Laki-laki berkulit putih itu mendekat ke arah Alifa dan meletakkan parcel ke atas nakas. Dia mengamati wajah pucat Alifa dengan tatapan prihatin. Sedangkan Alifa, masih diam, dia tidak tahu harus berkata apa. Alifa melirik sekilas pada laki-laki yang mengambil tempat duduk di sebelahnya, berseberangan dengan Farrel. "Pendekar juga bisa sakit ternyata," godanya sambil mengulurkan tangan mengusap kepala Alifa yang tertutup hijab. Alifa menoleh ke arah Farrel yang menunjukkan wajah tak suka. Alifa merasakan genggaman tangan Farrel semakin erat, seolah menegaskan hanya Farrellah yang berhak menyentuhnya."Hei, Rabit Kecil, kenapa kamu jadi pendiam begini? Ke mana selama dua tahun ini, hm? Kamu sengaja menghindari aku?" tanya laki-laki itu beruntun.Alifa tersenyum sekilas dan mengedipkan mata pelan ketika tatapan mata Farrel seolah menuntut jawaban darinya. "Aku hanya ingin fokus sama kuliah aku, Mas Kev. Sekarang aku juga fokus menjadi seorang istri," ucapnya lirih. Kevin mengangguk p
Farrel menatap protes pada Alifa yang kesekian kalinya kembali menyebalkan. Alifa tidak memperdulikan raut wajah protes suaminya.Alifa justru lebih penasaran akan isi rantang di atas nakas tersebut. "Mas, Mbak Alisha kasih makanan apa?" tanyanya tanpa rasa bersalah.Farrel menoleh dan kembali berdiri. Dia membuka rantang susun tiga itu. Aroma gulai ayam yang menggugah selera. Alifa bertepuk tangan kecil membayangkan rasa gurih dari ayam tersebut."Uuuh, kayaknya enak!" serunya antusias.Farrel mengangguk lemah dan membekap mulutnya.Huukk! Rasa mual bergejolak di dalam perutnya. Laki-laki itu pun segera berlari ke dalam kamar mandi. "Mas, kamu kenapa sih?" tanya Alifa dengan heran.Farrel tak menjawabnya, justru muntah-muntah di dalam kamar mandi."Mas!" "Huuk!" Farrel mengguyur seluruh wajahnya dengan air kran kamar mandi. Alifa bangkit dari brankar sembari mendorong tiang gantungan infus untuk mencapai kamar mandi.Alifa mengerutkan keningnya mendapati sang suami yang dalam kea
Alifa mengangguk dalam pelukan suaminya. Dia mendongak, menatap wajah tampan Farrel yang mulai memejamkan mata. Alifa tersenyum. Bila diperhatikan lebih seksama, suaminya itu begitu tampan. Inilah yang dinamakan jodoh di tangan Tuhan. Sekuat apa pun dirinya dan Farrel menolaknya jika Allah berkehendak maka mereka hanya bisa menjalani.Dulu, sebulan yang lalu di awal pernikahan, Alifa pesimis jika bisa mencintai laki-laki seperti Farrel. Namun, kini Alifa semakin takut kehilangan laki-laki tersebut."Terima kasih ya Allah, telah menulis nama kami berdampingan," ucapnya dalam hati.Tanpa disadari Alifa, Farrel membuka matanya sedikit. Laki-laki itu tersenyum ketika mengetahui sang istri memperhatikan dirinya. "Kalau mau memperhatikan suami ganteng nggak usah sembunyi-sembunyi begitu, Sayang."Alifa tergagap. Dia menyembunyikan rona merah di pipinya dengan menenggelamkan wajahnya di dada bidang Farrel."Mas, besok aku sudah kuliah lagi," ucapnya lirih.Farrel menjawab dengan berat, "Ka
