Joan tersenyum tipis lalu berkata."Melihat senyum bahagia mereka, membuatku juga ikut bahagia.""Ciah! Sahabat aku baik banget,"Kiana tertawa kecil mendengar itu."Nanti makannya pesan lewat aplikasi saja ya? Kamu tidak usah masak," Kiana hanya mengangguk mengiyakan perintah dari Joan sembari memandang keluar jendela.Sesampainya di rumah, Kiana tidak langsung membawa Jona kekamar. Karena kondisi kamar cukup berantakan, jadi Joan yang akan merapihkannya terlebih dahulu."Tunggu di sini dulu ya?"Joan mengelus-elus kepala Kiana lembut setelah itu berjalan menuju kamar Jona."Jangan sakit ya Jona? Kakak jadi sedih lihat kamu,"Kiana mengelus-elus lembut kepala Jona lalu menciumnya, tubuh bayi itu masih terasa hangat. namun sudah cukup membaik dari sebelumnya.Tok, tok, tok…Terdengar suara ketukan pintu, Kiana berpikir itu adalah kurir yang mungkin mengantar pesanan makanan joan.
"Iya, iya, iya! Kiana pulang sekarang!"Kiana segera mengambil jaket dan kunci motornya."Aku ikut, ya?"pinta Joan."Tidak usah, jaga mama dan Jona saja, " ucap kiana ketus."Hiii … kamu pikir mama anak TK kayak kamu? Mama bisa jaga diri, sudah Joan, pergi sana nak,"ucap dania mengelus lembut punggung Joan mendorong pelan tubuh kekar lelaki tampan itu ke arah Kiana."Sebenarnya anak mama siapa? Aku atau Joan?"batin Kiana menatap Dania keheranan dengan sudut mulutnya terangkat tak percaya.Mereka pun berjalan berdampingan menuju halaman rumah."Naik mobil saja, panas."Joan membuka tiga kancing kemejanya sebelum masuk ke dalam mobil, memang sudah menuju waktu senja. Namun entah kenapa matahari masih saja terik."Joan? Ini kita tidak mimpi, kan? Mama beneran lagi jagain Jona, kan?" Kiana menyandarkan tubuhnya ke kursi sembari menutupi kedua wajahnya dengan tangan."Kalau mau tahu ini mimpi atau tidak, coba cium aku! Jika kau merasakannya berarti nyata!" Tantang Joan dengan tatapan mesum
"Tidak, baru saja ada bidadari yang menebarkan senyum kebahagiaan pada orang lain,"ucap Joan lalu tertawa kecil."Ah, itu wajar Joan. Apa kau tidak kasihan melihat tubuh kurus pak nuga yang harus memaksa bekerja sementara anak dan menantunya hanya berdiam diri di rumah! Tak tahu malu,"pekik Kiana dengan nada ketus, lalu mendengus kasar sembari melipat kedua tangannya di dada."Kenapa tidak menyuruh pak nuga untuk tinggal di rumahmu saja? Lagi pula istrinya juga sudah tiada,kan? Anak-anaknya sudah menjadi tanggung jawab para suaminya, bukan pak nuga lagi!"jelas Joan, sama kesalnya seperti Kiana."Masalahnya hati pak nuga terlalu lembut, ia tak tega meninggalkan anak dan cucunya hidup dalam kesengsaraan. Orang tua mana yang mau anak-anaknya menderita tetapi ia hanya diam saja seperti sebuah benda mati?""Aku sekarang mengerti, mengapa banyak orang tua yang mengekang anaknya untuk hal-hal baru, karena ia sudah tau akan seperti apa kedepannya. Tidak ada orang tua yang egois, mereka juga o
