Usai dipanasi, Aira membawa opor itu ke meja. Tampilannya semakin nikmat ketika ditempatkan pada mangkok kaca bening."Ayo, kalian makan!" Ibu mertua menatapku dan beralih pada istriku.Baru saja tangan mau mendekati opor, Aira berkata, "Mas Kevin tidak suka ayam, Bu. Dia alergi daging. Makanya setiap hari makan tempe."Ck. Tega sekali Aira berkata seperti itu. Demi harga diri tanganku mundur dan mengambil tempe yang kubeli sendiri. Pada akhirnya aku juga yang menghabiskan.Mulutku terus mengunyah lauk berbentuk pipih itu. Sementara mataku fokus menatap istri dan mertuaku. Aku mengambil ponsel di saku celana. Kukirimkan pesan pada kontak Aira, "Sayang, kulihat ayamnya ada lima potong. Jangan lupa sisain buatku, ya!" Aira menyipitkan mata dan melirikku setelah dia membuka pesan yang kukirim. Entah kenapa tatapannya yang dulu meneduhkan berubah seperti macan perempuan yang siap menerkam mangsa."Kalau suamimu setiap hari makan tempe, kamu juga ikut makan tempe, Ra?" tanya Ibu mertua s
POV MERTUAAku heran, padahal menantuku adalah orang kaya. Rumahnya besar dan luas. Bahkan meja makan ini juga terlihat mewah. Dirancang dengan finishing glossy, permukaan meja menampilkan lis hitam membingkai bagian kaca tempered. Bagian kaki terlihat mulus menopang dengan kokoh, sedangkan ukurannya tetap space-saving dan bisa menampung sekitar 4-6 orang. Tapi yang tersedia di depan mata hanya kangkung dan tempe goreng. Sangat tidak selaras dengan kenyataan yang ada.Sebenarnya aku juga tidak mempermasalahkan menu tersebut. Tapi, sejak aku masuk ke rumah ini memang terasa ada banyak hal yang putriku sembunyikan.Tidak ada pembantu, kulkas kosong, AC mati. Semua itu tidak umum terjadi di kalangan pengusaha seperti Kevin.Hari ini aku sengaja menginap agar tahu apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga anakku. Memang orang tua tidak berhak ikut campur dengan masalah rumah tangga anak. Tapi kurasa semua ini tidak benar. Kalaupun mau berhemat, tentu tak separah ini.Setahuku omset me
Hari ini istriku telah sukses memerasku. Mana mungkin periksa perut habis enam juta. Lagi pula dia dapat dokter dari mana sih?Nggak meyakinkan.Tapi memang perutku sudah agak baikan setelah minum ob@t yang diberikan istriku. Sayangnya dia tidak memperlihatkan kemasan ob@t tersebut. Entah ia simpan di mana. Dia datang ke kamar cuma membawa gelas panjang serta tiga jenis ob@t berbentuk tablet dan kaplet yang tak kutahu merk-nya."Ini obat apa? Kamu nggak merac*niku kan?" tanyaku sebelum menelan.Aira mengulas senyum dan berkata, "Kalau mau merac*n aku nggak akan memanggilkan dokter. Cukup sian!d@."Tenggorokanku seketika susah menelan ludah. Benar juga."Lagian itu dokter prakteknya di mana sih? Mahal banget. Apa tidak ada dokter yang lebih murah?""Kamu ya, Mas! Masalah kesehatan saja masih perhitungan. Mas tahu sendiri kan kalau sehat itu mahal. Makanya, selagi sehat jangan terlalu memikirkan kantong. Pikir juga isi perut. Setelah sakit baru deh. Kelabakan. Enak kan kalau sakit nggak
"Maaf, Pak Kevin! Orderan yang dipesan tidak dapat dibatalkan. Terima kasih!""Heh, tunggu!"Aira ...! Kepalaku rasanya mau pecah. Apakah ini yang dinamakan ujian dalam rumah tangga?Menit kemudian ketika mau mandi bel pintu berbunyi. "Siapa sih, pagi-pagi ganggu saja!" gerutuku.Dari kamar aku ke depan. "Paket, Pak. Totalnya enam ratus ribu!" Pria itu menenteng bungkusan berwarna hitam. Jam segini sudah mengganggu."Paket apa? Aku nggak pernah pesen-pesen begituan! Bawa pulang sana!""Ini adalah baju pesanan Bu Aira. Begini, Pak! Di olshop kami selalu ada perjanjian. Barang yang sudah dipesan dan diantar ke rumah tidak dapat dikembalikan lagi. Aku sudah capek-capek ke sini lho, Pak?""Aku nggak ada anggaran uang untuk barang yang nggak penting seperti itu! Kalau memang itu pesanan Aira, suruh dia yang bayar."Kurir berseragam biru elektrik itu menatapku secara intens. Dia memindai penampilanku dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. "Orang kaya kok perhitungan.""Eh, kamu bilang apa
