Hari ini istriku telah sukses memerasku. Mana mungkin periksa perut habis enam juta. Lagi pula dia dapat dokter dari mana sih?Nggak meyakinkan.
Tapi memang perutku sudah agak baikan setelah minum ob@t yang diberikan istriku. Sayangnya dia tidak memperlihatkan kemasan ob@t tersebut. Entah ia simpan di mana. Dia datang ke kamar cuma membawa gelas panjang serta tiga jenis ob@t berbentuk tablet dan kaplet yang tak kutahu merk-nya."Ini obat apa? Kamu nggak merac*niku kan?" tanyaku sebelum menelan.Aira mengulas senyum dan berkata, "Kalau mau merac*n aku nggak akan memanggilkan dokter. Cukup sian!d@."Tenggorokanku seketika susah menelan ludah. Benar juga."Lagian itu dokter prakteknya di mana sih? Mahal banget. Apa tidak ada dokter yang lebih murah?""Kamu ya, Mas! Masalah kesehatan saja masih perhitungan. Mas tahu sendiri kan kalau sehat itu mahal. Makanya, selagi sehat jangan terlalu memikirkan kantong. Pikir juga isi perut. Setelah sakit baru deh. Kelabakan. Enak kan kalau sakit nggak perlu makan apa-apa? Puasa sekalian.""Aku mau minum obat tapi kamu nyerocos dari tadi. Sudah, tinggalkan aku! Aku mau sendiri."Kesal rasanya. Punya istri begitu banget. Nggak ada empati sedikit pun pada suami yang sedang terkapar begini."Dikasih tahu malah marah-marah." Aira menghentakkan kaki, lalu keluar.Istri macam apa seperti itu! Kenapa juga aku dulu menikahinya. Sebelum menikah bermanja-manja di lenganku. Ternyata dia melakukan itu karena sering kuajak jajan, nonton, dan belanja. Sekarang aku baru sadar kalau istriku matre. Dulu aku tidak keberatan karena kutahu untuk mendekati wanita butuh modal awal seperti ketika mau membangun sebuah usaha. Tapi sekarang dia kan sudah kudapatkan. Ibarat memancing aku telah berhasil menangkap ikannya.***"Wah, ada pisang goreng ni!"Bangun tidur melihat asap mengepul dari piring keramik di meja membuatku semangat."Mau?" Aira menatapku dengan bibir sebelah naik ke atas. Dia juga menghempaskan napas dengan kasar."Mau dong, Sayang! Perutku sudah nggak sakit."Aku duduk berseberangan dengan istriku dan berhadapan. Tangan baru mau mendekati piring, mata istriku melotot. "Kalau mau, beli!""Ya Allah, Ra! Seperti anak kecil saja. Masak bisa ketelan meski ada suami di hadapanmu," sanggah ibu mertua, "itukan cuma pisang goreng, Ra. Bagilah suamimu. Ibu di kampung masih banyak kalau kamu kurang." Ibu mertua menggelengkan kepala.Orang tua kandungnya sendiri saja menyayangkan kelakuan putrinya. Apa lagi aku. Muak rasanya. Tidak peka pada suami."Dengar kata ibumu! Kamu paham kan tugas istri? Seorang istri harus melayani suami."Aira seperti tak mendengar ucapanku. Dia terus mengunyah pisang goreng dengan menatap ke atas dan membolak-balikkan bola matanya.Aku menengok kanan kiri memindai setiap nakas. "Di mana kopiku?""Buat sendiri. Aku bukan pembantu!" sahut Aira."Kamu apa-apaan sih, Ra? Lama-lama aku muak sama kamu. Dari tadi bela-beli nggak jelas. Ini rumahku. Jangan se-enaknya kamu di sini!"Aku paling tidak suka diacuhkan begini.Brang!Aira menggebrak meja sampai piring kontal. Suaranya membuat jantung goncang.Kenapa malah dia yang lebih galakan? Seharusnya aku yang marah, karena ulahnya yang tidak