"Oh, boleh saja. Di sini juga cukup mencekam jika hanya sendiri.""Kalau begitu di sana saja,"Alen menunjuk toko roti itu, menuntun Kiana dengan memegang punggungnya lembut.Merasa kurang nyaman dengan posisinya dan Alen, Kiana mengambil tangan lelaki tampan itu lalu menaruhnya ke bawah, setelah itu memegang kemeja hitam Alen."Kamu mau genggam tangan saya juga boleh," tawar Alen dengan wajah sumringah."Ti-tidak perlu, begini saja."Alen terus memandang Kiana dengan tatapan kekaguman yang tak bisa ia kendalikan, senyumannya tersebar kemana-mana." Ah, bagaimana cara memilikinya ya tuhan! Saya sungguh mengagumi keindahan ciptaan mu ini!"Alen berteriak dalam batinnya, pikiran tentang keinginan memiliki Kiana membuatnya gila."Alen? Hey …," Kiana melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Alen."Bagaimana caranya?"celetuk Alen membuat Kiana keheranan."Apa?"tanya Kiana mendekatkan wajahnya pada Alen, ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba Alen bertanya di keheningan itu.Deg!Jantung Alen
"Iya! Loh? Jadi tadi itu siapa? Joan mana!?" Dania mulai khawatir, bagaimana pun Joan itu adalah anak sahabatnya. Ia sudah menganggap Joan bagian dari keluarganya juga."Tapi tadi …,"Kiana mematung tak percaya, dadanya terasa berat untuk mengambil nafas. Seharusnya Joan sudah sampai lebih dulu sebelum ia pulang."Kamu bertengkar dengan Joan? Karena apa?"seperti tahu ia dan Joan tengah bertengkar, Dania memang sudah memiliki firasat jika mereka sudah bertengkar hebat."Salah paham ma …,"suara Kiana merendah menatap Dania dengan ekspresi tumpul."Kalau terjadi sesuatu pada Joan, mama gagal jaga anak sahabat mama sendiri," Dania menjatuhkan dirinya ke sofa sembari memijat-mijat pelipisnya."Mama tidur saja ya … biar Kiana yang tunggu Joan pulang, kalau perlu Kiana cari,"tegas Kiana."Kamu mau cari dia tengah malam begini!? Kamu pikir di luar sana tidak bahaya! Kamu malah bikin mama tambah pusing na.""Mama pokoknya tidur saja, Kiana janji Joan pasti pulang,"Kiana memasang senyum tipis ber
"Iyalah! Kasihan dia, masa rezeki di tolak. Bunganya wangi kesukaan ku loh, kenapa Alen bisa tahu ya?"Kiana bergumam berusaha memikirkan bagaimana bisa Alen mengetahui wangi bunga kesukaannya, Joan saja tidak tahu."Karena dia menguntit mu, Kiana,"batin Joan menerka-nerka ingin mengatakan hal itu pada Kiana, gadis itu pasti akan merasa jijik jika tahu kelakuan busuk Alen. Bahkan motor Kiana dan juga mobilnya memiliki sebuah GPS yang Alen pasang berulang kali, dan berulang kali juga Joan melepasnya ketika mendapatkannya. Kenapa Alen juga memasang di mobil Joan, karena ia tahu gadis itu selalu bersama Joan.Mendengar pembicaraan mereka berdua, Dania lalu menatap Joan dengan kening berkerut."Kenapa Joan? Cemburu kamu gak ada yang kasih bunga juga?"ucapan Dania terdengar sangat menohok, bunga adalah hadiah yang hampir setiap hari gadis-gadis di kampus berikan pada Joan. Lelaki tampan itu menganggap semuanya adalah sampah, hadiah menurutnya adalah barang-barang bermerek dan berharga tinggi
"Yah! Dapat, siapa suruh kamunya bodoh Kiana …"Joan tertawa puas mendapati kunci motor Kiana tergeletak di sofa ruang tamu, ia lalu berjalan menuju area kolam renang membuang kunci itu ke dalam kolam dengan bangga."Ups … jatuh, kasihan sekali kunci motor Kiana," Joan memandangi kunci motor Kiana yang perlahan tenggelam ke dasar kolom, Kiana tidak akan bisa mengambil kunci itu. Dia mana bisa berenang."Selesai sudah masalah pagi ini,"Joan kembali ke dalam dengan senyum puas, menunggu Kiana di ruang tamu, ia penasaran dengan reaksi Kiana jika mengetahuinya. pasti gadis itu akan mengamuk."Loh, kenapa kamu nunggu? Aku kan sudah bilang, aku tidak mau berangkat dengan kamu. Joan Hendra Setiawan …"Kiana menggaruk-garuk tekuknya, merasa kesal dengan sikap Joan."Memangnya aku iyakan permintaan kamu? Perasaan tidak,"jawab Joan dengan santai sembari memakai kacamata hitamnya."Arghh, minggir! Aku mau ambil kunci motor,"Ki
