"Arggh, pikiran bodoh apa ini? Tidak mungkin aku menyukai lelaki gila seperti joan! Tidak Kiana, jangan pikirkan itu lagi! Jangan! Bisa gila aku,"batin Kiana sembari memukul-mukul tepi kasurnya, bayangan kegilaan Joan mulai berenang dalam pikirannya.
"Kiana? Apa sudah selesai?" Suara Dania terdengar dari luar, sepertinya wanita paruh baya itu berjalan menuju kamar Kiana."Iya, ma. Sebentar lagi," Kiana segera menuju ruang gantinya, ia memilih memakai baju dan celana panjang yang longgar agar tidak ribet saat mengasuh Jona."Tumben sekali kamu memakai baju longgar, biasanya memakai croptop dan rok pendek ala Korea," celetuk Dania yang sudah berada di depan pintu, memandang Kiana dari bawah sampai atas."Memangnya kenapa, ma? Dari pada bajunya tidak terpakai, jadi Kiana pakai saja. sayang papa sudah beli jauh-jauh ke Australia,"tepis Kiana sembari mengambil beberapa pakaiannya untuk ia bawa ke rumah Joan."Kalau kamu menginap, mama sama siapa? Sendirian?"Dania memandang Kiana. Dengan wajah memelas."Maaf ma, tapi kasian Joan. Atau mama mau Kiana batalkan rencana menginap ini?"Kiana menggigit-gigit jari telunjuknya, ia bingung sekarang harus bagaimana."Mama ikut,"ujar Dania santai dengan raut wajah sumringah."Hah? Ma-mama ikut?"Kiana melongo mendengar ucapan Dania, wanita paruh baya itu bisa marah melihat ada seorang bayi di rumah Joan. Pikiran buruknya pasti muncul."Iya, mama ikut ya? Sekalian jaga kalian biar tidak macam-macam, bahaya!"pekik Dania dengan nada ketus, membuat Kiana hanya bisa menelan ludah mendengarnya."Aduh, gimana ya Kiana ngomongnya. Tapi …," belum sempat Kiana melanjutkan kalimatnya, suara dering ponsel milik Dania berbunyi. Segera wanita paruh baya itu mengangkatnya."Halo jeng? Kenapa?""Liburan ke bali? 2 hari?""Nanti saya kabari lewat W******p, soalnya harus ngomong sama tuan putri dulu.""Kenapa ma? Arisan liburan lagi?"Kiana menatap Dania keheranan, gadis itu penasaran apa yang barusan Dania bicarakan lewat telepon."Iya, mama gak jadi ikut nginep di rumah Joan. Tapi kamu jaga diri baik-baik ya, mama percaya sama Joan. Cuma Kitakan kan gak tau kapan petaka datang," tegas Dania dengan nada ketus menghampiri Kiana."Mama kapan pulangnya?"tanyanya membuat Dania terdiam sejenak. "Mama pulang kayaknya Rabu pagi, soalnya berangkatnya ini paling malam. Ya sudah mama mau siap-siap dulu,"Dania lalu mengelus kepala Kiana setelah itu melangkah keluar dari kamar anak gadisnya itu."Iya ma, Kiana pergi ya. Mama hati-hati,"Kiana segera mengambil tas dan jaketnya, ia tidak ingin di tanya-tanya lagi oleh Dania. Bisa-bisa mulut bawelnya keceplosan mengatakan tentang Jona."Kamu jaga diri, kalo main tau batasan! Oh iya, kue buat Joan jangan lupa kamu ambil di dapur,"pekik Dania, suaranya menggema di rumah besar itu. Membuat Kiana hampir terpeleset karena berlari kesana kemari."Iya ma, Kiana pergi,"Kiana lalu mengambil kotak kue yang ada di dapur, setelah itu segera berlari menuju pintu depan."Pergi lagi non? Di kampus sibuk sekali ya?" Tanya Pak nuga yang sedang mencuci mobil Alphard milik Dania."Lagi nggak ke kampus Pak, kan Minggu. mau nginep kerumah joan," jawab Kiana malu-malu."Oh den Joan