Cukup lama Kiana menulis kebutuhan Jona di secarik kertas itu. Hingga akhirnya ia menyerahkan kertas itu pada Joan.
"Ini semua masih kebutuhan penting, jadi jangan ada yang terlupakan,"tegas Kiana dengan nada ketus, mengambil kembali Jona dari dekapan lelaki bertubuh kekar itu."Apa seorang bayi memakai benda sebanyak ini, Kiana?" Joan terkejut melihat list barang-barang yang harus ia beli, ada sekitar 11 barang yang harus segera ia dapatkan.List belanja bayi Jona : Popok Shampo & sabun bayi Baby oil Bedak Set Baju bayi Parfum bayi Selimut & handuk Kaos kaki & sarung tangan Botol susu Susu bayi Kasur bayiJoan hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya, dimana ia mendapatkan semua barang-barang itu? Hanya satu tempat yang terlintas dalam pikirannya yaitu mall."Kiana, dimana aku mendapatkan semua benda ini?" Joan lalu berjongkok di depan Kiana, menatap gadis itu keheranan."Di swalayan besar ada kok, tanya aja sama penjaga tokonya," jelas Kiana lalu menyingkirkan tangan Joan dari pahanya."Tuh kan, kamunya lama. Jona jadi nangis! Udah sana, jangan pulang kalo gak bawa semua barang itu," Kiana mendorong tubuh Joan keluar rumah dengan kasar, menendang lelaki tampan itu dari rumahnya sendiri. Bruk!"Bukannya ini rumahku? aku yang terlalu lemah atau memang tenaga Kiana yang terlalu kuat hingga membuat ku tersungkur ke tanah seperti ini?" Joan terkejut dengan kekuatan Kiana, bisa-bisanya gadis itu mengusirnya seperti seekor anjing liar.Dari balik pintu sebenarnya Kiana ingin tertawa keras, namun berusaha ia tahan dengan satu tangannya.Joan seperti seorang pria yang baru saja di usir istrinya karena kedapatan selingkuh, lelaki itu sedikit trauma dengan perilaku baru Kiana yang cukup menyeramkan baginya."Memang benar, aku dan Kiana sepertinya tak cocok menjalin hubungan lebih dari sahabat. Bisa rusak gendang telingaku mendengar omelannya setiap hari," gerutu Joan berjalan menuju garasi untuk mengambil mobil sportnya."Astaga … aku lupa mengambil kuncinya," Joan menggerutu saat mendapati saku celana jeans-nya hanya berisi dompet. Ia lalu berjalan kembali menuju pintu depan dengan wajah lesu."Kiana … tolong buka pintunya sebentar saja, aku ingin mengambil kunci mobil," pinta Joan pada pintu tertutup yang ada di depannya.lama Kiana tak menghiraukan ucapan Joan, entah mungkin gadis itu sedang sibuk mengurus Jona atau sengaja tak menghiraukan ucapan pria tampan itu."Kiana, ayolah … bukannya aku harus segera membeli kebutuhan Jona?" Joan kini bersandar di depan pintu, merosot lalu duduk bersila menunggu Kiana memberinya kunci mobil.Click!Kiana hanya memberi sedikit celah saat membuka pintu, yang penting tangan kurusnya sudah keluar. Ia lalu melemparkan kunci mobil Joan ke sembarang arah."Ya ampun, kasar sekali …," joan lalu berdiri dari posisinya, berjalan menuju arah kunci mobilnya yang tergeletak di tanah."Apa semua gadis sekejam itu?" Gerutu Joan, Tiba-tiba bulu kuduk nya merinding.Mobilnya melaju kencang menuju jalan, tampaknya lelaki tampan itu cukup kesal dengan sikap Kiana.Sementara itu Kiana tengah sibuk melepas pakaian Jona, mencuci sedikit tubuh bayi itu lalu menyelimuti nya