Kiana terdiam sesaat lalu menarik nafas dalam-dalam." Aruna itu singkatan dari nama ku dan Arun, laki-laki yang pertama kali kusukai sewaktu SMA dulu,"jawaban Kiana membuat ekspresi Joan berubah datar, ekspresi yang hampir sayu. Joan berusaha menahan kepedihan hatinya. "Arun teman kita yang meninggal karena kangker? Karena apa? apa dia lebih tampan? atau lebih baik dari lelaki manapun yang pernah kamu temui?"Joan kembali melayangkan pertanyaan pada Kiana, menatapnya penuh pertanyaan. Bagaimana bisa gadis itu tetap mencintai sosok lelaki yang bahkan sudah tidak ada di dunia ini. bagaimana bisa perasaanya itu masih ada meski wajah lelaki yang ia sukai sudah tertutupi tanah.senyum mengembang di wajah Kiana, raut wajahnya berubah ceria."Karena dia laki-laki yang kuat dan hebat, aku menyukai senyum dan tawanya, aku menyukai sikapnya yang tak pernah memperlihatkan kalau dia benar-benar sakit. aku menyukai semua tentangnya," perkataan Kiana membuat Joan akhirnya benar-benar bungkam, terliha
"Kami hanya orang desa yang terjebak oleh kemiskinan, anak saya terpaksa membuang putri kecilnya karena tak mampu menerima omongan para tetangga saat pulang ke kampung halaman tanpa membawa suami," nenek tua itu membuat suasana hening.Suaranya terdengar gemetar, bagai penuh tekanan batin. Pandangannya benar-benar meminta untuk di kasihani dan diberi kesempatan."Anak gadis saya di tipu dan di ambil begitu saja keperawanannya tanpa pertanggung jawaban, dan saya yang miskin ini tak mampu membantu anak saya keluar dari masalah yang telah ia tuai sendiri," sambungnya, kini tampak matanya berkaca-kaca saat menatap Hendra.Tatapan mata lelaki itu tampak sendu, wajahnya yang galak tampak mengharu mendengar curhatan isi hati nenek tua itu."Kami orang-orang miskin hanya bisa tertunduk bisu di depan orang-orang kaya yang berkuasa seperti kalian, saya malu menampakkan diri ke depan anda dengan gelar sebagai ibu dari seorang gadis bernama Melati yang dengan kejamnya membuang putri kecilnya send
"Ayah ingin orang bodoh yang memimpin perusahaan besar itu?" Ucap Joan dengan nada ketus, melayangkan tatapan dingin kearah Hendra.ucapan Hendra malah terasa menghardik dirinya, lelaki tampan itu tak ingin memimpin sebuah perusahaan dengan otak kosong, ia tak ingin malah tangan kanannya nanti yang lebih tahu tentang perusahaan."Kau sudah layak Joan, tidak kau lihat puluhan pialamu yang terpajang di ruang prestasi? Itu sudah cukup membuat ayah bangga kau dalam dunia pendidikan," tegas Hendra dengan penekanan."sekarang ayah ingin kau mengukir kemampuanku dalam dunia bisnis, hanya kamu yang bisa memimpin. ayah tidak bisa mempercayai orang lain selain putra ayah sendiri," sambungnya dengan salah satu tangan mengelus lembut punggung Joan."Ayah tidak bisa hanya mengambil satu pandangan saja, setiap orang berhak memilih," Joan menimpal dengan nada ketus sama menekannya seperti Hendra."Lagi pula itu hanyalah piala dalam bidang olahraga.""Namun setiap orang tua tak ada yang mau anaknya m
