“Apakah kalian berencana untuk kabur?” Seorang laki-laki berdiri di dekat mereka membuat keduanya langsung berdiri dan menghadap ke arahnya. Tentu saja wajah mereka terkejut karena tidak menyangka kalau ada orang lain yang akan mendengarkan pembicaraan tentang kabur dari tempat ini.“Jangan takut! Aku tidak akan memberi tahu siapapun,” imbuhnya karena sedari tadi Callista ataupun Fritz tidak mengatakan apapun.“Kau tidak boleh menguping pembicaraan orang lain. Tidak sopan!” tegur Fritz tidak terima. Laki-laki itu mengembangkan senyumnya.“Aku tidak menguping, pembicaraan kalian terdengar olehku,” balasnya. Ketika Fritz hendak mengatakan sesuatu, dia kembali berkata, “Jika kalian memang berencana untuk kabur, ku sarankan agar membuat rencana yang cerdik. Orang-orang dewasa di sini sangat pintar, mereka akan tahu semua gerak-gerik mencurigakan kalian. Ditambah banyak cctv di setiap sudut ruangan dan ruang terbuka ini. Kalian tidak akan selamat kalau melarikan diri secara terang-terangan
“AAARRRGGHH!!!” Semua anak yang ada di ruangan ini berteriak kesakitan saat Ethan menekan remote kontrol. Callista dan yang lainnya menangis dan menahan rasa sakit itu. Sementara Ethan hanya berdiri seraya menyaksikan penderitaan mereka.“Inilah akibatnya kalau kalian berusaha untuk kabur,” katanya setelah dia puas membuat mereka menangis serta memohon ampun. Ethan pun mendekati Callista lalu menarik rambutnya dengan kasar. “Aku yakin kau biang keroknya karena setahuku hanya kau yang nakal. Selain ini, akan aku berikan mereka hukuman dan hukuman untukmu jauh lebih berat.”“Dia tidak salah! Di-““Diam kau!” bentak Ethan ketika Fritz hendak membela Callista. Lagi-lagi Fritz kesakitan hebat karena sudah berbicara dengan Ethan yang saat ini tengah marah. Seusai itu, barulah mereka diperintahkan untuk kembali ke kamar masing-masing. Hukuman akan dilaksanakan esok hari. Ethan tak mau menghukum sekarang karena sudah waktunya untuk istirahat, dia juga tak mau membuang waktu hanya untuk mengur
Callista menganga tidak percaya kalau ternyata benda di dalam kotak itu adalah bom rakitan. Sergio menjelaskan kalau dia mempelajarinya dari seorang pelatih di sini saat dulu. Pelatih tersebut sudah meninggal akibat penyakitnya. Entah kenapa hanya dirinyalah yang diberitahukan untuk merakit sebuah bom walau memakai alat seadanya. Namun kekuatan bom rakit itu cukup untuk meledakkan suatu tempat. “Apakah kau akan menggunakannya, Sergio?” tanya Callista. “Untuk saat ini tidak karena masih ada rakitan yang belum selesai. Aku butuh sesuatu yang bisa membuat bom ini diaktifkan,” jawabnya. Callista tidak mengerti dengan apa yang dijelaskan Sergio, dia hanya membalas dengan anggukkan saja. Sergio kembali memasukkannya ke dalam tanah, mengubur lalu tanah tersebut ditutupi oleh batu yang tadi. Tidak ada yang tahu bahwa di sana ada rakitan bom, hanya dia yang mengetahuinya. Alasan Sergio memberi tahu Callista hanya agar gadis itu tahu. Mungkin saja dirinya akan membutuhkan benda tersebut, piki
“Tunggu dulu! Aku memintamu untuk menceritakan tentang masa-masa kau bekerja di sana, bukan waktu kau remaja,” kata Florence. Callista menatap wanita itu.“Aku harus menceritakan bagaimana mulanya aku menjadi seperti ini. Lagi pula aku rasa kau juga baru mengetahuinya karena raut wajahmu menunjukkan keterkejutan ketika aku bercerita tentang pengorbanan Sergio,” balas Callista membuat Florence mengangkat kedua alisnya.“Ya, aku memang terkejut karena selama ini kau tidak pernah memberi tahu aku.” Perkataan Florence membuat Callista terdiam. Benar juga, katanya dalam hati. Dia tidak pernah menceritakan tentang masa lalunya kepada Florence. Wanita itu memang pernah menjadi saksi perjalanan hidup Callista, tapi tak semua tentangnya diceritakan. Wajar kalau Florence memasang ekspresi terkejut.“Sudahlah! Aku tak mau membahasnya lagi. Lebih baik kau pulang. Aku akan mengunjungimu lagi Minggu depan,” lanjut Callista sebelum Florence kembali mengatakan sesuatu. Dia tahu kalau wanita ini tak a
