"Mas Pram, mbok nelpon tho Mas. Atau angkatlah telponku. Sekaliiii... saja. Seberapa marahnya kamu sama aku, seberapa jijiknya kamu sama aku, aku adalah ibu dari anak-anakmu...” PUK. Malika terperangah ketika kakinya ada yang menepuk. Siapa lagi kalau bukan Adam. Jemari pemuda itu masih menyengkeram ujung roknya. Wajah Malika yang bersimbah air mata tersenyum geli melihat sikap konyol Adam. Persis anak kecil takut ditinggal sendirian. Sekilas Adam membuka mata, menatap Malika redup. Bibirnya menggumamkan tiga kata. Lirih dan tersendat, “Buk, ada apa...?” Malika geleng-geleng kepala dan sibuk menghapus air mata dengan ujung jilbabnya. “Nggak ada apa-apa. Rindu sama anak,” jawab Malika tenang. Tidak ingin Adam melihat kesedihannya, tangan Malika mengusap kelopak mata Adam agar menutup kembali. Pemuda itu terjengit dan sekilas mengangkat wajah. Ajaib. Tak butuh waktu lama, Adam langsung tertidur. Suara dengkurannya terdengar tipis dan beraturan. Mungkin baru
Adzan isya mengumandang dari arah masjid desa Kintamani. Di antara kabut tipis dan dinginnya malam yang menusuk kulit, sepasang kaki melangkah menyusuri jalan setapak di tengah kebun jeruk. Tersendat-sendat. Sempoyongan, setelah hampir dua jam menempuh perjalanan kaki. Sebuah tas kain lusuh terayun-ayun di tangannya. Sandal jepit yang dikenakan sesekali lepas tali dari bolongannya. Gemas dan kesal, akhirnya ia lempar sandal itu ke tengah kebun jeruk. Toh, jalan raya sudah di depan mata. Jalan yang akan dilalui bakalan mulus. Tidak seperti jalan yang ditapaki sekarang, penuh dengan duri dan kerikil. “Kira-kira lima ratus meter lagi. Mudah-mudahan Bu'e ada di rumah. Kalau nggak ada, matilah aku.” Raganya yang lelah dan menahan lapar rasanya ingin roboh saja. Perutnya hanya kemasukan dua potong singkong rebus pagi tadi. Beberapa permen yang tersimpan di dalam saku celananya menolongnya dari kelaparan dan sedikit memberi energi pada tubuhnya. Begitu pula dengan
Esok paginya begitu bangun tidur, Darsih berpesan sama Malika. “Bu'e, saya tidak akan keluar rumah jika tidak penting sekali. Saya mohon, jangan bilang sama orang-orang kalau saya ada di sini yaaa..?” “Iya. Eh, tapi di sini siapa yang kenal sama kamu, Mbak?” “Yaaaa... jaga-jaga saja sih Bu. Beberapa tetangga saya dari desa ada yang tinggal di sini. Rata-rata mereka berjualan bakso sama sosis keliling.” “Oooh... gitu. Okee Mbak.” Setelah membuat kopi panas dan ketela goreng, keduanya mengobrol di ruang tengah sambil melihat televisi. Darsih permisi menyelonjorkan kaki di sofa panjang. Jemari tangannya yang berwarna coklat kehitaman tidak berhenti mengusapkan minyak oles ke kakinya, lantas dipijit-pijitnya sendiri. Malika prihatin melihat telapak kaki Darsih yang kusam, nampak melepuh dan bengkak. “Sini saya mijitin, Mbak...” “Eh, nggak...nggak. Jangan Buk!” timpal Darsih menolak sembari menjauhkan kakinya dari jangkauan tangan Malika. “Nggak apa-apa.
