"Terima kasih atas kedatangannya." Marcel menjabat tangan setiap orang yang hendak keluar setelah meeting selesai.
"Terimalah ini sebagai tanda terimakasih dari saya. Hanya kopi, tapi semoga bermanfaat, ya." Marcel dan Karina membagikan kopi kepada seluruh partner meeting. "Pak Marcel baik banget, padahal yang hadir lumayan banyak loh, Pak." "Eh tidak apa-apa, ini saya bawakan lagi takutnya ada yang tidak kebagian," ucap Kayla sembari membawa beberapa kopi lagi. "Tapi bukankah terlalu berlebihan jika uang perusahaan dipakai untuk barang yang tidak terlalu penting?""Tenang saja, ini pakai kartu kredit pribadi Pak Marcel!" ujar Kayla kegirangan. Setelah beberapa yang hadir meninggalkan ruangan, kini tinggal Marcel dan Karina juga tamu lainnya yang masih bersiap-siap atau hanya sekedar mengobrol dengan sesama. "Pak Marcel baik-baik saja kan?" tanya salah seorang di sana. Marcel tersentak. "Saya baik, tenang saja. Sepertinya akhir-akhir ini saya hanya kurang tidur saja," ucap Marcel. Selama meeting berlangsung, Karina bisa perhatikan raut gelisah Marcel yang sepertinya menyimpan banyak masalah. "Pak Marcel." Marcel menoleh ke arah Karina, ia melempar tatapan penuh tanda tanya padanya. "Kerjaan numpuk," ucap Karina sambil terus berjalan melewati Marcel. Marcel menghela nafas frustasi. Ia mengusap wajahnya kasar kemudian ikut berjalan menuju ruangannya. Saat masuk, bisa ia lihat tumpukkan dokumen di meja kerjanya. "Dokumen apa itu?" tanya Marcel, karena sebelumnya ia tidak merasa punya tugas tambahan. Karina menjawab, "Kayla mengajukan beberapa idenya untuk produk baru perusahaan kita, dia juga mengirimkan beberapa idenya yang lain. Dia hanya menunggu persetujuan dari kamu." "Kamu sudah baca idenya?" "Udah. Kalo belum, ngapain juga aku minta persetujuan kamu!" ketus Karina. Walau begitu, ia tetap selalu berhati-hati. Takutnya tiba-tiba Marcel memotong gajinya. Marcel meraih salah satu dokumen ide Kayla yang Karina katakan. Ia baca sedikit demi sedikit takut ada yang tidak ia mengerti. "Kamu setuju sama proyek produk baru ini?" tanya Marcel. Karina mengangguk. "Setuju. Ide Kayla gak seburuk itu kan buat kamu setujui? Produk kali ini juga pasti menarik minat konsumen luar negeri," ucap Karina penuh semangat. Marcel terdiam sambil memandangi kertas itu. Ide Kayla di produk baru ini memang bagus dan bisa lebih membuat perusahaan jadi lebih terkenal lagi. "Baiklah, kita kerja lembur untuk beberapa persiapan." Marcel kembali membaca dan memeriksa dokumen lainnya. "Siap, Bos!" "Gue harus bisa kerja keras biar gajinya juga gede. Gue harus punya banyak uang dan tabungan!" gumam Karina dalam hati. Ia menjadi lebih bersemangat dengan tujuannya kali ini. ¤¤¤Marcel masuk ke dalam ruangan dengan dua kopi hangat juga sandwich daging di tangannya. Ia berjalan menuju meja Karina yang sama sibuknya dengan dirinya. "Buat kamu. Malam ini harus selesai," ucap Marcel seraya memberikan kopi juga sandwich tadi. Karina menatap Marcel. "Pantes ngasih sesuatu, ada maunya." "Makasih," lanjut Karina. Marcel mengangguk dan kembali ke meja nya. Sedangkan Karina, ia beristirahat sejenak dan mulai melahap sandwich pemberian Marcel. "Ini beli dimana? Kok enak?" tanyanya. "Cafe nya Qia." "Baru tahu ada yang kayak gini, tau gini mah setiap hari gue mau beli!" ujar Karina kemudian kembali melahap makanan enaknya. Saat sedang bersantai dengan mulut penuh, Karina mendapati ponselnya berdering di atas meja. "Marcel, gue boleh angkat telepon bentar gak?" "Boleh." Ia angkat teleponnya, rupanya dari Hani. "Iya, Bu?" "Kamu kapan