“Paman Abdul! Paman?” Papa Syaron bergegas mendatangi pria yang tengah berada di kursi roda itu.
Paman Abdul menganguk. Lalu mama menyusul papa ke ruang tamu.
“Paman darimana bisa tahu keberadaan kami?”
Papa mungkin lupa kalau dulu Meira lah yang menjemputku untuk kabur saat aku mengetahui kebenaran tentang hal buruk yang sudah dilakukan suamiku. Mungkin papa justru tidak tahu akan hal itu.
“Renata.”
Meira mendorong kursi roda Paman Abdul hingga mendekat padaku. Aku benar-benar tak tahu apa rencana sahabatku itu. Aku tak sanggup memikirkan banyak hal lagi, terutama masalah orang luar apalagi perusahaan. Yang kupikirkan adalah kesehatan suamiku dan keluarga besarku.
Paman Abdul meraih tanganku. Dan beliau menjabat tanganku, aku tertegun. Memang banyak drama di keluargaku, tak kusangka ditengah keluarga besar konglo seperti keluargaku ini ternyata setiap hari kita bak jadi aktris atau aktor yan
[ Renata kapan kalian kemari, oh ya Meira. Kami sudah menyiapkan akomodasi buat kalian.]Ucapan dari Joya di video call disaksikan seluruh keluarga besar kami dan Paman Abdulloh Yusuf. Akhirnya terjawab sudah apa yang papa rencanakan di belakang kami. Papa mertuaku juga mamaku tipe yang dermawan juga bukan sosok yang pendendam. Aku sangat bersyukur sekali di terima oleh mertuaku.“Kami akan berangkat lusa. Terimakasih sekali lagi, Syaron. Kami pamit.”Papa mengangguk lalu Meira mendorong kursi roda Paman Abdulloh Yousuf keluar dari ruangan.Kami menyaksikan mobil Paman Abdulloh Yousuf keluar dari halaman rumah. Aku kembali ke kamar. Pemeriksaan dari dokter Pambudi selesai, beliau pun juga pamit undur diri. Ditengah-tengah kebahagiaan akan kesadaran suamiku, hatiku masih saja kalut mengingat janjiku pada Mr. Matsuyama. Kesehatan dan nyawa suamiku yang jadi taruhannya.Aku masuk ke kamar tamu, kulihat eyang putri sedang tidur nyenyak kedua bayiku sedang tidur di box mereka masing-masin
“Renata bukan maksudku begitu lho.”Akhirnya dia buka suara juga. Sebetulnya aku sangat dongkol, gara-gara kecerobohan juga niat gilanya membahayakan nyawa. Apa nggak ada cara lain selain mengorbankan diri akhirnya merugikan sendiri dan keluarga besar. Malah pakai ngomong aneh-aneh. Rasanya ingin kujewer telinga suamiku atau kujambak rambutnya. Tapi akan sangat kurang ajar sekali aku.“Huftttttt.”“Ren, kenapa gitu sih. Monyong aja bibirmu. Aku hanya bercanda.”Sudah ngomong ngalor ngidul. Katanya hanya bercanda.“Renata. Ngomong dong, jangan diam. Aku mau ke teras depan. Mau bantu aku pakai kursi roda?”Tring.Suara bel berbunyi. Akhirnya dua perawat jaga masuk ke dalam. Biarlah mereka yang membantu suamiku untuk duduk di kursi roda. Kenyataan tubuh Mas Gavrielle tidak terlalu kaku, bahkan kulihat Mas Gavrielle sudah leluasa menggerakkan kaki juga anggota tubuh yang lainnya.“Buk…… silahkan.” Suara perawat mengagetkanku.“Baik terimakasih, kalian bisa istirahat. Saya dan bapak akan j
