Masih di malam yang sama, Sasha merenggangkan kedua lengannya, lelah. Ia masih tak habis pikir Stevi yang ia kenal dengan baik bisa nekat berbuat sesuatu hal yang benar-benar membuat Kencana Hotel Group heboh dalam satu hari. Interkom di mejanya berbunyi, "Mbak Sha belum mau pulang kan? Diminta Pak Daniel ke ruangannya Mbak untuk report tentang masalah bad review,"suara Tita, sekretaris Daniel seketika membuat tubuh Sasha tegang. Sasha menarik nafas dalam-dalam, lalu melangkah keluar ruangannya dengan perasaan yang tak karuan. Jantung nya berdegup kencang, perutnya terasa mulas. Sudah satu bulan lebih sejak terakhir kali Sasha dan Daniel berada dalam satu ruangan kerja berdua. Sasha rasanya ingin pura-pura sakit saja agar bisa menghindar. "Loh kamu pulang Ta?"Tanya Sasha saat berpapasan dengan Tita di depan lift lantai 46."Iya Mbak, aku ada urusan keluarga, udah telat banget malah ini. Duluan ya Mbak Sha!"Tita bergegas masuk lift dan meninggalkan Sasha yang semakin ketar-ket
Sasha terbangun dengan perasaan hampa, ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia teringat semua hal yang terjadi kemarin dan lagi-lagi perasaan bersalah menyerangnya dengan bertubi-tubi. Kemarin malam saat mengantarkannya pulang, Raga tidak mengatakan apa-apa, tidak juga berbicara kecuali perbincangan kecil mengenai lalu lintas. Wajah Raga terlihat muram, mungkinkah Raga tahu apa yang Sasha dan Daniel lakukan? Benak Sasha terus bertanya-tanya. Hari ini untuk berangkat kerja saja rasanya Sasha tak punya semangat. Diluar dugaan Sasha, Raga sudah sampai dirumahnya untuk berangkat kerja bersama. Hal yang sudah rutin mereka lakukan selama satu bulan belakangan. Sasha pikir Raga masih marah dan tak ingin bertemu dengannya. Sasha mengintip Raga yang sedang duduk di teras sambil merokok, Raga nya yang baik, Raga yang selalu bisa ia andalkan. Ia harus menyelesaikan semua hubungan aneh ini dengan Raga segera, sebelum Raga semakin jauh mencintainya dan akan membuat Raga semakin terluka. "Eh Hai
I have had enough! Why do bad things keep heppening?! Hal terburuk yang bisa terjadi sudah terjadi, tak akan ada yang lebih buruk yang akan terjadi lebih dari ini. Sasha mencoba menguatkan hatinya, ia masih terduduk di lantai karpet di belakang mejanya, memeluk dirinya sendiri, tak ingin beranjak sedikitpun. Dalam satu gerakan cepat pintu ruang kerja Sasha terbuka, Sasha terkejut melihat gerakan sepasang sepatu pria yang sangat di kenalnya. Ia memejamkan mata bersiap untuk kemungkinan yang terburuk. Daniel pasti akan menghujaninya dengan segala macam cacian dan makian. Sasha sudah menyiapkan dirinya, menarik nafas kuat-kuat. Namun yang terjadi selanjutnya membuat Sasha terkejut. Daniel menarik tangan Sasha membantunya berdiri lalu satu tangannya mengambil tas tangan Sasha. Tanpa berkata-kata Daniel menggandeng Sasha keluar dari ruangan, menyusuri koridor kantor. Sasha yang masih belum bisa memproses semuanya hanya berjalan cepat mengikuti langkah Daniel sambil setengah menunduk m
