"Matanya kenapa lihat aku kayak gitu? Biasa aja, jangan pakai perasaan natapnya!" Kiana menyadarkan Joan yang melamun. Pandangan lelaki tampan itu tiba-tiba sayu, entah apa yang baru saja terlintas di dalam pikirannya.
"Ah, ti-tidak aku hanya … berpikir apa Jona akan bahagia di bawah asuhan ku?" Joan membuat Kiana kebingungan, kalimat yang di lontarkan lelaki tampan itu membuat pikirannya buntu sejenak."Maksudmu apa? Jona pasti akan bahagia, dia di rawat oleh lelaki tampan dengan bergelimang harta,"Kiana dengan jawaban simple yang terlintas dalam benaknya."Bagaimana bisa pria dengan masa kecil yang buruk ingin membangun masa kecil yang indah untuk seorang anak perempuan, Kiana …?"suara lelaki tampan itu merendah, matanya berkaca-kaca. dadanya terasa sesak menahan tangis, Ia kini Hanya bisa tertunduk dengan bibir gemetar.Mendengar itu Kiana langsung memeluk Joan, ingin membiarkan lelaki itu menangis dalam dekapannya.Kiana tahu, Joan tidak akan pernah mau menangis di depan seorang wanita, gengsinya terlalu tinggi."Tidak apa-apa, menangislah. Itu hal yang manusiawi, Joan," Kiana mengelus-elus lembut punggung Joan, menenangkan lelaki itu untuk sesaat.Joan tidak bisa lagi menahan air matanya, sudah terlalu banyak hal pedih yang ia pendam sendirian selama 22 tahun lamanya."Aku yakin kamu pasti bisa buat dunia kecil yang bahagia buat Jona, aku yakin kamu bisa jadi sahabat baik untuk Jona,"Kiana yakin sahabatnya itu adalah lelaki yang hebat."Aku akan bantu kamu semampu aku, jangan sungkan untuk meminta bantuan. Aku selalu berada di dekatmu," kini Kiana juga ingin menangis, namun ia tahan. jika mereka berdua menangis, tidak ada yang akan menjadi penyemangat.Entah mengapa suasana haru itu juga membuat Jona menangis, bayi itu seperti tahu mereka sedang bersedih."Jona, maaf ya … kita malah nangis depan kamu? Kamu jangan sedih ya, kakak Joan akan berusaha kuat untuk kamu," Kiana langsung mengambil Jona dari dekapan Joan, menenangkan bayi kecil itu.Kiana beralih menatap Joan, lelaki itu segera berbalik menghapus sisa air matanya."Sini, gak usah malu … jona gak suka lihat kamu sedih. Jadi kamu harus kuat buat Jona dan aku," Kiana membalikkan tubuh Joan perlahan-lahan lalu menyapu sisa air mata yang ada di pipi joan dengan lembut. Menatap lelaki tampan itu dengan senyum tipis untuk memberikannya semangat."Tetap mau ku suapin atau makan sendiri aja?" Mendengar itu, Joan langsung menggeleng kencang dengan wajah memelas."Yaudah, buka lagi mulutnya," Kiana kembali mengarahkan sendok ke arah mulut Joan."Bentar, aku ambil tisu dulu. Ingusnya jangan ditarik ulang," Kiana tertawa melihat Joan, lelaki itu seperti anak kecil yang baru saja di omeli.Tangan cekatan Kiana berhasil meraih tisu itu, walau satu tangannya sedang menggendong jona."Aku mau izin sama mama nginep buat jagain Jona, boleh? Sekalian ajarin Kamu cara rawat Jona," pinta Kiana pada Joan."Tidak perlu, aku takut merepotkan. Sekarang ada internet, mungkin aku bisa belajar dari sana,"tepis Joan dengan lembut, ia tak ingin terlalu banyak merepotkan Kiana."Tidak apa-apa, aku sama sekali tidak repot,"Kiana lalu beralih ingin mencuci buah apel yang ada di atas meja."Biar ku cucikan, tetap diam di tempat," pinta Joan dengan nada ketus namun terdengar tegas."Terimakasih Joan, yang tampan nan baik hati," Kiana melontarkan kalimat pujian di temani senyum manis miliknya.Joan lalu mendengus kasar, saking seringnya ia mendengar kata-kata manis dari mulut Kiana saat ia membantu gadis itu. "Kalimat tipuan yang selalu kau lontarkan saat senang kepadaku masih