yang biasa ke rumah? Hati-hati non bawa motornya, saya antar saja biar cepat," tawar Pak nuga."Gak usah Pak, di jalan macet. Tambah lama kalo naik mobil, kalo naik motor kan bisa nyalip-nyalip kayak pembalap,"Kiana bergaya seperti seorang pembalap di atas motornya, Padahal ekspresi wajahnya terlihat seperti orang yang sedang menahan sakit perut :v"Tumben sekali dia senang akan bertemu dengan Joan? Bukannya mereka seperti tom and Jerry," Dania cukup keheranan dengan sikap Kiana kala itu, tidak biasanya ia sesenang itu ingin bertemu Joan.Kiana segera melajukan motornya, ia memilih melewati jalan tikus agar bisa lebih cepat dan terhindar macet tentunya."Astaga, ini bahkan sudah lewat jam 03.00 sore, tidak apa-apa memandikan Jona sesore ini?"gerutu Kiana.Ia akhirnya sampai di depan rumah Joan, Kiana memarkirkan motornya di halaman setelah itu segera berlari masuk. Ia mendapati Joan sedang duduk di sofa ruang tamu dengan ekspresi cemas."Ma-mana jo-jona?" Kiana ngos-ngosan karena panik, nafasnya tersengal-sengal. Kiana tersadar saat melihat Jona tidak ada di sekitar Joan."Tunggu, kenapa kau meninggalkan Jona sendirian? Apa otakmu sudah berpindah Ke dengkul? Kau menaruh tubuh kecilnya di atas tempat tidurmu yang tinggi?"Kiana menginjak kaki Joan cukup keras membuat lelaki tampan itu meringis kesakitan."Jona baik-baik saja Kiana, dia ada di atas tempat tidur yang terlapis dengan kasurnya setelah itu aku membentenginya dengan 4 guling di setiap sisi. Tadinya aku ingin memandikannya, tapi aku terlalu takut melukainya. aku pikir kau tidak jadi datang karena tak bisa membuat alasan,"Joan menatap Kiana dengan raut wajah memelasnya."Hampir saja rencana kita gagal, bagaimana kalau mama benar-benar ikut untuk menginap? Habislah kita!"pekik Kiana memukul bahu Joan."Apa? Tante Dania juga ingin ikut menginap?" Joan melotot mendengarkan ucapan yang baru saja di lontarkan Kiana."Iya! Untung saja skenario tuhan sempurna, mama ada liburan ke Bali 2 hari ini, Rabu baru pulang," Kiana menghela nafas lega lalu berbalik ingin ke kamar Joan menghampiri Jona."Bicara denganmu memakan waktu, Jona … ayo kita mandi sayang!""Apa kata terakhir itu tak bisa kau pakai juga untuk memanggilku mulai sekarang?" Joan membuat langkah Kiana terhenti, gadis itu berbalik mengerutkan keningnya menatap wajah tampan Joan."Enak saja! Tidak bisa, tidak bisa!""Kau memakai sendal rumah? Apa itu gaya terbarumu, Kiana?" Joan salah fokus saat melihat kaki Kiana, gadis itu memakai sendal rumah bergambar sapi, Tampak sangat lucu."Astagaa … pantas saja saat di jalan orang-orang memperhatikanku, Rupanya karena ini!"Kiana melempar sendalnya ke sembarang arah membuat Joan terkejut."Apa semua wanita sekejam itu jika sedang kesal? Aku sedikit takut, apa nyawaku aman berada di dekatnya?"batin Joan, ia kembali duduk di sofa sembari memijat-mijat pelipisnya."Jona, kakak Joan tidak membuatmu menangis, kan? Dia sedang tidak gila,kan?"Kiana terus saja berbicara di depan Jona, bayi kecil itu bahkan menatap Kiana seperti berusaha mencerna apa yang di katakan gadis itu."Joan! Ayo bantu aku memandikan Jona, ini sudah sangat sore,"pekik Kiana membuat Joan