Dengan cepat, Gabriel melepaskan Callista dan menjauhkan diri. Sementara Callista terlihat kebingungan melihat kehadiran para pria itu. Siapa mereka? Kenapa datang kemari? Salah satu dari para pria itu menatap Gabriel dengan tajam dan anehnya Gabriel terlihat ketakutan.“Apa yang terjadi di sini?” tanyanya.“Ehm … ka-““Tunggu!” Baru saja Gabriel hendak menjawab pertanyaan itu, Callista segera menyela. Seraya menatap salah satu dari mereka, dia bertanya, “Apakah kau Richard Valfredo Holtzman Bos ValHolitz?”“Aku Oscar, asisten bosku. Kedatanganku ke sini karena ada suatu hal yang ingin aku sampaikan kepada Gabriel. Tidak ku sangka ternyata dia sedang berduaan denganmu,” jawabnya membuat Callista menggelengkan kepala.“Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan pria sialan itu. Jika memang kau asisten bosmu, tolong pertemukan aku dengannya! Aku ingin melihat bagaimana wajah bosmu,” balas Callista. Ya, pria yang datang itu adalah Oscar Sutcliff, asisten Richard. Dia datang kemari karena
Callista membuka matanya secara perlahan. Dia melihat ruangan tanpa jendela yang pengap. Hanya ada sedikit lampu yang menerangi ruangan ini, satu ranjang, lemari kecil dan pintu besi. Callista tampak kebingungan sekali, di mana dirinya berada? Kenapa ada di sini? Di mana Mama dan Papanya? Semua pertanyaan itu berputar di benak gadis berumur 13 tahun itu. Gadis ini bangkit dari ranjang lalu mendekati pintu. Dia mencoba untuk membukanya, tapi terkunci. Dirinya meneriaki Mama dan Papanya, sayang sekali tidak ada yang menyahut dari seberang sana. Lama kelamaan dia ketakutan serta menangis, memohon agar dikeluarkan dari ruangan asing ini. Seketika saja dia teringat dengan apa yang terjadi sebelumnya. Seingat dia, dirinya sedang bermain bersama teman-teman, tapi tiba-tiba datang sebuah mobil hitam yang berhenti tepat di dekat mereka. Dua pria turun dari mobil lalu membawanya ke dalam kendaraan itu. Teman-temannya juga dibawa meski beberapa ada yang berhasil melarikan diri. Dalam sekejap, d
Callista membelalakkan matanya ketika mendengar perkataan itu. Kini dia sangat ketakutan bahkan sampai bergemetar. Anak laki-laki itu menurunkan tangannya dari bahu Callista tanpa mengalihkan pandangan. Dia kembali mengatakan kata-kata yang membuat gadis ini berteriak dengan kencang akibat rasa takut yang menyelimutinya.Di tengah teriakan itu, seketika dia merasakan sekujur tubuh yang terasa sakit. Teriakannya jauh lebih kencang bersamaan dengan seorang lelaki yang menghampirinya. Lelaki itu berkata, “Kau lagi yang berulah! Tidak bisakah kau diam hah?”Setelah rasa sakit Callista mereda, lelaki tadi menarik rambutnya hingga Callista menjerit kesakitan lagi. Dia kembali mengomel, “Jangan berulah lagi! Aku akan memotong lehermu kalau kau tidak bisa diam dan menurutiku!”Callista mengganggukkan kepala. Lelaki itu melepaskannya dan pergi begitu saja, sementara Callista berdiri seraya memegangi kepalanya yang terasa sakit. Dia melihat anak laki-laki yang tadi menakutinya hanya tertawa pel
“Apakah kalian berencana untuk kabur?” Seorang laki-laki berdiri di dekat mereka membuat keduanya langsung berdiri dan menghadap ke arahnya. Tentu saja wajah mereka terkejut karena tidak menyangka kalau ada orang lain yang akan mendengarkan pembicaraan tentang kabur dari tempat ini.“Jangan takut! Aku tidak akan memberi tahu siapapun,” imbuhnya karena sedari tadi Callista ataupun Fritz tidak mengatakan apapun.“Kau tidak boleh menguping pembicaraan orang lain. Tidak sopan!” tegur Fritz tidak terima. Laki-laki itu mengembangkan senyumnya.“Aku tidak menguping, pembicaraan kalian terdengar olehku,” balasnya. Ketika Fritz hendak mengatakan sesuatu, dia kembali berkata, “Jika kalian memang berencana untuk kabur, ku sarankan agar membuat rencana yang cerdik. Orang-orang dewasa di sini sangat pintar, mereka akan tahu semua gerak-gerik mencurigakan kalian. Ditambah banyak cctv di setiap sudut ruangan dan ruang terbuka ini. Kalian tidak akan selamat kalau melarikan diri secara terang-terangan