dengan handuk baru dari lemari Joan."Jona cantik, tunggu kak Joan ya, " Kiana lalu beralih mengambil handphonenya, ternyata ada sekitar 5 panggilan tak terjawab."Astaga mama! Aduh, habis aku di marahi," Kiana menepuk jidatnya, Lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur tepat di samping jona.Kiana lalu berbalik menatap wajah bayi mungil itu, namun tiba-tiba saja tangan kecilnya mengusap lembut pipi Kiana."Aku tak akan bersedih, tenang saja, " Kiana lalu mencium pipi jona lembut, memeluk tubuh mungil jona dengan erat.Di lain tempat kini Joan sedang kewalahan mencari setiap barang yang tertulis di kertas itu."Permisi, popok ada di sebelah mana?" tanya Joan pada salah satu penjaga di swalayan itu."Bapak lurus ke depan aja, terus belok kiri.""Baik, terimakasih, " Joan pun melanjutkan langkahnya, mengikuti arahan dari penjaga toko itu.Saat sudah sampai, Tepat di depannya ada rak besar berisi berbagai merek dan ukuran popok bayi, ia kembali kebingungan. Itu semua terlihat sama di matanya."Karena wajah bayi ini mirip dengan jona, aku akan mengambil semuanya," Joan dengan santai memasukkan beberapa popok yang menurutnya cocok untuk jona kedalam troli belanjaannya.Lelaki itu tidak melihat ukuran dan harga. maklumlah, uang jajan Joan sekitar 50 juta setiap bulannya dan itu belum termasuk uang semester.Penjaga yang ada di sana pun cukup terkejut melihat kelakuan gila Joan, troli belanjaannya sudah penuh dalam sekejap saja."Untuk perlengkapan bayi yang lainnya ada di mana ya?" Joan kembali bertanya pada penjaga itu, namun kali ini bukan hanya memberitahu saja penjaga itu menuntun Joan dengan senang hati."Anak pertama ya, Pak?" tanyanya menatap Joan yang sedari tadi terus menatap ponselnya karena membalas pesan dari Kiana."bukan!" jawab Joan dengan nada ketus."Anak kedua dari istri ketiga?" tanyanya sekali lagi kini membuat Joan melongo mendengarnya."Saya ini belum menikah Pak, tolong beritahu saja di mana benda itu berada," pekik Joan dengan wajah kusut."Untuk sabun dan shampoo kami sarankan mengambil paketannya Pak, didalamnya sudah ada parfum dan teman-temannya,"saran penjaga itu dengan wajah sumringah."Baik, saya mau ambil 5 paket," sekali lagi jawaban Joan tetap sama, kalimat yang dilontarkan lelaki itu terdengar sangat santai."5 paket pak!?" penjaga itu terkejut mendengar ucapan Joan, menatap lelaki itu tak percaya." iya! Banyak tanya bapak ini, kalo saya kesal gak saya larisin nih toko bapak," gerutu Joan dengan nada ketus."Iya, iya! Bapak mau di tunjukkan apa lagi? Kasur? Baju?" tawar pria itu dengan semangat."Ini kertasnya, bapak aja yang cari. Saya capek, saya tunggu barang-barangnya di kasir, " Joan menyerahkan kertas itu lalu berjalan dengan santai menuju kasir.Sekitar 20 menit berlalu, penjaga itu akhirnya datang membawa 3 troli di depan Joan."Ini semua barangnya, Pak? Gimana, ada yang kurang?" celetuk penjaga itu membuat Joan menoleh sekejap."Sepertinya sudah cukup, langsung hitung saja. Jangan lama!" pinta Joan.Setelah kurang lebih 10 menit semua barang itupun sudah di hitung dan totalnya mencapai 10juta, sungguh jumlah yang sangat fantastis hanya untuk sebuah