terlonjak dari sofa segera menghampirinya."Kau benar-benar tahu cara merawat bayi,kan? Jangan sampai kau menenggelamkan Tubuh kecil Jona kedalam bathtub!"gerutu Joan dengan ekspresi wajah ragu."Kerja sama antara kita berdua di butuhkan, kau berikan aku sabun dan shampo. Aku yang akan menggosok badannya, kurasa ini tidak akan sulit,"tegas Kiana mulai melepas baju Jona."Aku takut tubuh kecilnya jatuh karena licin, jujur aku meragukanmu,"ujar Joan membuat Kiana langsung menatapnya sinis."Hm, kalau begitu jangan ragukan aku. Semuanya akan baik-baik saja selama kau mengontrol pikiran negatifmu,"celetuk Kiana membuat Joan bungkam.Kiana dan Joan mulai memandikan Jona, gadis itu memang cekatan. Joan hanya bisa menyembunyikan senyumnya melihat sifat keibuan Kiana."Bisahkah kau membelikannya sebuah bak mandi, aku tak terbiasa memandikan bayi tanpa benda itu,"pinta Kiana."Iya, aku akan membelikannya. Dari mana kau tahu cara merawat bayi? Belajar untuk masa depan? Atau ikut kursus merawat bayi?" Tanya Joan membuat Kiana tertawa kecil, mereka bahkan belum lulus kuliah tapi pikiran Joan sudah sangat terlalu jauh kepadanya."Bibi Beka baru saja punya bayi setahun yang lalu, dan aku menyukainya. Jadi setiap pulang kuliah jika ada waktu luang, aku datang berkunjung merawatnya. Sekarang dia sudah tumbuh menjadi anak yang lincah, sangat susah menjaganya,"Kiana kembali terkekeh kecil lalu beralih menatap Joan dalam."Kau siap merawat Jona kecil yang lincah, ayah muda?"Kiana menatap Joan dengan ekspresi menahan tawa, gadis itu membayangkan betapa lelahnya Joan mengurus Jona yang mungkin akan menjadi gadis kecil yang aktif beberapa tahun lagi."Aku selalu siap untuk apapun, mengajar Jona dengan hal-hal yang baik adalah cara agar aku tak kelelahan menjaganya kelak nanti. Dia akan tumbuh menjadi gadis yang penurut dan baik hati seperti …."Joan bergumam di akhir kalimatnya, membuat Kiana penasaran kata apa yang akan di sebutkan Joan selanjutnya."Aku, kan?"tanya Kiana penuh percaya diri."Salah sayang, ayo coba tebak lagi,"goda Joan dengan senyum smirknya."Bunda mu?"tanya Kiana sekali lagi."Ibu mu, aku berharap Jona tumbuh seperti ibumu yang kuat dan penuh perhatian,"ujar Joan membuat Kiana mengerutkan keningnya, mengapa harus seperti Dania?"Mama? Tapi bunda kamu juga baik hati, mereka berdua sama. Dua wanita yang hebat,"celetuk Kiana."Tapi ibumu lebih hebat,"tegas Joan membuat Kiana lagi-lagi mengerutkan keningnya menatap wajah datar lelaki tampan itu."Joan … apa sekarang kau membenci bunda mu?"ujar Kiana sembari mengulurkan tangan kirinya pada joan agar diberi sabun mandi.Joan hanya diam, raut wajahnya berubah datar. Memberikan benda yang di minta Kiana dengan perlahan, tak berani menatap gadis itu."Joan, tatap aku Sekarang. aku tahu, pasti berat. kan? Aku juga seperti itu pada papa,"ucapan Kiana membuat Joan mendongak."Kau membenci ATM berjalan milikmu? Hebat sekali,"celetuk Joan dengan tawa di akhir kalimatnya."K