Pada akhirnya, Alifa bisa menarik nafas lega ketika berada di dalam mobil Novi. Novi menoleh sekilas, kemudian fokus pada kemudi mobilnya.Dia mendengar Alifa berkali-kali mendesah gusar. Hal tersebut membuat Novi tidak tahan untuk tidak bertanya."Ada apa, Lif? Kamu bertengkar lagi sama Mas Farrel?" tebaknya.Alifa tak menjawab, dia malah kembali mendesah kasar. Novi yang merasa tebakannya benar, menggeleng pelan. Gadis manis itu menghentikan mobilnya ketika melihat Zizi sudah menunggu di depan rumahnya."Kenapa sih, Lif, kalian itu hobi banget berantem? Perasaan tadi, dia masih antar jemput kamu ke kampus, deh!" ucap Novi. "Apa ini ada hubungannya dengan rencana kita touring itu?" tanyanya tak enak hati."Mas Farrel nggak mengizinkan kamu pergi ikut touring?" Kali ini giliran Zizi yang bertanya sambil menutup pintu tengah.Alifa menoleh sekilas dan mengangguk pelan. "Iya, posesif banget dia. Apalagi tahu aku hamil, huuh tambah memperlakukan aku mirip anak PAUD!" Alifa menjawab denga
Tanpa menunggu persetujuan Alifa, Kevin segera bangkit dari tempat duduknya. Laki-laki itu memesankan makanan yang menurutnya lebih bergizi. Alifa mengamati semangkuk gulai yang terlihat begitu nikmat. Tiba-tiba, dia kembali teringat akan suaminya itu. Alifa menunduk, mengambil handphone yang sejak tadi dia simpan di dalam tasnya dalam keadaan mati."Mas Farrel," gumamnya lirih, ketika handphone telah dinyalakan. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari suaminya itu. "Faa, makan dulu, mumpung masih hangat." Kevin kembali memperingatkan. Alifa mendongak dan mengangguk kaku. Sedangkan Zizi dan Novi memperhatikan interaksi keduanya dengan tatapan penuh arti. Melihat perhatian Kevin pada Alifa yang tidak wajar, Zizi tampak gelisah.Kevin menggeser mangkuk lebih mendekat ke arah Alifa. "Makan dulu, biar baby kamu sehat," titahnya.Alifa kembali mengangguk. Dia mulai menyuap. Tetapi, tiba-tiba rasa mual itu bergejolak di dalam perutnya. Alifa segera bangkit sambil memegang perutnya."Lif
Farrel memejamkan matanya rapat. Dia mendongakkan wajah. Ucapan sang istri menyesakkan dadanya. "Astaghfirullah," gumamnya lirih. Dia tidak boleh terpancing emosi sesaat yang akan menghancurkan segalanya. Bukan hanya rumah tangga yang baru dimulainya yang hancur. Akan tetapi, kekecewaan dari semua anggota keluarga besarnya. Jika Farrel menuruti emosi istrinya maka detik ini juga semua akan selesai. Arsyi Allah akan berguncang dengan kata talaq.Tidak. Dia tidak ingin mengalah. Farrel mendekat ke arah sang istri yang masih mematung di tempatnya. Wanita itu menatapnya tajam dengan nafas memburu.Farrel menangkup wajah tirus istrinya dengan telapak tangannya. Dia menatap wajah cantik itu dalam-dalam walaupun Alifa tak membalas tatapannya."Kamu tahu, Sayang." Farrel berucap lirih sambil mengusap-usap pipi istrinya dengan ibu jarinya. "Jika aku sangat marah, itu artinya aku takut kehilanganmu. Aku khawatir akan keadaan kamu. Tadi sewaktu aku tinggal pergi kamu sedang marah, dan...""Ng
Alifa kembali mencubit. Kali ini perut suaminya yang dijadikan sasaran. Farrel tersenyum dan menggenggam jemari tangan istrinya sebentar karena harus konsentrasi pada setir motornya."Mas, jaga tuh pandangannya. Nggak usah lihat-lihat paha cewek lain. Dosa!" Farrel kembali menyunggingkan senyum melihat wajah Alifa yang masih cemberut. "Kamu kalau cemberut gini bikin gemes, Sayang. Jadi, bagaimana, kita ke hotel dulu ya?" Farrel kembali bernegosiasi. Alifa tak menyahut dan malah menipiskan bibirnya menahan geram. "Mau ngapain sih ke hotel terus pikirannya?" tanyanya gemas."Ya, pengin saja. Biasanya habis berantem, kamu tuh beda, Sayang." Farrel menjawab sambil cengengesan. "Bagaimana Alifa Fatima?" tanyanya lagi.Alifa tak menjawab. Dia malas meladeni keinginan suaminya. Merasa tak ada jawaban, Farrel kembali iseng. Dia mengusap pelan paha istrinya yang terbalut celana jeans. Kini, mereka berhenti di lampu merah."Gara-gara lihat paha cewek tadi, pikirannya jadi gentayangan!" Alifa