pulang, Rin?" tanya Hani dari seberang telepon. "Agak malem, Ma. Karina lembur hari ini, gak papa, ya?" Hani terdengar menghela nafasnya, "Iya, Rin. Hati-hati di jalannya, ya?" "Iya, Ma." Sambungan telepon terputus dan Karina meletakkan kembali ponselnya di atas meja. "Siapa?" tanya Marcel walau tak menunjukkan wajahnya. Karina mengernyit, "Harus banget, ya, gue kasih tau siapa yang telepon gue?" Marcel menjawab, "Harus. Karena itu menganggu waktu kamu bekerja." "Ibu gue, kenapa?" Marcel terkekeh pelan. "Sama kayak waktu itu, ya, Rin. Khawatiran banget si." Karina membuang muka saat mengingat apa yang Marcel katakan. Mereka berdiam sambil bekerja. Tak ada percakapan setelahnya. Hingga waktu berlalu begitu cepatnya.Marcel bangkit dari duduknya. "Udah, Rin. Udah jam 9, kamu lanjut besok aja," ucapnya. "Jam 9? Cepet banget!" Marcel keluar dan meninggalkan Karina yang masih sibuk membereskan tempatnya. Ia kemudian berlari keluar karena takut akan ketinggalan kendaraan. Ia berjalan cepat menuju pintu utama perusahaan. Hari sudah malam, jalanan juga terlihat sepi tanpa kendaraan. Karina menggigit bibir bawahnya. Hingga suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. "Masuk, gue anter." Marcel membuka kaca mobilnya. Karina mengerutkan dahinya bingung, "Gak papa, gue bisa pulang sendiri," tolak Karina. Melihat lawan bicaranya hanya terdiam, Marcel bangkit dan keluar dari mobilnya. Tangan kanannya meraih tangan Karina dan langsung membawanya masuk ke kursi mobil. "Udah malem, lo cewek dan bahaya kalo malam-malam begini pulang sendiri. Lo pikir gue bos apaan yang nyuruh pegawainya pulang sendiri malem-malem begini?" Karina hanya mampu terdiam menatap Marcel yang melangkah menuju kursi pengemudi. Ia lihat sekeliling mobil, bersih dan harum. Sepertinya Marcel sangat menjaga barangnya. Namun ada sebuah benda yang menarik perhatiannya, lipstick dengan merk yang cukup terkenal. Karina menunduk, ia merutuki dirinya sendiri yang sempat berpikiran jika Marcel mengkhawatirkannya. "Kayak waktu itu, depan gang aja." Karina tak menoleh sedikit pun, begitu juga dengan Marcel yang tak menjawab apapun. Keduanya hanya merasakan kecanggungan selama perjalanan. Padahal biasanya, tak pernah ada rasa canggung antar keduanya. Tak terasa, keduanya sampai di gang rumah Karina. Marcel cepat-cepat berlari menuju pintu Karina dan membukanya. "Makasih," ucap Karina. Marcel mengangguk dan menyuruh Karina untuk segera pulang. Ia perhatikan setiap langkah Karina yang semakin menjauh darinya. Terasa sangat deja vu. Setelah Karina benar-benar menghilang dari pandangannya, Marcel putuskan untuk kembali menjalankan mobilnya. Karina tiba di rumahnya dengan perasaan lelah. Ia harapkan ibunya sudah tidur agar ia juga bisa istirahat dengan tenang. Saat Karina tiba di depan pintu utama, ia dengar ada suara lain dari dalam rumahnya. Tanpa pikir panjang, Karina langsung membuka pintu. "Karina!" ucap ibunya yang sedikit terkejut. "Kenapa anda dan putri 'kesayangan' anda ada di sini?!" tanya Karina penuh emosi. Tatapannya menatap tajam ke netra hitam milik laki-laki yang diketahui adalah ayahnya. Ia sudah sangat muak menatap wajahnya hingga Karina putuskan untuk cepat-cepat mengusir keduanya. "Karina, ayah kamu datang dengan baik-baik. Bagus kamu memperlakukan kami seperti ini!?" balas Ridwan, sang ayah. "Hah? Ayah? Ayah mana yang ninggalin anaknya demi perempuan penggoda itu!" "Rin, sudah," ucap Hani meredakan amarah Karina. "Pa, Kak Karina mungkin lagi cape jadinya bilang kayak gitu. Papa gak usah marah, ya?" bela