perlengkapan bayi baru lahir."Oh iya, tolong barang-barangnya bawa ke mobil hitam yang ada di depan," pinta Joan, mendengar itu mereka pun dengan serentak mengarahkan pandangan pada mobil sport yang terparkir di depan.Joan lalu berdiri mengambil kartu ATM dari dompetnya setelah itu mengeseknya lalu keluar tanpa rasa berdosa.Setelah semua barang itu di masukkan ke dalam bagasi mobil Joan lelaki itupun ingin segera pergi karena sejak tadi sudah di telpon oleh Kiana."Oh iya, Cicilan mobilnya tiap bulan berapa. Pak? saya juga mau nyicil, hehe," tanya penjaga itu menahan pintu mobil Joan."Mau tau banget atau mau kamu miskin?" Joan dengan nada ketus menepis tangan penjaga itu dengan perlahan lalu tersenyum paksa."permisi, saya mau pulang.""jadi ini cicilannya berapa perbulan, ya? saya jadi bingung," penjaga itu terdiam cukup lama, mencerna kata-kata Joan apa lelaki tampan itu menyelipkan sebuah nominal uang?Mobil Joan melaju kencang kembali kerumah, mendapati jalan yang cukup sepi karena hari minggu jarang yang berlalu lalang tidak seperti hari-hari kerja biasanya."Kiana, aku pulang membawa barang-barang yang kau suruh. Ayo cepat buka pintunya," pinta Joan dengan lembut.Cukup Lama Joan berdiri di depan pintu, namun tidak ada balasan dari suaranya."Apa dia tuli? Kiana! Tolong buka pintunya," Joan berteriak sekuat tenaga berharap Kiana mendengarnya dari dalam. Sebenarnya gadis itu ada dimana?Joan pun mencoba menelpon Kiana berkali-kali namun sama saja, hasilnya tetap zonk."Astagaa … aku tak percaya mempunyai sahabat seperti Kiana," Joan kembali memutar otak berusaha berpikir bagaiman caranya ia masuk kedalam rumah."Pintu belakang! Aku harap pintu itu tak di kunci," Joan segera berlari ke arah samping rumah untuk mengecek apa pintu halaman belakang terbuka atau tidak.Click!"Akhirnya! Dimana gadis itu, akan kuberi pelajaran saat menemukannya," Joan dengan kesal berlari menuju ke dalam rumah.Joan memeriksa tiap ruangan yang ada di rumah besar itu, saat ia membuka pintu kamarnya. Kiana ternyata sedang tertidur di samping Jona, masih memeluk bayi itu, Mereka seperti ibu dan anak. "Pantas saja suaraku tak di dengar, rupanya tertidur," ujar Joan dengan nada ketus perlahan mendekati mereka berdua. Cukup lama Joan menatap keduanya dengan intens, lalu beralih ikut berbaring di samping Jona. "Apa ini gambaran ketika kita menikah, Kiana?" Joan lalu membalikkan badannya menatap Kiana yang tertidur seperti putri salju. Tak ingin membuang- buang waktu, Joan lalu mengambil ponselnya beralih memotret mereka berdua bak keluarga cemara. "Kau sedang apa, Joan? Baru pulang?" tanya Kiana tiba-tiba terbangun dari tidurnya, membuat Joan terkejut. "Tanya saja pada rumah ini, untung saja pintu belakang tak terkunci. Apa Jona rewel?" Joan dengan nada ketus, sedikit mengoceh. "maaf semalam aku begadang, Jona anak yang pintar. Dia tidak rewel sama sekali," ujar Kiana sembari mengucek- ngucek