sama, ya?" "Kau masih mengingatnya? Sejujurnya aku sama sekali tidak ingat kalimat itu,"Kiana tertawa kecil namun ia langsung diam saat mendapati ekspresi wajah Joan yang tidak berubah."Sebiasa itu aku bagimu Kiana? Semelekat itu posisi ku sebagai sahabat bagimu?"Joan menatap Kiana cukup lama, ia sendiri bingung dengan perasaan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. "Jangan tatap aku seperti itu, Joan," Kiana menundukkan kepalanya, gadis itu tak berani mendongakkan untuk menatap wajah Joan."Hanya bercanda, Kiana. Kau benar-benar gadis yang penakut," Joan tertawa puas lalu perlahan mengangkat dagu Kiana dengan jari telunjuknya. Menatap kedua bola mata gadis itu dengan intens."Apa? Kenapa tiba-tiba menatapku seperti itu? Kau membuatku takut, Joan," Kiana berbicara dengan suara gemetar, entah mengapa suasana jadi menegangkan baginya."Benarkah? Kalau begitu aku minta maaf,"Joan mengambil tangan Kiana lalu menciumnya seperti perlakuan seorang pangeran pada seorang putri."Kalau begitu aku juga minta uang," Kiana tertawa kecil di akhir kalimatnya, lalu menghempas tangan Joan."Boleh, tapi menikah dulu dengan ku," Joan tersenyum miring menatap Kiana, lelaki tampan itu lalu beralih kearah kulkas untuk mengambil sebotol alkohol."Menikah denganmu sama saja seperti masuk ke kandang buaya," Kiana menenggak segelas air dengan satu tegukan, lalu menatap ke sembarang arah."Ingin minum juga, Kiana?"tawar Joan mengambil 2 gelas wine dari lemari."Sejak kapan aku minum, minuman kotor itu, Joan?" Ujar Kiana dengan nada ketus, menatap sinis kearah Joan. Apa pria gila itu mengira ia gadis murahan dan tidak beradab?"Shit, minuman kotor ya? Baiklah, aku akan membuangnya," Joan benar-benar membuang isi botol minuman itu ke dalam wastafel."Kau membuangnya? Kau sudah tobat, Joan? Lewat mana hidayah datang kepadamu?" Kiana terheran-heran melihat tingkah Joan, padahal ia sendiri tau Joan tidak pernah mau melepas alkohol sekalipun ia harus dilarikan ke rumah sakit."Lewat bayi yang ada dalam dekapanmu itu, lagi pula aku memang sudah lama ingin berhenti minum alkohol," Joan kembali mengambil beberapa botol alkohol yang masih tersisa, lalu membuangnya ke tempat sampah."Really? Lihat Jona, kakak Joan sudah berhenti minum," Kiana tersenyum bahagia mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Joan.Suara dering ponsel Kiana terdengar dari arah kamar Joan, gadis itu segera menyerahkan Jona pada Joan."Tunggu di sana, jangan ikut!" tegas Kiana, ia takut Jona tiba-tiba menangis saat ia mengangkat telfon yang sepertinya lagi-lagi dari mamanya."Halo? Kiana, kamu dimana nak? Pagi-pagi sudah keluar, dimana kamu?! Mama telfon dari tadi kok gak diangkat?" suara yang lembut namun tegas terdengar, sepertinya wanita paruh baya itu khawatir."Ya, halo ma? Maaf Kiana tak minta izin, pagi tadi Joan tiba-tiba menelfon karena merasa tak enak badan. Jadi Kiana memutuskan datang untuk menjenguknya," Kiana berusaha mencari alasan yang mungkin masuk akal, membuat cerita lain agar wanita paruh baya itu percaya."Oalah, di rumah Joan? Mama pikir kamu dimana, ya sudah. Kalau Joan sudah merasa baik, kamu langsung pulang ya?" wanita paruh baya itu untungnya percaya dengan omong kosong Kiana."Ya sudah, mama tutup telfonnya. Soalnya mama lagi buat kue, nanti mama antar kesana.""Tidak perlu ma, Kiana yang akan mengambilnya,"tepis Kiana dengan tubuh gemetar."Kenapa? Mama juga mau jenguk Joan, kasihan anak itu tak ada yang memperhatikan," wanita paruh baya itu tetap kekeh ingin berkunjung ke rumah Joan."Ti-tidak perlu mama, Kiana berencana menginap