Aira berjalan menuju nakas. Kemudian mengambil buku dan pulpen. Lalu duduk di ranjang memunggungiku. Entah apa yang dia tulis.Menit kemudian ...Glotak.Buku ia lempar ke punggungku. "Baca!"Aku menoleh. Memegang buku kecil itu. Lalu berkata, "Maksudmu apa melempar-lempar punggunggu dengan buku seperti ini? Apa nggak bisa menyerahkan dengan pelan?" Aira mematung dalam posisi yang sama. Sumpah, aku mati gaya dalam memahami sikapnya. Buat yang masih jomlo, mendingan kalau memutuskan menikah jangan melihat wajahnya yang cantik saja. Tapi cari tahu dulu sifat-sifat buruknya. Karena mengenali pasangan dalam waktu singkat itu sulit."Baca saja, Mas! Tidak buta huruf kan?" Ih. Tanganku memuk*l tanpa menyentuh badannya. Lalu kembali duduk dalam posisi nyaman. Rentetan tulisan tangan berjejer sampai bawah. Gaji rata-rata koki, gaji rata-rata cleaning servis ... seratus ribu/jam? "Apa maksudmu menulis gaji provesi orang? Lagi pula mana ada gaji OG/OB sebanyak itu? Ngarang. Kalau memang ad
Aku berlari ke luar rumah. Baru sampai di daun pintu sudah terdengar suara cangkulan. Aku menuju sumber suara, dan benar, Aira dan ibu sedang menggali tanah. Aku menatap mereka dari kejauhan dan kuteriaki, "Kalau mau mencangkul di sawah sana!" Aku pun mentertawakan kegiatan istri yang menurutku tak bermanfaat. Mungkin dia mau menanam bunga. Ah, dasar wanita. Sukanya mengerjakan sesuatu yang tak berguna.Aira menoleh padaku. Masih dengan tatapan sini. Bibirnya yang berwarna pink itu tak mengembang sedikit pun. Kalau hubunganku dengan istri seperti ini terus, kapan akan punya keturunan.Aku berjalan cepat mendekati istri dan ibu mertuaku. Wanita paruh baya itu menatapku sembari mengulas senyum. Berbeda sekali dengan putrinya. Akhir-akhir ini sering sekali melipat wajah dan bibirnya."Sudah bangun, Vin? Kalau bisa, bangun tidur sebelum subuh supaya bisa salat subuh," ujar Ibu. Dia memang sering menasehatiku dengan kata-kata yang sama. Andai dia tahu kalau aku bangun kesiangan juga kare
"Aku tidak percaya lagi padamu. Kamu cuma mementingkan uangmu itu. Tak pernah peduli dengan perasaanku. Aku mau pulang saja."Aku tak bisa hidup tanpamu Aira ...! Entah bagaimana caranya agar aku bisa meyakinkan wanita yang mampu mengambil hatiku.Tak mudah bagiku jatuh cinta pada lawan jenis. Hidupku terlalu monoton. Cuma kerja, kerja, dan kerja tanpa memikirkan apa itu cinta. Tapi ketika mengenal Aira, hidupku terasa lebih berwarna. Kudekap tubuh kecil di hadapanku dan menguncinya dengan kedua tangan. Tak akan kubiarkan istriku pergi begitu saja dari hidupku."Dengarkan aku, aku akan menuruti keinginanmu untuk mencari ART. Tapi beri aku waktu. Karena mencari ART juga harus selekif."Tubuh yang sejak tadi tak bisa diam, meronta, menggeliat seperti ular, dan berusaha lepas dari genggamanku mulai tenang."Aku nggak percaya sebelum ada hitam di atas putih," ujarnya lirih. Aku menghela bafas perlahan, lalu mengeluarkannya. Perempuan sangat ribet. Terpaksa aku mengiyakan dari pada membia
Mam-pus. Gara-gara berdebat dengan Aira, aku sampai lupa kalau teman-temanku akan datang ke rumah. Aku belum menyediakan jamuan apa-apa."O-oke, Brow!""Jangan lupa teh merahnya. Biar lebih asyik ngobrolnya. Selena juga ikut lho.""Apa?!" Aku menutup mulut karena nada terlalu keras. Aira yang dari tadi cuek langsung menoleh dengan tatapan tajam. Aku pun memunggunginya, tapi tetap bisa kilihat dari sudut mata kalau Aira penasaran. "Kenapa Selena harus ikut? Aku dan istriku sedang tak baik-baik saja. Kamu malah mengajak dia. Kamu mau rumah tanggaku berakhir sekarang juga?" lirih suaraku. Kupastikan Aira tak bisa mendengar."Maaf, Brow. Dia memaksa. Aku bisa apa?"Aku meremas rambutku yang semakin terasa panas."Sebentar lagi kita sampai," seru Zaki.Panggilan diakhiri.Aku membalik badan. Aira berdiri tegap di belakangku dengan tangan dilipat sejajar dada."Sayang, tolong bantu aku kali ini saja. Temanku mau ke rumah." Aku menangkupkan kedua tangan sejajar dada dengan tangan memelas. B