"Matanya kenapa lihat aku kayak gitu? Biasa aja, jangan pakai perasaan natapnya!" Kiana menyadarkan Joan yang melamun. Pandangan lelaki tampan itu tiba-tiba sayu, entah apa yang baru saja terlintas di dalam pikirannya."Ah, ti-tidak aku hanya … berpikir apa Jona akan bahagia di bawah asuhan ku?" Joan membuat Kiana kebingungan, kalimat yang di lontarkan lelaki tampan itu membuat pikirannya buntu sejenak."Maksudmu apa? Jona pasti akan bahagia, dia di rawat oleh lelaki tampan dengan bergelimang harta,"Kiana dengan jawaban simple yang terlintas dalam benaknya."Bagaimana bisa pria dengan masa kecil yang buruk ingin membangun masa kecil yang indah untuk seorang anak perempuan, Kiana …?"suara lelaki tampan itu merendah, matanya berkaca-kaca. dadanya terasa sesak menahan tangis, Ia kini Hanya bisa tertunduk dengan bibir gemetar.Mendengar itu Kiana langsung memeluk Joan, ingin membiarkan lelaki itu menangis dalam dekapannya.Kiana tahu, Joan tidak akan pernah mau menangis di depan seorang w
"Astaga Joan, bisa-bisanya kau berharap Kiana mengucapkan kalimat seperti itu padamu,"batin Joan merasa bodoh telah menghayalkan hal itu, sahabat tetaplah sahabat bagi gadis itu.Kiana segera melajukan motornya, meninggalkan Joan dengan bayi kecil yang ada di dalam dekapan pria bertubuh kekar itu."Ayo Jona, kita masuk. Panas ya?" Joan menggendong jona kembali ke dalam rumah, mendapati rumahnya yang cukup berantakan."Jona, sepertinya bunda Kiana lupa memandikanmu ya? Tidak apa-apa, kamu mandi saat sore saja ya?" Joan menatap wajah mungil Jona dengan gemas, ia beralih mencium kening Jona berulang kali saking gemasnya ia pada tubuh kecil bayi itu."Rumah kita berantakan sekali ya? Papa akan menelfon jasa pembersih, tunggu di kamar sebentar ya," Joan membawa tubuh Jona ke dalam kamarnya, membaringkan tubuh mungil itu ke atas tempat tidur.Baru saja ingin menelfon jasa pembersih, tiba-tiba sebuah panggilan telfon masuk."Ayah? Semoga bukan hal buruk yang akan terjadi,"Joan mengangkat telf
Ia lalu menarik nafas dalam-dalam beralih menatap mata Kiana dengan serius, membuat gadis itu tambah penasaran."Iya, waktu kamu umur 10 tahun papa sempat lari dengan selingkuhannya ke Singapura,"jelas Dania membuat Kiana semakin mendekatkan diri pada wanita paruh baya itu."Lalu? Bagaimana dengan kita?"tanya Kiana menatap Dania dengan serius juga."Mama sempat pulang kerumah orang tua mama, tapi kakek kamu itu kekeh tidak mau mama pulang tanpa bawa hak mama dan hak kamu," Dania lalu mengambil segelas air, meneguknya perlahan-lahan."Hak? Hak apa?" Tanya Kiana, ia masih belum mengerti semuanya."Ya harta, kakek tidak mau mama cerai sama papa dengan ninggalin papa tetap bahagia tanpa rasa bersalah,"Dania kini duduk termenung untuk sejenak."Jadi mama nuntut?"tanya Kiana."Iya, mama nuntut agar saham perusahaan sebagian besar jatuh ke tangan kamu sebagai pewaris tunggal kelak. Mama gak mau papa nikah lagi terus punya anak dan anak pelakor itu yang akan warisin saham perusahaan," Dania me