"Anak ini gila!? Banyak sekali pembalut yang ia beli, obat pereda? Untukku?" Kiana memandangi beberapa kotak obat pereda nyeri untuk wanita menstruasi, gadis itu cukup terkejut Joan membeli itu untuknya."Kenapa dia begitu peka akhir-akhir ini? Apa ada yang salah?"Kiana bergumam sendiri, mematung masih menatap kotak obat itu merasa tersipu malu sekaligus keheranan.Memang akhir-akhir ini Joan terlihat seperti suami siap siaga, apa ia sedang berlatih sebelum mendapatkan gelar itu?"Kiana … hey … apa semua yang ku beli benar? Buka pintunya," suara Joan dari luar terdengar seperti sedang berbisik, lelaki tampan itu menempelkan mulutnya di celah pintu agar Kiana dapat mendengarnya.malu rasanya jika Hendra dan Vera melihat kebucinannya pada Kiana, rasanya pasti akan terasa canggung."Ya, ada apa?" Kiana segera mendekat ke arah pintu, ia tak langsung membukakan pintu untuk lelaki tampan itu karena takut kewarasannya kembali hilang.tahu sendiri Joan kalau sudah tak bersama Jona atau Kiana
"Pak, ini semua barang permintaan anda," pegawai lelaki itu muncul dengan troli yang sudah full, melayangkan senyuman bahagia ke arah Joan.Joan sudah ia tandai sebagai pembeli VIP, lelaki tampan itu jika berbelanja sendirian selalu menghabiskan jutaan rupiah, entah memang ia bodoh atau tak tahu hidup di dunia dengan baik."Oh, sudah? Selamat tinggal, semangat bekerja Pak wartawan," Joan berlenggang meninggalkan kumpulan wartawan itu, tak lagi menjawab pertanyaan yang lebih dulu mereka lontarkan.padahal dirinyanya yang wartawan itu pusingkan, sudah beberapa kali mereka mencoba masuk ke dalam komplek perumahan lelaki tampan itu namun sudah di blokir untuk kedamaian."Wah, saya baru kali Ini melihat seorang lelaki membeli pembalut wanita sebanyak itu ….""Eh, tunggu! Bukannya dia bujangan yang baru saja mengadopsi seorang anak? Apa dia ingin mencari istri kedua dan meninggalkan anak dan istri pertamanya? Tidak heran, gayanya saja seperti itu. Padahal di balik maskernya terdapat wajah y
"Wah, hidup orang-orang berada nikmat sekali ya, semua orang yang ada di dunia ini bisa menjadi pesuruhnya," pria itu mematung sesaat memandangi punggung Joan yang mulai menjauh, ia melamun membayangkan sedang berada di posisi lelaki tampan itu.siapa yang tidak ingin hidup di kelilingi oleh harta dan di kejar-kejar oleh uang? sekali menjadi model saja uang sudah mengalir deras ke dalam black card-nya."Bukan nikmat lagi, sudah di atas level nikmat. Tapi di lihat-lihat wajahnya tak asing, seperti sering di lihat namun siapa?" Wanita itu kembali menimpal seraya tersenyum tipis ikut memandangi postur tubuh Joan yang benar-benar kriteria sejuta umat wanita."Hm, biasalah orang kaya memang begitu, vibesnya semuanya hampir sama. Jangan lupakan kata-kata singkatnya yang menusuk hingga ke ginjal," ucap pria itu dengan helaan nafas panjang, menggeleng pelan merasa posisi Joan adalah langit cerah yang sulit tergapai.semua orang pasti akan bermimpi tampil menjadi orang yang di hormati seperti
"Lihatlah ayah, bayi ini lucu sekali," bagai terhipnotis, Vera langsung mengelus lembut kepala Joan dengan haru. Tampak sangat excited ingin menggendong bayi kecil itu, raut wajahnya tampak begitu bahagia melihat keberadaan Jona dalam dekapan Kiana.."Dimana Joan? Anak itu tak ada lelahnya membuat saya pusing!" Berbeda dengan respon Vera, Hendra malah tampak sangat mendidih. ia sangat tak Abar bertemu dengan putra semata wayangnya penerus perusahaan besar keluarga. Kemarahannya tak dapat di redam oleh apapun, sepertinya kali ini ia benar-benar murka."Silahkan masuk kedalam, beberapa hari ini banyak wartawan yang meliput di sekitar sini," Kiana mempersilahkan keduanya untuk masuk, takut jika tiba-tiba ada wartawan yang malah menyorot dari sudut pandang yang berbeda.Vera tampak terkejut menatap tiap sudut rumah itu."terawat ya, bunda pikir akan jadi rumah angker atau gudang. Sudah berapa hari kamu menginap di sini?""Sudah … 2 Minggu lebih mungkin, Kiana tidak ingat," ucap Kiana deng