“Heeegghh... Ya Allah.” Helaan nafas panjang di sampingnya membuat Malika tergagap dan menoleh. Ia merasa bersalah telah mengacuhkan Darsih yang sekarang menjadi tamunya. Penampilan Darsih agak lucu. Tubuh pendeknya terbenam dalam daster berukuran besar. Malika bingung juga, Budhe Sun bertubuh mungil, tapi dastenya banyak yang berukuran besar. Mungkin diberi oleh seseorang. “Eh, mbak Sih, maaf. Mbak kok sedih gitu?” Malika mulai memancing pertanyaan. “Saya bingung kalau nganggur gini, Buk. Tidak ada pemasukan. Mana saya harus mengirim uang sama emak." “Iya Mbak. Sama. Di sini aku juga lagi bingung. Eh, emak sampeyan kan punya kebun coklat sama kelapa?” “Pohon coklat hanya enam puluh pohon, Buk. Kalau kelapa paling tiga puluh. Hasilnya sedikit. Kalau buat makan sih cukup. Tahu sendiri kan tinggal di desa. Banyak orang punya hajat. Belum lagi nengok orang lahiran, orang sakit dan iuran macam-macam.” “Iya benar, Mbak. “Saya ke sini kan rencanaya mau c
Siang itu usai masak MALIKA sudah berdandan rapi dan cantik. Bersiap-siap ke rumah Wulan. Makanan dan buah yang hendak dibawa sudah dipersiapkan sejak tadi. Tinggal menunggu kedatangan Putu Astari dan Mba Fatma. Barusan mereka nelpon sudah pulang dari pasar dan sekarang masih bersiap-siap. Adam muncul dengan wajah kuyu. Sempat menginap di rumah Malika semalam, lantas esoknya tidur di tempat Anton usai periksa ke dokter. Malika segera mengambil nasi goreng dan bikin teh panas untuk pemuda itu. “Sedikit saja, Bu. Tadi sudah dibelikan sate sama Mas Anton.” Kedatangan Adam hendak mengambil tas dan cas ponsel yang ketinggalan di rumah Malika. “KOndismu masih seperti ini. Masak mau pulang sekarang?” Adam tidak segera menjawab. Wajahnya nampak gundah. “Saya bilang sama ibu ada kerjaan di sini. InsyaAllah dua hari lagi aja pulang. Menunggu luka mengering. Ibu pasti sedih dan khawatir melihat kondisi saya begini.” “Iya. Bagus itu Dik, apalagi ibumu tidak k
Mbak Fatma mengusap bahu Malika prihatin. “Aduh Malika, kasihan deh kamu. Ketinggalan berita kayak gini. Memangnya Budhe Sun nggak pernah cerita ya? Nggak lama setelah kamu balik ke Jawa, Kak Mar menikah sama Koh Daniel. Anak sulungnya Pak Liong. Pemilik vila di bawah ituuu…” “Astogfirullooohhh. Masa sih? Tahunya aku, dia itu suaminya dari Cina, eh Hongkong, seperti yang diceritakan sama Adam kemarin.” “Heee... itu bukan suatu dosa, Malika. Kok kamu bilang begitu?” protes Mbak Fatma melihat Malika mengucapkan istigfar berulangkali. Malika geleng-geleng kepala. Masih sulit percaya. “Jadi Adam ituuu...?” “Iyaaaa..., Mas Adam tadi itu anaknya Kak Mar sama Koh Daniel. Cucunya Pak Liong. Pemilik vila di bawah itu. Mereka dulu tinggal di sana. Setelah Koh Daniel meninggal, disusul sama Pak Liong, kak Mar dan Adam pindah ke Bangli dalam keadaan miskin. Baru tiga tahun lalu...” terang Mbak Fatma sejelas-jelasnya. Bicaranya keras dan agak ngotot, seperti mau ngajak perang
Adam masih duduk di depan layar lap top. Konsentrasinya benar-benar lumpuh total. Tiga hari yang lalu, Maryati ibunda Adam melihat televisi. Kedua jemari tangannya tidak berhenti bergerak-gerak. Tawanya yang sesekali berderai mengiringi film komedi di layar televisi tidak mampu menyembunyikan kegalauannya. Adam yang menemani sang ibu nonton di sampingnya menangkap gerakan tangan itu dan segera tanggap apa yang tengah dirisaukan oleh ibunya. “Kapan terakhir cincin itu harus ditebus, Bu?” “Delapan hari lagi. Ibu sudah diberi tenggang waktu tiga bulan. Jika tidak ditebus akan hangus. Hilang. Tunggakannya masih separoh lagi, satu juta seratus ribu. Ibu sudah nggak punya apa-apa lagi untuk dijual. Tinggal lemari es..., “Jangan Bu. Ibu kan perlu untuk menyimpan es buah kalau masih sisa,” sergah Adam keberatan. “Coba nanti saya carikan uangnya. Ibu jangan khawatir. InsyaAllah cincin ibu akan kembali.” Maryati menatap putra tunggalnya sendu. Mengangguk pelan mesk