Pukul 18.30 waktu Bali, Sasha berjalan keluar dari Bandara I Gusti Ngurah Rai dengan wajah yang pucat dan sembab. Ia sudah membuat janji dengan anak buah Gendis yang akan mengantarkan mobil yang akan digunakan Sasha selama ia tinggal di Bali. "Selamat malam Bu Sasha, saya Ridho, karyawan Ibu Gendis."Sapa seorang pria muda yang sebelumnya sudah berbicara di telepon dengan Sasha. Sasha mengangguk,"Malam Pak Ridho, maaf ya merepotkan." "Sama sekali tidak Bu, ini kunci mobilnya Bu, mobilnya ada di Valet Service. Sudah dibayar semuanya ya Bu." "Baik Pak, terimakasih banyak ya pak." "Sama-sama Bu Sasha. Enjoy Bali ya Bu." Tak lama kemudian mobil sedan Toyota All New Camry berwarna hitam sudah terparkir manis di depan Sasha. "Silahkan Ibu, ini kuncinya."Tukas seorang petugas Valet Service seraya menyerahkan kunci mobil pada Sasha. "Thanks Pak." Dengan sigap Sasha masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi, siap untuk menghabiskan waktunya di Bali, seorang diri. Bali mal
Cahaya matahari pagi mengintip dari sela-sela tirai jendela kamar yang belum dibuka. Suara kicauan burung terdengar bersahut-sahutan membuat suasana syahdu Ubud semakin terasa. Sasha membuka matanya perlahan, menatap hampa ruangan kamar yang sepi. Tadi malam setelah berendam ia meminum beberapa gelas wine agar bisa tertidur pulas, pagi ini dia terbangun dengan kepala agak berat. Hatinya terasa hampa, kosong. Seperti ia kehilangan sebagian nyawanya. Sasha menegakkan badannya lalu bersandar pada sandaran dipan. Dengan lemas ia menyalakan ponselnya dan mendapati satu pesan masuk dari Gendis, satu-satunya orang yang tahu nomor barunya. Gendis mengatakan akan datang ke villa nanti sore bersama Luke suaminya. Jam digital di ponselnya menunjukkan pukul 10.00 pagi. Sasha tertidur cukup lama. Tadi malam seingatnya, ia menghabiskan gelas wine ke lima nya pada pukul 12.00 malam. Sasha bangkit dari tempat tidurnya lalu berjalan keluar menuju dapur. Ia menuang segelas air putih dan meminum
Gendis dan Rian memutuskan untuk menginap di villa menemani Sasha. Sudah lama rasanya sejak terakhir kali Sasha bisa tertawa selepas ini. Dulu sebelum Raga memiliki rasa yang berbeda kepadanya, Raga selalu bisa membuat Sasha tertawa sampai ia lupa dengan semua masalahnya. Tapi sekarang Raga sudah berbeda, dan yang jelas ia tidak lagi mau menjadi bagian dari hidup Sasha. "Disitu aja!"Ujar Gendis sambil menunjuk ke arah teras yang menghadap kolam renang dengan dagunya, ia sedang mengarahkan Rian yang sedang menenteng karpet yang akan mereka gunakan untuk ngobrol-ngobrol di teras belakang villa. "Bawa sini amunisisnya!" Teriak Rian saat karpet sudah tergelar dengan rapih. Tak lama kemudian muncul Sasha dan Gendis dari dalam villa menenteng banyak camilan, sebotol Whiskey, sebotol Cola dan beberapa bungkus rokok. "Kuaci jadi beli kan tadi?"Tanya Sasha sambil menatap Gendis yang membawa camilan. "Amaaaaan!"Gendis menunjukkan dua bungkus besar kuaci kesukaan mereka. "Yan lo ganten
"Such a small world!"Tukas Luke satu-satunya orang di sana yang tidak mengetahui konflik antara Daniel dan Sasha. Gendis yang menangkap kecanggungan yang terjadi segera berusaha untuk mencairkan suasana. "Oh ya, Daniel, ini Rian, teman aku dan Sasha," Gendis mengenalkan Daniel pada Rian, mereka berjabat tangan, wajah Daniel tampak menatap Rian menyelidik. Rian yang merasa di tatap dengan penuh curiga langsung berkata, "Apa yang kamu lihat tadi antara saya dan Sasha bukan apa-apa, swear! saya bener-bener teman baik Sasha sejak jaman sekolah. Bahkan Sasha juga cerita kok tentang kaliii,"Belum sempat Rian menyelesaikan kalimatnya, Gendis keburu menginjak kakinya. "Gak usah bawel itu mulut," Bisik Gendis pelan ditelinga Rian. Membuat Rian langsung menutup mulutnya. Luke mempersilahkan Daniel untuk duduk, sementara Sasha memilih menjauh. Ia menyibukkan diri dengan daging yang harus dipanggangnya. Bahkan ia mengusir Rian ataupun Gendis yang ingin membantunya. Sasha perlu waktu unt
