Catarina duduk di sudut ruangan, menatap dinding batu lembap dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Lorenzo. Tawaran pria itu masih terngiang di telinganya, bekerja sebagai mata-mata, atau menjadi barang permainan para mafia.
Waktu terus berjalan, dan batas dua puluh empat jam semakin dekat. Hatinya berperang. Ia tahu, menerima tawaran itu berarti menyerahkan dirinya pada dunia yang penuh dosa dan kekejaman. Namun, menolak berarti kematian dan mungkin, kematian yang lebih buruk daripada sekadar mati. Catarina memejamkan mata, berusaha menenangkan dirinya. Ingatan akan ibunya yang terbunuh di depan matanya kembali menghantuinya. Luka itu masih terlalu segar. Namun di balik semua penderitaan, bara api kecil mulai menyala dalam dirinya, api balas dendam. Suara derit pintu besi membuyarkan lamunannya. Seorang pria bertubuh besar masuk, membawa sepotong roti dan segelas air. Ia meletakkannya di atas meja tanpa sepatah kata, lalu keluar kembali, meninggalkan Catarina dalam kesunyian. Gadis itu menatap makanan tersebut tanpa nafsu. Tubuhnya lelah, namun pikirannya terus bekerja. Ia tahu, Lorenzo tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Jika ingin bertahan hidup, ia harus cerdik. Catarina mengambil segelas air dan meminumnya perlahan. Setiap tegukan terasa pahit, namun ia memaksakan diri. Tubuhnya membutuhkan tenaga jika ingin melawan. Beberapa jam berlalu, hingga akhirnya pintu terbuka kembali. Kali ini, Lorenzo masuk dengan langkah tenang. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada Catarina. "Sudah membuat keputusan?" tanyanya singkat. Catarina menatap pria itu dengan mata membara, meskipun hatinya gemetar. "Aku terima... tapi dengan syarat." Lorenzo mengangkat alis, tampak terkejut oleh keberanian gadis itu. "Syarat?" Catarina menelan ludah, mencoba menegakkan tubuhnya. "Aku tidak akan melayani siapa pun... Aku hanya akan bekerja sebagai mata-mata. Jika kau atau anak buahmu menyentuhku, lebih baik aku mati." Lorenzo menatap gadis itu lama, seolah menilai apakah keberanian itu sungguh nyata atau hanya pura-pura. Setelah beberapa saat, ia menyeringai tipis. "Kau punya nyali, Catarina... Baiklah. Aku setuju." Catarina menarik napas lega, meskipun rasa takut masih mencengkeram hatinya. "Tapi ingat," lanjut Lorenzo dengan nada dingin, "pengkhianatan hanya berujung pada kematian." Catarina mengangguk pelan. Ia tahu risikonya, namun ini adalah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup. Lorenzo memberi isyarat kepada salah satu anak buahnya yang berdiri di luar pintu. Pria itu membawa setumpuk pakaian sederhana dan sebuah ponsel kecil. "Ganti pakaianmu. Mulai sekarang, kau bekerja untukku." Catarina mengambil pakaian itu dengan tangan gemetar. Tatapannya bertemu dengan mata dingin Lorenzo sebelum pria itu keluar dari ruangan, meninggalkannya sendirian. Gadis itu mengganti gaun lusuhnya dengan pakaian baru, celana jins, kaus putih, dan jaket kulit hitam. Pakaian itu sederhana, namun memberinya sedikit rasa nyaman. Saat menatap bayangannya di cermin kecil yang tergantung di dinding, Catarina hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Mata hijau yang dulu penuh kelembutan kini memancarkan tekad dan kebencian. Ia menyelipkan ponsel kecil itu ke dalam saku jaket, lalu duduk di kursi, menunggu instruksi selanjutnya. Tak lama kemudian, Lorenzo kembali dengan wajah tanpa ekspresi. "Kau akan bekerja di bar milikku," katanya singkat. "Tugasmu sederhana — dengarkan, amati, dan laporkan setiap pembicaraan yang mencurigakan." Catarina