Semilir angin masuk ke dalam kamarnya, Karina melihat pantulannya di cermin pagi ini. Ia hirup udara kamarnya yang sudah lama tak ia rasakan.
Setelah perpisahan dengan teman-temannya, Karina tidak pernah sekalipun kembali ke sini. Setelah 7 tahun lamanya, Karina kembali ke kamarnya yang ia gunakan saat ia berada di bangku SMA.Setelah menyelesaikan masa kuliahnya, Karina juga keluarga kembali ke kota asal. Karina mengirim beberapa lamaran dan berakhir di perusahaan MAHAPRANA'S dengan jabatan cukup tinggi yakni sekretaris perusahaan.Karina mulai merias dirinya dengan beberapa sentuhan namun tak berlebihan. Ia rapikan kembali rambut juga pakaiannya kemudian bergegas ke dapur untuk menyantap sarapan."Semangat ya, Rin. Pasti bisa!" ucap Hani—ibu Karina.Karina mengangguk patuh. "Semangat Karina udah menggebu banget, Ma. Masa iya anak Mama gak bisa semangat," balas Karina"Pertahanin semangat itu, Mama pasti selalu dukung!"Karina menyelesaikan suapan terakhir ke mulutnya, ia lalu menyalimi tangan Hani kemudian pamit berangkat.Paginya yang sangat indah ini jangan sampai kacau. Tekad Karina sudah sangat kuat, bahkan ia tak segan-segan menandatangani kontrak.Karina menaiki taksi dan langsung menuju ke tempat tujuan. Dalam mobil, Karina menopang dagunya. Ia pandang jalanan yang terus ia lalui. Bahkan, ia melewati sekolahnya juga.Begitu banyak Deja Vu di kota ini. Ya, Karina merindukan nya. "Makasih, Pak."Karina turun dari taksinya setelah beberapa saat. Ia memandang bangunan megah yang membuatnya berpikir, "Ini kantor perusahaan?"Masih dengan semangatnya, Karina masuk. Ia berjalan menuju meja resepsionis yang tak jauh dari jalan masuk. "Mbak, mau tanya. Ruangan Sekretaris itu dimana, ya?" tanya Karina sambil memandangi langit-langit."Oh, Sekretaris baru, ya?" ucap Sang Resepsionis.Karina mengangguk penuh semangat, "Iya, Mbak. Saya baru masuk hari ini.""Mari, saya antar." Resepsionis tadi berjalan terlebih dahulu guna memimpin Karina menuju ruang kerjanya.Sambil berjalan menuju lift, Resepsionis tadi sedikit bercerita tentang atasannya. "Seharusnya ruangan kerja Sekretaris dan CEO itu terpisah, tapi Pak CEO meminta agar di satu ruangan saja," ucapnya.Dahi Karina berkerut bingung, "Loh? Kenapa? Memangnya Pak CEO nya gak ada urusan pribadi, gitu?""Kalau itu saya kurang tahu, tapi seminggu yang lalu Pak CEO mengubah tata letak ruang kerjanya. Awalnya, ruang kerjanya memang terpisah. Tapi setelah merekrut Sekretaris baru, beliau langsung mengubahnya."Pintu Lift terbuka. "Nah, kita sudah sampai," ucap Resepsionis.Karina mengangguk dan memperhatikan secara detail lorong yang menghubungkan lift juga ruangan lainnya. "Dilantai ini hanya ada dua ruangan, ruangan kerja mu dengan Pak CEO, juga ruang pribadinya."Karina hanya ber-oh saat Resepsionis itu menunjukkan pintu yang saling berhadapan.Setelahnya, ia mengetuk pintu yang ada di jalur kiri. "Pak Marcel, saya membawa Sekretaris baru."Karina terdiam. "Mbak, Pak siapa tadi?" tanyanya takut salah mendengar. Tak mungkin juga nama CEO ini sama dengan nama laki-laki yang sangat ia benci."Pak Marcel. Beliau CEO MAHAPRANA'S, Marcel Mahaprana," jelas resepsionis itu.Mendengar itu, bahu Karina langsung anjlok. Kepalanya berusaha menerima mentah kenyataan yang baru ia dengar, terdengar suara dari dalam ruangan yang mempersilakan nya masuk."Silahkan masuk, Pak CEO sudah menunggu." Resepsionis tadi pamit dan meninggalkan Karina di rasa