bisa menghormati suami.Berulang kali kuremas rambut yang masih berantakan karena otak terasa panas, bawaannya mau memaki orang. Mungkin jika dimasukkan ke freezer sebentar akan lebih dingin.Untung ada ibu mertua, sehingga aku bisa meredam amarah dengan mengepalkan tangan juga mengatur napas. Kujatuhkan bobot tubuhku ke kursi agar emosi sedikit mereda."Ma-maafkan Aira ya, Vin! Cobalah kalian bicara baik-baik dari hati ke hati agar bisa saling memahami satu sama lain. Dalam berumah tangga butuh yang namanya komunikasi."Ah. Sok menasehati. Kenapa tidak putrinya saja yang diceramahi agar bisa menjadi istri yang berbakti pada suami.Yang kutahu ibu mertua adalah single parent karena berpisah dengan suaminya sewaktu Aira masih duduk di bangku SD. Sayangnya Aira tidak pernah memberitahukan perihal penyebab gagalnya rumah tangga ibunya. Mungkin ya itu, membangkang pada suami. Dan apa yang diperbuat Aira padaku sekarang menurun dari ibunya."Ayo pergi, Bu! Di rumah mewah seperti di neraka!" Aira keluar dari kamar dan sudah berganti pakaian dengan yang lebih bagus."Mau kemana?!" Aku menatapnya dengan intens. Dia tidak balik menatapku."Memangnya Mas peduli? Kalau memang Mas peduli, Mas tidak akan memperlakukan aku seperti pembantu. Aku mau shoping. Ayo, Bu!"Dia menggandeng tangan ibunya. Bersamaan dengan itu, suara klakson terdengar tiga kali di depan rumah. Ternyata sudah ada taxi online yang menunggu.Sok-sokan mau belanja dan pakai taxi online segala. Dia pikir bayar taxi cukup lima ribu rupiah saja? Lagian dia juga nggak punya uang. Dapat duit dari mana? Uang simpanannya juga paling berapa?Setiap catatan belanja yang diberikan padaku selama ini tak pernah ada sisa. Sebentar lagi pasti kembali karena tak bisa membayar taxi. Atau dia cuma gaya-gayaan turun di perempatan depan sana. Lagian ibu mertua mana tahan kena AC mobil. Yang ada nanti masuk angin. Dia ke sini saja naik mobil bak.Aira kata aku memperlakukan dia seperti pembantu? Itu terlalu berlebihan. Padahal di rumah dia juga nggak ngapa-ngapain selain nyapu, ngepel, nyuci, itu pun tidak setiap hari. Masak, membuatkan minum suami, itu hal yang wajar. Memang dasarnya manja.Dari pada pusing memikirkan istri yang masih labil, aku mengalah membuat kopi sendiri. Kurang sabar apa aku sebagai suami? Kalau dia menjadi istri orang lain mungkin sudah diceraikan.Ketika kubuka almari yang khusus dipakai untuk stok keperluan dapur seperti minyak, gandum, gula, dan lainnya mataku membulat sempurna. Semakin membelalak ketika aku mengecek almari khusus keperluan kamar mandi. Padahal aku sering berburu discon dan promo di swalayan besar. Aku membeli dengan jumlah banyak. Setengah kutaruh di toko grosirku, setengah kubawa pulang agar istriku tak perlu belanja lagi keluar. Tapi apa sekarang? Minyak cuma tinggal satu botol, terigu 1kg. Semua tersisa satu-satu setiap macamnya.Otakku kembali pada Aira yang pamit untuk shoping. Apa mungkin dia menjual semua barang yang kubeli, lalu memakai uangnya untuk belanja?Ponselku berbunyi. Nomor yang tak kukenal terlihat di layar."Hallo!""Maaf sebelumnya! Apa benar ini dengan Pak Kevin?" tanya seorang wanita di ujung sana. Dari mana