menggigit bibir, menahan rasa jijik yang bergolak di dalam hatinya. Dunia ini benar-benar berlawanan dengan semua yang ia impikan. Namun, ia tidak punya pilihan. "Aku mengerti." Lorenzo menyeringai, puas dengan jawaban gadis itu. "Bagus... Mulai malam ini, kau adalah bagian dari keluarga Vargas." Kata-kata itu membuat bulu kuduk Catarina meremang. Ia tahu ini bukan keluarga... ini adalah perangkap yang tidak akan mudah dilepaskan. Malam itu, Catarina dibawa ke sebuah bar mewah di pusat kota — El Diablo. Musik berdentum, aroma alkohol bercampur asap rokok memenuhi ruangan. Para pria berjas dan wanita dengan gaun minim memenuhi tempat itu, berbicara dalam bisikan penuh rahasia. Catarina berdiri di balik bar, memperhatikan setiap orang dengan saksama. Tugasnya sederhana, namun berbahaya. Satu kesalahan kecil bisa membuatnya kehilangan nyawa. Di sudut ruangan, Lorenzo duduk di sofa kulit hitam, mengawasi semua yang terjadi dengan tatapan elangnya. Sesekali, tatapannya bertemu dengan mata Catarina, seolah mengingatkannya bahwa ia selalu diawasi. Malam semakin larut, namun Catarina tetap waspada. Setiap bisikan, setiap tatapan, dan setiap gerakan terekam dalam ingatannya. Ia mungkin tawanan saat ini... Namun, permainan baru saja dimulai. Dan Catarina bersumpah... Ia akan menemukan jalan keluar dari dunia ini, meskipun harus menari di atas bara api. Di tengah kegelapan, mata hijaunya bersinar penuh kebencian, penuh tekad. Karena di dunia mafia, hanya ada dua pilihan, Menjadi mangsa…atau menjadi pemburuCahaya matahari pagi menyelinap melalui celah kecil di dinding, menerangi sudut gudang yang pengap. Catarina membuka matanya perlahan, menyadari dirinya masih terikat di kursi yang sama sejak semalam. Tubuhnya terasa pegal, dan kelaparan mulai menyiksanya. Namun, rasa takut jauh lebih mendominasi dibandingkan rasa sakit yang ia rasakan.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu besi kembali terbuka, memperlihatkan sosok pria yang sudah tidak asing baginya, Lorenzo Vargas. Wajah tampannya tetap dengan ekspresi dingin, sementara setelan hitam yang dikenakannya tampak begitu sempurna, seolah-olah pria itu adalah raja dalam dunia gelap ini.Di belakangnya, dua pria bertubuh besar membawa nampan berisi roti dan segelas air. Mereka meletakkannya di atas meja kecil, lalu pergi tanpa berkata sepatah kata pun.Lorenzo melangkah pelan, tatapannya tajam menelusuri wajah pucat Catarina."Makanlah," katanya singkat.Catarina hanya menatap makanan itu dengan curiga."Apa kau takut aku meracunimu
Malam di El Diablo semakin larut, namun denyut kehidupan di dalam bar itu seolah tak pernah padam. Musik berdentum, percakapan bercampur tawa keras, dan aroma alkohol memenuhi udara yang pengap. Catarina berdiri di balik meja bar, menyiapkan minuman dengan tangan yang sedikit gemetar.Tatapan mata para pria yang duduk di sepanjang meja bar membuatnya merasa terancam, namun ia berusaha menyembunyikan ketakutannya di balik wajah yang dingin."Kau baru di sini, ya?"Catarina menoleh, menemukan seorang pria paruh baya dalam balutan jas mahal menatapnya. Wajah pria itu penuh kerutan, namun matanya tajam, seperti seseorang yang telah lama hidup dalam dunia gelap."Iya, Tuan. Saya baru mulai bekerja malam ini," jawab Catarina, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.Pria itu menyeringai tipis."El Diablo tidak pernah mempekerjakan gadis biasa... Apa kau hadiah baru dari Lorenzo?"Catarina merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, namun ia tetap berusaha tenang."Saya hanya bekerja di bar.