bimbang yang sangat mendominasi.Karina meneguk ludahnya saat melangkah masuk. Dan benar saja, wajah Marcel sudah tersenyum penuh arti ke arah nya. Ingin sekali Karina mengamuk sejadi-jadi jika saja ia tak sadar posisinya sekarang."Selamat datang Sekretaris baru, saya harap kamu tidak berhenti bekerja akibat tekanan batin, ya?" ucap Marcel. Raut wajahnya tetap sama, menjengkelkan."Ini pasti mimpi, nih. Gak mungkin lo Marcel musuh bebuyutan gue, gak mungkin!" bantah Karina.Marcel hanya tersenyum. "Kenapa kamu berpikir kalau saya bukan Marcel Mahaprana yang sering memancing emosi mu itu?" tanyanya lagi."Karena lo itu beda jauh banget sama dia. Gue gak percaya kalo lo berubah semudah itu.""Saya juga gak percaya kalau kamu masih sama emosinya dengan waktu itu."Karina mengepalkan tangannya kesal. Ia menggeram dengan hati, kenapa pula keberuntungan bisa menjadi sesial ini!?"Terserah, Cel. Intinya gue gak jadi kerja di perusahaan ini, lama-lama gue bisa darah tinggi nanti." Karina melangkah keluar perlahan.Marcel mengeluarkan selembar kertas yang telah di siapkan di berkas khusus. "Kontrak," ucapnya.Langkah Karina terhenti. Ia berbalik perlahan dengan perasaan bingung. "Apa?"Marcel tersenyum miring tanpa merubah posisi duduknya. Ia tetap duduk santai menunggu reaksi Karina selanjutnya. Karena setiap aksi maka akan ada reaksi, itulah yang dilakukan Marcel sekarang.Sesuai dugaannya, Karina kembali mendekat untuk memastikan apa yang barusan Marcel katakan."Kontrak?""Ya, Kontrak. Kamu membacanya dengan seksama, kan? Saya gak mau sekretaris saya lalai dalam membaca. Apalagi sampai gak bisa baca," ujar Marcel."Gue bisa baca!"Karina termenung sesaat setelah mengatakan nya. Ia memang tidak terlalu memperhatikan isi surat kontraknya karena terlalu senang atas lamarannya yang di terima."Jika kamu lupa, akan saya bacakan lagi dengan jelas."Marcel melirik sebentar wajah Karina yang pastinya sedang menahan kesal terhadapnya, "Dalam surat kontrak tertulis dengan jelas bahwa, calon sekretaris akan bekerja di perusahaan selama 3 tahun lamanya, dan bila melanggar akan dikenakan biaya finalti yang cukup besar. Ingat?" lanjut Marcel.Karina kini benar-benar termenung. Bisa-bisanya ia menandatangani kontrak se penting itu tanpa membacanya dengan teliti. "Meja mu ada di sana Sekretaris baru," ucap Marcel. Ia menggunakan dagunya untuk menunjuk meja yang berhadapan dengannya.Walau berhadapan, tapi ada jarak yang memisahkan kedua meja tersebut. Jaraknya cukup luas jadi Karina masih bisa bersyukur karena tidak terlalu dekat dengan pemancing emosi itu."Lo juga apa apaan sih? Pake ruangan kita di jadiin satu segala." Bibir Karina komat kamit mengeluarkan isi hatinya.Marcel terkekeh pelan. "Biar gue bisa pantau musuh gue, kenapa? Gak terima?"Karina memalingkan wajah kesal namun ia kembali menatapnya dengan tatapan tajam. "Awas lo kalo ngebahas kontrak kontrak lagi! Gue cekik tuh leher!" ancam Karina.Jujur, Marcel memang masih takut dengan ancaman itu. Memang belum ada korban dari ancaman mulut Karina, tapi jika di pikir, Marcel juga tidak mau jika harus jadi korban pertamanya.Karina terduduk tenang sebelum kemudian Marcel datang dengan tumpukan kertas. "Periksa ini dalam dua jam, setelah itu kita bakalan ketemu partner bisnis. Jangan buat saya malu!"Mata Karina membulat sempurna. "Sebanyak ini? Lo pikir gue robot—""Peraturan pertama, gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika tidak, gaji mu akan saya potong!"Ingin sekali Karina mencakar wajah menyebalkan Marcel. Semakin lama ia semakin menjadikan uangnya sebagai senjata untuk penyerangan."Dasarr!!"Karina terus menggerutu kesal walau tetap melakukan apa yang Marcel perintahkan.Karina menopang kepalanya yang mendadak berdenyut dengan kedua tangannya. Matanya hampir mabuk akibat dokumen yang terus menerus Marcel berikan padanya. Dimulai dari dokumen tentang persetujuan, bisnis, hingga janji temu yang harus ia kerjakan. Tak berhenti sampai di situ, Karina bergumam, "Kenapa tugas sekretaris lebih banyak daripada bos, sih?! Terus si Marcel kerja nya apa dong!? Ish!" "Kerja gue itu ngeliatin lo kerja, becus atau enggak nya gue yang nentuin". Marcel tersenyum miring di seberang meja Karina. Gadis itu melirik kemudian membuang muka kesal. "Kalo aja dia bukan bos gue udah gue cekik dia sampe mati!" gumam Karina lagi. Bohong jika Marcel bilang ia tak mendengar semua yang Karina katakan. Jelas sekali Marcel mendengar setiap perkataan Karina, termasuk ocehan Karina yang kesal terhadapnya. Waktu mulai berjalan cepat, Karina tak berhenti menatap dokumen juga komputer, tangannya sedari tadi tak lepas dari pulpen juga notebook. "Ayo," ajak Marcel. Karina mengangkat
"Ngedadak banget kayak gini, ada apa sih?" tanya Karina bingung. Ia bahkan baru pertama kali melihat raut wajah Marcel setegang tadi. Sebenarnya ada apa? Karina hanya mampu pasrah dan duduk diam di dalam mobil yang terus melesat menuju tempat tujuan. Hingga akhirnya, mereka tiba setelah 10 menit kemudian. Marcel turun dan berjalan terlebih dahulu seolah tak ingat jika dirinya sedang bersama Karina. Jelas gadis di belakang nya semakin bingung.Mereka tiba di lantai ruang kerja, Marcel menghentikan langkahnya. Itu membuat Karina juga ikut menghentikan langkahnya. "Sel—Marcel, kenapa?" tanya Karina. Marcel mengeluarkan ponsel di sakunya. "Halo, Kayla, tolong datang ke ruangan saya sekarang." Marcel membalikkan badannya menghadap Karina. "Saya lagi butuh waktu sendiri, kamu bisa belajar bareng asisten sekretaris yang barusan saya telepon," ucap Marcel. Dirinya berjalan menuju pintu di jalur kanan yang tak lain adalah ruangan pribadinya. Beberapa detik sebelum ia masuk, gadis bernama
"Makasih, ya, Qia!" ucap Karina sambil keluar dari toko. Ia berjalan sebentar menuju pinggir jalan dan memberhentikan taksi. Hampir lima menit dirinya menunggu taksi yang tak kunjung ia temui. "Karina?" tanya seorang wanita yang datang dari arah kanan jalan. Karina merasa terpanggil dan menolehkan kepalanya. Ia mampu lihat dengan jelas siapa wanita yang baru saja memanggilnya, Nita. "Nita! Kemana aja? Kita baru ketemu!" ujar Karina antusias. Ia benar-benar di pertemukan kembali dengan semua sahabatnya saat kembali. "Baik, Rin. Kamu gimana?" tanya Nita. "Baik. Lo mau kemana?" Nita nampak kesusahan menjawab pertanyaan Karina yang terkesan mudah. Ia menatap pijakan kakinya kemudian kembali menatap sendu wajah Karina. "Mau jemput ke sekolah Siska, Rin." "Siska? Keponakan lo?" tanya Karina bingung. Pasalnya ia tahu betul Nita itu adalah bungsu dan tidak mempunyai adik. Nita tersenyum tipis. "Dia anak perempuan aku, Rin. Aku tahu kamu pasti kaget, ya?" ucapnya. Karina termenung di t