Acara yang berbuntut drama. Kenapa nggak beda jauh dengan kantor sih, hebohnya!“Oke. Mas, Mbak. Bapak Ibu sekalian, boleh berfoto. Tapi ada syaratnya.”“Horeeeee” Teriak warga dengan girang. Harusnya aku bersyukur tapi euphoria itu tidak membuatku bahagia dan puas.“Apaan syaratnya atuh Bu Renata?”Keponakan Mang Ujang kepo sekali. Menyebalkan!“Maaf ya, Bapak Ibu. Suami saya sedang dalam kondisi kurang sehat. Jadi saya mohon sekali, jangan menyebarkan foto kami ke media sosial yang ada. Cukup Bapak Ibu simpan saja. Bisa!”Semua saling melirik. Aku sadar permintaaanku di luar rasional, di luar nurul. Wait and see, bagaimana cerita selanjutnya.“Susah atuh Bu Renata.”Suamiku melengos waktu mendengar perkataan keponakan Mang Ujang.“Jadi bagaimana?”Mas Gavrielle sudah memegang ujung roda, aku tahu dia pasti jengkel juga. Aku tahu betul, kalau dia mungkin kehilangan rasa percaya dirinya gara-gara traial dan erornya sendiri. Lantas aku harus bagaimana? Nggak salah juga kupikir kalau ak
“Terus terang saja, Mas Gavrielle bohong lagi? Mas bisa jalan? Terserah Mas Gavrielle mau apa!”Aku sangat muak dengan basa basi ini. Memang sudah mandarah daging barangkali. Suamiku hobi membuatku senam jantung. Mas Gavrielle mengambil sebuah map dengan langkah pelan dan sedikit kesakitan. Ia memegang map itu dan menyodorkan padaku.“See.” Kuraih map itu. Kedai R & G Cabang Bogor? Aku nggak berekspektasi banyak tentang hal ini. Spechless? No, suamiku sering menyembunyikan banyak hal dan aku sangat kurang suka dengan ketidakterus terangannya.“Aku mau pulang Mas, anak-anak kelamaan sama Eyang.”Mas Gavrielle mengungkung tubuhku. Meskipun sakit nyatanya tenaganya cukup besar. Mau ku injak kakinya, aku takut nanti malah jatuh.“Lepasin, aku mau pulang.”“Kalau begitu kita pulang sekarang, Ren.”“Pulang saja sendiri.” Ku sikut lengannya sampai akhirnya suamiku lengah dan aku bisa menghindar dari tubuhnya.Mas Gavrielle mengambil remote sensor akhirnya pintu terbuka. Di luar para bodygua
“Aku nggak bisa hidup tanpa kamu Ren.” Kemeja suamiku basah jadinya. Peduli amat kalau hidungku memerah dan mataku bengkak. Salah siapa juga bikin mewek.“Aku nggak ingin digombali.” Protesku. Masih saja ngeles dan gombal suamiku. Kutunggu ia tertawa tapi ternyata nggak ada candaan garing darinya.Akhirnya aku menengadah melihat wajahnya. Kulihat mata suamiku memerah.“Kalau kamu tahu banyak hal, kamu kadang ceroboh Ren. Kamu pikir aku nggak lihat waktu kamu menyelinap mengambil glock dan menyelipkan ke rokmu?”Mas Gavrielle menghapus air mataku.“Aku nggak mau kehilangan kamu. Waktu kamu kecelakaan di Singapura, aku mengunjungimu waktu kamu koma.”Memang betul Mas Gavrielle belum bercerita saat aku koma juga masa-masa buruk itu. Yang kami bicarakan masalah Meira juga Dito dan keluarga Baskoro setelah kepergianku.“Aku bisa jalan, hanya saja masih ngilu sekali.