Catarina duduk di sudut kamar sempitnya, matanya menatap dinding retak dengan pikiran yang berputar-putar. Malam semakin larut, namun rasa kantuk seolah menjauh dari dirinya. Hatinya bergejolak di antara ketakutan dan tekad. Sudah beberapa hari dia terjebak di dunia kelam ini, bekerja di bar El Diablo di bawah pengawasan Lorenzo. Setiap malam, tatapan mata pria-pria kotor menusuk dirinya. Setiap langkah kaki di lorong membuat jantungnya berdebar. Namun, dalam ketakutan itu, sebuah rencana mulai berakar di benaknya. Aku harus kabur. Aku tidak akan menjadi milik mereka. Catarina menatap jendela kecil yang dipasangi jeruji besi. Jalan keluar tampak begitu jauh, namun dia tahu hanya ada dua pilihan…melarikan diri atau mati di sini. Isabel menjadi satu-satunya orang yang sedikit bersikap ramah padanya. Namun, Catarina tak sepenuhnya percaya pada siapa pun di tempat ini. Lorenzo bisa memanfaatkan siapa saja sebagai mata-mata. Dalam diam, Catarina mulai menyusun rencana. Dia memper
Keesokan paginya, sinar mentari menyelinap masuk melalui celah langsir jendela, membangunkan Catarina dari tidurnya yang tidak lena. Tubuhnya terasa sakit dan perih, terutama di bahagian bawahnya. Air mata bergenang di pelupuk matanya saat mengingat apa yang telah terjadi malam tadi.Dia menoleh perlahan, melihat Lorenzo tidur nyenyak di sebelahnya dengan wajah tenang, seolah-olah tiada apa yang berlaku. Hatinya memberontak, perasaan benci bercampur takut menghantui dirinya.Dengan berhati-hati, Catarina menarik selimut menutupi tubuhnya yang lemah. Dia menahan rasa sakit sambil bangkit perlahan-lahan dari tempat tidur. Dia mengambil handuk yang terletak di atas sofa, lalu mengenakannya. Setiap langkah terasa begitu berat, tetapi dia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan untuk melarikan diri.Nafasnya tertahan ketika kakinya menyentuh lantai marmar yang dingin. Dia menoleh sekali lagi ke arah Lorenzo, memastikan lelaki itu masih terlelap. Hatinya berdeg
Sedang Catarina asyik menari dengan gerakan gemetar, tiba-tiba Lorenzo menarik tangannya dengan kasar. Gadis itu terkejut, tubuhnya yang lemah terjatuh ke atas ranjang empuk. "A-apa yang kau lakukan? Tolong... lepaskan aku!" suara Catarina bergetar, air matanya mulai jatuh lagi. Namun, Lorenzo tidak menghiraukan rintihan itu. Lelaki itu langsung menindih tubuh mungil Catarina, menatap wajah gadis itu dengan senyum penuh nafsu. "Kau terlalu cantik untuk hanya sekadar menari, Catarina..." bisiknya di telinga gadis itu, membuat bulu roma Catarina meremang. Catarina berusaha meronta, tetapi kekuatannya tidak sebanding dengan lelaki kejam itu. Tangannya ditahan di atas kepala, sementara tubuhnya terperangkap di bawah tubuh sasa Lorenzo. "Lepaskan aku... Tolong... aku mohon..." suara Catarina hampir tenggelam dengan isak tangis. Namun, Lorenzo hanya tertawa kecil, jemarinya yang kasar menyentuh wajah lembut gadis itu. "Kau milikku sekarang... semakin kau melawan, semakin aku menikmat
Keesokan harinya, Catarina terbangun dari tidurnya dengan tubuh yang terasa sangat sakit. Setiap inci tubuhnya terasa lemah, seolah-olah seluruh tenaganya telah terkuras. Cahaya matahari pagi menembus celah tirai, menyilaukan matanya yang sembab kerana menangis semalaman. Dia menggigit bibir, menahan rasa sakit yang menusuk dari tubuhnya. Semalam, Lorenzo tidak membiarkannya beristirahat. Lelaki itu memperlakukannya seperti boneka, tanpa belas kasihan. Air matanya kembali menitis saat mengingat setiap detik menyakitkan yang dilaluinya. Catarina menggenggam selimut dengan erat, menutupi tubuhnya yang masih bergetar. Dia merasa hina, seolah-olah semua harga dirinya telah dirampas. Namun, dia tahu tidak ada gunanya menangis. Lorenzo adalah lelaki yang kejam, dan dia tidak akan berhenti sampai benar-benar memiliki dirinya sepenuhnya. Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuat Catarina tersentak. Seorang pembantu wanita masuk dengan membawa sarapan di atas nampan perak. "Sarapan untuk anda