"Terima kasih atas kedatangannya." Marcel menjabat tangan setiap orang yang hendak keluar setelah meeting selesai."Terimalah ini sebagai tanda terimakasih dari saya. Hanya kopi, tapi semoga bermanfaat, ya." Marcel dan Karina membagikan kopi kepada seluruh partner meeting. "Pak Marcel baik banget, padahal yang hadir lumayan banyak loh, Pak." "Eh tidak apa-apa, ini saya bawakan lagi takutnya ada yang tidak kebagian," ucap Kayla sembari membawa beberapa kopi lagi. "Tapi bukankah terlalu berlebihan jika uang perusahaan dipakai untuk barang yang tidak terlalu penting?""Tenang saja, ini pakai kartu kredit pribadi Pak Marcel!" ujar Kayla kegirangan. Setelah beberapa yang hadir meninggalkan ruangan, kini tinggal Marcel dan Karina juga tamu lainnya yang masih bersiap-siap atau hanya sekedar mengobrol dengan sesama. "Pak Marcel baik-baik saja kan?" tanya salah seorang di sana. Marcel tersentak. "Saya baik, tenang saja. Sepertinya akhir-akhir ini saya hanya kurang tidur saja," ucap Marce
Karina terus terduduk di depan pintu kamarnya. Ia tak mau siapapun masuk ke kamarnya saat ini. Termasuk ibunya. Sudah hampir 2 jam ia terdiam dengan pipi yang terus membasah. Karina sudah tak bisa menyeka air mata dengan tangannya sendiri. Selama ini, dirinya hanya mencoba tegar dan menerima semuanya. Ia mencoba untuk terus diam terhadap semua perlakuan ayahnya pada dirinya juga pada ibunya.Karina terlalu lemah. "Padahal semua udah mulai baik-baik aja, kenapa sih masalah datang lagi!? Padahal gue udah mulai nyaman kerja di tempat musuh gue! Padahal..." Karina kembali menangis dalam diam. Dadanya kembali terasa sesak. Ia tak punya siapapun, dirinya tak punya pegangan untuk kembali melangkah. Karina terlalu hancur untuk kembali membuka mata dan melihat dunia. Malam itu, Karina malah mengingat lagi kejadian yang sama sekali tidak ingin ia kenang. Kenangan yang terus membuat luka di benaknya. Perceraian kedua orang tuanya. Flashback On"Ma, kenapa kita pindah?" tanya Karina pada ibun
Karina mengusap wajahnya kasar, pagi ini ia sangat dibuat frustasi oleh keadaan. Gadis itu tak bisa berhenti memandangi dirinya di cermin. Cara satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah menghubungi Kayla. "Halo, Kay!" panggil Karina. Kayla di seberang telepon menjawab, "Eh iya Kak? Tumben telepon ada apa?" "Itu, anu.. Kalo izin gak masuk kerja bisa gak?" "Oh, kalo itu biasanya langsung Kak Marcel yang handle. Jadi Kak Karina langsung hubungi Kak Marcel aja." Karina terdiam. "Oh, gitu, ya?" tanya Karina sambil terkekeh kaku. Karina menutup sambungan telepon dan kembali memikirkan nasib hidupnya selanjutnya. Ia menghela nafas berharap jika apa yang terjadi kemarin hanyalah mimpi semata. Karina pergi ke kamar mandi yang menyatu di kamarnya. 30 menit telah berlalu, Karina datang ke ruang makan hendak menyantap sarapannya. Ia tersenyum saat melihat punggung sang ibu. Namun senyumnya kembali pudar saat seseorang melempar tatapan ke arahnya. "Lo! Ngapain di sini!?" tanya Karina kaget
Karina menghela nafasnya setelah Ridwan mematikan sambungan teleponnya. Ia kemudian kembali duduk. "Siapa kak?" tanya Kayla. Bisa Kayla lihat perubahan suasana hati Karina yang memburuk. "Oh, itu... Keluarga," ucap Karina. Tentunya ia tak boleh membawa masalah pribadinya ke tempat kerja. Hanya cara yang Ridwan katakan lah yang bisa ia lakukan. "Aku mau rekomendasiin karyawan baru, itu langsung bilang ke Marcel, 'kan?" Kayla mengangguk, tak lupa ia meneguk kopinya. "Iya kak, langsung aja. Biar Pak Marcel tahu dan langsung ngasih surat persetujuan atau tidak," balas Kayla. "Marcel lagi ada dimana sekarang, ya?" "Biasanya ada di ruang pribadinya kak. Kakak coba cek aja." Karina mengangguk dan langsung melangkahkan kakinya. Aneh, padahal hanya akan bertemu dengan atasannya. Tapi kenapa hatinya jadi lebih senang seperti ini. Namun sedetik kemudian, semua rasa senang itu Karina usir jauh-jauh. "Dia itu pacar Kayla, Rin! Inget! Gak baik deketin pacar orang!" gumam Karina di depan pintu