Pulang dari rumah Wulan, Malika dan kedua temannya langsung mampir ke rumah Maryati. Mereka berempat bernostalgia. Anton datang menyusul dengan motor bututnya. Membawa sekresek jeruk. Mengendarai motor butut tahun 1980-an warna merah. Suaranya bikin telinga bergoyang. Uthuk uthuk uthuk... Malika yang nelpon Anton karena Putu Astari dan Mbak Fatma masih ada kondangan ke rumah temannya sampai malam. Sementara itu tidak angkutan umum untuk pulang ke desa. Rumah Maryati yang biasanya sepi menjadi ramai. Maryati bahagia sekali kedatangan teman lamanya. Ia masak capcay telur puyuh dan goreng tempe mendoan. Dimakan selagi hangat sangat nikmat. Tidak ada yang perlu disembunyikan. Maryati menceritakan kisah hidupnya. Sementara Adam dan Anton menyingkir ke teras usai makan, bermain gitar. “Bukan untuk pamer penderitaan atau mengemis simpati. Aku hanya ingin berbagi pengalaman. Kalau kita harus baik sama semua orang. Hati-hati sama orang terdekat, karena bisanya mereka yang
Dalam perjalanan Darsih mengungkapkan ueg-unegnya tentang preman yang mengobrak-abrik rumah Malika. Heru masih menekuri layar ponsel, membaca chat yang masuk hanya manggut-manggut.“Mas Heru, masak sampeyan nggak tahu sih?” seru Darsih agak keras. Sewot karena merasa diacuhkan sama Heru.Lelaki itu tergagap. “Eh iya, Mbak. Aku tahu dari Mas Mario...”“Soalnya peristiwa itu telah mengubah hidupku, jadi gembel kayak gini. Menurut sampeyan, siapa kira-kira pelakunya? Sumpah, aku masih penasaran sampai sekarang,” Darsih belum puas bicara, masih berkeluh kesah. Heru mematikan ponselnya dan menggeleng perlahan. “Namanya saja kejahatan, Mbak.Lama-lama juga akan ketahuan.”Pulang dari counter, Darsih melihat mobil hitam berhenti di depan gang. Di samping kantor polisi. Tulisan ‘DUA Putri’ di kaca depan bagian atas membuat langkah Darsih terhenti. Dahinya mengeryit. Sontak menuju belakang mobil dan nampaklah gambar buah jeruk. Darsih terkesiap kaget.“Ya Allah...! Mobil iniiii...
Darsih pulang dari warung sebelah untuk membeli makan. Kalau siang dan ramai begini Darsih berani keluar. Hanya sekitar kosan saja, tidak berani jauh-jauh. Syukurlah banyak penjual makanan dan kebutuhan sehari-hari.Jika pingin sesuatu yang tidak ada di sini, baru minta tolong sama si Bombom. Darsih membuka nasi bungkus dan menikmati pelan-pelan. Hanya lauk tempe sama oseng teri. Ia harus berhemat karena uangnya tidak banyak.Pas ke sini sempat menjual cincin seharga satu juta. Buat bayar kos, beli majic jar dan makan sehari-hari. Kini tinggal 300 ribu.POnselnya berdering. Darsih mengangkat dengan malas. Nama yang tak asing lagi.“Mbak, ini Mario. Tolong emasnya itu kasih temanku. Nanti jam tiga sore ditunggu di depan pasar. Dia sopir truk. Malam ini mau berangkat ke Mojokerto, biar nanti dikasihkan kepada Mas Pram.”Darsih tertegun sejenak. Enak sekali Mario ngomong. Ia segera teringat sama Malika yang kekurangan uang saat ini.“Gimana Mbak, bisa kan?” “Eemm... jauh Mas. Kutung