"Yuhuy, Jona sudah wangi … Jona sudah cantik ya? Iya kan? Ututu … imutnya," Kiana gemas sendiri melihat Jona, tangannya gatal ingin menciuminya."Sekarang buatkan aku, cepat pelayan!" Ucap Joan dengan tawa terbahak-bahak di akhir kalimatnya."Baik tuan, tunggu sebentar. Karena rumah tuan yang sangat raksasa ini, tidak memiliki bahan makanan!" Ucap Kiana setengah tersenyum."Jadi kamu keluar lagi?"tanya Joan dengan mata melotot, rasanya tak sanggup lagi ia di tinggal. Terkadang Jona rewel dan tak mau berhenti menangis dalam dekapannya. "Aku sudah kapok menyuruhmu berbelanja, bisa-bisa kau membawa pulang semua isi minimarket," jawab Kiana ketus."Dadah Jona … aku pulang,"Kiana ingin membuat Joan takut dengan kalimatnya."Jangan seperti itu Kiana … kasihan Jona, apa kau Setega itu?" Joan dengan mata berbinarnya."Kelakuanmu terkadang alay, menakutkan dan tentunya gila ya, Joan? Apa kau berkelakuan seperti ini pada semua wanita?""Wanita yang mana? Hanya kau wanitaku," ucap Joan dengan s
"Bagiamana kalau aku membelikan semua merek tas?! Dior? LV? Hermes? Gucci? Prada? Tapi kurasa itu kurang, mungkin sebuah mobil baru?" Joan menggigit bibir bawahnya, mencoba memikirkan hal-hal yang lebih gila lagi."Apa sebuah tanah seluas 1 hektar? Tapi tanah untuk apa? Kurasa itu tak akan berharga bagi Kiana," Joan lalu melipat kedua tangannya di dada, berusaha mencari sesuatu yang mungkin lebih bermakna sebagai tanda permintaan maaf.Di sisi lain, Kiana juga memikirkan Joan. Lelaki itu memang tak salah apa-apa, ia hanya terlalu kesepian selama ini.Karena hal itu membuat Kiana tak fokus memperhatikan penjelasan materi dari dosennya."Kiana? Kamu melamun nak?" Tanya pak dosen membuat Kiana terlonjak."Iya pak? Maaf saya kurang enak badan," tepis Kiana dengan setengah senyum."Ya sudah, jangan di ulangi lagi. Takut kesambet,"ujar pak dosen dengan logat Jawa yang medok.Kiana hanya bisa mengangguk, masih memasang senyum tipisnya. Mencoba untuk fokus, dan membuang pikirannya tentang Joa
"Bukan begitu! Ini … untuk anak teman mama, mama sibuk. Jadi memintaku untuk berbelanja ini semua," Kiana mengelak dengan membuat cerita lain, meski Jona bukan anak yang lahir dari rahimnya. Ia tidak mau kelak bayi kecil itu akan di olok-olok dan dianggap anak pembawa sial, jadi di buang oleh kedua orangtuanya."Oh, begitu. Aku pikir kau memiliki seorang bayi,"Alen bernafas lega setelah mendengarkan penjelasan dari Kiana."Tidak mungkin! Gila kamu!"pekik Kiana lalu memukul bahu Alen. Ia dan Alen cukup akrab tapi tidak sekarang seperti Joan, Alen hanya sebatas teman dekat."Hati-hati di jalan.""Iya, aku pamit dulu. Kamu juga hati-hati," Kiana berjalan menuju motornya yang terparkir di luar, cukup susah membawa itu semua dengan motor.Sesampainya di depan rumah Joan, Kiana tidak langsung masuk. Ia masih berusaha menyiapkan diri untuk bertemu Joan tanpa rasa canggung."Aku pulang …," sapa Kiana saat sudah berada di ruang tamu, ia mendapati rumah besar itu hening dan sunyi. Mungkin Joan