Makan malam yang paling menyenangkan yang pernah Sasha rasakan telah selesai. Gendis dan Luke berpamitan untuk pulang, sementara Rian yang malas menjadi nyamuk antara Sasha dan Daniel memilih untuk menemui temannya yang tinggal di Canggu. Tinggallah Sasha dan Daniel berdua, mereka menutup pintu depan tepat setelah semua orang pergi, termasuk Pak Hamdi yang tadi membantu membereskan semua kekacauan sisa makan malam. Sasha berdiri bersandar pada pintu, Daniel melangkah maju mendekati Sasha, sampai jarak mereka sangat dekat. Dengan satu gerakan cepat Daniel menarik pinggang Sasha, lalu mencium bibir Sasha dengan gairah yang tak tertahankan. Dengan rasa yang sama Sasha balas mencium Daniel, ia melepas kancing baju Daniel satu persatu dan mulai menggerayangi tubuh kekar Daniel, membuat Daniel balas membuka crop top yang Sasha kenakan. "Let's Get it done!" Bisik Daniel lalu menggendong Sasha masuk ke dalam kamar dan menidurkan Sasha di atas tempat tidur. Selanjutnya semua terjadi begit
Empat Bulan Kemudian. Kehamilan Sasha sudah menginjak usia tiga puluh delapan minggu. Berat badannya sudah naik sekitar dua belas kilogram. Sasha mulai sering mengikuti senam kehamilan karena ia sangat berharap bisa melahirkan secara normal kali ini walaupun itu semua rasanya hampir tak mungkin karena sebelumnya ia melahirkan secara Caesar. Gendis sudah lebih dulu melahirkan seorang bayi tampan yang diberi nama Shawn, mereka sempat berkumpul untuk merayakan kelahiran Shawn, bahkan Daniel ikut bergabung secara online melalui video telekonferensi. Sasha dapat melihat Daniel sudah jauh lebih baik saat ini. Sepertinya ia sudah lebih bisa menerima keadaan. Sementara Evan akhirnya bisa memulangkan Allysa dan Ibunya ke Indonesia. Evan juga mengajak Sasha dan Raga bergabung bersamanya membuka bisnis restoran yang akan segera di buka beberapa bulan ke depan. Evan juga membeli rumah di dekat rumah Sasha agar Allysa bisa bermain bersama Katia dan agar Ibu Evan bisa membantu Sasha merawat Kati
"Gimana Van menurut kamu? Itu yang terbaik yang bisa saya dan Raga lakukan," tukas Sasha setelah menjelaskan semua rencananya pada Evan. Saat itu mereka berada di dalam ruang rawat inap rumah sakit Husada, tempat Sasha sedang menjalani rawat inap. Evan manggut-manggut, "Oke, that's a good idea, saya malah gak kepikiran," sahut Evan seperti biasa dengan nada datarnya. "Well okay, kalau gitu segera kita urus surat kuasanya, begitu Sasha sehat saya dan Sasha akan langsung ke Zurich," tandas Raga tak ingin berlama-lama karena ia ingin Sasha segera beristirahat. "Okay, kita bicarakan di luar aja, kamu istirahat aja Sha. Terimakasih ya," ucap Evan kaku lalu mengulurkan sekotak cokelat pada Sasha. Setelah itu Evan keluar mengikuti Raga yang sudah lebih dahulu melangkah keluar. Sasha tertawa kecil melihat tingkah kaku Evan, dalam hati Sasha bertanya-tanya, bagaimana orang seperti Evan bisa membesarkan seorang putri seperti Allysa. *****Satu minggu kemudian. "Waaaahhh dingin banget!" seru
