"Maaf."Satu kata itu yang tertulis di balik foto tersebut. Alifa mengamati gambar perempuan yang berada di dalam foto bersama Farrel dan Sigit juga beberapa teman lainnya."Ada apa dengan gadis ini? Apa mantan Mas Farrel?" tanyanya.Alifa terkejut, ketika foto itu telah berpindah tangan. Dia menatap protes pada Farrel yang telah berdiri di sampingnya. Farrel meletakkan foto tersebut begitu saja, lalu memeluk tubuh istrinya. "Mas, perempuan dalam foto itu siapa?" tanyanya ketika bertemu pandang dengan sang suami.Farrel tak menjawab. Laki-laki itu malah menciumi pipi dan wajah istrinya. "Ish, Mas. Ditanya malah grepe-grepe!" Alifa kembali memprotes, ketika tangan Farrel tak hanya memeluknya, tetapi justru bergerilya.Farrel terkekeh tanpa dosa. "Itu almarhumah Karina, anaknya almarhum Pak Sutoro." Farrel menjawab lirih lalu melumat bibir Alifa tanpa memberikan kesempatan sang istri untuk kembali bertanya.Benar saja, Alifa tak punya kesempatan untuk bertanya lagi karena Farrel telah
Alifa mengusap pipi sang suami dengan lembut. Sepasang matanya menatap sang suami dengan tatapan dalam. "Kenapa nggak tidur? Apa yang kamu pikirkan, Mas?" tanyanya lirih.Farrel menggeleng samar, kemudian dia memeluk istrinya, mencium puncak kepala wanita itu. "Lagi nggak bisa tidur saja. Sudahlah, nggak apa-apa." Laki-laki itu menjawab sambil menarik selimut sampai batas leher.Tak puas dengan jawaban suaminya, Alifa mengguncang pelan lengan atas laki-laki itu. Farrel menggenggam jemari tangan Alifa dan menciumnya. "Mas, kalau ada masalah ngomong dong, jangan diam saja begitu. Dari gerak geriknya kelihatan, kalau lagi ada masalah." Alifa kembali mengungkit. Terdengar dengusan kasar dari bibir Farrel. Dia menoleh menatap istrinya dengan tatapan penuh arti. Laki-laki itu kemudian merubah posisi berbaringnya menjadi bersandar di kepala ranjang. Alifa ikut duduk dan menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. Farrel langsung menunduk dan bertemu pandang dengan Alifa. Rasa bersalah itu
Alifa memalingkan wajah ketika bertemu pandang dengan Farrel. Laki-laki itu menatapnya dengan sayu, lalu mengulurkan tangan. Alifa hanya meliriknya malas."Fa, apa kamu ingin mengatakan sesuatu, Sayang?" tanyanya. Bibir pucat itu tersenyum samar. "Tolong pandang aku, Fa. Kenapa kamu nggak mau melihatku? Apa aku begitu menjijikkan bagimu, Fa?" Farrel kembali bertanya dengan suara lirih.Alifa menatap Farrel sekilas, selanjutnya kembali memalingkan wajah. "Fokuslah pada kesehatan kamu dulu, Mas. Jangan banyak pikiran. Aku heran kenapa kamu begitu bodohnya menyiksa dirimu seperti itu?""Aku akan lakukan apa pun untuk mendapatkan maafmu, Fa. Percaya sama aku, aku menyesal banget telah melakukan hal tersebut. Seharusnya, aku bisa mendamaikan mereka, bukan malah menjadi bensin di atas bara api," sesalnya. Farrel memejamkan matanya yang mengembun."Apa kamu akan bangga Mas, seandainya nanti anak kamu mengetahui cerita tentang hal ini? Lalu, bagaimana dengan Bapak, Ibuk, dan keluarga besar ki