Justin yang takut dan tak bisa berbuat apapun hanya mengangguk kecil. Dirinya tidak berani untuk menoleh atau melihat siapa yang sudah mengancamnya seperti itu. Setelah dirasa benda tersebut tak lagi menyentuhnya, Justin membuang napas lega. Secara perlahan dirinya sedikit menoleh untuk memastikan, dari sudut matanya dia melihat seseorang bersetelan jas baru saja menjauhinya. Kini dia yakin kalau orang tadi adalah suruhan Bos ValHolitz.“Hei, kenapa wajahmu pucat? Apakah kau sakit?” Justin sempat terperanjat karena pertanyaan Callista. Wanita itu terheran-heran dengan reaksi Justin yang tak bisa.“A-aku tidak apa-apa, hanya saja ini kali pertamaku datang ke pesta,” jawabnya dengan suara bergetar.“Oh ya? Ku kira kau sedang ketakutan,” sindir Callista sekaligus mengejek.“Tentu saja tidak,” balasnya. Meski berbohong, Callista tahu apa yang sedang dirasakan pria di sampingnya itu, tapi dia tak mau memaksa Justin untuk berkata jujur. Wajar saja hal tersebut terjadi karena pesta ini cukup
“Masuklah!” Tiba-tiba saja Richard datang seraya menyuruh Callista dan Justin masuk kembali ke dalam ruangan itu. Richard pun menutup pintu lalu membuang napasnya.“Apa yang terjadi? Kenapa mereka berhamburan?” tanya Callista penasaran.“Beberapa menit setelah kalian masuk ke sini, seorang pria melemparkan gelas berisi alkohol ke salah satu tamu. Entah apa masalah di antara mereka sampai berkelahi, membuat semua orang takut dan berhamburan, termasuk para perempuan. Sebagian pria mencoba memisahkan mereka, tapi mereka malah terkena serangan yang akhirnya membuat semuanya menjadi kacau,” jelas Richard. Terlihat jelas bagaimana raut wajah paniknya. Hal ini membuktikan kalau dia tidak sedang berbohong.“Bagaimana bisa hal ini terjadi? Apakah penjaga tidak bisa meleraikan mereka?” tanyanya lagi.Richard menggelengkan kepala lalu menjawab, “Alih-alih melerai, para penjaga malah terbawa emosi yang mengakibatkan kekacauan semakin meluas. Ditambah akses masuk kita terhalangi oleh mereka, mau t
Callista sudah tidak familiar lagi dengan suara itu. Dia mengurungkan niatnya untuk membuka pintu. Dirinya bertanya, “Untuk apa kau kemari? Apakah kau ingin membuktikan bahwa kau salah karena sudah menuduh temanku?”“Teman? Padahal kau tidak begitu mengenalnya dan baru melakukan pertemuan beberapa kali, sekarang kau sudah anggap dia teman dan menjadikan aku musuh karena sudah menuduh dia? Yang benar saja!” sindirnya. Callista membalikkan badan. Benar saja, suara itu milik Fritz Ryker.“Aku tidak menjadikanmu musuh, hanya sedikit menjaga jarak agar kau tidak salah paham lagi. Aku juga tidak begitu dekat dengannya dan kau benar, aku tidak mengenalnya dengan baik, tapi dia sudah menyelamatkan aku, bahkan merelakan waktu sibuknya demi membantuku. Masa iya orang seperti itu seorang mafia? Tidak mungkin, kan?” balas Callista membuat Fritz tertawa pelan. Tawanya seperti sedang mengejek.“Apa yang menurutmu tidak mungkin, bisa saja jadi mungkin karena kau tidak mengetahuinya. Coba saja kau ta
“Arrghh!!!” erangnya kesakitan. Ya, yang menembak bukanlah wanita itu, justru dialah yang tertembak. Oscar melepaskan peluru dari pistol yang dia pegang tepat di kaki wanita itu sampai terjatuh. Oscar tidak terima sang bos diancam seperti itu, apalagi oleh seorang wanita. Dengan terpaksa peluru pun ditembakkan.“Dengan beraninya kau mengancam aku,” ucap Richard seraya merampas pistol yang dipegang oleh wanita tersebut. Kini giliran dia yang menempelkan ujung pistol ke dahi si wanita. Jelas saja hal ini mengejutkan semua orang, termasuk para pemberontak.“Maka kesempatanmu untuk bertemu putrimu sudah hilang.”DOR!Semua wanita berteriak karena Richard menembakkan pelurunya tepat di dahi wanita yang tadi mengancam dia. Seketika wanita itu terjatuh dengan mata yang membelalak dan dahi yang sudah berdarah. Richard melihat ke arah para pemberontak lalu berkata, “Apakah kalian ingin menjadi yang selanjutnya? Jika kalian ingin, silakan maju! Aku tak akan segan melubangi kepala kalian itu!”T