Siang itu, seorang perempuan berjilbab keluar dari minimarket menenteng dua tas belanjaan. Tiba di tempar parkir celingukan mencari seseorang. Akhirnya ia duduk di bawah pohon. Membuka ponsel dan memencet nama Pramono.“Oohh iya... dia kan tidak pegang ha-pe. Ternyata pelupa juga Mas Pram ini,” gumamnya dan menaruh lagi dalam tas kecilnya.Tak lama kemudian Pramono datang dari pertokoan di depan mini market. Tangannya membawa kresek hitam dan kotak ponsel. Wajahnya yang kuning berseri-seri. Dilihat sekilas Pramono seperti memiliki darah Jepang. Rambutnya lurus dengan hidung tinggi. Namun matanya lebar.Dahi Nana berkerut melihat benda di tangan Pramono, “Lho... Beli ha-pe baru?" “Oohh... zaman sekarang Dik, tidak ada ha-pe seperti hidup di zaman purba. Tidak bisa menghubungi rekan bisnis untuk bertukar info kerjaan. Tidak bisa menerima telpon dari anak-anakku. Tapi ada baiknya juga. Tiga hari tanpa ha-pe bisa baca buku dan majalah sepuasnya, he he he...” “Hobi yang bermanf
Tidak ada jawaban. Terdengar suara berisik di seberang telpon. “Marioo... dengar aku kan?” Malika mengeraskan suaranya.“Maa-aaf... aku masih ada pertemuan dengan seseorang. Iii-ya mbak. Pokoknya special buat kakakku. “ “Barusan aku telponan sama Papa?”“Ooohh... baguslah kalau begitu. Kemarin kusuruh Papa meluangkan waktu untuk menghubungi Mbak Lika. Papa sekarang sibuk di kebun, mengurusi kayu sengon.” “Iya. Tadi Papa bercerita banyak tentang pohon sengon yang ditanamnya. Sudah berumur delapan tahun. Harus dikurangi pohonnya biar yang lain bisa tumbuh besar. ““Tanahnya papa ada di mana saja sih, Mbak?” “Di Mojokerto ada dua hektar. Sama di Pasuruan juga dua hektar. Yang di Pasuruan satu hektar ditanami pohon jati. Tapi masih muda, baru umur lima belas tahun…”“Jati umur segitu masih muda?” potong Mario heran. “Iyalah. Buruh waktu tiga puluh tahun ke atas untuk mendapatkan jati yang besar dan bagus. Kalau sengon umur sepuluh tahun sudah bisa dipanen...”“Dua tah
Siang itu Adam dan kru film pendek bersiap pergi ke tempat sooting. Malika mengajak Putu Astari. Wanita berbodi semlohai itu senang sekali bakalan mendapat pengalaman baru. Bahkan ia rela libur jualan dua hari ke depan. Dengan semangat 2022, Putu Astari membantu menaikkan semua properti dan perlengkapan ke dalam truk kecil yang dipinjam Anton dari temannya. Anton bagian menata di dalam truk. “Tangkap Maass...!” seru Putu Astari mengangkat kardus ukuran sedang ke arah Anton. “Jangan dilempar, Mbak. Itu isinya lap top sama lensa!” Anton berseru mencegahnya.“He he, bercanda kok.” Sedangkan Malika masih sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dibawa. Dipastikan cukup selama tiga hari dua malam di tempat sooting. Wajahnya berbinar-binar. Merasa diri kembali muda. Teman-temannya Adam yang lain sudah berada di lokasi sooting sejak kemarin. Kali ini Malika mengenakan celana dan hem panjang. Lokasi soting berada di pedesaan dan tepi hutan. Kurang bebas gerakny