dia mendapatkan nomorku?"Maaf, Pak! Orderan Bapak sudah di jalan. Mohon dibayar dengan cas ya, Pak! Terima kasih!""Eh, orderan apa sih? Aku nggak pernah order barang yang ditujukan ke rumah.""Maaf, Bapak! Yang order Ibu Aira--istri Bapak. Kata Ibu Aira nanti barangnya yang membayar adalah Pak Kevin, karena Ibu Aira sedang keluar.""Batalkan saja. Aku nggak merasa pesan. Istriku juga tidak izin dulu padaku!" Aku semakin naik darah."Maaf, Pak Kevin! Orderan yang dipesan tidak dapat dibatalkan. Terima kasih!""Heh, tunggu!"Aira ...! Kepalaku rasanya mau pecah. Apakah ini yang dinamakan ujian dalam rumah tangga?"Maaf, Pak Kevin! Orderan yang dipesan tidak dapat dibatalkan. Terima kasih!""Heh, tunggu!"Aira ...! Kepalaku rasanya mau pecah. Apakah ini yang dinamakan ujian dalam rumah tangga?Menit kemudian ketika mau mandi bel pintu berbunyi. "Siapa sih, pagi-pagi ganggu saja!" gerutuku.Dari kamar aku ke depan. "Paket, Pak. Totalnya enam ratus ribu!" Pria itu menenteng bungkusan berwarna hitam. Jam segini sudah mengganggu."Paket apa? Aku nggak pernah pesen-pesen begituan! Bawa pulang sana!""Ini adalah baju pesanan Bu Aira. Begini, Pak! Di olshop kami selalu ada perjanjian. Barang yang sudah dipesan dan diantar ke rumah tidak dapat dikembalikan lagi. Aku sudah capek-capek ke sini lho, Pak?""Aku nggak ada anggaran uang untuk barang yang nggak penting seperti itu! Kalau memang itu pesanan Aira, suruh dia yang bayar."Kurir berseragam biru elektrik itu menatapku secara intens. Dia memindai penampilanku dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. "Orang kaya kok perhitungan.""Eh, kamu bilang apa
Aira berjalan menuju nakas. Kemudian mengambil buku dan pulpen. Lalu duduk di ranjang memunggungiku. Entah apa yang dia tulis.Menit kemudian ...Glotak.Buku ia lempar ke punggungku. "Baca!"Aku menoleh. Memegang buku kecil itu. Lalu berkata, "Maksudmu apa melempar-lempar punggunggu dengan buku seperti ini? Apa nggak bisa menyerahkan dengan pelan?" Aira mematung dalam posisi yang sama. Sumpah, aku mati gaya dalam memahami sikapnya. Buat yang masih jomlo, mendingan kalau memutuskan menikah jangan melihat wajahnya yang cantik saja. Tapi cari tahu dulu sifat-sifat buruknya. Karena mengenali pasangan dalam waktu singkat itu sulit."Baca saja, Mas! Tidak buta huruf kan?" Ih. Tanganku memuk*l tanpa menyentuh badannya. Lalu kembali duduk dalam posisi nyaman. Rentetan tulisan tangan berjejer sampai bawah. Gaji rata-rata koki, gaji rata-rata cleaning servis ... seratus ribu/jam? "Apa maksudmu menulis gaji provesi orang? Lagi pula mana ada gaji OG/OB sebanyak itu? Ngarang. Kalau memang ad
Aku berlari ke luar rumah. Baru sampai di daun pintu sudah terdengar suara cangkulan. Aku menuju sumber suara, dan benar, Aira dan ibu sedang menggali tanah. Aku menatap mereka dari kejauhan dan kuteriaki, "Kalau mau mencangkul di sawah sana!" Aku pun mentertawakan kegiatan istri yang menurutku tak bermanfaat. Mungkin dia mau menanam bunga. Ah, dasar wanita. Sukanya mengerjakan sesuatu yang tak berguna.Aira menoleh padaku. Masih dengan tatapan sini. Bibirnya yang berwarna pink itu tak mengembang sedikit pun. Kalau hubunganku dengan istri seperti ini terus, kapan akan punya keturunan.Aku berjalan cepat mendekati istri dan ibu mertuaku. Wanita paruh baya itu menatapku sembari mengulas senyum. Berbeda sekali dengan putrinya. Akhir-akhir ini sering sekali melipat wajah dan bibirnya."Sudah bangun, Vin? Kalau bisa, bangun tidur sebelum subuh supaya bisa salat subuh," ujar Ibu. Dia memang sering menasehatiku dengan kata-kata yang sama. Andai dia tahu kalau aku bangun kesiangan juga kare