Tidak, tidak. Aku dan Ikhsan hanya sahabat. Karena saat kecil aku tidak punya teman wanita. Tidak ada yang mau main denganku karena aku nggak pernah bawa uang jajan. Saat kecil aku tergolong pendiam dan takut dengan anak-anak sebaya. Mereka hanya mau bermain denganku ketika aku membawa rupiah agar bisa diajak jajan ke warung. Jika tidak, aku akan bermain dengan anak culun itu di depan rumah.Tapi tidak mungkin jika Ibu menginginkanku bercerai. Sementara beliau kerap kali menasehatiku agar selalu bersabar dalam ujian rumah tangga. "Aira ...! Sayang ...! Habislah sudah!" Rengekannya seperti anak kecil. Muak aku mendengar."Aira ...!" ulangnya lagi.Karena Mas Kevin terus berteriak, Kuletakkan ponsel di nakas, kumudian keluar menemuinya di depan TV."Ada apa? Kenapa kok seperti belut sawah begitu?"Badannya menggeliat seperti cacing kepanasan sembari menarik ujung rambut lurusnya. Mata terpejam dan kepalanya terus bergerak."Kamu kenapa sih, Mas? Malu dong sama umur, kelakuan seperti a
POV AIRAMas Kevin sungguh keterlaluan. Dia selalu saja menilai sesuatu dari nominal uang. Padahal isi amplop kondangan nggak setiap hari. Orang mengadakan hajatan juga tidak setiap tahun. Dari pada aku datang dan diantar dengan mengisi amplop di bawah lima ribu, aku memilih untuk tidak menghadiri sekalian. Aku masih ingat putri Bu Tuti saat itu memberiku hadiah bad cover dan juga amplop berisi uang lembaran merah. Setidaknya, aku juga menghargai dengan bawaan yang senilai. Apa lagi suamiku bisa dikatakan orang yang berada.Setelah kucopot gamis, sepatu, dan menghapus riasan wajah, aku memilih mengurung diri di kamar dan memberi kabar pada Ibu melalui video call."Aira, kamu pulang kapan?" tanya Ibu di seberang sana. Dia cuma memakai daster biasa, karena biasanya ibu mendapat bagian dapur ketika di tempat hajatan. Tangan dan tenaga ibu yang cekatan membuat h yang mengandungku sembilan bulan itu menjadi langganan masak nasi. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan berat tersebut
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
Aira menghela napas, kemudian menundukkan sebagian badannya dan berbisik pada wanita tersebut, "Bahkan untuk menjadi pembantu di rumahku pun aku nggak memgizinkan. Mbak, aku sudah nggak minat dengan bayimu. Jadi, jangan lupa bayar hutangmu."Mata wanita itu membulat sempurna."Ayo, Mas!" Aira menggandeng tanganku."Mbak! Pikirkan dulu, Mbak! Lihatlah bayiku begitu cantik dan lucu."Wanita yang masih terbaring di ranjang itu meneriaki dengan suara yang cukup memekikkan indera pendengaran."Enak saja meminta syarat seperti itu. Dia pikir dia itu siapa? Masak aku harus merawat bayinya, kedua balitanya, dan mengizinkan ibunya tinggal di rumah kita."Sembari terus berjalan ke arah parkiran mobil, Aira terus merancau. "Jika ada wanita lain yang seatap dengan kita, itu artinya awal dari kehancuran rumah tangga. Bisa saja kalau dia khilaf dan kita lengah, dia akan merayu dan menggodamu, Mas."Aku mengulum senyum dan membuang muka. Dada rasanya berbunga-bunga seperti mengalami jatuh cinta ya
"Maaf ya, Sayang ...! Tante nggak bisa bobok di rumah Amira. Tapi, besok Amira boleh main ke sini lagi kok. Sekarang anak cantik pulang sama papanya dulu ya ...!"Aira menoel pipi anak kecil dalam gendongan Radit. Seperti tidak ada rumah lain di kota ini. Sampai-sampai dia membeli hunian yang posisinya berhadapan denganku. Ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan kesengajaan. "Kita pulang yuk! Salim dulu sama Tante Aira dan juga Om." Radit menatap putrinya dengan seulas senyun.Gadis kecil bermata sipit itu pun turun dari gendongan papanya dan mencium punggung tangan istriku beserta pipi kanan kirinya.Aku pun mengangkat tangan agar dia tidak terlalu susah ketika menyalamiku. Tapi ternyata Amira hanya menatapku sekilas dengan tatapan nyalang. Aku mengedikkan mata dan mencoba mengambil hatinya. Tapi, mungkin anak itu sudah menganggap diriku ini musuh sehingga memilih berpaling muka sembari bersedekap. Dia membalik badan dan kembali ke gondongan papanya."Lho. Eh. Belum salim sama Om!
