematung. Mata laki-laki itu memerah. Pipinya basah. Nurain
Semakin lama memandang wajah mungil Panamera, semakin merasa aneh. Memang wajah bayi itu akan berubah-ubah. Akan tetapi, apa ini kebetulan?Brian meletakkan kembali Panamera, ketika bayi itu mulai menangis. Sedangkan Cayenne sudah tidur sejak beberapa menit yang lalu. Mendengar anaknya menangis, Nur bergegas mendekat."Kayaknya haus, Nur. Kamu harus banyak makan sayur, Nur. Bayi kamu butuh banyak nutrisi, kamu dengar?" ucap Brian kembali ke mode datar dan ketus.Nuraini mengangguk. Dia segera meminta izin membawa Panamera ke kamar dan menyusuinya. Kedua bayi kembarnya itu sangat rakus ketika menyusu. Brian memang tergolong cerewet jika menyangkut anak-anaknya dan juga si Kembar."Alhamdulillah ya, Nak. Kita mendapatkan keluarga baru yang sangat baik. Om Brian dan Eyang sangat sayang pada kalian. Jangan sedih ya, Nak, kalian pisah dari Ayah. Nanti Bunda ketemuin kalian kalau sudah waktunya."Nuraini tersenyum dan mencium pipi Panamera dengan sayang. Nur memerhatikan wajah Panamera yang
Dengan langkah lelah, Agustus tidak berhenti mencari keberadaan sang istri. Dia juga sudah menyebar beberapa foto Nuraini. Namun keberadaan Nur benar-benar seperti ditelan bumi. Agustus tertunduk lesu di peron stasiun. Selama dua minggu di Jakarta tidak membuahkan hasil. Laki-laki itu memutuskan kembali ke Ponorogo. Kini Agus tidak punya semangat hidup. Dia juga tidak bersedia dicalonkan menjadi kepala desa kembali.Bahkan, Agus lebih banyak menghabiskan waktu di toko. Terkadang dia juga tidak pulang dan memilih tidur di toko. Pulang ke rumah hanya akan membuat hatinya semakin diliputi rasa bersalah. Melihat barang-barang milik Nur, hati laki-laki itu kembali tercabik-cabik sakit.Agustus mengusap kedua matanya yang basah. Teringat dosa-dosanya di masa lalu. Dosa-dosa yang pada akhirnya mendzolimi wanita sebaik Nuraini.Sudah tiga bulan, Agus menekuni ilmu agama di pondok pesantren. Dia hanya pulang ke rumah seminggu sekali. Jika pulang, Agus memilih tidur di rumah Nenek Kanti. Di si
"Anak angkat, Buk?" ulang Nur tertarik.Bu Aminah mengangguk. Dia melirik pada kedua anak yang berlari kecil menuju ke rumah. Ada mendung di wajah wanita paruh baya itu mengingat masa kecil Brian yang memprihatinkan."Dulu, nasib Brian kecil sangat menyedihkan, Nur. Dia nggak pernah tahu sosok ayahnya sampai saat ini. Ibu hanyalah perempuan ... perempuan, nggak berguna, Nur." Bu Aminah mengusap-usap kedua matanya yang basah. Nuraini terdiam. Menceritakan masa kecil Brian yang pahit adalah hal berat. Namun, juga membuat wanita paruh baya itu lega karena terlepas dari rasa sakit yang dipendam selama hampir 30 tahun seorang diri.Brian Kahfi Marcelino, adalah anak yang terlahir tanpa kasih sayang sang ayah. Aminah muda hanyalah orang kampung. Dia datang ke Jakarta mencari pekerjaan sebagai ART. Namun, tragisnya wanita berparas ayu itu menjadi korban kebiadaban anak majikannya sendiri. Aminah muda yang cantik diperkosa anak majikannya sehingga hamil. Mengetahui ARTnya hamil, sang majika
Pak Sopir memundurkan mobilnya. Laki-laki itu juga turun dari mobil, membantu mengangkat tas pakaian milik Nur. Selanjutnya, membukakan pintu untuk wanita itu."Maaf, Pak, kita mau ke mana?" tanya Nur begitu mobil sudah melaju cukup jauh dari stasiun Pasar Senen.Laki-laki kaku di samping kemudi itu melirik center mirror. "Mau ke tukang penadah orang hamil!" jawabnya santai dan ketus.Nuraini terperangah. Dia sedikit memajukan badan dan menatap Pak Sopir yang justru tersenyum geli. Melihat kecemasan di wajah Nur, laki-laki muda berkacamata pemilik mulut judes itu tersenyum sinis."Nyalimu besar juga, ya? Datang ke Jakarta dalam keadaan hamil tanpa tujuan jelas?" sindirnya.Nuraini mendengus lirih. Memang benar, dia hanya bermodalkan nekad untuk menjauhi suaminya. Nur juga terpaksa ikut mobil laki-laki bermulut judes itu. Rencananya setelah itu, Nuraini akan mencari kontrakan dan pekerjaan.Mobil melaju pelan ketika memasuki komplek perumahan elite. Nuraini memperhatikan kanan kiri jal
Air mata Nur kembali menetes. Pandangannya buram ke luar jendela kereta yang semakin jauh meninggalkan Jawa Timur. Ikut meninggalkan kenangan indahnya bersama Agus.Laki-laki yang dulu diharapkan mampu menjadi imam yang baik. Laki-laki yang diharapkan menjadi tempatnya berlindung. Namun, justru dialah yang menorehkan luka hati. Lelah menangis, Nur tertidur. Kepalanya terkulai ke sisi kiri.Nur mengerjap kaget ketika merasakan telapak tangan seseorang menyangga kepalanya. Nuraini segera memperbaiki posisi duduk. Kakinya sedikit pegal karena terlalu lama duduk. Dia melirik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu hanya menoleh sekilas dengan sikapnya yang dingin."Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja," ucap Nur tidak enak hati.Laki-laki itu mengangguk pelan dan tersenyum sekilas. "Nggak apa-apa. Mau ke mana?" tanyanya datar. Laki-laki berkaca mata itu melirik perut Nur yang membuncit. Merasa diperhatikan, Nur segera merapikan bagian depan kardigannya."Mau ke Jakarta,