Luna, adik tiri Karina. "Diem lo, anak sialan! Lo gak pantes bela gue kayak gitu! Lo sama ibu lo itu sama aja, tukang rebut!!" "Karina!" Plak! Mata Hani juga Karina melotot. Karina meneguk salivanya kasar, ia tak percaya apa yang barusan ayahnya lakukan padanya. Sebuah tamparan yang sangat melukai hatinya. Ia tatap perlahan wajah ayah yang selalu ia rindukan. "Pergi!" Semuanya terdiam. Karina sudah sangat lelah menghadapi ayahnya yang semakin mirip orang gila. Hanya keluarga ayahnya saja yang sepertinya sangat membencinya. "Saya bilang keluar! Orang gila kayak kalian gak berhak nginjak rumah ini! Keluar!!" teriak Karina sambil berlalu meninggalkan semuanya. Ia masuk ke kamarnya dengan dada yang sesak, air matanya lepas membasahi pipi. Ia terduduk dan menopang kepala dengan kedua tangannya. Karina hancur malam itu, bersamaan dengan kenangan manis bersama keluarganya duluKarina terus terduduk di depan pintu kamarnya. Ia tak mau siapapun masuk ke kamarnya saat ini. Termasuk ibunya. Sudah hampir 2 jam ia terdiam dengan pipi yang terus membasah. Karina sudah tak bisa menyeka air mata dengan tangannya sendiri. Selama ini, dirinya hanya mencoba tegar dan menerima semuanya. Ia mencoba untuk terus diam terhadap semua perlakuan ayahnya pada dirinya juga pada ibunya.Karina terlalu lemah. "Padahal semua udah mulai baik-baik aja, kenapa sih masalah datang lagi!? Padahal gue udah mulai nyaman kerja di tempat musuh gue! Padahal..." Karina kembali menangis dalam diam. Dadanya kembali terasa sesak. Ia tak punya siapapun, dirinya tak punya pegangan untuk kembali melangkah. Karina terlalu hancur untuk kembali membuka mata dan melihat dunia. Malam itu, Karina malah mengingat lagi kejadian yang sama sekali tidak ingin ia kenang. Kenangan yang terus membuat luka di benaknya. Perceraian kedua orang tuanya. Flashback On"Ma, kenapa kita pindah?" tanya Karina pada ibun
Karina mengusap wajahnya kasar, pagi ini ia sangat dibuat frustasi oleh keadaan. Gadis itu tak bisa berhenti memandangi dirinya di cermin. Cara satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah menghubungi Kayla. "Halo, Kay!" panggil Karina. Kayla di seberang telepon menjawab, "Eh iya Kak? Tumben telepon ada apa?" "Itu, anu.. Kalo izin gak masuk kerja bisa gak?" "Oh, kalo itu biasanya langsung Kak Marcel yang handle. Jadi Kak Karina langsung hubungi Kak Marcel aja." Karina terdiam. "Oh, gitu, ya?" tanya Karina sambil terkekeh kaku. Karina menutup sambungan telepon dan kembali memikirkan nasib hidupnya selanjutnya. Ia menghela nafas berharap jika apa yang terjadi kemarin hanyalah mimpi semata. Karina pergi ke kamar mandi yang menyatu di kamarnya. 30 menit telah berlalu, Karina datang ke ruang makan hendak menyantap sarapannya. Ia tersenyum saat melihat punggung sang ibu. Namun senyumnya kembali pudar saat seseorang melempar tatapan ke arahnya. "Lo! Ngapain di sini!?" tanya Karina kaget
Karina menghela nafasnya setelah Ridwan mematikan sambungan teleponnya. Ia kemudian kembali duduk. "Siapa kak?" tanya Kayla. Bisa Kayla lihat perubahan suasana hati Karina yang memburuk. "Oh, itu... Keluarga," ucap Karina. Tentunya ia tak boleh membawa masalah pribadinya ke tempat kerja. Hanya cara yang Ridwan katakan lah yang bisa ia lakukan. "Aku mau rekomendasiin karyawan baru, itu langsung bilang ke Marcel, 'kan?" Kayla mengangguk, tak lupa ia meneguk kopinya. "Iya kak, langsung aja. Biar Pak Marcel tahu dan langsung ngasih surat persetujuan atau tidak," balas Kayla. "Marcel lagi ada dimana sekarang, ya?" "Biasanya ada di ruang pribadinya kak. Kakak coba cek aja." Karina mengangguk dan langsung melangkahkan kakinya. Aneh, padahal hanya akan bertemu dengan atasannya. Tapi kenapa hatinya jadi lebih senang seperti ini. Namun sedetik kemudian, semua rasa senang itu Karina usir jauh-jauh. "Dia itu pacar Kayla, Rin! Inget! Gak baik deketin pacar orang!" gumam Karina di depan pintu