Cih, pesta apa itu? Ulang tahun anak TK?"jawab Joan, lalu tertawa sombong."Joan, kau juga ak …,"belum sempat Kiana menyelesaikan kalimatnya, Joan langsung menepisnya."Aku tidak akan pergi, kau juga. Kan!?""Aku sudah berjanji untuk datang bersamamu …,"Kiana langsung tertunduk mendapati tatapan tajam kini mengarah kepadanya, tatapan itu seperti menuntut pernyataan tidak padanya.Mendengar itu Joan langsung melepas piring yang ia pengang ke wastafael, ekspresi lelaki tampan itu berubah dingin. Kiana bahkan masih tertunduk tak berani berbicara kembali."Astaga Kiana … mengapa kau mengiyakan ajakannya!? Kau tidak tahu dia itu lelaki yang busuk hati!"teriak Joan di depan wajah Kiana.Tidak ingin membuat Kiana takut, Joan berusaha menahan amarahnya. Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan, setelah itu mengubah tatapan tajamnya agar Kiana kembali menatap matanya."Baiklah, aku dan kamu akan pergi bersama. Kita berdua, dalam satu mobil. Kau tidak boleh pergi dengan or
Joan tambah terkejut mendapati sebuah berita yang mengatakan bahwa keluarganya melakukan sebuah penipuan besar serta melakukan jual beli narkoba dengan beberapa mafia. Di tambah beberapa artikel memuat tentang masa kecil Joan yang kelam dan Kedua orang tuanya di sebut"bajingan kelas kakap" siapa yang tidak marah jika orang tuanya di sebut bajingan?Joan mengepal kuat kedua tangannya, wajahnya memerah serta pembuluh darah yang tampak tegang di lehernya. Ingin sekali rasanya menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya, namun ia urungkan karena tak ingin membuat Kiana terbangun apalagi ketakutan dengan sikapnya yang seperti kerasukan raga iblis."Siapapun orang sialan ini, aku akan mendapatkannya dengan tangan sendiri. dalam keadaan hidup-hidup!"Pagi itu Kiana bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, memasak makanan kesukaan lelaki tampan itu. atas bentuk permintaan maaf sekaligus ucapan terimakasih karena sudah diberikan barang-barang mewah nan mahal.Saat sedang sibuk, tiba-tiba
"kenapa tuhan tidak memberikanku kebahagian itu? Aku sudah cukup bersabar selama ini, apa masih kurang kesabaran ku?" Joan menatap Kiana dengan seringainya, meminta agar di berikan jawaban yang mungkin bisa mengubah pola berpikirnya.Kiana tersenyum miring menatap Joan."Joan, kau memang tidak sadar atau pura-pura tidak sadar!? Kekayaanmu itu kebahagiaan! Banyak orang di luar sana yang mati-matian meminta pada tuhan agar di beri kekayaan lebih seperti kau. Tapi tuhan adil, mereka memang tidak di berikan kebahagiaan lewat harta. Tapi lewat keluarga dan teman-teman.""Kau bisa membeli apa saja hari ini atau besok Dengan sesuka hati, tapi di luar sana bahkan ada orang yang pusing memikirkan bagaimana ia harus makan besok dan seterusnya! Ada orang-orang yang harus menjadi tulang punggung untuk keluarganya, memaksakan diri walau sudah lelah demi menghidupi orang-orang yang ia kasihi dan sayangi,"nafas Kiana tersengal-sengal, dadanya sesak berusaha mengatur nafas. "Apa kau tidak pernah berp
Kiana tambah kesal dengan Joan yang bahkan tidak bersuara sama sekali, dada gadis itu terasa sesak untuk mengambil nafas."Joan! Jawab aku!"Kiana semakin emosi dengan sikap aneh Joan kala itu, apa maksudnya menjawab telfon Kiana tapi tak berbicara apapun. Ingin Membuat gadis itu semakin penasaran dan kesal? "Jo …," belum sempat Kiana berbicara, suara berat Joan menyaut. Suara yang terdengar serak membuat Kiana mematung."Kiana … Jona masuk rumah sakit, dia sekarang berada di ruang IGD. Berhenti meneriaki