"Sha! Sha!" lamat-lamat suara Raga terdengar di telinga Sasha. Sasha membuka matanya perlahan, aroma Lavender menyeruak masuk ke indera penciumannya. Biasanya aroma tersebut akan memenangkannya, tapi kali ini aroma Lavender kesukaan Sasha sama sekali tidak dapat menenangkan hatinya. "Sha, kamu udah sadar?" ujar Raga dengan nada khawatir. Sasha dapat melihat Raga yang berdiri di sebelah kanannya dan Reina yang berdiri di sebelah kirinya, Sasha sampai bingung akan mengalihkan pandangan kemana, karena Sasha sedang tak ingin melihat keduanya. "Sha? Kamu bisa denger aku kan?" tanya Raga yang bingung karena bahkan setelah sadar Sasha tidak mengatakan apa-apa. Sasha mengangguk pelan, masih enggan membuka mulut. "Sasha, tadi kamu pingsan, tekanan darah kamu rendah sekali, HB kamu juga rendah, sepertinya kamu perlu dirawat paling tidak sampai HB kamu normal," tukas Reina dengan nada profesional. Sasha hanya diam saja, ia memilih untuk memejamkan mata karena tak ingin menatap Raga ataupun Re
"Sayang, jangan lupa hari ini kita check up lho!" seru Sasha sebelum Raga berangkat ke kantor. Raga mengerlingkan sebelah matanya tanda mengiyakan. Setelah Raga berangkat kerja, Sasha melakukan rutinitas yang setiap hari ia lakukan secara berulang-ulang. Membereskan piring sisa sarapan, menyedot debu, membereskan semua kamar dan membereskan baju yang akan dibawa ke laundry.Ponsel Sasha berdering saat Sasha sedang bersantai sambil menikmati secangkir cokelat panas.Sebuah nomor yang tak dikenal. "Halo?" sapa Sasha santai. "Sasha, this is Evan," sebuah suara yang sangat Sasha kenal menyapa. Sasha langsung meletakkan cangkirnya, "Evan? Oh Hai! Jadi gimana?" tanya Sasha antusias, ia sangat ingin membantu Evan, karena Sasha tak tega melihat kehidupan Evan yang terlihat sangat kesulitan sekarang ini."Can I talk with your husband too, sebenarnya saya merasa kurang nyaman kalau kita harus berkomunikasi tanpa ijin dengan suami kamu," tukas Evan datar. Wajah Sasha memerah, bukankah seharusnya
Tiga bulan kemudian.Kehamilan Sasha mulai menginjak usia lima bulan. Berat badannya sudah bertambah sekitar empat kilogram membuat Sasha merasa sangat tidak nyaman karena bajunya mulai banyak yang tidak muat. “Kenapa sih Sha marah-marah terus?” tanya Raga yang melihat Sasha sedang berdecak kesal karena bahkan celana longgar yang biasa ia kenakan tidak muat juga. “Sebel! Celana yang ini juga gak muat!” seru Sasha seraya membuka kembali celana yang sudah dipakainya sampai ke paha. Raga tertawa, “Kan aku udah bilang, belanja baju baru gih! Kamu alasannya saying uang terus,” ledek Raga sambil mengancingkan kemejanya.Sasha menekuk wajahnya,”Ya kan aku gak tau kalau berat badan aku bakal naik secepat ini,” ujar Sasha sebal. “Ya udah belanja gih, ajak Gendis aja! Berangkatnya sekalian sama aku,” tukas Raga seraya menoleh menatap Sasha yang masih menggerutu. “Beneran?” tanya Sasha, semenjak ia memutuskan untuk stay at home dan tidak bekerja, ia selalu bersalah jika harus mengeluarkan uang u
Sasha berdiri di lobby Penthouse sambil melamun menatap pilar besar. Ia teringat perpisahan terakhirnya dengan Daniel tadi, tiba-tiba dadanya menjadi agak sesak. Tapi paling tidak hanya kenangan indah yang tersisa, ia berharap Daniel akan mendapatkan kebahagiaan seperti dirinya. "Cantik!" panggil Raga dari balik kemudian saat mobilnya sampai di lobby Penthouse. Sasha langsung tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada Raga, suaminya, tempatnya pulang. "Gimana kabar Daniel?" tanya Raga sambil mengemudi. Sasha menghela nafas panjang, "Dia keliatan jauh lebih baik, lebih sehat, kayaknya Olin ngejalanin tugasnya dengan baik!" sahut Sasha santai. Ia tak ingin terlalu menunjukkan jika ia masih sangat peduli dengan Daniel. "Wah bagus dong, semoga dia cepet balik kayak dulu ya, kayaknya Luke udah keteteran pegang LPC karena dia mesti urus perusahaan dia yang di Bali," tukas Raga. Sasha terdiam, menatap mobil yang melaju di depannya. "Daniel mau pindah ke Oslo, dia gak akan urus LPC lagi,"