"Arggh, pikiran bodoh apa ini? Tidak mungkin aku menyukai lelaki gila seperti joan! Tidak Kiana, jangan pikirkan itu lagi! Jangan! Bisa gila aku,"batin Kiana sembari memukul-mukul tepi kasurnya, bayangan kegilaan Joan mulai berenang dalam pikirannya."Kiana? Apa sudah selesai?" Suara Dania terdengar dari luar, sepertinya wanita paruh baya itu berjalan menuju kamar Kiana."Iya, ma. Sebentar lagi," Kiana segera menuju ruang gantinya, ia memilih memakai baju dan celana panjang yang longgar agar tidak ribet saat mengasuh Jona."Tumben sekali kamu memakai baju longgar, biasanya memakai croptop dan rok pendek ala Korea," celetuk Dania yang sudah berada di depan pintu, memandang Kiana dari bawah sampai atas."Memangnya kenapa, ma? Dari pada bajunya tidak terpakai, jadi Kiana pakai saja. sayang papa sudah beli jauh-jauh ke Australia,"tepis Kiana sembari mengambil beberapa pakaiannya untuk ia bawa ke rumah Joan."Kalau kamu menginap, mama sama siapa? Sendirian?"Dania memandang Kiana. Dengan wa
"Aku, kan?"tanya Kiana penuh percaya diri."Salah sayang, ayo coba tebak lagi,"goda Joan dengan senyum smirknya."Bunda mu?"tanya Kiana sekali lagi."Ibu mu, aku berharap Jona tumbuh seperti ibumu yang kuat dan penuh perhatian,"ujar Joan membuat Kiana mengerutkan keningnya, mengapa harus seperti Dania?"Mama? Tapi bunda kamu juga baik hati, mereka berdua sama. Dua wanita yang hebat,"celetuk Kiana."Tapi ibumu lebih hebat,"tegas Joan membuat Kiana lagi-lagi mengerutkan keningnya menatap wajah datar lelaki tampan itu."Joan … apa sekarang kau membenci bunda mu?"ujar Kiana sembari mengulurkan tangan kirinya pada joan agar diberi sabun mandi.Joan hanya diam, raut wajahnya berubah datar. Memberikan benda yang di minta Kiana dengan perlahan, tak berani menatap gadis itu."Joan, tatap aku Sekarang. aku tahu, pasti berat. kan? Aku juga seperti itu pada papa,"ucapan Kiana membuat Joan mendongak."Kau membenci ATM berjalan milikmu? Hebat sekali,"celetuk Joan dengan tawa di akhir kalimatnya."K
"Yuhuy, Jona sudah wangi … Jona sudah cantik ya? Iya kan? Ututu … imutnya," Kiana gemas sendiri melihat Jona, tangannya gatal ingin menciuminya."Sekarang buatkan aku, cepat pelayan!" Ucap Joan dengan tawa terbahak-bahak di akhir kalimatnya."Baik tuan, tunggu sebentar. Karena rumah tuan yang sangat raksasa ini, tidak memiliki bahan makanan!" Ucap Kiana setengah tersenyum."Jadi kamu keluar lagi?"tanya Joan dengan mata melotot, rasanya tak sanggup lagi ia di tinggal. Terkadang Jona rewel dan tak mau berhenti menangis dalam dekapannya. "Aku sudah kapok menyuruhmu berbelanja, bisa-bisa kau membawa pulang semua isi minimarket," jawab Kiana ketus."Dadah Jona … aku pulang,"Kiana ingin membuat Joan takut dengan kalimatnya."Jangan seperti itu Kiana … kasihan Jona, apa kau Setega itu?" Joan dengan mata berbinarnya."Kelakuanmu terkadang alay, menakutkan dan tentunya gila ya, Joan? Apa kau berkelakuan seperti ini pada semua wanita?""Wanita yang mana? Hanya kau wanitaku," ucap Joan dengan s
"Bagiamana kalau aku membelikan semua merek tas?! Dior? LV? Hermes? Gucci? Prada? Tapi kurasa itu kurang, mungkin sebuah mobil baru?" Joan menggigit bibir bawahnya, mencoba memikirkan hal-hal yang lebih gila lagi."Apa sebuah tanah seluas 1 hektar? Tapi tanah untuk apa? Kurasa itu tak akan berharga bagi Kiana," Joan lalu melipat kedua tangannya di dada, berusaha mencari sesuatu yang mungkin lebih bermakna sebagai tanda permintaan maaf.Di sisi lain, Kiana juga memikirkan Joan. Lelaki itu memang tak salah apa-apa, ia hanya terlalu kesepian selama ini.Karena hal itu membuat Kiana tak fokus memperhatikan penjelasan materi dari dosennya."Kiana? Kamu melamun nak?" Tanya pak dosen membuat Kiana terlonjak."Iya pak? Maaf saya kurang enak badan," tepis Kiana dengan setengah senyum."Ya sudah, jangan di ulangi lagi. Takut kesambet,"ujar pak dosen dengan logat Jawa yang medok.Kiana hanya bisa mengangguk, masih memasang senyum tipisnya. Mencoba untuk fokus, dan membuang pikirannya tentang Joa
