POV KEVIN"Gil@ kamu, Vin! Mau nge-prank ya! Asin banget." Dadaku langsung sesak. Kurang ajar Aira. Dia benar-benar mau mengajak perang."Maaf, maaf. Mungkin aku tadi salah ambil. Kupikir gula, ternyata garam. Tunggu sebentar."Baru saja mau berdiri dan melabrak Aira, ternyata wanita yang kerap kali membuat kepalaku bersungut-sungut itu datang dengan tampilan yang sangat berbeda. Bahkan aku tak pernah melihat dirinya dadan cantik seperti yang kulihat saat ini."Lho, kenapa pada bengong? Minumannya kok cuma dianggurin?" Aira berlenggok-lenggok melewati pandangan Selena dan duduk di sampingku menggeser posisi wanita satu-satunya dalam tim kami."Maaf, Mbak. Tolong agak bergeser. Lagi pula tak pantas seorang wanita duduk berdekatan dengan pria yang sudah punya istri. Nanti jadi fitnah. Lebih parahnya dikira pelak@r." Aira memicingkan mata pada Selena. Lalu bergelayut di lenganku. "Salah minum apa istriku tiba-tiba seperti uler keket," batinku. Karena sikapnya, aku jadi lupa mau marah
Sepertinya istriku ingin mengajakku hidup susah. Masak cuma membeli makanan habis lebih dari satu juta. Jumlah segitu bisa dipakai makan sebulan.Sembari menunggu orderan datang, kami pun membahas kerjaan. Aira masih duduk di sampingku sembari main ponsel. Aku tidak bisa menyuruhnya pergi. Karena dia pasti ngambek dan memberi celah Zaki untuk menghiburnya.Menit kemudian orderan datang. Rata-rata makanan dalam porsi besar. Seperti seefood yang dalam porsi berisi kepiting, udang, cumi, dan berbagai jenis kerang. Dia enak, aku rugi banyak.Aira pun membawa makanan itu ke meja makan dan memindahkannya ke berbagai mangkok dan piring."Makanan sudah siap ...!" serunya istriku. Zaki begitu antusias. Dia langsung berdiri dan menuju meja makan paling awal."Wah, mantab, Brow!"Semua temanku sangat menikmati hidangan. Mereka makan dengan lahap. "Vin, kok nggak makan? Puasa?" tanya Angga.Bagaimana aku bisa makan? Kalau otakku terus terbayang harga makanan yang selangit ini. Lama-lama saldoku
Pasca acara selesai. Meja makan seperti kapal pecah. Piring kotor dengan berbagai sisa-sisa tulang, cangkang, berserakan. Bahkan bekas kuah yang menempel di meja sudah seperti lukisan abstrak.Kuperhatikan Aira sedang video call dengan seseorang di dekat daun jendela. Terlihat serius sekali."Teleponan sama siapa?" tanyaku ketika dia berjalan ke arahku."Ibu.""Ada apa lagi? Ibu kesasar atau kecelakaan?""Kamu ya, Mas! Kalau ngomong nggak dipikir dulu. Kamu mendoakan ibuku kecelakaan?""Aku cuma bertanya. Ini siapa yang mau membersihkan?""Ini acara siapa?" Aira bertanya balik. Lalu berjalan menjauhiku."Kamu mau kemana?""Mencari hidayah!" sahutnya tanpa menoleh.Aku bisa saja membentak atau menyuruh Aira membereskan semua ini. Tapi, aku terlanjur menandatangi surat perjanjian itu.Aku mencoba menghubungi ibu mertua. Siapa tahu di kampung halamannya ada yang membutuhkan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. "Hallo, Kevin. Ini Bu Tuti. Masih ingat kan, emak gemoy yang mengambilkanm
"Bagaimana rasanya punya suami yang pelit? Menderita sekali kan? Sudah kubilang, mundur saja. Kevin menikahimu karena kamu gadis kampung yang mudah dikibuli. Hatinya cuma milikku," ujar Selena--mantan kekasihku. Selena memang pernah bicara padaku kalau dia masih mencintaiku. Tapi, aku juga sudah menegaskan kalau aku sudah beristri dan perasaanku padanya saat ini tak lebih hanya sebagai teman. Tapi, aku tak menyangka kalau dia sudah sejauh ini mencampuri rumah tanggaku."Aku menikah dengan Mas Kevin bukan karena hartanya. Kalau demi harta, aku sekarang tidak duduk di sini, Mbak. Pasti sudah pisah dan balik kampung. Mbak perlu tahu satu hal. Bahkan aku sudah minta Mas Kevin untuk melepasku. Tapi dia tak mau melakukan itu. Mbak Selena tahu itu artinya apa? Kita sudah jodoh. Kami menikah karena Allah dan menjalani rumah tangga dalam lindungannya.""Aira ... Aira. Kamu terlalu sombong. Lihat saja, dia akan meninggalkanmu tanpa memberikan sedikitpun harta gono-gini. Karena yang akan mengua