Karina mengendus kesal setelah menghabiskan sebagian waktu malamnya untuk lembur. Dia menaruh tas kerjanya di meja rias lalu dengan buru-buru membaringkan tubuhnya di atas ranjang. “Aku merasa lelah hari ini, tetapi kenapa aku masih mau lanjut kerja di sini. Aku tidak tahu kenapa pikiranku berubah. Di awal aku ingin membuat Marcel memecatku tetapi makin ke sini tidak bisa dipungkiri kalau aku sudah cukup nyaman di tempat kerja, di sisi lain juga aku masih butuh uang untuk beberapa list harapanku sendiri,” gerutu Karina sambil memegang pelipisnya karena merasa sedikit pusing. Pandangan yang diarahkan ke langit-langit kamar itu seketika membuat Karina menatap sayu. Matanya pun kini mulai bergerak lambar hingga dirinya tertidur. Bayangan yang ada di pikirannya pada saat itu adalah soal Marcel yang masih saja mengacaukan hari-hari kerjanya. Kebersamaan yang tak terduga sebelumnya itu mengantarkan Karina hanyut dalam bayangan masa lalu saat masih bersama dengan Marcel sewaktu sekolah.
Minggu terakhir di bulan itu, Marchel mencoba untuk menyendiri lebih dulu. Di teras lantai dua rumahnya, terlihat sudah secangkir kopi dan biskuit yang menemani Marchel untuk kali ini.Dia sama sekali tidak ingin terlalu banyak pikiran setelah beradu debat dengan orang terdekatnya di kantor, Daniel.“Aku sama sekali tidak menyesal mengeluarkan dia. Harusnya dia yang menyesal karena sudah aku keluarkan di perusahaanku,” ucap Marchel sambil memandang ke arah taman rumahnya.Meskipun pikiran sedang ruwet, tetapi Marchel bukan lah orang yang suka menyesap sigaret. Dia selalu saja membiarkan dirinya termenung dan mengisitrahatkan pikirannya.“Benar, aku harus segera menjelaskan kepada mama secaptnya,” ucapnya.Pagi hari itu memang sudah dijadwalkan oleh Marchel untuk berbicra empat mata dengan Tania. Meskipun di balik itu semua Kayla tetap saja ragu dan takut kalo saja mama bisa marah atas tindakan yang dilakukan oleh kakanya.Karena tidak mendapat izin untuk berunding, Kayla hanya
Hari ini sesuai dengan janji Marchel, dia akan membawa Karina datang ke rumahnya. Semua dilakukan agar Tania atau mama kandungnya sendiri yang harus segera mengetahui semua sebelum Rosa berulah lagi.“Dengarkan aku, Karina,” ucap Marchel sambil memegang tangan Karina yang dingin karena merasa gugup sudah berada di depan rumah Marchel.“Mama tidak menakutkan seperti yang kamu pikirkan. Dia orang yang punya empati yang tinggi dan bisa melihat masalah dari berbagai sisi.Jadi, tolong berikan citra positif dan yakinkan dia bahwa kamu bukan orang yang sembarangan dan semua tuduhan itu salah,” ucap Marchel meyakinkan.Karina hanya memandang ke arah Marchel dengan dalam lalu menghela napas dalam saat melihat pintu rumah Marchel masih tertutup rapat.Karina mengangguk dan melepaskan seat belt lalu turun berdampingan dengan Marchel masuk ke rumah tersebut.Agenda ini memang sudah dijadwalkan untuk Karina sendiri karena Tania juga siap untuk menerima penjelasan dari karina.Dari situ,