Karina mengendus kesal setelah menghabiskan sebagian waktu malamnya untuk lembur. Dia menaruh tas kerjanya di meja rias lalu dengan buru-buru membaringkan tubuhnya di atas ranjang. “Aku merasa lelah hari ini, tetapi kenapa aku masih mau lanjut kerja di sini. Aku tidak tahu kenapa pikiranku berubah. Di awal aku ingin membuat Marcel memecatku tetapi makin ke sini tidak bisa dipungkiri kalau aku sudah cukup nyaman di tempat kerja, di sisi lain juga aku masih butuh uang untuk beberapa list harapanku sendiri,” gerutu Karina sambil memegang pelipisnya karena merasa sedikit pusing. Pandangan yang diarahkan ke langit-langit kamar itu seketika membuat Karina menatap sayu. Matanya pun kini mulai bergerak lambar hingga dirinya tertidur. Bayangan yang ada di pikirannya pada saat itu adalah soal Marcel yang masih saja mengacaukan hari-hari kerjanya. Kebersamaan yang tak terduga sebelumnya itu mengantarkan Karina hanyut dalam bayangan masa lalu saat masih bersama dengan Marcel sewaktu sekolah.
Di kamarnya, Luna berusaha untuk menyiapkan berkas yang sudah diminta oleh Karina. Dia berusaha menyusun semua berkas tersebut dengan rapi, tentu harapannya agar dirinya bisa segera dilirik oleh pimpinan perusahaan yang tak lain adalah Marcel.“Hm, yang aku tahu sih Marcel itu teman sekolah Kak Karina, dulu. Bikin penasaran aja sama nama itu,” ucap Luna menerka sambil mengedarkan pandangannya ke langit-langit kamar.Ada beberapa lembar kertas hasil print yang sudah dia siapkan sebelumnya karena beberapa menit yang lalu, printer miliknya sempat mengalami masalah sehingga harus beberapa kali mencetak kertasnya.Luna memasukkan surat lamaran dan berkas yang dibutuhkan ke dalam amplop coklat dan menaruhnya di atas meja.Sempat terlintas dipikirannya bahwa Karina berhasil tembus di perusahaan besar itu tidak lain karena pemilik perusahaan itu adalah teman sekolahnya dulu.“Aku heran, tapi apa yang aku pikirkan bisa jadi benar. Kemungkinan besar pasti karena teman sekolah, jaman sekar
“Bodoamat! Tugasku cuma nganterian dia sampe sini. Selebihnya, aku sih terserah dia!” gerutu Karina.Setelah masuk ke dalam ruangan miliknya, Karina kini meletakkan tasnya dan menghela napas lega. Seolah dirinya tengah dikejar oleh sosok penguntit yang membuatnya ingin merasa kabur.Beberapa menit yang lalu, dia sudah mendapat konfirmasi dari Luna kalau dirinya sudah melakukan sesi interview dan dalam proses pengecekan oleh pemilik perusahaan.Itu artinya Marcel sedang berada di ruangan HRD bersama mereka dan itu terbukti ketika Karina masuk ke dalam ruangannya ternyata tidak ada Marcel.“Yang penting tugas Gue sudah selesai yah, mau dia diterima atau tidak itu mah bukan kendali Gue!” ucapnya sambil membuka laptopnya.Ada beberapa hal yang membuat Karina merasa malas jika bertemu dengan Luna dalam satu tempat kerja. Tentu hal yang pasti adalah sifat buruk Luna yang bisa saja menjadi ular yang berbisa.Entah apa tujuann adik tirinya itu begitu ingin masuk ke perusahaan yang dia