"Kami hanya orang desa yang terjebak oleh kemiskinan, anak saya terpaksa membuang putri kecilnya karena tak mampu menerima omongan para tetangga saat pulang ke kampung halaman tanpa membawa suami," nenek tua itu membuat suasana hening.Suaranya terdengar gemetar, bagai penuh tekanan batin. Pandangannya benar-benar meminta untuk di kasihani dan diberi kesempatan."Anak gadis saya di tipu dan di ambil begitu saja keperawanannya tanpa pertanggung jawaban, dan saya yang miskin ini tak mampu membantu anak saya keluar dari masalah yang telah ia tuai sendiri," sambungnya, kini tampak matanya berkaca-kaca saat menatap Hendra.Tatapan mata lelaki itu tampak sendu, wajahnya yang galak tampak mengharu mendengar curhatan isi hati nenek tua itu."Kami orang-orang miskin hanya bisa tertunduk bisu di depan orang-orang kaya yang berkuasa seperti kalian, saya malu menampakkan diri ke depan anda dengan gelar sebagai ibu dari seorang gadis bernama Melati yang dengan kejamnya membuang putri kecilnya send
"Ayah ingin orang bodoh yang memimpin perusahaan besar itu?" Ucap Joan dengan nada ketus, melayangkan tatapan dingin kearah Hendra.ucapan Hendra malah terasa menghardik dirinya, lelaki tampan itu tak ingin memimpin sebuah perusahaan dengan otak kosong, ia tak ingin malah tangan kanannya nanti yang lebih tahu tentang perusahaan."Kau sudah layak Joan, tidak kau lihat puluhan pialamu yang terpajang di ruang prestasi? Itu sudah cukup membuat ayah bangga kau dalam dunia pendidikan," tegas Hendra dengan penekanan."sekarang ayah ingin kau mengukir kemampuanku dalam dunia bisnis, hanya kamu yang bisa memimpin. ayah tidak bisa mempercayai orang lain selain putra ayah sendiri," sambungnya dengan salah satu tangan mengelus lembut punggung Joan."Ayah tidak bisa hanya mengambil satu pandangan saja, setiap orang berhak memilih," Joan menimpal dengan nada ketus sama menekannya seperti Hendra."Lagi pula itu hanyalah piala dalam bidang olahraga.""Namun setiap orang tua tak ada yang mau anaknya m
"Anak ini gila!? Banyak sekali pembalut yang ia beli, obat pereda? Untukku?" Kiana memandangi beberapa kotak obat pereda nyeri untuk wanita menstruasi, gadis itu cukup terkejut Joan membeli itu untuknya."Kenapa dia begitu peka akhir-akhir ini? Apa ada yang salah?"Kiana bergumam sendiri, mematung masih menatap kotak obat itu merasa tersipu malu sekaligus keheranan.Memang akhir-akhir ini Joan terlihat seperti suami siap siaga, apa ia sedang berlatih sebelum mendapatkan gelar itu?"Kiana … hey … apa semua yang ku beli benar? Buka pintunya," suara Joan dari luar terdengar seperti sedang berbisik, lelaki tampan itu menempelkan mulutnya di celah pintu agar Kiana dapat mendengarnya.malu rasanya jika Hendra dan Vera melihat kebucinannya pada Kiana, rasanya pasti akan terasa canggung."Ya, ada apa?" Kiana segera mendekat ke arah pintu, ia tak langsung membukakan pintu untuk lelaki tampan itu karena takut kewarasannya kembali hilang.tahu sendiri Joan kalau sudah tak bersama Jona atau Kiana