di sini sehari. Apa boleh?" bibir Kiana mulai bergetar saat berbicara, ia bingung harus mengatakan apalagi agar mamanya tak datang ke rumah Joan."Ya sudah, tapi kamu pulang dulu ya,"pintanya pada Kiana."Iya, sedikit lagi Kiana pulang. See you," saat telfon di tutup, Kiana langsung menghela nafas lega. Menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar Joan lalu merosot ke lantai."Bagaimana Kiana? Apa mama kamu curiga?" Joan segera menghampiri Kiana dengan raut wajah khawatir."Huft, untung mama gak curiga. aku pulang sebentar ya,"pinta Kiana, ia dengan tergesa-gesa bangkit dari posisi duduknya."Baiklah, hati-hati. Jona Ayo say goodbye to bunda Kiana," Joan mengangkat tangan kecil Jona lalu melambay-lambaykannya ke arah Kiana."Bye Jona, tunggu sebentar ya. Aku akan kembali," Kiana segera mengambil kunci motornya lalu berlari kecil keluar rumah."Pastikan kau juga akan kembali untukku," teriak Joan membuat Kiana tersenyum tipis."Bagaimana bisa aku meninggalkan lelaki tampan ini? Aku sangat mencintaimu.""Astaga Joan, bisa-bisanya kau berharap Kiana mengucapkan kalimat seperti itu padamu,"batin Joan merasa bodoh telah menghayalkan hal itu, sahabat tetaplah sahabat bagi gadis itu.Kiana segera melajukan motornya, meninggalkan Joan dengan bayi kecil yang ada di dalam dekapan pria bertubuh kekar itu."Ayo Jona, kita masuk. Panas ya?" Joan menggendong jona kembali ke dalam rumah, mendapati rumahnya yang cukup berantakan."Jona, sepertinya bunda Kiana lupa memandikanmu ya? Tidak apa-apa, kamu mandi saat sore saja ya?" Joan menatap wajah mungil Jona dengan gemas, ia beralih mencium kening Jona berulang kali saking gemasnya ia pada tubuh kecil bayi itu."Rumah kita berantakan sekali ya? Papa akan menelfon jasa pembersih, tunggu di kamar sebentar ya," Joan membawa tubuh Jona ke dalam kamarnya, membaringkan tubuh mungil itu ke atas tempat tidur.Baru saja ingin menelfon jasa pembersih, tiba-tiba sebuah panggilan telfon masuk."Ayah? Semoga bukan hal buruk yang akan terjadi,"Joan mengangkat telf
Ia lalu menarik nafas dalam-dalam beralih menatap mata Kiana dengan serius, membuat gadis itu tambah penasaran."Iya, waktu kamu umur 10 tahun papa sempat lari dengan selingkuhannya ke Singapura,"jelas Dania membuat Kiana semakin mendekatkan diri pada wanita paruh baya itu."Lalu? Bagaimana dengan kita?"tanya Kiana menatap Dania dengan serius juga."Mama sempat pulang kerumah orang tua mama, tapi kakek kamu itu kekeh tidak mau mama pulang tanpa bawa hak mama dan hak kamu," Dania lalu mengambil segelas air, meneguknya perlahan-lahan."Hak? Hak apa?" Tanya Kiana, ia masih belum mengerti semuanya."Ya harta, kakek tidak mau mama cerai sama papa dengan ninggalin papa tetap bahagia tanpa rasa bersalah,"Dania kini duduk termenung untuk sejenak."Jadi mama nuntut?"tanya Kiana."Iya, mama nuntut agar saham perusahaan sebagian besar jatuh ke tangan kamu sebagai pewaris tunggal kelak. Mama gak mau papa nikah lagi terus punya anak dan anak pelakor itu yang akan warisin saham perusahaan," Dania me
"Arggh, pikiran bodoh apa ini? Tidak mungkin aku menyukai lelaki gila seperti joan! Tidak Kiana, jangan pikirkan itu lagi! Jangan! Bisa gila aku,"batin Kiana sembari memukul-mukul tepi kasurnya, bayangan kegilaan Joan mulai berenang dalam pikirannya."Kiana? Apa sudah selesai?" Suara Dania terdengar dari luar, sepertinya wanita paruh baya itu berjalan menuju kamar Kiana."Iya, ma. Sebentar lagi," Kiana segera menuju ruang gantinya, ia memilih memakai baju dan celana panjang yang longgar agar tidak ribet saat mengasuh Jona."Tumben sekali kamu memakai baju longgar, biasanya memakai croptop dan rok pendek ala Korea," celetuk Dania yang sudah berada di depan pintu, memandang Kiana dari bawah sampai atas."Memangnya kenapa, ma? Dari pada bajunya tidak terpakai, jadi Kiana pakai saja. sayang papa sudah beli jauh-jauh ke Australia,"tepis Kiana sembari mengambil beberapa pakaiannya untuk ia bawa ke rumah Joan."Kalau kamu menginap, mama sama siapa? Sendirian?"Dania memandang Kiana. Dengan wa