"Mas, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu mendorongku?!" teriak Aira. Bahkan aku tidak sadar jika telah mendorong tubuh kecil itu.Tanganku tiba-tiba saja merasa jijik ketika melihat foto tanpa busana di layar ponsel dengan wajah istriku."Diam kamu! Aku baru tahu kalau kamu tak lebih dari wanita murahan.""Tutup mulutmu, Mas! Atas dasar apa kamu menuduhku seperti itu, hah? Apa Mas lupa siapa yang mengambil kesucianku? Apa Mas lupa siapa yang merobek selaput daraku?" Aira bangun dari ranjang, manatapku cukup intens. Lalu melayangkan tangannya dan mendarat di pipiku. Perih sekali. "Bagaimana rasanya, Mas? Apa matamu sudah terbuka?""Apa maksdumu? Lihat ini!" Kuarahkan layar ponselku padanya."Lihat baik-baik foto itu. Apa Mas tidak dapat membedakan bentuk tubuhku dengan foto tersebut?"Apa iya? Aku pun memperhatikan lagi foto yang dikirim orang tak dikenal itu.."Kebangetan kalau nggak tahu tubuh istrinya," umpatnya. Mata Aira merah."Sebentar. Tapi ini wajahmu kan? Kamu nggak bisa men
"Dapat dari mana baju seperti itu?" Aku menyipitkan mata memindai setiap lekuk tubuh istriku yang semakin terlihat sexi.Aira berjalan berlenggok dan duduk di pangkuanku."Mau tahu baju ini dari mana? Aku beli dari uang hasil menipu orang, Mas!""Hah, yang benar saja.""Iya, menipu suami ketika dia sakit perut.""Apa?!" Aku mendorong tubuh Aira sampai dia terjatuh, "sudah kuduga. Kalau dokter itu nggak meyakinkan. Masak cuma periksa perut habis enam juta. Padahal kalau beli di apotek paling berapa."Aira tertawa sembari megusap-usap panggulnya. Belum apa-apa sudah ada tragedi."Salah sendiri pelit. Uang suami juga uang istri, Mas. Kalau diambil sama yang kuasa baru tahu rasa.""Iya, Maaf! Aku kan cuma antisipasi. Barang kali kamu matre dan berniat menguasai hartaku, lalu meninggalkanku disaat aku lagi sayang-sayangnya."Hari ini menjadi hari yang penuh drama. Meski ada sedikit adegan fisik yang seharusnya tidak terjadi. Tapi semua berakhir dengan indah. Terkadang untuk menyelesailan ma
"Cepat, Mas!" Mata Aira membelalak. Antara kasihan pada Mbak Ummi dan ragu membiarkan istriku menghadapi Selena."Iya, iya. Kenapa musti pingsan to, Mbak? Kalau ramping seperti Aira nggak masalah. Kuperkirakan beratmu mencapai 1kwintal ini, Mbak!" Aku bermonolog sendiri. Malas meletakkan kepala Mbak Ummi di pangkuanku, aku pun cuma menyangga kepalanya dengan tangan bertumpu sofa."Biasanya pintuku memang tak pernah kukunci kecuali jika rumah ini kosong. Tapi, baru kali ada tamu yang tanpa salam langsung nyelonong ke dalam. MUKA TEMBOK!""Ahw!"Aku terkesiap ketika Selena menjerit dan memegangi pipinya."Mbak Ummi, bangun, Mbak! Ada perang badar di rumahku!" Ketepuk-tepuk pipi Mbak Ummi. Tapi dia juga tak sadarkan diri. Aku pun mencari jurus darurat. Yaitu aroma ketiakku yang tajam.Mbak Ummi pun sedikit menggeliat dan perlahan membuka mata. "Ya Allah, ada ada oppa!" Mbak Ummi terkejut dan pingsan lagi. Astaghfirullah, Mbak Ummi. Melihat orang ganteng saja pingsan. Apa lagi melihat h
"Sayang, kamu jangan kejam-kejam sama orang! Kasihan Selena sudah kamu hajar sampai babak belur.""Nggak harus kamu juga kan yang harus mengantarnya pulang, Mas? Aku akan memanggilkan taxi online. Tunggu saja. Sekalian diintrogasi lagi. Barang kali kalau kamu sayang-sayang, dia mau ngaku."Aku menghela napas. Tak habis pikir dengan tingkah istriku yang keras kepala ini. Dia mengajak Mbak Ummi ke belakang. Mungkin dia juga butuh asupan setelah melampiaskan kekesalannya.Tiba-tiba Selena menangis. Tangannya menyentuh tanganku dengan lembut. Tapi sayang, aku tak lagi merasakan kenyamanan seperti dulu."Vin, sampai sekarang aku masih setia menunggumu. Bahkan aku menolak dijodohkan oleh orang tuaku. Kupikir kamu akan memperjuangkan hubungan kita yang sudah dua tahun terjalin. Ternyata kamu justru menikah lebih dulu. Bahkan kamu tak mengundangku. Aku benar-benar kecewa. Selama ini aku bersandiwara joinan bisnis denganmu agar kita bisa selalu dekat dan kamu kembali padaku. Nyatanya, kamu jus