"Mas, jangan keterlaluan. Dia di sini cuma hari ini.""Tapi kenapa? Apa kamu sudah menjadi ibu sambungnya? Apa kamu naksir dengan papanya? Apa?! Apa alasannya?"Aku yakin ini hanya akal-akalan Radit agar bisa dekat dengan istriku."Jaga bicaramu, Mas! Radit cuma menitipkan putrinya sebentar karena dia harus kerja. Lagi pula aku juga jadi nggak kesepian di rumah sendiri, Mas. Anak itu bisa menemaniku. Dia nggak nakal kok.""Nggak nakal bagaimana? Kamu lihat rumahku sudah seperti kapal pecah. Aku nggak suka tempat yang berantakan. Lagi, kenapa kamu harus mau dititipi? Kamu kan bisa menolak. Katanya dia juga kaya. Seharusnya dia bisa mencari pengasuh pribadi.""Rumah anak itu di mana? Biar kuatar dia sekarang. Aku nggak mau waktumu habis untuk anak orang."Aku melangkah menemui balita itu."Rumahmu di mana?""Aku baru pindah ke rumah depan situ Om? Om mau main ke rumahku?" Dia menatapku dengan polos.Sepertinya Radit memang sengaja pindah ke rumah depan agar bisa mendekati istriku. Aku a
Pov Kevin"Ada apa, Vin? Tumben kamu mengajak aku ketemuan di sini."Aku menunduk lesu tanpa menjawab pertanyaan Angga. Sebelumnya aku tidak pernah membahas persoalan pribadi pada sahabat. Aku memilih memendam dan mengurainya sendiri."Angga, kamu tahu diantara teman-teman kita, aku sendiri yang belum memiliki momongan. Aku mengajakmu ke sini karena aku tahu, kamu sangat bijak dalam memberikan sebuah nasehat. Tidak seperti Zaki--dia cuma mengejek tanpa memberi solusi."Aku mengusap wajah dan menghirup oksigen bebas kemudian membuangnya perlahan. "Aku sudah membujuk Aira untuk mengikuti program bayi tabung. Tapi dia menolak dan memilih mengadopsi anak. Aku dan dia kan tidak mandul. Ngapain mengadopsi anak coba? Malahan, ada yang minta aku harus membiayai kehamilan si ibu hamil. Siapa dia ... istri bukan, saudara juga bukan."Angga mengulas senyum sesaat, kemudian tertawa ngakak mendengar curhatanku."Kenapa nggak sekalian biayai bapak, ibu, atau neneknya?" Kupikir tidak ada yang lucu
"Aku nggak mau mengasuh anak orang.""Kalau nggak mau mengasuh anak orang, asuh saja anak ikan.""Benar! Asuh saja anak ikan." Mas Kevin menatap Kristin dengan tajam."Mm. Maaf. Aku pergi dulu. Selesaikan masalah kalian di rumah." Kristin berlari.Hah.Aku dan Mas Kevin terhenyak menatap kepergian wanita tersebut. Kami saling menatap dan ternyata orang-orang di sekitar juga mengamati perdebatan yang aku dan suamiku lakukan."Ayo pulang!" ***"Kenapa sih, kamu tidak pernah mau mendengarkan omonganku? Kalau kita program bayi tabung, kesempatan untuk mempunyai buah hati sangat besar. Rumah jadi lebih ramai."Aku memilih diam dari pada menanggapi setiap ucapan yang keluar dari mulut Mas Kevin ketika sampai rumah. Aku memakluminya karena dia juga tidak tahu apa yang kumau. Dari rumah sakit, di jalan, dan sampai rumah pun tak berhenti membahas tentang program bayi tabung yang sama sekali tak kuminati."Kenapa diam? Kalau kamu membisu, masalah ini tidak akan selesai."Aku duduk di samping r