Sasha membuang simcard ponselnya ke dalam toilet bandara saat ia telah sampai di terminal kedatangan bandara soekarno-hatta. Sepertinya untuk saat ini ia tak akan sanggup untuk berkomunikasi dengan siapapun yang berkaitan dengan Daniel, Gianna ataupun Raga. Sebelum ia membuang simcard dan mereset ponselnya, ia sempat melihat pesan masuk dari Daniel dan Raga, entah apa, tapi Sasha tak berminat untuk membacanya. Kalaupun Daniel datang dan berlutut kepadanya, rasanya tak akan mengubah keputusan Sasha sama sekali. Hatinya sudah terlanjur terluka, akan sulit untuk menyembuhkan lukanya. Sasha akan membutuhkan waktu yang panjang untuk bangkit dari keterpurukan nya, tapi bukan Sasha namanya jika menyerah dengan keadaan. Dengan perasaan gamang Sasha menaiki Taxi menuju Penthouse, ada dokumen-dokumen penting yang harus ia ambil. Rasanya langkahnya sangat berat menuju ke sana, tapi bagaimanapun juga ia harus ke sana. *****Entah mengapa jantung Sasha berdebar saat membuka pintu Penthouse, set
Sejak janin Sasha tak bisa diselamatkan, Sasha selalu bertanya-tanya dengan dirinya sendiri, mengapa hal semacam ini terjadi padanya dan Daniel? Tapi kini Sasha mendapatkan jawabannya, Tuhan mengambil janin Sasha mungkin dengan suatu alasan. Siapa yang menyangka jika dua minggu setelah Sasha kehilangan janinnya, ia juga akan kehilangan suaminya? Mungkinkah ini adalah garis Tuhan. "Angkat aja Nyet, tapi gue gak mau ngomong, bilang sama Daniel gak usah khawatir dan buru-buru balik ke Indonesia, karena gue yang akan urus perceraian. Tell him, it's over, dan gue gak akan berubah pikiran barang sedikit pun," tukas Sasha yang segera tersadar dari rasa mabuknya. Gendis si ratu alcohol yang anti mabuk hanya terperangah mendengar ketegasan Sasha, setelah itu ia menekan tombol hijau, menerima panggilan dari Daniel. Seperti dugaan Sasha, Daniel minta untuk di sambungkan dengan Sasha. Gendis mengatakan semua pesan Sasha persis seperti yang Sasha suruh, tanpa ditambah ataupun dikurangi."He did
Satu bulan kemudian,Sasha mengganti nomor ponselnya dengan nomor baru dan memberi pesan kepada keluarganya, Gendis dan Rian untuk tidak memberitahukan nomornya kepada siapapun, khususnya Daniel, Gianna dan Raga. Mama Sasha yang mengerti, mendukung apapun keputusan Sasha, membuat Sasha merasa sangat lega dan tak terbebani. Nasib baik seperti berpihak pada Sasha, tiba-tiba saja sebuah perusahaan multinasional di Singapura merespon lamaran kerjanya dan mengundang Sasha untuk melakukan sesi wawancara melalui konferensi video. Sasha menyibukkan diri dengan persiapan wawancara kerja, tak memberikan celah sedikitpun untuk dirinya bersedih ria. Jika ada sedikit saja waktu luang, Sasha akan langsung mengisinya dengan mempelajari hal baru, saat ini ia sedang tertarik untuk mempelajari bahasa Korea, karena ia sedang gemar menonton drama dari Korea Selatan. Hari yang Sasha nantikan akhirnya tiba, dengan semangat tinggi ia melakukan wawancara kerja dengan perusahaan asal Singapura yang bernam
Sasha masih menatap Raga tak percaya, ia bahkan tak berbicara sepatah katapun selama beberapa menit dan hanya terdiam dengan mata fokus menatap Raga. Raga menghela nafas, mengerti arah pikiran Sasha. Pasti Sasha mengira, ia bisa diterima di Powell Communications karena campur tangan Raga, padahal itu sama sekali tidak benar. "Let's talk after office, ini gak seperti yang lo pikirin Sha, makan ya Sandwich nya," tukas Raga lalu mengangkat teleponnya yang berdering sejak tadi. Sasha mengigit bibirnya, lalu mulai mengingat-ingat sesuatu. Astaga, ia baru ingat saat ia dan Raga mengobrol di Melbourne, Raga mengatakan ia bekerja di sebuah perusahaan komunikasi multinasional dan Raga mengatakan jabatannya adalah international branch manager. Apakah perusahaan yang dimaksud Raga saat itu adalah Powell Communications? Bagaimana bisa Raga mendapatkan posisi yang begitu bagus, bukan berarti Sasha mengecilkan kemampuan Raga, tapi basic Raga adalah design graphic meskipun Sasha mengakui kemampu