"Aku tidak percaya lagi padamu. Kamu cuma mementingkan uangmu itu. Tak pernah peduli dengan perasaanku. Aku mau pulang saja."Aku tak bisa hidup tanpamu Aira ...! Entah bagaimana caranya agar aku bisa meyakinkan wanita yang mampu mengambil hatiku.Tak mudah bagiku jatuh cinta pada lawan jenis. Hidupku terlalu monoton. Cuma kerja, kerja, dan kerja tanpa memikirkan apa itu cinta. Tapi ketika mengenal Aira, hidupku terasa lebih berwarna. Kudekap tubuh kecil di hadapanku dan menguncinya dengan kedua tangan. Tak akan kubiarkan istriku pergi begitu saja dari hidupku."Dengarkan aku, aku akan menuruti keinginanmu untuk mencari ART. Tapi beri aku waktu. Karena mencari ART juga harus selekif."Tubuh yang sejak tadi tak bisa diam, meronta, menggeliat seperti ular, dan berusaha lepas dari genggamanku mulai tenang."Aku nggak percaya sebelum ada hitam di atas putih," ujarnya lirih. Aku menghela bafas perlahan, lalu mengeluarkannya. Perempuan sangat ribet. Terpaksa aku mengiyakan dari pada membia
Mam-pus. Gara-gara berdebat dengan Aira, aku sampai lupa kalau teman-temanku akan datang ke rumah. Aku belum menyediakan jamuan apa-apa."O-oke, Brow!""Jangan lupa teh merahnya. Biar lebih asyik ngobrolnya. Selena juga ikut lho.""Apa?!" Aku menutup mulut karena nada terlalu keras. Aira yang dari tadi cuek langsung menoleh dengan tatapan tajam. Aku pun memunggunginya, tapi tetap bisa kilihat dari sudut mata kalau Aira penasaran. "Kenapa Selena harus ikut? Aku dan istriku sedang tak baik-baik saja. Kamu malah mengajak dia. Kamu mau rumah tanggaku berakhir sekarang juga?" lirih suaraku. Kupastikan Aira tak bisa mendengar."Maaf, Brow. Dia memaksa. Aku bisa apa?"Aku meremas rambutku yang semakin terasa panas."Sebentar lagi kita sampai," seru Zaki.Panggilan diakhiri.Aku membalik badan. Aira berdiri tegap di belakangku dengan tangan dilipat sejajar dada."Sayang, tolong bantu aku kali ini saja. Temanku mau ke rumah." Aku menangkupkan kedua tangan sejajar dada dengan tangan memelas. B
POV MERTUAMeski cuma sebentar, aku merasa senang karena bisa bertemu dengan putri semata wayangku. Aku bisa melepas kerinduan padanya. Tapi, ada sedikit keganjalan dalam hati ketika mengingat Aira sempat mengeluh ingin pisah dari suaminya.Mudah-mudahan apa yang dikeluhkan oleh putriku bisa segera menemui titik terang. Jangan sampai ikatan pernikahan yang mereka jalankan kandas begitu saja. Setiap pernikahan memiliki ujian sendiri-sendiri. Bisa dari pasangan, orang tua, atau saudara. Dan putriku saat ini diuji dengan pasangannya.Mobil sudah memasuki aspal yang sudah cukup rusak, berlubang sana-sini. Ini artinya sebentar lagi akan masuk ke perkampunganku. Kulihat kanan-kiri jalan hanya ada pohon jati dan ilalang. Berbeda jauh keadaannya dari kota yang baru saja kuinjak. "Wah, Bu Aminah sudah pulang!"Tetangga menyapaku ketika mobil bak melintas di depan rumah pemilik warung.Aku hanya mengulas senyum pada wanita-wanita seumuranku itu. Mereka memang tidak ada kerjaan lain selain me