Mereka kompak menoleh. Farrel telah berdiri beberapa langkah di belakang keduanya. Laki-laki jangkung itu tersenyum miring dengan tatapan tajam pada Kevin."Dengan cara apa aku bilang ke kamu, Vin?" Farrel tak mau berbasa-basi. "Jauhi istriku, kamu dengar?" tanyanya tegas."Ow, ow ... sabar Bro. Aku nggak mengganggu Alifa. Kamu tahu, kan? Kami itu bersahabat, jauh sebelum kamu hadir dalam hidupnya?" tanya Kevin sambil menaikkan dagunya. Dia menjulurkan tangan dan menunjuk tepat di dada Farrel. "Kamu nggak bisa mengaturku," ucapnya lirih seolah mengejek.Farrel menepis tangan Kevin dan menantang tatapan laki-laki di depannya. "Sahabat yang modus mencintainya setelah kamu kesepian?" tanyanya sinis."Ya, aku mencintai Alifa. Mau apa kamu?"Bugh!Farrel tak tahan lagi. Setelah mendaratkan pukulan di rahang Kevin hingga memar, Farrel mencengkeram kerah kemeja laki-laki berkulit putih tersebut."Mas, sudah!" Farrel melirik ke arah Alifa yang memegangi lengannya yang terangkat, siap memukul
Tanpa berucap apa-apa, Agus segera berberes. Sedangkan Nur sibuk dengan si Kembar di dampingi Bu Aminah. Bayi berusia 1,5 bulan itu memang sangat menggemaskan. Bu Aminah dan anak-anak melepas kepergian si Kembar dengan mata berkaca-kaca. Tetapi mereka tidak bisa menahannya. Si Kembar memiliki keluarga dan rumah. Sebelum berangkat ke rumah sakit, Brian terlebih dahulu menghampiri Agus dan memeluk laki-laki itu. Brian menatap Agus dan menepuk pelan bahu laki-laki itu. "Perjuangkan rumah tangga kalian. Jangan sampai si Kembar kehilangan kasih sayang utuh dari orang tuanya, Gus," pesannya.Agustus mengangguk samar. "Terima kasih, Yan. Terima kasih, sudah menjaga si Kembar dan Nur. Kalau nggak ada kalian, aku nggak tahu nasib mereka," ucap Agus sambil melirik ke arah Nur dan kedua anaknya.Brian terkekeh kemudian pamit pada Agus dan Nur untuk ke rumah sakit. Laki-laki itu sengaja berangkat lebih pagi dengan alasan ada pasien yang hendak melahirkan. Padahal, Brian tidak ingin melihat kepe
"Kamu jangan khawatir gini, Yan. Sudah, ah. Berangkat dulu," pamit Agus lagi. Brian tidak bisa lagi mencegah temannya itu. Agus juga menolak diantar dengan alasan laki-laki itu ingin menyendiri. Brian hanya bisa mengangguk pasrah.Nuraini menunduk dalam tidak berani membalas tatapan mata Brian. Sesekali laki-laki itu meliriknya sambil makan. Pandangan Nur bertemu dengan Bu Aminah yang duduk di sebelah Brian."Agus kok lama pulangnya? Apa dia bilang pergi ke mana gitu, Nur?" tanya wanita itu.Nuraini menggeleng lemah. "Ndak, Bu. Cuma pamit ke klinik," jawabnya. Nuraini beralih memandang Brian. "Em, Mas. Tangan Mas Agus kenapa ya, kok bisa begitu?" tanyanya lirih.Dia merasa bodoh. Suami sendiri terluka, tetapi dirinya tidak tahu. Brian mengangkat sebelah alis mendengar pertanyaan konyol itu."Aneh banget. Kamu itu istrinya, Nur. Seharusnya kamu tanya, kenapa dia begitu? Kalau dia nggak datang ke Jakarta, Agus juga nggak luka begitu!" jawab Brian ketus.Bu Aminah langsung menoleh dan m