telingaku, aku lelah," lelaki tampan itu sepertinya benar-benar sangat lelah, seluruh tenaganya habis terkuras. Memikirkan perusahaan keluarganya sudah cukup membuatnya hancur.Deg!Raut wajah Kiana berubah seratus delapan puluh derajat, amarah yang terbakar perlahan memadam. Kini bukan lagi emosi yang menguasai dirinya, tetapi kekhawatiran."Kau di mana? Aku ingin bertemu denganmu …,"pinta Kiana dengan suara lirih."Di rumah sakit Danuarta," jawaban singkat Joan, ia langsung mematik
"Kami hanya orang desa yang terjebak oleh kemiskinan, anak saya terpaksa membuang putri kecilnya karena tak mampu menerima omongan para tetangga saat pulang ke kampung halaman tanpa membawa suami," nenek tua itu membuat suasana hening.Suaranya terdengar gemetar, bagai penuh tekanan batin. Pandangannya benar-benar meminta untuk di kasihani dan diberi kesempatan."Anak gadis saya di tipu dan di ambil begitu saja keperawanannya tanpa pertanggung jawaban, dan saya yang miskin ini tak mampu membantu anak saya keluar dari masalah yang telah ia tuai sendiri," sambungnya, kini tampak matanya berkaca-kaca saat menatap Hendra.Tatapan mata lelaki itu tampak sendu, wajahnya yang galak tampak mengharu mendengar curhatan isi hati nenek tua itu."Kami orang-orang miskin hanya bisa tertunduk bisu di depan orang-orang kaya yang berkuasa seperti kalian, saya malu menampakkan diri ke depan anda dengan gelar sebagai ibu dari seorang gadis bernama Melati yang dengan kejamnya membuang putri kecilnya send
"Ayah ingin orang bodoh yang memimpin perusahaan besar itu?" Ucap Joan dengan nada ketus, melayangkan tatapan dingin kearah Hendra.ucapan Hendra malah terasa menghardik dirinya, lelaki tampan itu tak ingin memimpin sebuah perusahaan dengan otak kosong, ia tak ingin malah tangan kanannya nanti yang lebih tahu tentang perusahaan."Kau sudah layak Joan, tidak kau lihat puluhan pialamu yang terpajang di ruang prestasi? Itu sudah cukup membuat ayah bangga kau dalam dunia pendidikan," tegas Hendra dengan penekanan."sekarang ayah ingin kau mengukir kemampuanku dalam dunia bisnis, hanya kamu yang bisa memimpin. ayah tidak bisa mempercayai orang lain selain putra ayah sendiri," sambungnya dengan salah satu tangan mengelus lembut punggung Joan."Ayah tidak bisa hanya mengambil satu pandangan saja, setiap orang berhak memilih," Joan menimpal dengan nada ketus sama menekannya seperti Hendra."Lagi pula itu hanyalah piala dalam bidang olahraga.""Namun setiap orang tua tak ada yang mau anaknya m
"Anak ini gila!? Banyak sekali pembalut yang ia beli, obat pereda? Untukku?" Kiana memandangi beberapa kotak obat pereda nyeri untuk wanita menstruasi, gadis itu cukup terkejut Joan membeli itu untuknya."Kenapa dia begitu peka akhir-akhir ini? Apa ada yang salah?"Kiana bergumam sendiri, mematung masih menatap kotak obat itu merasa tersipu malu sekaligus keheranan.Memang akhir-akhir ini Joan terlihat seperti suami siap siaga, apa ia sedang berlatih sebelum mendapatkan gelar itu?"Kiana … hey … apa semua yang ku beli benar? Buka pintunya," suara Joan dari luar terdengar seperti sedang berbisik, lelaki tampan itu menempelkan mulutnya di celah pintu agar Kiana dapat mendengarnya.malu rasanya jika Hendra dan Vera melihat kebucinannya pada Kiana, rasanya pasti akan terasa canggung."Ya, ada apa?" Kiana segera mendekat ke arah pintu, ia tak langsung membukakan pintu untuk lelaki tampan itu karena takut kewarasannya kembali hilang.tahu sendiri Joan kalau sudah tak bersama Jona atau Kiana