Darsih tidak mau meratapi nasib. Ia tahu apa yang dialami sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dirinya tinggal menjalani. Ia bersyukur masih hidup, masih ada makanan yang disediakan oleh penculik. Waktu senggang yang melimpah digunakan untuk menambah ibadah salatnya. Ngajinya meskipun hanya lewat Juzama kecil. Air cukup banyak meskipun kamar mandinya tanpa pintu. Setiap hari Darsih masak, dan bersih-bersih. Darsih baru menyadari ponselnya tidak ada ketika mengambil baju ganti di dalam tasnya. Mereka telah menyitanya. Selama tiga hari mereka tidak pernah datang. Sepanjang hari itu pula Darsih terus memasak singkong. Dibakar, direbus. Digoreng. “Tiap hari makan singkong, bisa meletus perutku.” Benar saja. Tiap saat suara letusan keluar. Mengeluarkan gas dari area pembuangan. Untunglah lampu bisa menyala. Jika tidak, Darsih sudah mati ketakutan di dalam gudang. Apalagi pernah malam-malam pintu diketuk orang. Terus suara langkah berat di luar menge
Di suatu sore. Sepuluh hari lalu…Travel yang ditumpangi Darsih berhenti di sebuah rumah makan di pesisir pantai daerah Negara. Semua penumpang turun. Darsih duduk menepi, menikmati kopi sambil mengirim pesan kepada Malika untuk menyampaikan keberadaannya. Tak lama kemudian datang sebuah mobil warna hitam. Turun seorang wanita cantik mengenakan baju santai dan celana legging ketat. Disusul dua pria dengan tampang agak sangar. Ketiga orang itu duduk tidak jauh dari Darsih. Seorang pelayan mendatangi mereka. “Kopi hitam tiga, Mbak. Sama soto dua,” aba si wanita. Si pelayan manggut dan menyingkir ke dalam. Darsih sama sekali tidak memandang ke arah mereka hingga si wanita berjalan menuju ke arahnya. “Ini Mbak Darsih ya?” Darsih menaruh ponselnya. Dahinya berkerut, menelusuri sosok di depannya lekat. Wanita seumurannya. Bodinya ramping dengan kulit kuning. Riasannya tipis-tipis. “Iya. Mbaknya ini siapa yaaa?” “Mbak darsih punya saudara di daerah sek
Pemilik raga kekar itu menempelkan mulut ke telinga Si Appa dan berbisik pelan. “Ini Mas Anton. Ayo pergi dari sini. Bahaya.” Si Appa kembali tersentak dan menahan nafas. Masih dengan sikap waspada dan tatapan nanar, Si Appa menoleh ke belakang dan mendongakkan kepalanya. Sesaat kemudian bibirnya tersenyum. Lega. Anton kemudian mengantar pulang Si Appa lewat belakang. Menerobos tanaman labu dan kebun jeruk. Karena di depan rumah Malika, Si Jabrik sudah mengintai dan menunggu kemunculan Si Appa. Rumah Si Appa terlihat lengang. Ya, Mbak Fatma sedang mengantar suaminya berobat ke dukun sangkal putung sejak beberapa hari lalu. Anton tidak mau terjadi apa-apa dengan Si Appa. Meskipun jago silat, namun ia hanyalah gadis cilik yang masih banyak kelemahan dan kekurangannya. Kurang gesit, kurang cermat, kurang waspada dan lainnya. Anton menasehati bocah cilik itu panjang lebar. Si Appa sendiri masih terlihat shock dengan peristiwa barusan. Wajahnya masih pucat. Ber
“Mariooo... kamu di dalam yaaa?”Mario terlonjak kaget mendengar lengkingan kakaknya dari luar. Matanya yang baru saja terpejam seketika membuka penuh. “Heh perempuan. Sukanya bikin kaget,” sungut Mario menekam dadanya yang berdebar saking kagetnya. Ia bangun dan duduk bersila memandangi pintu. Mukanya sedikit manyun karena terganggu tidurnya. “Iya Mbaakkk... Buka saja, nggak dikunci.”CEKLEK. Malika muncul dengan wajah segar dan rambut basah usai keramas. Wajah manisnya dipoles bedak dan gincu tipis-tipis. Bajunya sudah diganti dengan gaun kesayangan... daster ala payung. “Maaf kalau ngganggu tidurmu. Tapi ini sudah sore. Tidur sore tidak baik buat kesehatan,” ujar Malika enteng, melewati ranjang menuju jendela dan menyibak sedikit kordennya. Mario hanya nyengir. “Emmm... haruuummm.” Hidung Mario menyesap aroma wangi dan segar dari sampo. Melusuri sekujur tubuh kakaknya yang menyamping. "Eh iya, aku mau jalan-jalan dulu. Besok pulang pagi naik pesawat. L