Serpihan kaca berserakan. Kuambil sandal rumah dan aku turun dari ranjang. Saat aku keluar dari kamar. Kulihat Mas Gavrielle sedang ceramah panjang lebar pada empat bodyguard. Bodyguard papa sesekali mengangguk. Kupikir suamiku marah-marah. Tidak tahunya mereka sedang ngobrol.“Ada yang kulewatkan?”“Kami permisi, Tuan.”Seketika pasukan bodyguard papa bubar semua. Satu diantara mereka ada yang menggaruk kepalanya, ada yang berjalan sambil meminum softdrink dan ada yang sedang menggigit roti sembari berjalan.“Kita pulang sekarang Ren!”“Ta-pi kamarnya Mas. Apa nggak nunggu tukang renov dulu. Ada maling atau ada penyusup sih Mas. Aku khawatir banget.”Kupikir aku akan diberi kesempatan berkemas ternyata tidak sama sekali. Tidak tahunya tanganku di genggam erat. Dua koper sudah ada di depan. Ada Mang Ujang dan juga isterinya.“Punten
Perjalanan kami menuju rumah terbilang sangat lancar. Karena kegaduhan yang diakibatkan oleh keponakan Mang Ujang otomatis kami melewatkan sarapan pagi."Crucuk crucuk crucuk."Suara dari perut Mas Gavrielle sangat nyaring. Ia menoleh ke arahku.“Ke tempatnya Mbah Mo, yuk Ren.” Tiba-tiba saja suamiku putar balik ke arah jalan menuju warung Mbah Mo.Sampai di dekat warung kulihat banyak sekali mobil berjejer. Warung memang selalu laris. Dari pejabat, pegawai banyak yang singgah untuk sarapan. Nggak kaget kan mobil mentereng merk apapun ada di areal parkir. Tapi pagi ini banyak sekali. Sungguh mengejutkan.Perasaanku semakin tak karuan saat melihat ternyata satu persatu mobil justru keluar dari areal parkiran.“Mas?” Tanyaku. Mas Gavrielle menggendikkan bahunya.“I don’t know. Ayo kita masuk.” Mas Gavrielle memarkirkan mobil agak jauh dari warung.Sadar dengan keada
Jalan menuju rumah dari jarak 100 m terlihat jelas begitu juga pos security. Halaman depan hari ini di penuhi oleh beberapa mobil. Mas Gavrielle terlihat lelah. Satu mobil bodyguard masih setia berada di belakang mobil yang di kemudikan suamiku.Tiba di depan pos, security membuka pintu dan mobil kami melaju dengan pelan, berhenti tepat di depan pintu depan rumah.“Vriel.” Sapa papa.Papa terlihat sumringah begitupula mama mertuaku. Mereka menggendong anak-anakku. Sementara itu, eyang putri sedang duduk menyeruput teh.Aku rindu sekali dengan anak-anakku. Kembali ke Jakarta berarti kembali dengan realita dan dunia nyata.“Wellcome back Nyonya Renata Baskoro.” Ucap Mas Gavrielle seraya meraih tanganku lalu mengecupnya perlahan.Mama mertuaku mengekor kami. Ia meletakkan Ansel di stroller. “Ren, maaf Mama lancang. Tapi dokter Pambudi telfon. Katany
Jakarta, enam bulan kemudian.Satu persatu masalah berat yang kami alami dalam hidup ini kami lewati. Mengurainya sungguh tak mudah. Berderai air mata, berpeluk keringat dan sungguh menguras tenaga apa yang kami alami.Suamiku sudah memberikan bonus akhir tahun pada seluruh karyawannya di akhir tahun ini. Untuk para bodyguard kakek, mereka justru siap untuk bekerja kembali. Jadilah mereka gentian. Bodyguard papa akan liburan sebentar dan pulang ke kampung halamannya.Hubunganku dengan Meira sudah membaik meskipun aku membatasi akses Meira dan Dito untuk masuk lebih dalam ke dalam keluarga kami. Bukannya aku sok, tapi mencegah lebih baik daripada mengobati.“Mama, kami semua sudah siap berangkat.” Kata Arsen. Putraku kelihatan ganteng sekali. Ia memakai pakaian kembar dengan adiknya. Ancel menolak mengganti celana jeans dengan rok. Yang ada justru ia memakai celana jeans dengan bahan dan warna yang