Catarina berjalan perlahan menuju kamar, tubuhnya masih gemetar. Pikirannya berkecamuk, mengingat kejadian mengerikan yang baru saja disaksikannya. Aroma darah masih terasa di hidungnya, membuat perutnya mual. Setiap langkah yang diambil terasa berat, seolah-olah bayangan Lorenzo terus mengekorinya.Setibanya di kamar, dia menutup pintu perlahan dan menguncinya dari dalam. Air matanya jatuh tanpa henti."Kenapa semua ini terjadi padaku?" bisiknya sambil memeluk tubuhnya sendiri.Dia menatap bayangannya di cermin besar di sudut kamar. Wajah cantiknya tampak pucat, dengan mata sembab akibat terlalu banyak menangis. Tubuhnya terasa sakit, bukan hanya karena perlakuan Lorenzo, tetapi juga karena ketakutan yang terus menghantuinya.Catarina berjalan menuju jendela besar yang tertutup tirai tebal. Dia membuka sedikit tirai itu, menatap ke luar.Hatinya semakin hancur, menyadari bahwa dunia di luar sana begitu dekat, tetapi kebebasan terasa begi
Keesokan paginya, sinar matahari menembus jendela kamar, menerangi wajah pucat Catarina yang masih terbaring lemah di ranjang empuk. Kini dia tidak lagi berada di ruang kerja Lorenzo sebaliknya di kamar Lorenzo. Mungkin lelaki itu yang mengangkatnya. Tubuhnya terasa sakit, namun fikirannya terus berputar, memikirkan satu hal yaitu kebebasan. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pembantu masuk dengan membawa sarapan pagi. "Nona, tuan Lorenzo telah berangkat pagi ini. Beliau akan ke San Francisco selama beberapa hari. Ini sarapan untuk nona," kata pembantu itu sopan sambil meletakkan dulang makanan di atas meja. Catarina menelan ludah. Hatinya berdebar. Ini adalah kesempatan yang dia tunggu-tunggu. Lorenzo tidak ada di mansion, dan mungkin pengawasan tidak seketat biasanya. Setelah pembantu itu keluar, Catarina segera bangkit dari tempat tidur. Meski tubuhnya terasa lemah, tekadnya untuk melarikan diri semakin membara. Dia berjalan perlahan menuju jendela, menyingkap
Lorenzo duduk di kursi roda, dengan lengan kirinya diperban tebal. Meskipun kondisinya belum pulih sepenuhnya, sorot matanya tajam dan penuh tekad. Di depannya, terbentang peta kota New York dengan beberapa titik merah yang ditandai dengan lingkaran. Jacob dan Marco berdiri di sisinya, menunggu instruksi.“Aku yakin dia menyembunyikan Catarina di salah satu properti bawah tanahnya,” ujar Lorenzo, menunjuk sebuah area di Midtown. “Gedung ini milik salah satu perusahaan cangkangnya. Dulu aku pernah menelusurinya, tapi tidak pernah menemukan apa pun… sampai sekarang.”Jacob mengangguk, lalu menyerahkan berkas hasil penyelidikan terakhir. “Kami menyadap komunikasi beberapa anak buah Nigel. Ada lalu lintas kendaraan mencurigakan ke gedung ini dua malam terakhir. Aktivitas tinggi, tapi tidak mencolok. Seperti mencoba menyembunyikan sesuatu.”“Catarina,” gumam Lorenzo. Matanya menyipit. “Kita harus menyusup malam ini. Aku akan ikut.”Marco langsung menol
Lorenzo terus membawa Catarina menuju pesawat pribadinya. Hari ini, dia memutuskan untuk membawa Catarina pulang ke Manila. Catarina setuju tanpa ragu karena ketakutannya terhadap Nigel semakin besar. Dia tak menyangka bahwa pria yang selama ini dikenalnya sebagai pengusaha ternama ternyata seorang mafia.Tanpa sempat membawa pakaian atau barang-barangnya, mereka langsung menuju bandara. Namun, situasi semakin kacau saat mereka tiba di landasan. Sekelompok pria bersenjata muncul dari berbagai arah, dan peperangan antara Lorenzo dan anak buah Nigel pun pecah.Peluru berdesingan di udara, dan Lorenzo berusaha melindungi Catarina dengan tubuhnya. Namun, sebuah tembakan mengenai bahunya, membuatnya mundur selangkah dengan wajah menahan sakit."Lari ke pesawat sekarang!" perintahnya dengan suara tegas meskipun darah mulai mengalir dari lukanya.Catarina ragu sejenak, tetapi Lorenzo mendorongnya agar segera pergi. Namun, sebelum dia bisa mencapai pesawat, Nigel tiba-tiba muncul dengan beber