"Apa maksud Mas Brian bicara begitu?" tanya Nur lirih.Brian menggeleng samar, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sedangkan Nur, mendongak menatap laki-laki itu. Nuraini berharap dirinya salah dengar tentang pernyataan Brian."Aku nggak perlu mengulangi apa yang aku katakan, Nurkodir. Yang aku minta, pulanglah, dan perbaiki hubungan kalian. Cayenne dan Panamera nggak pantas menjadi korban keegoisan orang tuanya," ucap laki-laki itu masih dalam nada ketusnya.Nuraini mengangguk samar, kemudian bangkit dari tempat duduk. Brian mengarahkan pandangan pada beberapa anak yang tengah berkumpul di gasebo bersama guru les."Lihatlah mereka. Anak-anakku itu sewaktu kecil masih bisa aku bohongi tentang orang tuanya. Tapi setelah mereka besar dan sekolah, mereka selalu menuntut jawaban yang sama, Nur. Selalu menanyakan keberadaan orang tua kandungnya. Jangan buat Cayenne dan Panamera mengalami hal serupa dengan mereka," tunjuk Brian pada anak-anaknya. Nasihat si Kaku, pemilik mulut judes itu
"Cayenne, Panamera?" tanya Agus lirih.Brian mengangguk antusias. Dia mempersilakan Agus duduk sembari menunggu Bu Aminah. Rupanya, Bu Aminah membantu Nur memandikan Cayenne dan Panamera.Dada Agus berdesir mendengar tangisan bayi dari dalam kamar tamu. Laki-laki itu beranjak mendekati pintu yang sedikit terbuka. Sedangkan Brian sibuk dengan Axel dan Aruna, anak angkatnya yang berusia satu setengah tahun. "Iya, sebentar ya, Sayang. Gantian Adek Cayenne, dong!""Sudah, Nur, cepat susuin. Biar Ibu yang pakaiin Cayenne baju. Lagian, kamu itu disuruh stok ASI kok susah banget. Maunya tiap hari diomelin Brian. Apa nggak panas, dengerin Brian ngomel?" goda Bu Aminah sambil tertawa kecil.Nuraini menggeleng pelan. "Sudah biasa, Bu. Mas Brian cerewet, tapi perhatian sama si Kembar," ucap Nur sambil melangkah mendekati pintu hendak menutup pintu tersebut.Wanita itu tertegun. Begitu juga laki-laki yang berdiri di depan pintu. Keduanya mematung. Mata laki-laki itu memerah. Pipinya basah. Nurain
Semakin lama memandang wajah mungil Panamera, semakin merasa aneh. Memang wajah bayi itu akan berubah-ubah. Akan tetapi, apa ini kebetulan?Brian meletakkan kembali Panamera, ketika bayi itu mulai menangis. Sedangkan Cayenne sudah tidur sejak beberapa menit yang lalu. Mendengar anaknya menangis, Nur bergegas mendekat."Kayaknya haus, Nur. Kamu harus banyak makan sayur, Nur. Bayi kamu butuh banyak nutrisi, kamu dengar?" ucap Brian kembali ke mode datar dan ketus.Nuraini mengangguk. Dia segera meminta izin membawa Panamera ke kamar dan menyusuinya. Kedua bayi kembarnya itu sangat rakus ketika menyusu. Brian memang tergolong cerewet jika menyangkut anak-anaknya dan juga si Kembar."Alhamdulillah ya, Nak. Kita mendapatkan keluarga baru yang sangat baik. Om Brian dan Eyang sangat sayang pada kalian. Jangan sedih ya, Nak, kalian pisah dari Ayah. Nanti Bunda ketemuin kalian kalau sudah waktunya."Nuraini tersenyum dan mencium pipi Panamera dengan sayang. Nur memerhatikan wajah Panamera yang
Dengan langkah lelah, Agustus tidak berhenti mencari keberadaan sang istri. Dia juga sudah menyebar beberapa foto Nuraini. Namun keberadaan Nur benar-benar seperti ditelan bumi. Agustus tertunduk lesu di peron stasiun. Selama dua minggu di Jakarta tidak membuahkan hasil. Laki-laki itu memutuskan kembali ke Ponorogo. Kini Agus tidak punya semangat hidup. Dia juga tidak bersedia dicalonkan menjadi kepala desa kembali.Bahkan, Agus lebih banyak menghabiskan waktu di toko. Terkadang dia juga tidak pulang dan memilih tidur di toko. Pulang ke rumah hanya akan membuat hatinya semakin diliputi rasa bersalah. Melihat barang-barang milik Nur, hati laki-laki itu kembali tercabik-cabik sakit.Agustus mengusap kedua matanya yang basah. Teringat dosa-dosanya di masa lalu. Dosa-dosa yang pada akhirnya mendzolimi wanita sebaik Nuraini.Sudah tiga bulan, Agus menekuni ilmu agama di pondok pesantren. Dia hanya pulang ke rumah seminggu sekali. Jika pulang, Agus memilih tidur di rumah Nenek Kanti. Di si