Malam harinya saat Sasha kembali ke rumah, Raga terlihat tertidur di sofa ruang TV. Sementara di karpet, Jasmine dan Katia terlihat sedang menonton film. "Ssssttt," Jasmine meletakkan ibu jari di mulutnya saat Sasha nyaris membuka mulut. "Baru tidur tuh Kak Raga, kecapean kayaknya," tukas Jasmine sambil mengambil paper bag yang dibawa Sasha. "Wah cheese cake! Kakak dari mana?" tanya Jasmine sambil mengeluarkan cheese cake dari papar bag. "Abis ngobrol sama Kak Gendis, kalian udah makan?" tanya Sasha seraya meletakkan tas tangannya ke atas sofa. "Udah! Tadi Kak Raga bikin nasi goreng!" jawab Katia riang. "Oh ya? Enak gak?" tanya Sasha. "Banget!" sahut Jasmine dan Katia bersamaan, membuat Sasha mau tak mau tersenyum. Ia berjongkok di depan Raga, lalu meniup-niup wajah Raga pelan. Raga membuka matanya perlahan, "Eh, udah pulang sayang?" ujar Raga dengan wajah terkejut. Raga meregangkan tubuhnya lalu bangkit dari tidurnya. "Capek ya?" tanya Sasha seraya duduk di sebelah Raga. "Lumayan,
Dua Bulan Kemudian. Tubuh Sasha masih saja ramping walaupun kehamilannya sudah menginjak usia kandungan delapan minggu. Hari ini adalah jadwal kontrol rutin bulanan Sasha ke dokter Reina. Bulan lalu ia tidak kontrol karena merasa belum perlu, namun karena belakangan Sasha mulai sering merasa pusing dan blackout ia memutuskan untuk check up segera ke klinik dokter Reina. Dengan ditemani oleh Raga, Sasha berangkat menuju klinik dokter Reina. Hari adalah hari kerja sehingga pasien dokter Reina tidak begitu banyak. Sasha sudah hampir melupakan pesan yang ia duga dikirimkan oleh dokter Reina. Karena Raga tidak merespon pesan romantis itu, Sasha memutuskan untuk melupakannya saja. Walaupun demikian Sasha tetap merasa perlu tampil cantik dan menarik di depan dokter Reina agar ia tidak diremehkan. Ia ingin mempertegas bahwa Raga adalah miliknya, suaminya, ayah dari janin dalam kandungannya! "Sha, kamu gak pa pa? Kok kayak lagi mikir gitu sih?" tanya Raga yang melihat Sasha sedang melamun
Malam ini Sasha memutuskan untuk pulang ke rumah, ia sempat berpamitan dengan Daniel, namun Daniel hanya memunggunginya dan Raga tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Olin, saya titip Pak Daniel ya, kalau ada apa-apa do let me know, kamu udah save nomor saya kan?" tanya Sasha yang dijawab angguka sopan oleh Olin. Langkah Sasha terasa berat saat meninggalkan Penthouse. Meninggalkan Daniel dalam keadaan terpuruk seperti sekarang tentu saja tidak mudah bagi Sasha. Namun berada di dekat Daniel hanya akan membuat semuanya menjadi bertambah rumit. Sasha sama sekali tak ingin tahu lagi alasan mengapa Daniel mencampakkannya waktu itu. Ia benar-benar akan mengubur semua rasa ingin tahu itu jauh-jauh. Pernikahannya dengan Raga adalah hal yang jauh lebih penting. Raga selalu tampak sabar di depan Sasha walaupun Sasha tahu sebenarnya Raga cukup cemburu dengan Daniel. "Kita mampir ke Gandy's ya, aku mau beliin steak buat Jasmine dan Katia," tukas Raga sambil mengemudi. Hati Sasha dialiri rasa han