"Ja-jadi, Mas Farrel mau jadi TKI?" tanya Alifa parau sembari memindai penampilan Farrel yang memang sedikit berubah. Rambutnya terpotong rapi dengan warna hitam asli.Farrel mengangguk mantap dan kembali mengulas senyum. Melihat senyum yang seolah tanpa beban itu, kembali membuat hati Alifa terasa diremas sakit. Waktu satu bulan tak bersama sang suami membuat lelaki itu jauh berubah. "Em, sebentar." Farrel menatap ketiga temannya dan Kevin bergantian. Seolah mengerti, mereka pun menyingkir, memberi tempat pada pasangan suami istri itu untuk berbicara."Iya, aku sudah proses menjadi calon TKI ke Jepang, Fa." Farrel berucap pelan sembari menatap wanita di depannya. Ada bias kaca yang menghiasi kedua mata sang istri."Ta-tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu ingin ke sana? Bukankah kamu memiliki banyak usaha?" tanya Alifa dengan suara bergetar.Farrel kembali tersenyum sekilas tanpa mengalihkan pandangan dari istrinya. "He he," lelaki itu tertawa lirih. "Aku ingin memperbaiki hidupku, aku ing
Alifa mengangguk. Wanita itu berusaha merenungkan ucapan dari Kevin dan teman-temannya. Memang, tak selamanya pernikahan itu berjalan dengan mulus. Tidak ada pernikahan yang tanpa pertengkaran dan perselisihan.Alifa kembali mengingat semua kebaikan suaminya. Selama menjadi suami, Farrel telah banyak berubah. Laki-laki itu memang masih sering keluar malam, tetapi untuk melatih bela diri. Farrel sudah meninggal dunia berandalannya dan selalu berusaha memprioritaskan sang istri."Kalau kamu mencari yang sempurna, kamu nggak akan menemukannya. Tapi kalau kamu mencari laki-laki yang mau melakukan apa pun untuk kamu, hari ini kamu telah membuangnya." Ucapan Danang kembali berdengung di ingatan Alifa. Entah bagaimana jalan pikirannya, Alifa juga merasa heran dengan dirinya sendiri yang terlalu egois."Mas Farrel itu suami yang langka. Dia memang berandalan, Lif, tapi berandalan berkualitas. Lihat saja, usahanya. Kalau kebanyakan pemuda memilih kerja kantoran, dia memilih usaha sendiri, pad
"Bagaimana, Fa? Kamu bisa menjawabnya?" tanya Farrel lirih. Jantungnya berdegup kencang. Laki-laki itu berharap, Alifa akan memberikan jawaban yang sesuai harapannya. Alifa menunduk dalam. Menarik nafas berkali-kali dan menimbang semuanya.Lalu perlahan Alifa mendongakkan wajah. Menatap sendu pada Farrel yang masih setia duduk di depannya. "Apa jawaban aku juga akan merubah pendirianmu, Mas?" tanyanya lirih.Farrel terdiam. Merubah pendirian? Bukan hal mudah membatalkan secara sepihak kontrak kerja yang sudah disepakati. Kalau Farrel mundur, bukan hanya kehilangan uang puluhan juta. Namun, Farrel akan kehilangan kepercayaan dari orang yang telah memberikan jalan untuk menjadi TKI sampai sejauh ini. Juga tentu saja omelan dari pihak PJTKI yang akan memberangkatkannya."Kalau kamu berubah pikiran, kita nggak akan bercerai, Fa. Aku akan pertahankan rumah tangga kita seperti niat awal aku menikahimu. Aku sangat mencintai kamu, nggak peduli bagaimana perasaan kamu sama aku setelah kamu ta
"Melahirkan? Ta-tapi, Dok, HPL-nya masih semingguan lagi?" tanya Farrel seperti orang bodoh. Dia memang tidak terlalu paham tentang seluk-beluk maju mundur kelahiran. Yang dia tahu, istrinya dijadwalkan melahirkan seminggu lagi. Dokter berwajah ayu itu tersenyum mendengar pertanyaan polos calon ayah muda itu. "Wajar saja, Pak. Memang perkiraan lahirannya seminggu lagi, tapi hal yang wajar kalau maju seminggu. Jangan khawatir," jelasnya.Farrel mengangguk mengerti. Tidak bisa dipercaya, sembilan bulan lalu, dirinya dan Alifa masih berstatus orang lain. Bahkan seperti musuh. Tetapi kini, Alifa akan menjadi ibu dari anaknya.Alifa bersikeras melahirkan secara normal walaupun sehari semalam dia harus merasakan kesakitan. Farrel dengan setia menunggunya. Laki-laki itu beberapa kali menyeka sudut matanya yang basah ketika Alifa mengalami kontraksi dan menahan sakit."Aku nggak tega lihat kamu begini, Fa. Kita ambil jalan caesar saja ya, Sayang." Farrel berkali-kali meminta pada sang istri