Meski naik mobil, tetap saja tubuhku yang sudah tua merasa letih dalam perjalanan. Aku duduk di kursi teras sebelum membuka pintu.Kubuka tas dan kuambil beberapa kue yang sengaja dibelikan Aira ketika jalan-jalan. Kue berbentuk bulat dengan isian daging itu akan kubagikan pada tetangga yang menyusul ke rumah. Rata-rata orang yang memang dekat denganku."Ini oleh-oleh dari Aira. Di bagi ya!" seruku. Mereka yang berjumlah empat orang membagikan pada cucu-cucu balitanya."Enak, Yu. Baru kali ini aku mencicipi roti isi daging.""Bener, Bu Aminah. Rotinya lembut, tapi padet. Makan sedikit langsung kenyang."Aku mengulas senyum. "Alhamdulilah kalau pada suka.""Bu Aminah belum menjawab. Bagaimana rasanya tinggal di rumah menantu yang kaya? Pasti meja makannya mewah, terus kamar tidurnya luas seperti di tipi-tipi," tanya Bu Tuti kegirangan. Dia menepuk lenganku karena terlalu bersemangat. Wanita bertubuh gempal itu memang sering menimpuk orang dengan telapak tangannya yang tebal."Iya, Bu T
POV KEVIN"Gil@ kamu, Vin! Mau nge-prank ya! Asin banget." Dadaku langsung sesak. Kurang ajar Aira. Dia benar-benar mau mengajak perang."Maaf, maaf. Mungkin aku tadi salah ambil. Kupikir gula, ternyata garam. Tunggu sebentar."Baru saja mau berdiri dan melabrak Aira, ternyata wanita yang kerap kali membuat kepalaku bersungut-sungut itu datang dengan tampilan yang sangat berbeda. Bahkan aku tak pernah melihat dirinya dadan cantik seperti yang kulihat saat ini."Lho, kenapa pada bengong? Minumannya kok cuma dianggurin?" Aira berlenggok-lenggok melewati pandangan Selena dan duduk di sampingku menggeser posisi wanita satu-satunya dalam tim kami."Maaf, Mbak. Tolong agak bergeser. Lagi pula tak pantas seorang wanita duduk berdekatan dengan pria yang sudah punya istri. Nanti jadi fitnah. Lebih parahnya dikira pelak@r." Aira memicingkan mata pada Selena. Lalu bergelayut di lenganku. "Salah minum apa istriku tiba-tiba seperti uler keket," batinku. Karena sikapnya, aku jadi lupa mau marah
Tidak, tidak. Aku dan Ikhsan hanya sahabat. Karena saat kecil aku tidak punya teman wanita. Tidak ada yang mau main denganku karena aku nggak pernah bawa uang jajan. Saat kecil aku tergolong pendiam dan takut dengan anak-anak sebaya. Mereka hanya mau bermain denganku ketika aku membawa rupiah agar bisa diajak jajan ke warung. Jika tidak, aku akan bermain dengan anak culun itu di depan rumah.Tapi tidak mungkin jika Ibu menginginkanku bercerai. Sementara beliau kerap kali menasehatiku agar selalu bersabar dalam ujian rumah tangga. "Aira ...! Sayang ...! Habislah sudah!" Rengekannya seperti anak kecil. Muak aku mendengar."Aira ...!" ulangnya lagi.Karena Mas Kevin terus berteriak, Kuletakkan ponsel di nakas, kumudian keluar menemuinya di depan TV."Ada apa? Kenapa kok seperti belut sawah begitu?"Badannya menggeliat seperti cacing kepanasan sembari menarik ujung rambut lurusnya. Mata terpejam dan kepalanya terus bergerak."Kamu kenapa sih, Mas? Malu dong sama umur, kelakuan seperti a