Tidak, tidak. Aku dan Ikhsan hanya sahabat. Karena saat kecil aku tidak punya teman wanita. Tidak ada yang mau main denganku karena aku nggak pernah bawa uang jajan. Saat kecil aku tergolong pendiam dan takut dengan anak-anak sebaya. Mereka hanya mau bermain denganku ketika aku membawa rupiah agar bisa diajak jajan ke warung. Jika tidak, aku akan bermain dengan anak culun itu di depan rumah.Tapi tidak mungkin jika Ibu menginginkanku bercerai. Sementara beliau kerap kali menasehatiku agar selalu bersabar dalam ujian rumah tangga. "Aira ...! Sayang ...! Habislah sudah!" Rengekannya seperti anak kecil. Muak aku mendengar."Aira ...!" ulangnya lagi.Karena Mas Kevin terus berteriak, Kuletakkan ponsel di nakas, kumudian keluar menemuinya di depan TV."Ada apa? Kenapa kok seperti belut sawah begitu?"Badannya menggeliat seperti cacing kepanasan sembari menarik ujung rambut lurusnya. Mata terpejam dan kepalanya terus bergerak."Kamu kenapa sih, Mas? Malu dong sama umur, kelakuan seperti a
POV AIRAMas Kevin sungguh keterlaluan. Dia selalu saja menilai sesuatu dari nominal uang. Padahal isi amplop kondangan nggak setiap hari. Orang mengadakan hajatan juga tidak setiap tahun. Dari pada aku datang dan diantar dengan mengisi amplop di bawah lima ribu, aku memilih untuk tidak menghadiri sekalian. Aku masih ingat putri Bu Tuti saat itu memberiku hadiah bad cover dan juga amplop berisi uang lembaran merah. Setidaknya, aku juga menghargai dengan bawaan yang senilai. Apa lagi suamiku bisa dikatakan orang yang berada.Setelah kucopot gamis, sepatu, dan menghapus riasan wajah, aku memilih mengurung diri di kamar dan memberi kabar pada Ibu melalui video call."Aira, kamu pulang kapan?" tanya Ibu di seberang sana. Dia cuma memakai daster biasa, karena biasanya ibu mendapat bagian dapur ketika di tempat hajatan. Tangan dan tenaga ibu yang cekatan membuat h yang mengandungku sembilan bulan itu menjadi langganan masak nasi. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan berat tersebut
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
Aira menghela napas, kemudian menundukkan sebagian badannya dan berbisik pada wanita tersebut, "Bahkan untuk menjadi pembantu di rumahku pun aku nggak memgizinkan. Mbak, aku sudah nggak minat dengan bayimu. Jadi, jangan lupa bayar hutangmu."Mata wanita itu membulat sempurna."Ayo, Mas!" Aira menggandeng tanganku."Mbak! Pikirkan dulu, Mbak! Lihatlah bayiku begitu cantik dan lucu."Wanita yang masih terbaring di ranjang itu meneriaki dengan suara yang cukup memekikkan indera pendengaran."Enak saja meminta syarat seperti itu. Dia pikir dia itu siapa? Masak aku harus merawat bayinya, kedua balitanya, dan mengizinkan ibunya tinggal di rumah kita."Sembari terus berjalan ke arah parkiran mobil, Aira terus merancau. "Jika ada wanita lain yang seatap dengan kita, itu artinya awal dari kehancuran rumah tangga. Bisa saja kalau dia khilaf dan kita lengah, dia akan merayu dan menggodamu, Mas."Aku mengulum senyum dan membuang muka. Dada rasanya berbunga-bunga seperti mengalami jatuh cinta ya
"Maaf ya, Sayang ...! Tante nggak bisa bobok di rumah Amira. Tapi, besok Amira boleh main ke sini lagi kok. Sekarang anak cantik pulang sama papanya dulu ya ...!"Aira menoel pipi anak kecil dalam gendongan Radit. Seperti tidak ada rumah lain di kota ini. Sampai-sampai dia membeli hunian yang posisinya berhadapan denganku. Ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan kesengajaan. "Kita pulang yuk! Salim dulu sama Tante Aira dan juga Om." Radit menatap putrinya dengan seulas senyun.Gadis kecil bermata sipit itu pun turun dari gendongan papanya dan mencium punggung tangan istriku beserta pipi kanan kirinya.Aku pun mengangkat tangan agar dia tidak terlalu susah ketika menyalamiku. Tapi ternyata Amira hanya menatapku sekilas dengan tatapan nyalang. Aku mengedikkan mata dan mencoba mengambil hatinya. Tapi, mungkin anak itu sudah menganggap diriku ini musuh sehingga memilih berpaling muka sembari bersedekap. Dia membalik badan dan kembali ke gondongan papanya."Lho. Eh. Belum salim sama Om!