"Saya tahu kamu mulai tergila-gila dengan ketampanan saya, tapi untuk saat ini kita harus serius, okey? Kamu bisa paham, kan?" Alen berusaha menahan rasa malunya karena tersipu oleh ucapan gadis itu."Baru sedikit bumbu centil sudah terpancing," gerutu Alexa, padahal ia sendirilah yang terus memancing. Mengapa jadi kesal sendiri dengan respon Alen?"Baiklah, jelaskan semuanya dengan sejelas-jelas mungkin. Aku akan mendengarkannya, sayang …," gadis ini memang gila, jika saja Alen menggubrisnya dengan serius mana berani ia berucap demikian.Gadis itu tidak tahu saja seobsesi apa Alen pada tubuh seorang wanita, terkhusus dengan hasratnya pada Kiana."Kita akan memata-matai keduanya dari jarak jauh, kita mendekat pada mereka hanya untuk mengambil gambar yang mungkin bisa menjadi masalah," Alen kembali menekankan, mengambil keputusan sesuka hati. ya, kita tahu, dialah yang berkuasa di sana."Hm, terus …?" Alexa semakin memancing, memasang senyuman manis bak seorang istri yang menunggu untu
"Yah! Untuk hal itu akan segera kita lakukan, saya hanya perlu membujuk anak gadis saya untuk bersiap-siap menjadi seorang istri," ucap Rifky dengan senyum getir, ia benar-benar takut mengucapkan kata yang mungkin menyinggung hati lelaki yang ada di hadapannya.kekuasaan lelaki tampan itu sungguh melambung jauh dari Rifky.Rifky berperilaku seolah sangat akrab dengan lelaki tampan itu, padahal harga dirinya tengah di pertaruhkan. Dania sama sekali tidak mengetahui jika suaminya dalam tindasan pemaksaan karena hutang piutang yang berakar.Ya! Hutang, Rifky sempat berhutang pada perusahaan lelaki itu dengan jumlah yang sangat besar untuk menutupi kerugian yang membuat perusahaannya hampir bangkrut.selama ini ia tak pernah bercerita Lika liku perusahaan mereka pada kedua wanita yang sangat ia cintai, betapa kecewanya Dania jika tahu perusahaan turun temurun milik kedua orang tuanya yang di gabung oleh perusahaan Rifky jatuh bangkrut begitu saja."Ingat! Saya tidak akan tinggal diam jika
Joan segera berlari kecil menuju Kiana yang tampak sudah keberatan menggendong Jona. gadis itu sudah seperti seorang ibu muda.keduanya mendapati pintu dalam keadaan terkunci, dalam pikiran mereka harusnya ada Alexa di dalam."Pintunya di kunci? Apa gadis itu sedang tak ada di rumah?" Joan kembali mengambil ponselnya bertujuan untuk menanyakan kunci rumah pada Alexa yang mungkin ada di dalam namun tak tahu keduanya ada di depan pintu.Alexa: Alen, kunci rumah ada di pot sebelah kanan.Pesan lama dari Alexa baru saja di baca oleh Joan, lelaki tampan itu cukup terkejut. Namun di akhir senyum tipis terukir di bibirnya.Kiana menatap Joan dengan heran."Mengapa hanya tersenyum? Apa Alexa ada di dalam?" Joan masih terus menatap layar ponselnya, tatapan matanya tampak serius penuk seksama membaca tiap pesan Alexa.Joan lalu mendongak dengan mata berbinar dan senyum bahagia."Dia sudah pulang."Kiana melongo mendengar ucapan Joan, bibirnya terkatup masih tak paham."Pulang? Pulang ke Australia m