“Apa benar kamu mengajak wanita itu ke hotel, Marchel!” Teriakan itu membuat salah satu asisten rumah tangga di rumah Marchel langsung kembali mengambil alat pel dan keluar dari ruangan tersebut.Satu kalimat yang tinggi itu sontak membuat Kayla langsung berdiri menghadap mama nya sendiri. Termasuk Mmarchel yang juga tidak tau apa tuduhan yang selanjutnya diterima kepadanya.“Apa maksud—”“Berhenti, Marchel!” bantah Tania dengan menodong tangannya ke arah anak pertamanya itu. Sekian dirinya mulai mendapat kabar tentang hotel yang diberikan oleh Rosa berupa sebuah foto.“Sekarang, jawab jujur kepada mama! Apa yang kamu lakukan dengan wanita murahan itu di hotel hah!” bantah Tania.Marchel langsung menggeleng kepalanya karena tidak ingin mendengar Karina mendapat tuduhan wanita seperti itu.Dia pun sadar bahwa mama nya belum bisa mengontrol emosinya atau memang masih mendapat teror dari mertuanya sendiri.“Mah, sekarang Marchel mau jelasin dulu. Mama tenang dulu, duduk di sini
Tuduhan kesekian kalinya membuat Tania sedih. Rosa dan Anita selalu saja datang saat dirinya tak ingin mengharapkan itu.Terlebih lagi soal Marchel yang dituduh menginap di hotel dengan Karina. “Ini benar sesuatu yang tidak bisa aku terima. Apa benar Marchel itu melakukan hal itu?” pikir Tania di dalam hatinya.Pagi menuju siang itu membuat Ttania sedikit pening. Dia pun langsung menutup pintu rumah dan beristirahat sejenak.Kayla, yang sudah mengetahui semua masalah itu pun mengelak bahwa Kkarina tidak mungkin berbuat demikian.“Kak, kamu harus segera bilang ke mama. Aku tidak biasa mendengar tudahan seperti ini. Apalagi ini juga menyangkut kedua keluarga besar.Aku takut citra kakak pasti jelek di antar keluarga mereka,” ucap Kayla kepada Marchel saat berada di ruang tengah.“Sudah pasti, Kayla. Citra kakak sudah hancur saat itu juga. Aku tidak percaya Mama Rosa akan mengatakan hal ini kepadaku terlebih soal tuduhan itu.Ini sangat berbahya buat diriku sendiri dan semua mas
“Kamu gila Marchel! Ngapain wanita penggoda itu malah mau kau jadikan sebagai istrimu?” tanya Tania dengan membentak.“Aku sama sekali tidak pernah setuju mama bilang dia adalah wanita penggoda. Sekarang, tenangkan semua emosi mama.Aku akan menceritakan semuanya dengan jelas. Dengan bukti. Bukti siapa yang menyebarkan video itu dan siapa dibalik dalang semua ini,” tegas Marchel.“Mama tidak—”Tiba saja Marchel langsung keluar dari ruangan tersebut. Percakapan pun berakhir karena Marchel tau jika nantinya ucapan itu akan diteruskan, pasti tidak ada jalan temunya.Semua yang dijelaskan olehnya akan sia-sia saja karena Marchel tidak mau berdebat dengan Tania yang masih marah.Untuk menghindari hal itu, Marchel langsung keluar dari ruangan utama. Kembali ke rumahnya di pagi hari setelah menjalankan satu hari weekend di rumah.Tania memang belum menyentuh rumah Marchel dalam seminggu setelah kasus itu terjadi. Dia merasa sangat gagal mendidik Marchel dan masih terpengaruh oleh uca
“Jadi, dia membayar upah untukmu?” “Maaf, Pak Marchel … Say—”“Berhenti! Mulai sekarang, kamu saya berhentikan kerja di sini. Urus semua data ke HRD hari ini juga! Saya tidak mau tau!” Percakapan singkat itu membuat Marchel semakin geram kepada petugas cctv yang selama ini dia percayai. Bagaimana tidak, petugas tersebut menerima upah dari Daniel untuk meminta salah satu video yang sampai saat ini sudah tersebar.Kecewa yang sangat mendalam itu pun akhirnya membuat Marchel semakin murka. Dia berjalan dnegan langkah yang lebar denganw ajah yang kesal.Bukan kembali ke ruangan kerjanya melainkan ke ruangan HRD. Di dalam ruangan itu, Marchel benar-benar sudah bulat untuk menyampaikan apa yang dia inginkan.“Sekarang, atas nama Daniel. Buat suarat PHK untuknya. Urus semua adm dan segalanya hari ini juga. Saya tidak mau tau, sekarang surat itu harus turun ke Daniel!” gugat Marchel.HRD perusahaan pun kaget melihat emosi Marchel yang mendadak. Dia tidak tau apa yang sedang terjadi, sehingg