POV AIRAMas Kevin sungguh keterlaluan. Dia selalu saja menilai sesuatu dari nominal uang. Padahal isi amplop kondangan nggak setiap hari. Orang mengadakan hajatan juga tidak setiap tahun. Dari pada aku datang dan diantar dengan mengisi amplop di bawah lima ribu, aku memilih untuk tidak menghadiri sekalian. Aku masih ingat putri Bu Tuti saat itu memberiku hadiah bad cover dan juga amplop berisi uang lembaran merah. Setidaknya, aku juga menghargai dengan bawaan yang senilai. Apa lagi suamiku bisa dikatakan orang yang berada.Setelah kucopot gamis, sepatu, dan menghapus riasan wajah, aku memilih mengurung diri di kamar dan memberi kabar pada Ibu melalui video call."Aira, kamu pulang kapan?" tanya Ibu di seberang sana. Dia cuma memakai daster biasa, karena biasanya ibu mendapat bagian dapur ketika di tempat hajatan. Tangan dan tenaga ibu yang cekatan membuat h yang mengandungku sembilan bulan itu menjadi langganan masak nasi. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan berat tersebut
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
Aira menghela napas, kemudian menundukkan sebagian badannya dan berbisik pada wanita tersebut, "Bahkan untuk menjadi pembantu di rumahku pun aku nggak memgizinkan. Mbak, aku sudah nggak minat dengan bayimu. Jadi, jangan lupa bayar hutangmu."Mata wanita itu membulat sempurna."Ayo, Mas!" Aira menggandeng tanganku."Mbak! Pikirkan dulu, Mbak! Lihatlah bayiku begitu cantik dan lucu."Wanita yang masih terbaring di ranjang itu meneriaki dengan suara yang cukup memekikkan indera pendengaran."Enak saja meminta syarat seperti itu. Dia pikir dia itu siapa? Masak aku harus merawat bayinya, kedua balitanya, dan mengizinkan ibunya tinggal di rumah kita."Sembari terus berjalan ke arah parkiran mobil, Aira terus merancau. "Jika ada wanita lain yang seatap dengan kita, itu artinya awal dari kehancuran rumah tangga. Bisa saja kalau dia khilaf dan kita lengah, dia akan merayu dan menggodamu, Mas."Aku mengulum senyum dan membuang muka. Dada rasanya berbunga-bunga seperti mengalami jatuh cinta ya
"Maaf ya, Sayang ...! Tante nggak bisa bobok di rumah Amira. Tapi, besok Amira boleh main ke sini lagi kok. Sekarang anak cantik pulang sama papanya dulu ya ...!"Aira menoel pipi anak kecil dalam gendongan Radit. Seperti tidak ada rumah lain di kota ini. Sampai-sampai dia membeli hunian yang posisinya berhadapan denganku. Ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan kesengajaan. "Kita pulang yuk! Salim dulu sama Tante Aira dan juga Om." Radit menatap putrinya dengan seulas senyun.Gadis kecil bermata sipit itu pun turun dari gendongan papanya dan mencium punggung tangan istriku beserta pipi kanan kirinya.Aku pun mengangkat tangan agar dia tidak terlalu susah ketika menyalamiku. Tapi ternyata Amira hanya menatapku sekilas dengan tatapan nyalang. Aku mengedikkan mata dan mencoba mengambil hatinya. Tapi, mungkin anak itu sudah menganggap diriku ini musuh sehingga memilih berpaling muka sembari bersedekap. Dia membalik badan dan kembali ke gondongan papanya."Lho. Eh. Belum salim sama Om!