Karina tiba-tiba ingat kalau dirinya juga tengah melupakan omongan Kayla yang kepo tentang Luna. Sambil mengunyah makanan yang ada di mulutnya, dia pun berusaha untuk berhati-hati dalam bicara.“Iya, seperti yang kamu bilang pas pagi tadi. Dia kan emang ngga ada sangkut pautnya sama loker yang ada di sini, toh emang tutup,” jawab Karina seadaanya.“Terus?”“Dia itu adik Gue. Kebetulan pas itu emang udah sempat nanya ke Marcel apa memang masih ada divisi yang membuthkan atau tidak dan ya ternyata masih ada,” lanjut Karina.Kayla sangat antusias mendengar Karina menjelaskan bahwa itu adalah adiknya. Sampai akhirnya dia pun merasa senang karena bisa jadi dia tidak hanya berteman dengan Karina saja, tetapi juga adiknya yang bisa bersama-sama di satu meja makan ketika jam istirahat tiba.“Divisi purchasing?” tanya Kayla mengulang pertanyaannya.Karina hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata sepatah pun. Dia menyingkirkan tempat makan yang sudah dilahap habis sedari tadi.Begitu juga dengan
“Kamu anak baru kan?” tanya seorang wanita yang memakai kemeja berwarna biru laut.Sambil memegang tas miliknya, Luna mencoba untuk menyapa terlebih dahulu. Di hari pertama kerja, dirinya sudah dihadapkan dengan sosok wanita yang belum dia kenali tetapi memilki wajah yang cukup garang.“I-iya, Kak. Aku divisi purchasing di sini, staff baru yang masuk hari ini,” jawab Luna dengan sopan dan sedikit formal.Sambil melirik tak sedap, wanita itu langsung menyodorkan sebuah map berwarna merah yang berisi beberapa dokumen data barang milik perusahaan.“Baiklah, hari pertama kerja sudah ada tugas yah. Kebetulan kamu masuk tepat di akhir bulan yang mana setiap akhir bulan selalu ada cek stock fisik di gudang. Jadi, tugasmu harus mengecek beberapa barang yang sesuai dengan data di sini,” ucap wanita tersebut sambil menyodorkan map berwarna merah.Luna segera mengangguk dan menerima pemberian map tersebut, lalu sedikit bingng karena dirinya tidak terlalu paham apa yang mesti di lakukan d
Minggu terakhir di bulan itu, Marchel mencoba untuk menyendiri lebih dulu. Di teras lantai dua rumahnya, terlihat sudah secangkir kopi dan biskuit yang menemani Marchel untuk kali ini.Dia sama sekali tidak ingin terlalu banyak pikiran setelah beradu debat dengan orang terdekatnya di kantor, Daniel.“Aku sama sekali tidak menyesal mengeluarkan dia. Harusnya dia yang menyesal karena sudah aku keluarkan di perusahaanku,” ucap Marchel sambil memandang ke arah taman rumahnya.Meskipun pikiran sedang ruwet, tetapi Marchel bukan lah orang yang suka menyesap sigaret. Dia selalu saja membiarkan dirinya termenung dan mengisitrahatkan pikirannya.“Benar, aku harus segera menjelaskan kepada mama secaptnya,” ucapnya.Pagi hari itu memang sudah dijadwalkan oleh Marchel untuk berbicra empat mata dengan Tania. Meskipun di balik itu semua Kayla tetap saja ragu dan takut kalo saja mama bisa marah atas tindakan yang dilakukan oleh kakanya.Karena tidak mendapat izin untuk berunding, Kayla hanya
Hari ini sesuai dengan janji Marchel, dia akan membawa Karina datang ke rumahnya. Semua dilakukan agar Tania atau mama kandungnya sendiri yang harus segera mengetahui semua sebelum Rosa berulah lagi.“Dengarkan aku, Karina,” ucap Marchel sambil memegang tangan Karina yang dingin karena merasa gugup sudah berada di depan rumah Marchel.“Mama tidak menakutkan seperti yang kamu pikirkan. Dia orang yang punya empati yang tinggi dan bisa melihat masalah dari berbagai sisi.Jadi, tolong berikan citra positif dan yakinkan dia bahwa kamu bukan orang yang sembarangan dan semua tuduhan itu salah,” ucap Marchel meyakinkan.Karina hanya memandang ke arah Marchel dengan dalam lalu menghela napas dalam saat melihat pintu rumah Marchel masih tertutup rapat.Karina mengangguk dan melepaskan seat belt lalu turun berdampingan dengan Marchel masuk ke rumah tersebut.Agenda ini memang sudah dijadwalkan untuk Karina sendiri karena Tania juga siap untuk menerima penjelasan dari karina.Dari situ,