"Pak, ini semua barang permintaan anda," pegawai lelaki itu muncul dengan troli yang sudah full, melayangkan senyuman bahagia ke arah Joan.Joan sudah ia tandai sebagai pembeli VIP, lelaki tampan itu jika berbelanja sendirian selalu menghabiskan jutaan rupiah, entah memang ia bodoh atau tak tahu hidup di dunia dengan baik."Oh, sudah? Selamat tinggal, semangat bekerja Pak wartawan," Joan berlenggang meninggalkan kumpulan wartawan itu, tak lagi menjawab pertanyaan yang lebih dulu mereka lontarkan.padahal dirinyanya yang wartawan itu pusingkan, sudah beberapa kali mereka mencoba masuk ke dalam komplek perumahan lelaki tampan itu namun sudah di blokir untuk kedamaian."Wah, saya baru kali Ini melihat seorang lelaki membeli pembalut wanita sebanyak itu ….""Eh, tunggu! Bukannya dia bujangan yang baru saja mengadopsi seorang anak? Apa dia ingin mencari istri kedua dan meninggalkan anak dan istri pertamanya? Tidak heran, gayanya saja seperti itu. Padahal di balik maskernya terdapat wajah y
"Wah, hidup orang-orang berada nikmat sekali ya, semua orang yang ada di dunia ini bisa menjadi pesuruhnya," pria itu mematung sesaat memandangi punggung Joan yang mulai menjauh, ia melamun membayangkan sedang berada di posisi lelaki tampan itu.siapa yang tidak ingin hidup di kelilingi oleh harta dan di kejar-kejar oleh uang? sekali menjadi model saja uang sudah mengalir deras ke dalam black card-nya."Bukan nikmat lagi, sudah di atas level nikmat. Tapi di lihat-lihat wajahnya tak asing, seperti sering di lihat namun siapa?" Wanita itu kembali menimpal seraya tersenyum tipis ikut memandangi postur tubuh Joan yang benar-benar kriteria sejuta umat wanita."Hm, biasalah orang kaya memang begitu, vibesnya semuanya hampir sama. Jangan lupakan kata-kata singkatnya yang menusuk hingga ke ginjal," ucap pria itu dengan helaan nafas panjang, menggeleng pelan merasa posisi Joan adalah langit cerah yang sulit tergapai.semua orang pasti akan bermimpi tampil menjadi orang yang di hormati seperti
"Lihatlah ayah, bayi ini lucu sekali," bagai terhipnotis, Vera langsung mengelus lembut kepala Joan dengan haru. Tampak sangat excited ingin menggendong bayi kecil itu, raut wajahnya tampak begitu bahagia melihat keberadaan Jona dalam dekapan Kiana.."Dimana Joan? Anak itu tak ada lelahnya membuat saya pusing!" Berbeda dengan respon Vera, Hendra malah tampak sangat mendidih. ia sangat tak Abar bertemu dengan putra semata wayangnya penerus perusahaan besar keluarga. Kemarahannya tak dapat di redam oleh apapun, sepertinya kali ini ia benar-benar murka."Silahkan masuk kedalam, beberapa hari ini banyak wartawan yang meliput di sekitar sini," Kiana mempersilahkan keduanya untuk masuk, takut jika tiba-tiba ada wartawan yang malah menyorot dari sudut pandang yang berbeda.Vera tampak terkejut menatap tiap sudut rumah itu."terawat ya, bunda pikir akan jadi rumah angker atau gudang. Sudah berapa hari kamu menginap di sini?""Sudah … 2 Minggu lebih mungkin, Kiana tidak ingat," ucap Kiana deng