"Pak, ini semua barang permintaan anda," pegawai lelaki itu muncul dengan troli yang sudah full, melayangkan senyuman bahagia ke arah Joan.Joan sudah ia tandai sebagai pembeli VIP, lelaki tampan itu jika berbelanja sendirian selalu menghabiskan jutaan rupiah, entah memang ia bodoh atau tak tahu hidup di dunia dengan baik."Oh, sudah? Selamat tinggal, semangat bekerja Pak wartawan," Joan berlenggang meninggalkan kumpulan wartawan itu, tak lagi menjawab pertanyaan yang lebih dulu mereka lontarkan.padahal dirinyanya yang wartawan itu pusingkan, sudah beberapa kali mereka mencoba masuk ke dalam komplek perumahan lelaki tampan itu namun sudah di blokir untuk kedamaian."Wah, saya baru kali Ini melihat seorang lelaki membeli pembalut wanita sebanyak itu ….""Eh, tunggu! Bukannya dia bujangan yang baru saja mengadopsi seorang anak? Apa dia ingin mencari istri kedua dan meninggalkan anak dan istri pertamanya? Tidak heran, gayanya saja seperti itu. Padahal di balik maskernya terdapat wajah y
"Wah, hidup orang-orang berada nikmat sekali ya, semua orang yang ada di dunia ini bisa menjadi pesuruhnya," pria itu mematung sesaat memandangi punggung Joan yang mulai menjauh, ia melamun membayangkan sedang berada di posisi lelaki tampan itu.siapa yang tidak ingin hidup di kelilingi oleh harta dan di kejar-kejar oleh uang? sekali menjadi model saja uang sudah mengalir deras ke dalam black card-nya."Bukan nikmat lagi, sudah di atas level nikmat. Tapi di lihat-lihat wajahnya tak asing, seperti sering di lihat namun siapa?" Wanita itu kembali menimpal seraya tersenyum tipis ikut memandangi postur tubuh Joan yang benar-benar kriteria sejuta umat wanita."Hm, biasalah orang kaya memang begitu, vibesnya semuanya hampir sama. Jangan lupakan kata-kata singkatnya yang menusuk hingga ke ginjal," ucap pria itu dengan helaan nafas panjang, menggeleng pelan merasa posisi Joan adalah langit cerah yang sulit tergapai.semua orang pasti akan bermimpi tampil menjadi orang yang di hormati seperti
"Lihatlah ayah, bayi ini lucu sekali," bagai terhipnotis, Vera langsung mengelus lembut kepala Joan dengan haru. Tampak sangat excited ingin menggendong bayi kecil itu, raut wajahnya tampak begitu bahagia melihat keberadaan Jona dalam dekapan Kiana.."Dimana Joan? Anak itu tak ada lelahnya membuat saya pusing!" Berbeda dengan respon Vera, Hendra malah tampak sangat mendidih. ia sangat tak Abar bertemu dengan putra semata wayangnya penerus perusahaan besar keluarga. Kemarahannya tak dapat di redam oleh apapun, sepertinya kali ini ia benar-benar murka."Silahkan masuk kedalam, beberapa hari ini banyak wartawan yang meliput di sekitar sini," Kiana mempersilahkan keduanya untuk masuk, takut jika tiba-tiba ada wartawan yang malah menyorot dari sudut pandang yang berbeda.Vera tampak terkejut menatap tiap sudut rumah itu."terawat ya, bunda pikir akan jadi rumah angker atau gudang. Sudah berapa hari kamu menginap di sini?""Sudah … 2 Minggu lebih mungkin, Kiana tidak ingat," ucap Kiana deng