Novi memutar bola mata malas mendengar jawaban Alifa. Dengan gemas, dicubitnya lengan Alifa yang membuat wanita itu mengaduh. Alifa berdecak sembari mengusap-usap lengannya yang panas."Aku memang nggak tahu, Nov. Kuat dilakoni ora kuat lambaikan tangan ke kamera."Novi semakin gregetan dengan jawaban Alifa yang seenaknya. "Sebenarnya, kamu itu mencintai Mas Farrel nggak sih, Lif? Kalau kamu nggak mau sama dia, sini hibahkan ke aku saja!" serunya cengengesan.Alifa langsung melotot dan tersenyum mengejek. "Suamiku mantan sahabatku, seperti cerita novel online!" cibirnya. "Lanjutkan halumu, Vi. Siapa tahu diangkat ke sinetron ikan terbang dan beranak cucu episode!" Alifa melanjutkan sindirannya dengan wajah datar. Novi tertawa terbahak yang membuat beberapa orang menatap ke arah mereka."Ups, dilihatin Pak Dosen ganteng," ucap Novi cengengesan ketika bertemu pandang dengan Kevin yang kebetulan lewat di dekat mereka.Kevin menggelengkan kepala samar mendengar ucapan to the point gadis t
Bruk!Tubuh Alifa terhuyung, menabrak seseorang yang langsung memeluknya dengan erat. Adelia yang tadi tertawa puas, berharap Alifa jatuh, kini membekap bibirnya. Kedua matanya melotot karena terkejut."S-sialan. Dasar brengsek!" makinya dengan tatapan tajam. Farrel tersenyum miring sekilas dan menunjuk wajah Adelia dengan tatapan tajam. "Maki saja sepuasmu, Del. Sampai kapan kamu akan dendam denganku?" tanyanya sinis. "Sampai dendam Karina terbalaskan!" sahut Adelia dengan sombong.Farrel mengangguk-angguk, lalu berdiri di depan Alifa. "Baiklah, lampiaskan ke aku saja. Aku kasih tahu, Del. Sebelum kamu lampiaskan dendam kamu, coba kamu tanyakan dulu ke Gladis, teman baik Karina yang mengetahui kejadian itu. Jangan buta kamu, Del. Aku memang bersalah dan sudah mengakui hal itu. Tapi apa yang dilakukan Karina dan Trisna juga Pakdhe kamu itu sudah cukup impas!" sahutnya tegas."Kamu memang brengsek, Rel. Seandainya, kamu nggak ikut campur, Karina nggak mati.""Sudahlah, tanpa aku atau
Farrel menatap nanar pada Alifa yang masih bersikap acuh. Laki-laki itu mengeraskan rahangnya, menghadapi sikap keras kepala sang istri."Kalau begitu, kamu nggak usah ke rumah Ibuk. Kamu nggak usah pergi, kalau nggak mau kembali lagi!" Farrel berkata tegas.Alifa menggeleng. "Kalau nggak mau antar aku, ya sudah. Aku bisa panggil taksi!" sahutnya tak mau kalah.Lagi dan lagi, Farrel harus bersabar menghadapi sikap egois nan keras kepala istrinya. Laki-laki itu memilih menurut demi menghindari pertengkaran. Dalam perjalanan ke rumah orang tua Alifa, mereka memilih diam. Sampai di sana, Farrel tak langsung pulang. Dia justru mengikuti istrinya memasuki kamar. Farrel menatap Alifa dengan pandangan miris, ketika wanita itu bersikap begitu acuh."Kenapa kamu nggak pulang saja, Mas?" tanya wanita itu pada akhirnya. Farrel mendengus kasar dengan tatapan tajam ke arah istrinya. "Apa kamu ingin mereka tahu tentang masalah kita?" tanyanya lirih. "Masalah ini kita selesaikan baik-baik, jangan
Kevin menegakkan punggungnya. Ditatapnya wajah murung Alifa dengan intens. "Sadar, Fa. Kamu lagi hamil. Nggak baik kamu bicara begitu, Fa. Jangan sedih lagi, demi anak kamu." Laki-laki itu memberikan nasihat bijak untuk sahabatnya, sembari mengusap pelan punggung kurus tersebut.Alifa menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Capek, Mas Kev. Capek banget. Banyak hal yang nggak bisa aku terima dari Mas Farrel. Pernikahan ini seperti menjebakku, Mas Kevin." Wanita itu langsung menangis.Kevin menyandarkan kepala Alifa ke bahunya. "Pikirkan sekali lagi, Fa. Tenangkan pikiran kamu dulu," ucap lelaki itu lirih."Aku sudah nggak sanggup. Besok, masalah apa lagi yang datang pada kami? Lusa, kenyataan apa lagi yang aku tahu tentang suamiku? Lalu bagaimana anakku nanti kal--""Kevin!"Suara itu langsung menghentikan ucapan Alifa. Kevin dan Alifa lantas menoleh. Kevin berdiri kaku menatap Farrel yang juga menatapnya datar. Tidak ada emosi dan kemarahan di wajah Farrel seperti biasanya jika melih