“Lo gapapa ngajak gue makan malam gini?” tanya Karina.Marchel hanya memandang dirinya tanpa mengatakan apa pun, lalu mengaduk minuman yang dia pesan sebelumnya.Dengan wajah yang cukup lesu, karena penuh dengan kerjaan yang harus segera dilaporkan, Marchel pun berdecak.“Tidak ada yang melarang aku buat ngajak kamu makan di sini. Biarkan saja orang lain tau hubungan kita, memang aku serius juga kok,” jawab Marchel dengan santai.Karina mencoba menancapkan garbu pada steak miliknya, lalu berhenti sejenak. Dia melihat ke arah Marchel dengan tatapan kosong saaat lelaki itu berhenti berkata.Ada salah satu ucapan yang membuat Karina sedikit bingung, bukan lain adalah kata serius. “Serius maksudnya?” tanyanya.Marchel mencoba menelan makanan yang sudah ada di mulutnya, lalu mengambil selembar tissu dan mengelapnya di ujung bibir.Saat itu, Marchel langsung menyesap minumannya sedikit. “Aku bilang benar dan jujur. Aku bilang ke kamu kalo hubungan ini akan dibawa serius, Karina.”K
“Gue sama sekali gak tau siapa orang itu,” ucap Karina dalam hatinya.Setelah mengetahui bahwa Marchel mengatakan dirinya menjadi tuduhan, kini Karina sama sekali dibuat pusing dengan beredarnya foto tersebut.Dia pun melihat ke arah cctv ruangan tersebut dan segera memukul ringan kepalanya berulang kali. “Gue juga gak sadar sih gila kali ngelakuin hal semacam itu bisa-bisanya ada cctv dan gue seenaknya gitu gak sadar!”Karina terus memarahi dirinya sendiri. Seolah ini adalah kesalahannya sendiri, terlebih ketika dia melihat foto yang dikirim oleh Marchel melalui teleponnya.“Gila lo Karina! Pantes aja mereka bilang nuduh gue ini itu karena gue juga gak sadar ada kamera cctv di sini. Belum lagi orang stress itu kok bisa sampai berani pasang video?” lanjut Karina.Hari ini Marchel datang terlambat. Izin kepada seluruh bawahannya untuk menunda meeting di sore hari. Karina, yang masih duduk di depan laptopnya pun masih tak bisa berpikir untuk bekerja saat itu juga.Energinya seol
"Apa kamu lupa dengan janjimu, Marchel!?" bantah Tania.Setelah melakukan banyak sekali perdebtan soal Kkarina, kini Marchel tertampar dengan kalimat Tania, ibu kandungnya sendiri.Dia ngat bahwa salah satu pesan dari mantan istrinya yang meninggal adalah bukan tentang wanita lain. Tetapi, soal anak mereka yang baru saja lahir ke dunia."Mah, Marchel bisa jelasin semuanya. Ini bukan tentang Karina, dan ini salah paham, Mah," jawab Marchel memohon.Lepas pulang dari kantor, Marchel kembali menghadap Tania yang terus seperti layaknya seorang wartawan. Tania bercerita maksud kedatangan Rosa ke rumahnya di siang hari itu.Saat itu juga Tania memberikan semua bukti foto yang sudha berhamburan di lantai dengan jelas kepada Marchel."Lihat apa yang kamu lakukan!" bantah Tania.Seperti sebuah ancaman, Tania pun seperti ingin menampar anaknya sendiri. Pengaruh ucapan dan bukti foto yang diterima dari Rosa membuatnya seketika kesal dengan Marchel sendiri.Dia tak bisa menjelaskan secar