"Saya tahu kamu mulai tergila-gila dengan ketampanan saya, tapi untuk saat ini kita harus serius, okey? Kamu bisa paham, kan?" Alen berusaha menahan rasa malunya karena tersipu oleh ucapan gadis itu."Baru sedikit bumbu centil sudah terpancing," gerutu Alexa, padahal ia sendirilah yang terus memancing. Mengapa jadi kesal sendiri dengan respon Alen?"Baiklah, jelaskan semuanya dengan sejelas-jelas mungkin. Aku akan mendengarkannya, sayang …," gadis ini memang gila, jika saja Alen menggubrisnya dengan serius mana berani ia berucap demikian.Gadis itu tidak tahu saja seobsesi apa Alen pada tubuh seorang wanita, terkhusus dengan hasratnya pada Kiana."Kita akan memata-matai keduanya dari jarak jauh, kita mendekat pada mereka hanya untuk mengambil gambar yang mungkin bisa menjadi masalah," Alen kembali menekankan, mengambil keputusan sesuka hati. ya, kita tahu, dialah yang berkuasa di sana."Hm, terus …?" Alexa semakin memancing, memasang senyuman manis bak seorang istri yang menunggu untu
"Yah! Untuk hal itu akan segera kita lakukan, saya hanya perlu membujuk anak gadis saya untuk bersiap-siap menjadi seorang istri," ucap Rifky dengan senyum getir, ia benar-benar takut mengucapkan kata yang mungkin menyinggung hati lelaki yang ada di hadapannya.kekuasaan lelaki tampan itu sungguh melambung jauh dari Rifky.Rifky berperilaku seolah sangat akrab dengan lelaki tampan itu, padahal harga dirinya tengah di pertaruhkan. Dania sama sekali tidak mengetahui jika suaminya dalam tindasan pemaksaan karena hutang piutang yang berakar.Ya! Hutang, Rifky sempat berhutang pada perusahaan lelaki itu dengan jumlah yang sangat besar untuk menutupi kerugian yang membuat perusahaannya hampir bangkrut.selama ini ia tak pernah bercerita Lika liku perusahaan mereka pada kedua wanita yang sangat ia cintai, betapa kecewanya Dania jika tahu perusahaan turun temurun milik kedua orang tuanya yang di gabung oleh perusahaan Rifky jatuh bangkrut begitu saja."Ingat! Saya tidak akan tinggal diam jika
Joan segera berlari kecil menuju Kiana yang tampak sudah keberatan menggendong Jona. gadis itu sudah seperti seorang ibu muda.keduanya mendapati pintu dalam keadaan terkunci, dalam pikiran mereka harusnya ada Alexa di dalam."Pintunya di kunci? Apa gadis itu sedang tak ada di rumah?" Joan kembali mengambil ponselnya bertujuan untuk menanyakan kunci rumah pada Alexa yang mungkin ada di dalam namun tak tahu keduanya ada di depan pintu.Alexa: Alen, kunci rumah ada di pot sebelah kanan.Pesan lama dari Alexa baru saja di baca oleh Joan, lelaki tampan itu cukup terkejut. Namun di akhir senyum tipis terukir di bibirnya.Kiana menatap Joan dengan heran."Mengapa hanya tersenyum? Apa Alexa ada di dalam?" Joan masih terus menatap layar ponselnya, tatapan matanya tampak serius penuk seksama membaca tiap pesan Alexa.Joan lalu mendongak dengan mata berbinar dan senyum bahagia."Dia sudah pulang."Kiana melongo mendengar ucapan Joan, bibirnya terkatup masih tak paham."Pulang? Pulang ke Australia m