"Ndul, serius nih? Kamu menyerah begitu saja?" tanya Dino tak percaya. "Ingat, Ndul. Dia lagi hamil. Hormon orang hamil itu bikin dia aneh-aneh. Sekali kamu menjatuhkan talak, kamu nyesel, Ndul," lanjut pemuda berambut gondrong tersebut.Vio yang sejak tadi memilih menjadi pendengar, berdecak lirih. "Kalau menurut aku sih, mending lepasin saja tuh istri egois. Kamu pasti dapat gantinya kok, Ndul!" serunya geram.Farrel melirik malas pada Dino dan Vio. "Dengar ya. Aku itu sudah berusaha banget jelasin segala macam. Sudah meminta maaf puluhan kali, tapi dia acuh dia selalu ungkit kesalahan aku. Pusing aku.""Tenangkan pikiran kamu, Rel. Kalian berdua jangan jadi kompor. Kita bantu cari solusi!" sahut Danang sembari menatap Vio dan Dino bergantian."Bagaimana kalau kita mendem sedikit saja biar tenang?" cetus Vio yang langsung di tendang kakinya oleh Dino."Jadi, kamu belum bisa berhenti juga, Nyet? Sana mendem sendiri. Kita bertiga mah sudah tobat!"Vio menggaruk kepalanya sembari nyeng
Tanpa berucap apa-apa, Agus segera berberes. Sedangkan Nur sibuk dengan si Kembar di dampingi Bu Aminah. Bayi berusia 1,5 bulan itu memang sangat menggemaskan. Bu Aminah dan anak-anak melepas kepergian si Kembar dengan mata berkaca-kaca. Tetapi mereka tidak bisa menahannya. Si Kembar memiliki keluarga dan rumah. Sebelum berangkat ke rumah sakit, Brian terlebih dahulu menghampiri Agus dan memeluk laki-laki itu. Brian menatap Agus dan menepuk pelan bahu laki-laki itu. "Perjuangkan rumah tangga kalian. Jangan sampai si Kembar kehilangan kasih sayang utuh dari orang tuanya, Gus," pesannya.Agustus mengangguk samar. "Terima kasih, Yan. Terima kasih, sudah menjaga si Kembar dan Nur. Kalau nggak ada kalian, aku nggak tahu nasib mereka," ucap Agus sambil melirik ke arah Nur dan kedua anaknya.Brian terkekeh kemudian pamit pada Agus dan Nur untuk ke rumah sakit. Laki-laki itu sengaja berangkat lebih pagi dengan alasan ada pasien yang hendak melahirkan. Padahal, Brian tidak ingin melihat kepe
"Kamu jangan khawatir gini, Yan. Sudah, ah. Berangkat dulu," pamit Agus lagi. Brian tidak bisa lagi mencegah temannya itu. Agus juga menolak diantar dengan alasan laki-laki itu ingin menyendiri. Brian hanya bisa mengangguk pasrah.Nuraini menunduk dalam tidak berani membalas tatapan mata Brian. Sesekali laki-laki itu meliriknya sambil makan. Pandangan Nur bertemu dengan Bu Aminah yang duduk di sebelah Brian."Agus kok lama pulangnya? Apa dia bilang pergi ke mana gitu, Nur?" tanya wanita itu.Nuraini menggeleng lemah. "Ndak, Bu. Cuma pamit ke klinik," jawabnya. Nuraini beralih memandang Brian. "Em, Mas. Tangan Mas Agus kenapa ya, kok bisa begitu?" tanyanya lirih.Dia merasa bodoh. Suami sendiri terluka, tetapi dirinya tidak tahu. Brian mengangkat sebelah alis mendengar pertanyaan konyol itu."Aneh banget. Kamu itu istrinya, Nur. Seharusnya kamu tanya, kenapa dia begitu? Kalau dia nggak datang ke Jakarta, Agus juga nggak luka begitu!" jawab Brian ketus.Bu Aminah langsung menoleh dan m