“Apa benar kamu mengajak wanita itu ke hotel, Marchel!” Teriakan itu membuat salah satu asisten rumah tangga di rumah Marchel langsung kembali mengambil alat pel dan keluar dari ruangan tersebut.Satu kalimat yang tinggi itu sontak membuat Kayla langsung berdiri menghadap mama nya sendiri. Termasuk Mmarchel yang juga tidak tau apa tuduhan yang selanjutnya diterima kepadanya.“Apa maksud—”“Berhenti, Marchel!” bantah Tania dengan menodong tangannya ke arah anak pertamanya itu. Sekian dirinya mulai mendapat kabar tentang hotel yang diberikan oleh Rosa berupa sebuah foto.“Sekarang, jawab jujur kepada mama! Apa yang kamu lakukan dengan wanita murahan itu di hotel hah!” bantah Tania.Marchel langsung menggeleng kepalanya karena tidak ingin mendengar Karina mendapat tuduhan wanita seperti itu.Dia pun sadar bahwa mama nya belum bisa mengontrol emosinya atau memang masih mendapat teror dari mertuanya sendiri.“Mah, sekarang Marchel mau jelasin dulu. Mama tenang dulu, duduk di sini
Tuduhan kesekian kalinya membuat Tania sedih. Rosa dan Anita selalu saja datang saat dirinya tak ingin mengharapkan itu.Terlebih lagi soal Marchel yang dituduh menginap di hotel dengan Karina. “Ini benar sesuatu yang tidak bisa aku terima. Apa benar Marchel itu melakukan hal itu?” pikir Tania di dalam hatinya.Pagi menuju siang itu membuat Ttania sedikit pening. Dia pun langsung menutup pintu rumah dan beristirahat sejenak.Kayla, yang sudah mengetahui semua masalah itu pun mengelak bahwa Kkarina tidak mungkin berbuat demikian.“Kak, kamu harus segera bilang ke mama. Aku tidak biasa mendengar tudahan seperti ini. Apalagi ini juga menyangkut kedua keluarga besar.Aku takut citra kakak pasti jelek di antar keluarga mereka,” ucap Kayla kepada Marchel saat berada di ruang tengah.“Sudah pasti, Kayla. Citra kakak sudah hancur saat itu juga. Aku tidak percaya Mama Rosa akan mengatakan hal ini kepadaku terlebih soal tuduhan itu.Ini sangat berbahya buat diriku sendiri dan semua mas
“Kamu gila Marchel! Ngapain wanita penggoda itu malah mau kau jadikan sebagai istrimu?” tanya Tania dengan membentak.“Aku sama sekali tidak pernah setuju mama bilang dia adalah wanita penggoda. Sekarang, tenangkan semua emosi mama.Aku akan menceritakan semuanya dengan jelas. Dengan bukti. Bukti siapa yang menyebarkan video itu dan siapa dibalik dalang semua ini,” tegas Marchel.“Mama tidak—”Tiba saja Marchel langsung keluar dari ruangan tersebut. Percakapan pun berakhir karena Marchel tau jika nantinya ucapan itu akan diteruskan, pasti tidak ada jalan temunya.Semua yang dijelaskan olehnya akan sia-sia saja karena Marchel tidak mau berdebat dengan Tania yang masih marah.Untuk menghindari hal itu, Marchel langsung keluar dari ruangan utama. Kembali ke rumahnya di pagi hari setelah menjalankan satu hari weekend di rumah.Tania memang belum menyentuh rumah Marchel dalam seminggu setelah kasus itu terjadi. Dia merasa sangat gagal mendidik Marchel dan masih terpengaruh oleh uca