Suasana di dalam apartemen semakin tegang. Catarina memegang pistol dengan tangan gemetar, sementara Lorenzo berdiri di depannya, melindunginya dari ancaman di luar.DOR!Satu tembakan terdengar, diikuti suara pecahan kaca jendela. Lorenzo langsung menarik Catarina ke sudut ruangan, menjauhkannya dari jalur tembakan."Sial," gumam Lorenzo. "Mereka tidak main-main."Lorenzo mengintip dari balik dinding dan melihat beberapa pria Nigel telah berhasil masuk. Dia tahu dia tidak bisa menghadapi mereka semua sendirian, apalagi dengan Catarina di sini."Kita harus keluar dari sini sekarang," bisiknya kepada Catarina."Tapi bagaimana?" Catarina berbisik panik.Lorenzo menoleh ke arah jendela yang sebagian kacanya sudah hancur. Itu satu-satunya jalan keluar."Lompat.""Apa? Kau gila?""Kita di lantai dua. Aku akan lebih memilih lompat daripada mati di tangan mereka."Catarina menelan ludah. Dia tidak punya pilihan lain. Dengan cepat, Lorenzo membuka jendela lebih lebar dan melompat lebih dulu.
Pagi itu, Nigel tiba di apartemen Catarina dengan ekspresi bingung. Biasanya, perempuan itu selalu ada di sana setiap pagi sebelum berangkat kerja. Namun, kali ini, tidak ada tanda-tanda keberadaannya.Nigel segera mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Catarina. Nada sambung terdengar, namun tidak ada jawaban. Berkali-kali dia menelepon, tetapi hasilnya tetap sama. Ponselnya bahkan sudah tidak aktif lagi.Rasa curiga mulai menyelimuti pikirannya. Tanpa membuang waktu, dia segera menghubungi anak buahnya dan memberikan perintah tegas.“Cari tahu keberadaan Angeline (Catarina) sekarang juga! Aku ingin laporan dalam waktu secepat mungkin!” suaranya dingin dan tajam.Dalam benaknya, hanya ada satu kemungkinan, yaitu musuh lamanya, Lorenzo. Jika benar pria itu menculik Catarina, maka ini adalah sebuah tantangan perang.Namun, yang tidak diketahui banyak orang adalah bahwa Nigel Ramirez bukan hanya seorang pengusaha fashion ternama. Di balik citra elegan dan bisnis mewahnya, dia ju
Catarina terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya terasa berat seolah ada seseorang yang menindihnya. Saat matanya terbuka sepenuhnya, ia mendapati Lorenzo berada di atasnya, menatapnya dengan mata penuh obsesi. "Apa yang kau lakukan?!" Catarina berusaha memberontak, tetapi tangannya masih terikat di kepala ranjang. Lorenzo menyeringai, jemarinya yang kasar mengusap pipi Catarina dengan lembut. "Aku hanya ingin memastikan kau tidak akan pergi ke mana-mana lagi, sayang." Catarina menggigit bibirnya, hatinya dipenuhi rasa takut dan kemarahan. "Lorenzo, ini salah. Kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini." Lorenzo mendekatkan wajahnya, napas hangatnya mengenai wajah Catarina. "Kau milikku, Catarina. Aku tidak akan membiarkan pria lain menyentuhmu, bahkan menatapmu pun tidak." Catarina meronta lagi, tapi usahanya sia-sia. "Aku bukan milikmu! Kau sudah menikahi Carmela, Lorenzo! Lepaskan aku!" Sebuah kilatan kemarahan muncul di mata Lorenzo, tetapi ia segera mengendalikanny