"Apa maksud Mas Brian bicara begitu?" tanya Nur lirih.Brian menggeleng samar, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sedangkan Nur, mendongak menatap laki-laki itu. Nuraini berharap dirinya salah dengar tentang pernyataan Brian."Aku nggak perlu mengulangi apa yang aku katakan, Nurkodir. Yang aku minta, pulanglah, dan perbaiki hubungan kalian. Cayenne dan Panamera nggak pantas menjadi korban keegoisan orang tuanya," ucap laki-laki itu masih dalam nada ketusnya.Nuraini mengangguk samar, kemudian bangkit dari tempat duduk. Brian mengarahkan pandangan pada beberapa anak yang tengah berkumpul di gasebo bersama guru les."Lihatlah mereka. Anak-anakku itu sewaktu kecil masih bisa aku bohongi tentang orang tuanya. Tapi setelah mereka besar dan sekolah, mereka selalu menuntut jawaban yang sama, Nur. Selalu menanyakan keberadaan orang tua kandungnya. Jangan buat Cayenne dan Panamera mengalami hal serupa dengan mereka," tunjuk Brian pada anak-anaknya. Nasihat si Kaku, pemilik mulut judes itu
"Cayenne, Panamera?" tanya Agus lirih.Brian mengangguk antusias. Dia mempersilakan Agus duduk sembari menunggu Bu Aminah. Rupanya, Bu Aminah membantu Nur memandikan Cayenne dan Panamera.Dada Agus berdesir mendengar tangisan bayi dari dalam kamar tamu. Laki-laki itu beranjak mendekati pintu yang sedikit terbuka. Sedangkan Brian sibuk dengan Axel dan Aruna, anak angkatnya yang berusia satu setengah tahun. "Iya, sebentar ya, Sayang. Gantian Adek Cayenne, dong!""Sudah, Nur, cepat susuin. Biar Ibu yang pakaiin Cayenne baju. Lagian, kamu itu disuruh stok ASI kok susah banget. Maunya tiap hari diomelin Brian. Apa nggak panas, dengerin Brian ngomel?" goda Bu Aminah sambil tertawa kecil.Nuraini menggeleng pelan. "Sudah biasa, Bu. Mas Brian cerewet, tapi perhatian sama si Kembar," ucap Nur sambil melangkah mendekati pintu hendak menutup pintu tersebut.Wanita itu tertegun. Begitu juga laki-laki yang berdiri di depan pintu. Keduanya mematung. Mata laki-laki itu memerah. Pipinya basah. Nurain
Semakin lama memandang wajah mungil Panamera, semakin merasa aneh. Memang wajah bayi itu akan berubah-ubah. Akan tetapi, apa ini kebetulan?Brian meletakkan kembali Panamera, ketika bayi itu mulai menangis. Sedangkan Cayenne sudah tidur sejak beberapa menit yang lalu. Mendengar anaknya menangis, Nur bergegas mendekat."Kayaknya haus, Nur. Kamu harus banyak makan sayur, Nur. Bayi kamu butuh banyak nutrisi, kamu dengar?" ucap Brian kembali ke mode datar dan ketus.Nuraini mengangguk. Dia segera meminta izin membawa Panamera ke kamar dan menyusuinya. Kedua bayi kembarnya itu sangat rakus ketika menyusu. Brian memang tergolong cerewet jika menyangkut anak-anaknya dan juga si Kembar."Alhamdulillah ya, Nak. Kita mendapatkan keluarga baru yang sangat baik. Om Brian dan Eyang sangat sayang pada kalian. Jangan sedih ya, Nak, kalian pisah dari Ayah. Nanti Bunda ketemuin kalian kalau sudah waktunya."Nuraini tersenyum dan mencium pipi Panamera dengan sayang. Nur memerhatikan wajah Panamera yang
Dengan langkah lelah, Agustus tidak berhenti mencari keberadaan sang istri. Dia juga sudah menyebar beberapa foto Nuraini. Namun keberadaan Nur benar-benar seperti ditelan bumi. Agustus tertunduk lesu di peron stasiun. Selama dua minggu di Jakarta tidak membuahkan hasil. Laki-laki itu memutuskan kembali ke Ponorogo. Kini Agus tidak punya semangat hidup. Dia juga tidak bersedia dicalonkan menjadi kepala desa kembali.Bahkan, Agus lebih banyak menghabiskan waktu di toko. Terkadang dia juga tidak pulang dan memilih tidur di toko. Pulang ke rumah hanya akan membuat hatinya semakin diliputi rasa bersalah. Melihat barang-barang milik Nur, hati laki-laki itu kembali tercabik-cabik sakit.Agustus mengusap kedua matanya yang basah. Teringat dosa-dosanya di masa lalu. Dosa-dosa yang pada akhirnya mendzolimi wanita sebaik Nuraini.Sudah tiga bulan, Agus menekuni ilmu agama di pondok pesantren. Dia hanya pulang ke rumah seminggu sekali. Jika pulang, Agus memilih tidur di rumah Nenek Kanti. Di si