“Jadi, dia membayar upah untukmu?” “Maaf, Pak Marchel … Say—”“Berhenti! Mulai sekarang, kamu saya berhentikan kerja di sini. Urus semua data ke HRD hari ini juga! Saya tidak mau tau!” Percakapan singkat itu membuat Marchel semakin geram kepada petugas cctv yang selama ini dia percayai. Bagaimana tidak, petugas tersebut menerima upah dari Daniel untuk meminta salah satu video yang sampai saat ini sudah tersebar.Kecewa yang sangat mendalam itu pun akhirnya membuat Marchel semakin murka. Dia berjalan dnegan langkah yang lebar denganw ajah yang kesal.Bukan kembali ke ruangan kerjanya melainkan ke ruangan HRD. Di dalam ruangan itu, Marchel benar-benar sudah bulat untuk menyampaikan apa yang dia inginkan.“Sekarang, atas nama Daniel. Buat suarat PHK untuknya. Urus semua adm dan segalanya hari ini juga. Saya tidak mau tau, sekarang surat itu harus turun ke Daniel!” gugat Marchel.HRD perusahaan pun kaget melihat emosi Marchel yang mendadak. Dia tidak tau apa yang sedang terjadi, sehingg
“Lo gapapa ngajak gue makan malam gini?” tanya Karina.Marchel hanya memandang dirinya tanpa mengatakan apa pun, lalu mengaduk minuman yang dia pesan sebelumnya.Dengan wajah yang cukup lesu, karena penuh dengan kerjaan yang harus segera dilaporkan, Marchel pun berdecak.“Tidak ada yang melarang aku buat ngajak kamu makan di sini. Biarkan saja orang lain tau hubungan kita, memang aku serius juga kok,” jawab Marchel dengan santai.Karina mencoba menancapkan garbu pada steak miliknya, lalu berhenti sejenak. Dia melihat ke arah Marchel dengan tatapan kosong saaat lelaki itu berhenti berkata.Ada salah satu ucapan yang membuat Karina sedikit bingung, bukan lain adalah kata serius. “Serius maksudnya?” tanyanya.Marchel mencoba menelan makanan yang sudah ada di mulutnya, lalu mengambil selembar tissu dan mengelapnya di ujung bibir.Saat itu, Marchel langsung menyesap minumannya sedikit. “Aku bilang benar dan jujur. Aku bilang ke kamu kalo hubungan ini akan dibawa serius, Karina.”K
“Gue sama sekali gak tau siapa orang itu,” ucap Karina dalam hatinya.Setelah mengetahui bahwa Marchel mengatakan dirinya menjadi tuduhan, kini Karina sama sekali dibuat pusing dengan beredarnya foto tersebut.Dia pun melihat ke arah cctv ruangan tersebut dan segera memukul ringan kepalanya berulang kali. “Gue juga gak sadar sih gila kali ngelakuin hal semacam itu bisa-bisanya ada cctv dan gue seenaknya gitu gak sadar!”Karina terus memarahi dirinya sendiri. Seolah ini adalah kesalahannya sendiri, terlebih ketika dia melihat foto yang dikirim oleh Marchel melalui teleponnya.“Gila lo Karina! Pantes aja mereka bilang nuduh gue ini itu karena gue juga gak sadar ada kamera cctv di sini. Belum lagi orang stress itu kok bisa sampai berani pasang video?” lanjut Karina.Hari ini Marchel datang terlambat. Izin kepada seluruh bawahannya untuk menunda meeting di sore hari. Karina, yang masih duduk di depan laptopnya pun masih tak bisa berpikir untuk bekerja saat itu juga.Energinya seol
"Apa kamu lupa dengan janjimu, Marchel!?" bantah Tania.Setelah melakukan banyak sekali perdebtan soal Kkarina, kini Marchel tertampar dengan kalimat Tania, ibu kandungnya sendiri.Dia ngat bahwa salah satu pesan dari mantan istrinya yang meninggal adalah bukan tentang wanita lain. Tetapi, soal anak mereka yang baru saja lahir ke dunia."Mah, Marchel bisa jelasin semuanya. Ini bukan tentang Karina, dan ini salah paham, Mah," jawab Marchel memohon.Lepas pulang dari kantor, Marchel kembali menghadap Tania yang terus seperti layaknya seorang wartawan. Tania bercerita maksud kedatangan Rosa ke rumahnya di siang hari itu.Saat itu juga Tania memberikan semua bukti foto yang sudha berhamburan di lantai dengan jelas kepada Marchel."Lihat apa yang kamu lakukan!" bantah Tania.Seperti sebuah ancaman, Tania pun seperti ingin menampar anaknya sendiri. Pengaruh ucapan dan bukti foto yang diterima dari Rosa membuatnya seketika kesal dengan Marchel sendiri.Dia tak bisa menjelaskan secar