"Anak angkat, Buk?" ulang Nur tertarik.Bu Aminah mengangguk. Dia melirik pada kedua anak yang berlari kecil menuju ke rumah. Ada mendung di wajah wanita paruh baya itu mengingat masa kecil Brian yang memprihatinkan."Dulu, nasib Brian kecil sangat menyedihkan, Nur. Dia nggak pernah tahu sosok ayahnya sampai saat ini. Ibu hanyalah perempuan ... perempuan, nggak berguna, Nur." Bu Aminah mengusap-usap kedua matanya yang basah. Nuraini terdiam. Menceritakan masa kecil Brian yang pahit adalah hal berat. Namun, juga membuat wanita paruh baya itu lega karena terlepas dari rasa sakit yang dipendam selama hampir 30 tahun seorang diri.Brian Kahfi Marcelino, adalah anak yang terlahir tanpa kasih sayang sang ayah. Aminah muda hanyalah orang kampung. Dia datang ke Jakarta mencari pekerjaan sebagai ART. Namun, tragisnya wanita berparas ayu itu menjadi korban kebiadaban anak majikannya sendiri. Aminah muda yang cantik diperkosa anak majikannya sehingga hamil. Mengetahui ARTnya hamil, sang majika
Pak Sopir memundurkan mobilnya. Laki-laki itu juga turun dari mobil, membantu mengangkat tas pakaian milik Nur. Selanjutnya, membukakan pintu untuk wanita itu."Maaf, Pak, kita mau ke mana?" tanya Nur begitu mobil sudah melaju cukup jauh dari stasiun Pasar Senen.Laki-laki kaku di samping kemudi itu melirik center mirror. "Mau ke tukang penadah orang hamil!" jawabnya santai dan ketus.Nuraini terperangah. Dia sedikit memajukan badan dan menatap Pak Sopir yang justru tersenyum geli. Melihat kecemasan di wajah Nur, laki-laki muda berkacamata pemilik mulut judes itu tersenyum sinis."Nyalimu besar juga, ya? Datang ke Jakarta dalam keadaan hamil tanpa tujuan jelas?" sindirnya.Nuraini mendengus lirih. Memang benar, dia hanya bermodalkan nekad untuk menjauhi suaminya. Nur juga terpaksa ikut mobil laki-laki bermulut judes itu. Rencananya setelah itu, Nuraini akan mencari kontrakan dan pekerjaan.Mobil melaju pelan ketika memasuki komplek perumahan elite. Nuraini memperhatikan kanan kiri jal
Air mata Nur kembali menetes. Pandangannya buram ke luar jendela kereta yang semakin jauh meninggalkan Jawa Timur. Ikut meninggalkan kenangan indahnya bersama Agus.Laki-laki yang dulu diharapkan mampu menjadi imam yang baik. Laki-laki yang diharapkan menjadi tempatnya berlindung. Namun, justru dialah yang menorehkan luka hati. Lelah menangis, Nur tertidur. Kepalanya terkulai ke sisi kiri.Nur mengerjap kaget ketika merasakan telapak tangan seseorang menyangga kepalanya. Nuraini segera memperbaiki posisi duduk. Kakinya sedikit pegal karena terlalu lama duduk. Dia melirik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu hanya menoleh sekilas dengan sikapnya yang dingin."Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja," ucap Nur tidak enak hati.Laki-laki itu mengangguk pelan dan tersenyum sekilas. "Nggak apa-apa. Mau ke mana?" tanyanya datar. Laki-laki berkaca mata itu melirik perut Nur yang membuncit. Merasa diperhatikan, Nur segera merapikan bagian depan kardigannya."Mau ke Jakarta,