Mataku terbelalak waktu kami melihat kalau yang datang itu adalah Agusto. Setahuku Mas Gavrielle sudah melakukan tes DNA diam-diam. Hasil itu menunjukkan kalau Neil itu anak Agusto. Tante Haruka sendiri juga pernah berhubungan dengan Agusto cukup lama. Bahkan Agusto sudah yakin kalau Neil itu adalah anaknya.Paman Hiromi justru mengaku kalau Neil adalah anak biologisnya. Tante Haruka itu super jenuis. Ia bisa melakukan hal apa saja di luar nalar. Termasuk memalsukan hasil Tes DNA Agusto dan Neil.“Agusto mari silahkan.” Sambut suamiku. Ia menyambut Agusto dengan baik.Agusto juga ikut duduk di karpet bersama kami. Suamiku tentu saja kaget dengan kedatangan Agusto.“Sebelum kamu menginterogasiku lebih lanjut. Lebih baik aku jujur saja.”Agusto menepuk pundak Adrian dengan keras.“Sakit Om. Slow kenapa sih.” Adrian menyingkirkan tangan Agusto dari pundaknya.“Aku ingin menanyakan menu m
Mobil itu masih mengikuti kami sampai rumah. Begitu sampai rumah. Adzan magrib berkumandang. Aku turun dari motor dan Mas Gavrielle menyerahkan kunci motor itu pada salah satu bodyguard papa.Kami masuk dan di kejutkan oleh suara terompet. Rupanya yang meniup terompet anak-anakku juga Mbok Sumi dan Pak Khamdan. Mama, Papa juga eyang putriku dan Kakek sudah ada di ruang tamu.Bukan kue tart yang menyambut kami melainkan tumpeng kecil berisikan nasi kuning. Aku takjub sekali, meskipun bukan pesta yang meriah tapi bagiku ini adalah kado yang sangat berharga bagiku juga suamiku.“Happy wedding anniversary ya Mama, Papa.” Kata Arsen dan Ancel berbarengan. Suamiku yang paling tegar di luar tiba-tiba saja menengadahkan matanya ke langit-langit. Ternyata bertepatan dengan momen itu seseorang masuk ke ruang tamu.“Maaf sepertinya aku ganggu.” Kata Neil. Setelah menyapaku di jalan dan tidak di gubris oleh suam
“Mama sama papa ngapain di sini?”Sedang asyik berduaan begini kenapa anak-anakku bisa datang? Ini Pak Khamdan sama bodyguard papa juga ikut-ikutan datang.Wajah Mas Gavrielle langsung di tekuk. Kenapa aku merasa kalau suamiku tidak ingin di ganggu privasinya.Ancelia dan Arsen menenteng tasnya. Harusnya aku justru senang dengan kedatangan anak-anakku. Tapi kenapa kok aku juga terbawa suasana enggan diganggu siapapun termasuk anak-anakku sendiri.“Papa kok gitu sih, wajah Papa kok manyun. Nggak senang kita datengin?” Tanya Arsen. Ia membuka ranselnya lalu mengambil sebuah bungkusan.Arsen memberikan bungkusan itu pada Ancelia. Putriku lalu menyerahkan bingkisan itu pada Mas Gavrielle."Papa, kami nggak bermaksud mengganggu waktu Mama sama Papa. Tapi kata Kak Arsen ini hari ulang tahun pernikahan mama sama papa jadinya Kak Arsen tadi minta di anterin ke toko buat beli ini.” Kata putriku pan
Aku pernah berada pada titik terendah dalam hidup ini. Bahkan tidak hanya sekali aku berusaha untuk terus berjuang untuk hidup. Entahlah bagaimana dengan Meira kedepannya. Apapun yang ia lakukan padaku juga pada keluarga Besar Baskoro tidak serta merta di balas dengan keburukan.Papa mertuaku adalah pribadi yang baik, terlepas kadang beliau menggunakan kekuasaan juga uangnya untuk menyelesaikan banyak hal. Tapi kebaikan papa mertuaku juga keluarga besar Baskoro pada Meira dan keluarganya tidak bisa dinafikan begitu saja.Papa dan juga mama mertuaku bukan tipikal pendendam, tapi melihat mama jadi jutek seperti tadi aku jadi ikut terbawa arus. Apa ada yang mereka bicarakan tapi tidak ku ketahui. Mungkin Mas Gavrielle belum cerita saja.Mama meninggalkan kamarku. Papa sudah berangkat ke pengadilan, kakek ditemani eyang putri sudah berangkat untuk fisioterapi di rumah sakit yang di kepalai dokter Pambudi.Hari sudah siang. Bergegas aku mandi lalu pelan-pelan