Catarina berjalan keluar dari gedung dengan langkah yang sedikit gontai. Hari ini sangat melelahkan baginya. Ia ingin segera pulang, mandi air hangat, lalu tidur dengan nyenyak. Namun, malam ini ia tidak pulang bersama Nigel. Pria itu harus pulang lebih awal untuk menyambut keluarganya yang baru saja tiba dari luar negeri.Karena itu, Catarina memutuskan untuk pulang dengan taksi. Ia berdiri di tepi jalan, menunggu kendaraan yang dipesannya tiba. Suasana di sekitar cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang.Namun, sebelum sempat menyadari sesuatu, tiba-tiba sebuah tangan besar menutup mulutnya dengan kain yang berbau menyengat. Catarina terkejut. Ia mencoba meronta, tetapi tubuhnya dengan cepat melemah. Pandangannya mulai kabur, dan beberapa detik kemudian, semuanya menjadi gelap.Lorenzo duduk di kursi kayu dengan kaki terentang, matanya tajam menatap wanita yang kini terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang. Bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis."Akhirnya k
Keesokan harinya, Lorenzo mulai melaksanakan rencananya. Dengan jaringan dan kekayaannya, dia dengan mudah mendapatkan akses untuk menjadi salah satu donatur utama di perusahaan Nigel, Paradise. Langkah ini bukan hanya untuk mendekati Catarina, tetapi juga untuk menunjukkan dominasinya di wilayah yang kini ditempati oleh Nigel.Setelah mengurus donasi itu, Lorenzo langsung pergi ke studio pemotretan tempat Catarina bekerja. Dengan mengenakan setelan jas yang rapi, dia masuk ke dalam gedung dengan percaya diri. Para staf di sana sedikit terkejut melihat kehadiran pria berkarisma itu, tetapi tidak ada yang berani menghentikannya.Di dalam studio, Catarina sedang sibuk berpose di depan kamera dengan gaun elegan berwarna merah. Dia terlihat begitu anggun dan memesona, membuat Lorenzo semakin yakin bahwa dia adalah wanita yang sama, yaitu Catarina, bukan Angeline Santos seperti yang ia klaim.Ketika pemotretan selesai, Lorenzo melangkah mendekat dengan membawa
Di New York...Catarina, yang kini dikenal sebagai Angeline Santos, sedang bersiap untuk pemotretan besar bersama merek ternama, Paradise. Di belakang layar, dia sedang berbincang dengan Nigel Ramirez, pemilik merek tersebut."Angeline, setelah sesi foto ini, aku ingin mengajakmu makan malam. Ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu," ujar Nigel dengan senyum menawan.Catarina sedikit terkejut, tetapi segera mengangguk. "Tentu, Nigel. Aku akan meluangkan waktu."Sesi pemotretan pun dimulai, dan semua orang terkagum-kagum dengan pesona Angeline. Dalam waktu singkat, dia telah menjadi ikon model yang dikagumi banyak orang.Namun, dia tak menyadari bahwa dari kejauhan, seseorang sedang mengamatinya. Luis, anak buah Lorenzo, telah tiba di New York. Dia diam-diam mengawasi setiap gerak-geriknya dan mengambil foto sebagai bukti untuk diberikan kepada Lorenzo."Bos akan senang melihat ini," kata Luis sambil menyeringai.Dia segera mengirimkan laporan kepada Lorenzo. Beberapa jam kemudian, Lor
Tiga bulan telah berlalu, dan Lorenzo masih belum menemukan Catarina. Semua usahanya terasa sia-sia. Setiap sudut kota sudah dia telusuri, setiap informan sudah dia bayar, tetapi hasilnya tetap nihil. Seolah-olah Catarina menghilang tanpa jejak.Di dalam ruang kerjanya, Lorenzo duduk diam dengan sebotol whiskey di tangannya. Matanya merah dan sembab, akibat kurang tidur selama berbulan-bulan."Sial... di mana kau, Catarina?" gumamnya pelan.Anak buahnya, Luis, masuk dengan wajah cemas."Tuan, kami sudah memeriksa lagi desa-desa kecil di sekitar kota, tapi—""Tapi tetap tidak ada hasil, kan?" potong Lorenzo dengan nada dingin.Luis menundukkan kepala, tidak berani menatap mata tajam tuannya yang penuh kekecewaan."Ya, Tuan. Catarina seperti menghilang begitu saja."Lorenzo meneguk whiskey-nya dengan kasar, lalu menatap kosong ke arah jendela besar di ruangannya. Hatinya penuh amarah, kecewa, dan kerinduan yang semakin menyiksa.Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk, lalu terbuka. Carmela