"Mas, jangan keterlaluan. Dia di sini cuma hari ini.""Tapi kenapa? Apa kamu sudah menjadi ibu sambungnya? Apa kamu naksir dengan papanya? Apa?! Apa alasannya?"Aku yakin ini hanya akal-akalan Radit agar bisa dekat dengan istriku."Jaga bicaramu, Mas! Radit cuma menitipkan putrinya sebentar karena dia harus kerja. Lagi pula aku juga jadi nggak kesepian di rumah sendiri, Mas. Anak itu bisa menemaniku. Dia nggak nakal kok.""Nggak nakal bagaimana? Kamu lihat rumahku sudah seperti kapal pecah. Aku nggak suka tempat yang berantakan. Lagi, kenapa kamu harus mau dititipi? Kamu kan bisa menolak. Katanya dia juga kaya. Seharusnya dia bisa mencari pengasuh pribadi.""Rumah anak itu di mana? Biar kuatar dia sekarang. Aku nggak mau waktumu habis untuk anak orang."Aku melangkah menemui balita itu."Rumahmu di mana?""Aku baru pindah ke rumah depan situ Om? Om mau main ke rumahku?" Dia menatapku dengan polos.Sepertinya Radit memang sengaja pindah ke rumah depan agar bisa mendekati istriku. Aku a
Pov Kevin"Ada apa, Vin? Tumben kamu mengajak aku ketemuan di sini."Aku menunduk lesu tanpa menjawab pertanyaan Angga. Sebelumnya aku tidak pernah membahas persoalan pribadi pada sahabat. Aku memilih memendam dan mengurainya sendiri."Angga, kamu tahu diantara teman-teman kita, aku sendiri yang belum memiliki momongan. Aku mengajakmu ke sini karena aku tahu, kamu sangat bijak dalam memberikan sebuah nasehat. Tidak seperti Zaki--dia cuma mengejek tanpa memberi solusi."Aku mengusap wajah dan menghirup oksigen bebas kemudian membuangnya perlahan. "Aku sudah membujuk Aira untuk mengikuti program bayi tabung. Tapi dia menolak dan memilih mengadopsi anak. Aku dan dia kan tidak mandul. Ngapain mengadopsi anak coba? Malahan, ada yang minta aku harus membiayai kehamilan si ibu hamil. Siapa dia ... istri bukan, saudara juga bukan."Angga mengulas senyum sesaat, kemudian tertawa ngakak mendengar curhatanku."Kenapa nggak sekalian biayai bapak, ibu, atau neneknya?" Kupikir tidak ada yang lucu
"Aku nggak mau mengasuh anak orang.""Kalau nggak mau mengasuh anak orang, asuh saja anak ikan.""Benar! Asuh saja anak ikan." Mas Kevin menatap Kristin dengan tajam."Mm. Maaf. Aku pergi dulu. Selesaikan masalah kalian di rumah." Kristin berlari.Hah.Aku dan Mas Kevin terhenyak menatap kepergian wanita tersebut. Kami saling menatap dan ternyata orang-orang di sekitar juga mengamati perdebatan yang aku dan suamiku lakukan."Ayo pulang!" ***"Kenapa sih, kamu tidak pernah mau mendengarkan omonganku? Kalau kita program bayi tabung, kesempatan untuk mempunyai buah hati sangat besar. Rumah jadi lebih ramai."Aku memilih diam dari pada menanggapi setiap ucapan yang keluar dari mulut Mas Kevin ketika sampai rumah. Aku memakluminya karena dia juga tidak tahu apa yang kumau. Dari rumah sakit, di jalan, dan sampai rumah pun tak berhenti membahas tentang program bayi tabung yang sama sekali tak kuminati."Kenapa diam? Kalau kamu membisu, masalah ini tidak akan selesai."Aku duduk di samping r