“AAARRRGGHH!!!” Semua anak yang ada di ruangan ini berteriak kesakitan saat Ethan menekan remote kontrol. Callista dan yang lainnya menangis dan menahan rasa sakit itu. Sementara Ethan hanya berdiri seraya menyaksikan penderitaan mereka.“Inilah akibatnya kalau kalian berusaha untuk kabur,” katanya setelah dia puas membuat mereka menangis serta memohon ampun. Ethan pun mendekati Callista lalu menarik rambutnya dengan kasar. “Aku yakin kau biang keroknya karena setahuku hanya kau yang nakal. Selain ini, akan aku berikan mereka hukuman dan hukuman untukmu jauh lebih berat.”“Dia tidak salah! Di-““Diam kau!” bentak Ethan ketika Fritz hendak membela Callista. Lagi-lagi Fritz kesakitan hebat karena sudah berbicara dengan Ethan yang saat ini tengah marah. Seusai itu, barulah mereka diperintahkan untuk kembali ke kamar masing-masing. Hukuman akan dilaksanakan esok hari. Ethan tak mau menghukum sekarang karena sudah waktunya untuk istirahat, dia juga tak mau membuang waktu hanya untuk mengur
Callista menganga tidak percaya kalau ternyata benda di dalam kotak itu adalah bom rakitan. Sergio menjelaskan kalau dia mempelajarinya dari seorang pelatih di sini saat dulu. Pelatih tersebut sudah meninggal akibat penyakitnya. Entah kenapa hanya dirinyalah yang diberitahukan untuk merakit sebuah bom walau memakai alat seadanya. Namun kekuatan bom rakit itu cukup untuk meledakkan suatu tempat. “Apakah kau akan menggunakannya, Sergio?” tanya Callista. “Untuk saat ini tidak karena masih ada rakitan yang belum selesai. Aku butuh sesuatu yang bisa membuat bom ini diaktifkan,” jawabnya. Callista tidak mengerti dengan apa yang dijelaskan Sergio, dia hanya membalas dengan anggukkan saja. Sergio kembali memasukkannya ke dalam tanah, mengubur lalu tanah tersebut ditutupi oleh batu yang tadi. Tidak ada yang tahu bahwa di sana ada rakitan bom, hanya dia yang mengetahuinya. Alasan Sergio memberi tahu Callista hanya agar gadis itu tahu. Mungkin saja dirinya akan membutuhkan benda tersebut, piki
“Tunggu dulu! Aku memintamu untuk menceritakan tentang masa-masa kau bekerja di sana, bukan waktu kau remaja,” kata Florence. Callista menatap wanita itu.“Aku harus menceritakan bagaimana mulanya aku menjadi seperti ini. Lagi pula aku rasa kau juga baru mengetahuinya karena raut wajahmu menunjukkan keterkejutan ketika aku bercerita tentang pengorbanan Sergio,” balas Callista membuat Florence mengangkat kedua alisnya.“Ya, aku memang terkejut karena selama ini kau tidak pernah memberi tahu aku.” Perkataan Florence membuat Callista terdiam. Benar juga, katanya dalam hati. Dia tidak pernah menceritakan tentang masa lalunya kepada Florence. Wanita itu memang pernah menjadi saksi perjalanan hidup Callista, tapi tak semua tentangnya diceritakan. Wajar kalau Florence memasang ekspresi terkejut.“Sudahlah! Aku tak mau membahasnya lagi. Lebih baik kau pulang. Aku akan mengunjungimu lagi Minggu depan,” lanjut Callista sebelum Florence kembali mengatakan sesuatu. Dia tahu kalau wanita ini tak a
Justin yang takut dan tak bisa berbuat apapun hanya mengangguk kecil. Dirinya tidak berani untuk menoleh atau melihat siapa yang sudah mengancamnya seperti itu. Setelah dirasa benda tersebut tak lagi menyentuhnya, Justin membuang napas lega. Secara perlahan dirinya sedikit menoleh untuk memastikan, dari sudut matanya dia melihat seseorang bersetelan jas baru saja menjauhinya. Kini dia yakin kalau orang tadi adalah suruhan Bos ValHolitz.“Hei, kenapa wajahmu pucat? Apakah kau sakit?” Justin sempat terperanjat karena pertanyaan Callista. Wanita itu terheran-heran dengan reaksi Justin yang tak bisa.“A-aku tidak apa-apa, hanya saja ini kali pertamaku datang ke pesta,” jawabnya dengan suara bergetar.“Oh ya? Ku kira kau sedang ketakutan,” sindir Callista sekaligus mengejek.“Tentu saja tidak,” balasnya. Meski berbohong, Callista tahu apa yang sedang dirasakan pria di sampingnya itu, tapi dia tak mau memaksa Justin untuk berkata jujur. Wajar saja hal tersebut terjadi karena pesta ini cukup