"Saya tahu kamu mulai tergila-gila dengan ketampanan saya, tapi untuk saat ini kita harus serius, okey? Kamu bisa paham, kan?" Alen berusaha menahan rasa malunya karena tersipu oleh ucapan gadis itu."Baru sedikit bumbu centil sudah terpancing," gerutu Alexa, padahal ia sendirilah yang terus memancing. Mengapa jadi kesal sendiri dengan respon Alen?"Baiklah, jelaskan semuanya dengan sejelas-jelas mungkin. Aku akan mendengarkannya, sayang …," gadis ini memang gila, jika saja Alen menggubrisnya dengan serius mana berani ia berucap demikian.Gadis itu tidak tahu saja seobsesi apa Alen pada tubuh seorang wanita, terkhusus dengan hasratnya pada Kiana."Kita akan memata-matai keduanya dari jarak jauh, kita mendekat pada mereka hanya untuk mengambil gambar yang mungkin bisa menjadi masalah," Alen kembali menekankan, mengambil keputusan sesuka hati. ya, kita tahu, dialah yang berkuasa di sana."Hm, terus …?" Alexa semakin memancing, memasang senyuman manis bak seorang istri yang menunggu untu
"Yah! Untuk hal itu akan segera kita lakukan, saya hanya perlu membujuk anak gadis saya untuk bersiap-siap menjadi seorang istri," ucap Rifky dengan senyum getir, ia benar-benar takut mengucapkan kata yang mungkin menyinggung hati lelaki yang ada di hadapannya.kekuasaan lelaki tampan itu sungguh melambung jauh dari Rifky.Rifky berperilaku seolah sangat akrab dengan lelaki tampan itu, padahal harga dirinya tengah di pertaruhkan. Dania sama sekali tidak mengetahui jika suaminya dalam tindasan pemaksaan karena hutang piutang yang berakar.Ya! Hutang, Rifky sempat berhutang pada perusahaan lelaki itu dengan jumlah yang sangat besar untuk menutupi kerugian yang membuat perusahaannya hampir bangkrut.selama ini ia tak pernah bercerita Lika liku perusahaan mereka pada kedua wanita yang sangat ia cintai, betapa kecewanya Dania jika tahu perusahaan turun temurun milik kedua orang tuanya yang di gabung oleh perusahaan Rifky jatuh bangkrut begitu saja."Ingat! Saya tidak akan tinggal diam jika
Joan segera berlari kecil menuju Kiana yang tampak sudah keberatan menggendong Jona. gadis itu sudah seperti seorang ibu muda.keduanya mendapati pintu dalam keadaan terkunci, dalam pikiran mereka harusnya ada Alexa di dalam."Pintunya di kunci? Apa gadis itu sedang tak ada di rumah?" Joan kembali mengambil ponselnya bertujuan untuk menanyakan kunci rumah pada Alexa yang mungkin ada di dalam namun tak tahu keduanya ada di depan pintu.Alexa: Alen, kunci rumah ada di pot sebelah kanan.Pesan lama dari Alexa baru saja di baca oleh Joan, lelaki tampan itu cukup terkejut. Namun di akhir senyum tipis terukir di bibirnya.Kiana menatap Joan dengan heran."Mengapa hanya tersenyum? Apa Alexa ada di dalam?" Joan masih terus menatap layar ponselnya, tatapan matanya tampak serius penuk seksama membaca tiap pesan Alexa.Joan lalu mendongak dengan mata berbinar dan senyum bahagia."Dia sudah pulang."Kiana melongo mendengar ucapan Joan, bibirnya terkatup masih tak paham."Pulang? Pulang ke Australia m