"Hi Sasha, I'm Lee Hye Ri, I'm your neighbor, and I also work for Powell Com, we've met at the office earlier!" sapa seorang wanita korea yang tinggal di unit sebelah Sasha dengan ramah, kebetulan mereka bertemu saat Sasha baru selesai membuang sampah. Sasha ingat tadi siang ia sempat berkenalan dengan Hyeri di kantor, seingatnya Hyeri adalah sekretaris Raga. "Hi Lee Hye Ri, good to see you! Jadi kamu sekretaris nya Raga?" tanya Sasha basa-basi. Hyeri mengernyitkan dahi, "Raga?" tanya Hyeri bingung. Sasha langsung tersadar Raga dipanggil dengan nama belakangnya oleh staf kantor karena mereka masih baru saling kenal. "I mean Raga Satya Pandega," jelas Sasha yang tak tahu Hyeri biasa memanggil Raga apa. "Ahhh yup Mr. Pandega! Yes I'm his secretary, lucu ya! Bos saya tinggal di apartemen yang sama dengan saya!" tukas Hyeri sambil menunjuk unit yang ada di depan Sasha. Betul sekali, Raga tinggal di unit yang letaknya tepat di depan unit yang ditempati oleh Sasha. Sungguh kebetulan yang
Satu Bulan Kemudian. Hari ini semua kepala departemen berkumpul di sebuah tempat meeting besar untuk membahas klien besar yang baru saja mereka akuisisi. Klien tersebut merupakan perusahaan fashion yang sangat terkenal di dunia. Sasha sangat bersemangat, karena PR dan Fashion adalah dua hal sangat ia sukai. Beberapa waktu belakangan, ia banyak menghabiskan waktunya di kantor dan kembali ke Apartemen saat sudah hampir larut malam karena ia sangat terfokus dengan rencana publisitas yang akan ia presentasikan untuk perusahaan fashion yang bernama JIA tersebut. Jerome dan Raga sama seperti Sasha, mereka biasanya meninggalkan kantor segera setelah Sasha pulang. Sesekali Jerome akan menghampiri meja Sasha dan mengajak berdiskusi, kadang ia datang hanya untuk memberikan kopi atau camilan. Raga hanya mengawasi dari kejauhan, entah mengapa ia merasa berkewajiban menjaga Sasha. Ia takut jika Jerome macam-macam dengan Sasha. "Sha, udah ready semuanya?" tanya Raga pada Sasha yang sedang sibuk
Raga mendorong Jerome sampai Jerome melepaskan tangan Sasha. Wajah Raga benar-benar tampak marah. Sasha langsung mundur dan memegangi lengannya yang terasa sakit dan perih karena Jerome mencengkramnya dengan sangat keras. "What the hell are you doing! You drunk!" seru Raga pada Jerome, Jerome yang terkejut segera menggosok wajahnya dengan keras lalu berlalu dari hadapan Sasha dan Raga tanpa kata. Ia terlihat seperti orang kebingungan. "Lo gak pa pa?" tanya Raga sambil memeriksa tangan Sasha yang terlihat memerah. "Gak pa pa," sahut Sasha masih dengan ekspresi terkejut. Raga menggosok wajahnya dengan gusar, lalu duduk di bangku di depan Sasha. "Sorry gue telat dateng, harusnya gue nunggu lo di deket sini, tapi tadi gue malah ngerokok di luar," tukas Raga dengan wajah penuh penyesalan. Sasha yang masih tak mengerti apa yang terjadi menatap Raga dengan penuh tanda tanya. "Sebenernya ada apaan sih Ga? Kenapa lo mesti jagain gue? Jagain gue dari apaan? Kenapa juga Jerome mau nyelakai
"Gianna is gone Sha," ujar Gendis tepat saat Sasha menerima telepon. Sasha dan Raga sama-sama terdiam lalu saling tatap dengan wajah yang sangat terkejut. "Kapan Nyet?" tanya Sasha pelan, "Dua jam yang lalu, di Royal Hospital Melbourne. Gue tau dari Luke, ummm Daniel ngehubungin Luke barusan," terang Gendis agak ragu saat harus menyebut nama Daniel. Setelah berbicara mengenai detail kematian Gianna dengan Gendis, Sasha mematikan telepon. Ia terhenyak, merasa seperti sedang bermimpi. Ada rasa bersalah yang merasuki hatinya secara tiba-tiba. Raga yang mengerti arah pikiran Sasha menepuk bahu Sasha pelan, "Oi Sha, look at me!" tukas Raga membuat Sasha menoleh ke arah Raga, mata Sasha tampak sendu. Raga menghela nafas panjang, "Kita semua merasa kehilangan, tapi gue mau kasih tau lo satu hal, none of this is your fault, jangan merasa bersalah!" ujar Raga sambil menatap Sasha dalam. Sasha terdiam, lalu tiba-tiba saja air mata sudah mengambang di matanya dan mengalir deras membasahi pip