"Aku nggak mau jadi orang egois lagi, Mas. Kamu lakukan itu demi Alfa.""Alfa dan kamu!" sahut Farrel cepat."Jadi, berangkatlah."Farrel melepaskan pelukannya. Dia menangkup wajah sang istri dan menatapnya dalam. Mulut boleh meminta pergi, namun tatapan mata wanita itu tidak merelakan dirinya pergi. Farrel tersenyum lalu mencium kening istrinya.Lalu pandangan lelaki itu tertuju pada Alfa yang tidur pulas di samping istrinya. Wajah merah bayi mungil itu membuat hati Farrel tidak ingin beranjak barang semenit. Bagaimana bisa, dia akan mengejar obsesi karena rasa kecewa dan melewati masa tiga tahun tanpa kehadiran kedua orang yang begitu dia cintai?"Aku sudah memutuskan dan ini terbaik untuk kita, Sayang. Melewati masa tiga tahun tanpa melihat pertumbuhan Alfa, itu hal yang sangat berat. Karena nggak bisa aku ulang lagi. Kalau mau ke sana, InshaAllah kalau kita ada rezeki, kita ke sana bertiga.""Tapi, Mas..."Farrel menggeleng tegas. "Nggak, Fa. Aku nggak akan meninggalkan kalian," s
Kisah Farrel-Alifa sudah selesai ya. Di season 2 aku akan tulis tentang kisah Nuraini. Gadis yatim piatu ( Di cerita yang berjudul MENYUSUI TUYUL menjadi target tumbal pesugihan kedua orang tuanya sendiri bareng Farrel.) Masih ingat, kan?Nah, setelah kedua orang tuanya meninggal, hanya Sigit dan neneknya yang menjadi harapan Nuraini. Namun rupanya, Sigit pun meninggal dan sebelum meninggal dia menitipkan Nuraini pada Agus yang tidak lain adalah orang spesial Sigit itu sendiri. Agus bersedia melindungi Nuraini dan menawarkan pernikahan dengan syarat. Bisa nggak ya, Nur ini mengembalikan fitrah Agus sebagai seorang suami dan laki-laki yang normal?Ikuti terus ya pembacaku, terima kasih 🤍
"Nur, ayo kita pulang!"Itu ajakan ketiga kalinya dari Agus pada Nuraini yang masih betah berlama-lama di makam Banu, kekasihnya. Namun, Nur masih bergeming. Dia hanya menoleh sekilas, kemudian kembali menatap batu nisan pemuda tersebut."Nuraini, kamu dengar saya?" tanya Agus lagi. Laki-laki itu berusaha tetap bersabar.Berlama-lama di area pemakaman, membuat Agus teringat akan Sigit. Laki-laki yang begitu dia cintai sampai Sigit menghembuskan napas terakhirnya. Bahkan cinta terlarang itu tidak sirna walaupun sang kekasih sudah berbeda alam dengannya."Pak Agus pulang saja duluan, Nur masih ingin di sini, Pak." Penolakan Nur tidak membuat Agus beranjak.Laki-laki itu justru mengambil tempat duduk di samping Nur dan ikut menatap ke arah batu nisan Banu. Agus kembali menarik napas panjang. Laki-laki berwajah rupawan itu melirik ke arah Nur."Kamu begitu mencintai Banu, ya, Nur?" tanyanya lirih.Nur menoleh sekilas, kemudian mengangguk. "I-iya, Pak. Mas Banu orang yang sangat baik, Mas
"Maaf ya, Nduk. Mbah nggak bisa bantu kamu, nggak seharusnya kamu bekerja keras seperti itu, Nur. Seandainya ibuk sama bapakmu nggak tergoda bujukan Sutoro. Seandainya bapakmu nggak jadi orang salah jalan, Nur. Kamu pasti bisa kuliah, Nduk..."Nuraini mengusap-usap punggung ringkih perempuan tua tersebut dengan mata berkaca-kaca. Memang jalan hidupnya telah berbalik karena ulah kedua orang tuanya. Jika mereka tidak mengabdi pada setan maka Nur dan neneknya juga tidak merasakan malu. Beruntung, Pak Haji Imran masih selalu berbaik hati menolong Nur dan neneknya.Begitu juga dengan orang tua Alisha yang bersedia menerima Nur bekerja paruh waktu di tokonya. Namun, gaji pegawai toko juga hanya cukup untuk keperluan sehari-hari dan biaya sekolah Nur yang akan lulus beberapa bulan lagi. Nur juga merasa malu jika selalu mendapatkan bantuan dari Bu Halimah. Gadis itu mengusap air matanya. Teringat kembali lamaran Agus ketika itu. Jika dia mau menerima lamaran Agus maka hidup Nur dan neneknya