"Anak angkat, Buk?" ulang Nur tertarik.Bu Aminah mengangguk. Dia melirik pada kedua anak yang berlari kecil menuju ke rumah. Ada mendung di wajah wanita paruh baya itu mengingat masa kecil Brian yang memprihatinkan."Dulu, nasib Brian kecil sangat menyedihkan, Nur. Dia nggak pernah tahu sosok ayahnya sampai saat ini. Ibu hanyalah perempuan ... perempuan, nggak berguna, Nur." Bu Aminah mengusap-usap kedua matanya yang basah. Nuraini terdiam. Menceritakan masa kecil Brian yang pahit adalah hal berat. Namun, juga membuat wanita paruh baya itu lega karena terlepas dari rasa sakit yang dipendam selama hampir 30 tahun seorang diri.Brian Kahfi Marcelino, adalah anak yang terlahir tanpa kasih sayang sang ayah. Aminah muda hanyalah orang kampung. Dia datang ke Jakarta mencari pekerjaan sebagai ART. Namun, tragisnya wanita berparas ayu itu menjadi korban kebiadaban anak majikannya sendiri. Aminah muda yang cantik diperkosa anak majikannya sehingga hamil. Mengetahui ARTnya hamil, sang majika
Pak Sopir memundurkan mobilnya. Laki-laki itu juga turun dari mobil, membantu mengangkat tas pakaian milik Nur. Selanjutnya, membukakan pintu untuk wanita itu."Maaf, Pak, kita mau ke mana?" tanya Nur begitu mobil sudah melaju cukup jauh dari stasiun Pasar Senen.Laki-laki kaku di samping kemudi itu melirik center mirror. "Mau ke tukang penadah orang hamil!" jawabnya santai dan ketus.Nuraini terperangah. Dia sedikit memajukan badan dan menatap Pak Sopir yang justru tersenyum geli. Melihat kecemasan di wajah Nur, laki-laki muda berkacamata pemilik mulut judes itu tersenyum sinis."Nyalimu besar juga, ya? Datang ke Jakarta dalam keadaan hamil tanpa tujuan jelas?" sindirnya.Nuraini mendengus lirih. Memang benar, dia hanya bermodalkan nekad untuk menjauhi suaminya. Nur juga terpaksa ikut mobil laki-laki bermulut judes itu. Rencananya setelah itu, Nuraini akan mencari kontrakan dan pekerjaan.Mobil melaju pelan ketika memasuki komplek perumahan elite. Nuraini memperhatikan kanan kiri jal
Air mata Nur kembali menetes. Pandangannya buram ke luar jendela kereta yang semakin jauh meninggalkan Jawa Timur. Ikut meninggalkan kenangan indahnya bersama Agus.Laki-laki yang dulu diharapkan mampu menjadi imam yang baik. Laki-laki yang diharapkan menjadi tempatnya berlindung. Namun, justru dialah yang menorehkan luka hati. Lelah menangis, Nur tertidur. Kepalanya terkulai ke sisi kiri.Nur mengerjap kaget ketika merasakan telapak tangan seseorang menyangga kepalanya. Nuraini segera memperbaiki posisi duduk. Kakinya sedikit pegal karena terlalu lama duduk. Dia melirik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu hanya menoleh sekilas dengan sikapnya yang dingin."Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja," ucap Nur tidak enak hati.Laki-laki itu mengangguk pelan dan tersenyum sekilas. "Nggak apa-apa. Mau ke mana?" tanyanya datar. Laki-laki berkaca mata itu melirik perut Nur yang membuncit. Merasa diperhatikan, Nur segera merapikan bagian depan kardigannya."Mau ke Jakarta,