"Mas, jangan keterlaluan. Dia di sini cuma hari ini.""Tapi kenapa? Apa kamu sudah menjadi ibu sambungnya? Apa kamu naksir dengan papanya? Apa?! Apa alasannya?"Aku yakin ini hanya akal-akalan Radit agar bisa dekat dengan istriku."Jaga bicaramu, Mas! Radit cuma menitipkan putrinya sebentar karena dia harus kerja. Lagi pula aku juga jadi nggak kesepian di rumah sendiri, Mas. Anak itu bisa menemaniku. Dia nggak nakal kok.""Nggak nakal bagaimana? Kamu lihat rumahku sudah seperti kapal pecah. Aku nggak suka tempat yang berantakan. Lagi, kenapa kamu harus mau dititipi? Kamu kan bisa menolak. Katanya dia juga kaya. Seharusnya dia bisa mencari pengasuh pribadi.""Rumah anak itu di mana? Biar kuatar dia sekarang. Aku nggak mau waktumu habis untuk anak orang."Aku melangkah menemui balita itu."Rumahmu di mana?""Aku baru pindah ke rumah depan situ Om? Om mau main ke rumahku?" Dia menatapku dengan polos.Sepertinya Radit memang sengaja pindah ke rumah depan agar bisa mendekati istriku. Aku a
Pov Kevin"Ada apa, Vin? Tumben kamu mengajak aku ketemuan di sini."Aku menunduk lesu tanpa menjawab pertanyaan Angga. Sebelumnya aku tidak pernah membahas persoalan pribadi pada sahabat. Aku memilih memendam dan mengurainya sendiri."Angga, kamu tahu diantara teman-teman kita, aku sendiri yang belum memiliki momongan. Aku mengajakmu ke sini karena aku tahu, kamu sangat bijak dalam memberikan sebuah nasehat. Tidak seperti Zaki--dia cuma mengejek tanpa memberi solusi."Aku mengusap wajah dan menghirup oksigen bebas kemudian membuangnya perlahan. "Aku sudah membujuk Aira untuk mengikuti program bayi tabung. Tapi dia menolak dan memilih mengadopsi anak. Aku dan dia kan tidak mandul. Ngapain mengadopsi anak coba? Malahan, ada yang minta aku harus membiayai kehamilan si ibu hamil. Siapa dia ... istri bukan, saudara juga bukan."Angga mengulas senyum sesaat, kemudian tertawa ngakak mendengar curhatanku."Kenapa nggak sekalian biayai bapak, ibu, atau neneknya?" Kupikir tidak ada yang lucu
"Aku nggak mau mengasuh anak orang.""Kalau nggak mau mengasuh anak orang, asuh saja anak ikan.""Benar! Asuh saja anak ikan." Mas Kevin menatap Kristin dengan tajam."Mm. Maaf. Aku pergi dulu. Selesaikan masalah kalian di rumah." Kristin berlari.Hah.Aku dan Mas Kevin terhenyak menatap kepergian wanita tersebut. Kami saling menatap dan ternyata orang-orang di sekitar juga mengamati perdebatan yang aku dan suamiku lakukan."Ayo pulang!" ***"Kenapa sih, kamu tidak pernah mau mendengarkan omonganku? Kalau kita program bayi tabung, kesempatan untuk mempunyai buah hati sangat besar. Rumah jadi lebih ramai."Aku memilih diam dari pada menanggapi setiap ucapan yang keluar dari mulut Mas Kevin ketika sampai rumah. Aku memakluminya karena dia juga tidak tahu apa yang kumau. Dari rumah sakit, di jalan, dan sampai rumah pun tak berhenti membahas tentang program bayi tabung yang sama sekali tak kuminati."Kenapa diam? Kalau kamu membisu, masalah ini tidak akan selesai."Aku duduk di samping r