Aku tak menyangka kalau di layar ponselku tertera nomor Meira. Sudah berapa lama kami tak saling berkabar. Jangan-jangan yang datang itu adalah Meira.Pantaslah kalau suamiku cemberut. Aku tahu apa yang sudah di lakukan Meira begitu membekas di hati suamiku. Pun Mas Gavrielle sudah berusaha memperbaiki dirinya selama ini.“Kamu sudah bisa nebak kan siapa yang datang?” Mas Gavrielle langsung mengambil kemeja dan berpakaian.“Aku ikut papa saja ke pengadilan, Ren.”Keputusan Mas Gavrielle dalam sekejap bisa berubah.“Nanti kita ngobrol lagi ya, Sayang. Maaf, aku bener-bener nggak bisa nemani kamu. Cepetan sembuh ya istri kesayanganku.”Klek.Pintu kamarku di buka dari luar. Tak menyangka sama sekali kalau Dito yang membuka pintu. Saat Mas Gavrielle mencium dahiku, Dito melebarkan bukaan daun pintu.“Renata.” Sapanya. ”Boleh masuk kan?”Kepalang tangg
Setelah aku selsai berwudlu, segera aku beranjak ke kamar. Suamiku sudah menunggu untuk shalat berjamaah. Ku ambil mukena yang sudah di siapkan suamiku.Baik aku dan suamiku, kami tidak berasal dari keluarga yang sangat religius. Namun, keluarga kami terutama mertuaku adalah keluarga modern yang sangat taat beragama.Setelah kami selesai berjamaah, kepalaku masih saja sedikit pusing. Jadi aku naik kembali ke ranjang. Suamiku memilih untuk duduk di sofa sembari mengambil ponselnya.“Hari ini biar papa saja yang berangkat ke pengadilan. Toh keberadaanku tidak di perlukan.” Kata suamiku sembari menscrol layar ponselnya.“Ngapain sih Mas ketawa begitu?” Suamiku tertawa sampai memegang perutnya. Bikin aku penasaran juga. Kalau suamiku cari hiburan di medsos wajar saja, tapi ia betah sekali natap layar sampai ketawa nggak berhenti.Pertanyaanku nggak kunjung di jawab suamiku. Karena aku juga ingin tahu, diam-diam aku berjalan mend
Lagi-lagi Paman Hiromi bercerita panjang lebar.“Selama ini memang papa saya, Kenzo Matsuyama sangat menyayangi Hirata. Ya karena hanya Hirata anak kandungnya bersama Kinarsih. Saya dan Hideaki juga tak di bedakan. Kelihatannya seperti itu. Tapi, Papa memang sangat menyayangi Hirata. Hirata memang anak yang baik dan berbakat.”Tante Haruka menutup wajahnya dan menangis.”Haruka hamil anak saya. Saya sangat mencintainya tapi ia keberatan untuk menikah dengan saya karena saya kalah dalam segala hal dari Hirata. Setelah Hirata menikah, barulah Haruka mengincar Hideaki. Hideaki juga mencintai Haruka sehingga ia mengadopsi Neil menjadi putra mereka.”“STOP HI-ROMI!” Kata Tante Haruka. Ia kepalang malu dengan apa yang di ceritakan oleh Paman Hiromi.Aku bersyukur kakek maupun eyang putri tak menghadiri sidang ini. Kalau mereka menyaksikan entah apa jadinya nanti. Paman Hiromi masih melanjutkan ceritanya.“La
Sepulangnya dokter Pambudi aku segera mandi. Mbok Sumi mengantarkan Bubur Kacang Hijau ke atas. Uap panas Bubur Kacang Hijau khas Mbok Sumi menggoda selera.“Saya letakkan di meja ya Mbak, Bubur Kacang Hijaunya. Tuan Gavrielle sedang di bawah bersama Den Kakung juga Eyang putri.”Bergegas aku keluar kamar mandi. Aku mendapati Mbok Sumi sedang duduk termenung di sofa.“Mbok.” Ku tepuk pundak Mbok Sumi dari belakang. Mbok Sumi sontak berjingkat pelan.“Den, saya bener-bener minta maaf. Saya nggak tahu menahu apapun masalah ini. Yang saya tahu dan suami saya ceritakan suami saya itu mantan karyawan pabrik yang di PHK karena pabriknya bangkrut.”Mbok Sumi memelukku.”Maafin Pak Khamdan ya.”Harusnya aku yang sangat berterima kasih pada pasangan Mbok Sumi dan Pak Khamdan. Pasangan ini adalah support system penting dalam hidup kami. Mata Mbok Sumi berkaca-kaca. Ia masih saja tak kuasa membendung tangisnya.“Simbok jangan pergi ya. Saya bahagia sekaligus sedih di pertemukan dengan sosok yang