"Aku, kan?"tanya Kiana penuh percaya diri."Salah sayang, ayo coba tebak lagi,"goda Joan dengan senyum smirknya."Bunda mu?"tanya Kiana sekali lagi."Ibu mu, aku berharap Jona tumbuh seperti ibumu yang kuat dan penuh perhatian,"ujar Joan membuat Kiana mengerutkan keningnya, mengapa harus seperti Dania?"Mama? Tapi bunda kamu juga baik hati, mereka berdua sama. Dua wanita yang hebat,"celetuk Kiana."Tapi ibumu lebih hebat,"tegas Joan membuat Kiana lagi-lagi mengerutkan keningnya menatap wajah datar lelaki tampan itu."Joan … apa sekarang kau membenci bunda mu?"ujar Kiana sembari mengulurkan tangan kirinya pada joan agar diberi sabun mandi.Joan hanya diam, raut wajahnya berubah datar. Memberikan benda yang di minta Kiana dengan perlahan, tak berani menatap gadis itu."Joan, tatap aku Sekarang. aku tahu, pasti berat. kan? Aku juga seperti itu pada papa,"ucapan Kiana membuat Joan mendongak."Kau membenci ATM berjalan milikmu? Hebat sekali,"celetuk Joan dengan tawa di akhir kalimatnya."K
"Yuhuy, Jona sudah wangi … Jona sudah cantik ya? Iya kan? Ututu … imutnya," Kiana gemas sendiri melihat Jona, tangannya gatal ingin menciuminya."Sekarang buatkan aku, cepat pelayan!" Ucap Joan dengan tawa terbahak-bahak di akhir kalimatnya."Baik tuan, tunggu sebentar. Karena rumah tuan yang sangat raksasa ini, tidak memiliki bahan makanan!" Ucap Kiana setengah tersenyum."Jadi kamu keluar lagi?"tanya Joan dengan mata melotot, rasanya tak sanggup lagi ia di tinggal. Terkadang Jona rewel dan tak mau berhenti menangis dalam dekapannya. "Aku sudah kapok menyuruhmu berbelanja, bisa-bisa kau membawa pulang semua isi minimarket," jawab Kiana ketus."Dadah Jona … aku pulang,"Kiana ingin membuat Joan takut dengan kalimatnya."Jangan seperti itu Kiana … kasihan Jona, apa kau Setega itu?" Joan dengan mata berbinarnya."Kelakuanmu terkadang alay, menakutkan dan tentunya gila ya, Joan? Apa kau berkelakuan seperti ini pada semua wanita?""Wanita yang mana? Hanya kau wanitaku," ucap Joan dengan s
"Bagiamana kalau aku membelikan semua merek tas?! Dior? LV? Hermes? Gucci? Prada? Tapi kurasa itu kurang, mungkin sebuah mobil baru?" Joan menggigit bibir bawahnya, mencoba memikirkan hal-hal yang lebih gila lagi."Apa sebuah tanah seluas 1 hektar? Tapi tanah untuk apa? Kurasa itu tak akan berharga bagi Kiana," Joan lalu melipat kedua tangannya di dada, berusaha mencari sesuatu yang mungkin lebih bermakna sebagai tanda permintaan maaf.Di sisi lain, Kiana juga memikirkan Joan. Lelaki itu memang tak salah apa-apa, ia hanya terlalu kesepian selama ini.Karena hal itu membuat Kiana tak fokus memperhatikan penjelasan materi dari dosennya."Kiana? Kamu melamun nak?" Tanya pak dosen membuat Kiana terlonjak."Iya pak? Maaf saya kurang enak badan," tepis Kiana dengan setengah senyum."Ya sudah, jangan di ulangi lagi. Takut kesambet,"ujar pak dosen dengan logat Jawa yang medok.Kiana hanya bisa mengangguk, masih memasang senyum tipisnya. Mencoba untuk fokus, dan membuang pikirannya tentang Joa
"Bukan begitu! Ini … untuk anak teman mama, mama sibuk. Jadi memintaku untuk berbelanja ini semua," Kiana mengelak dengan membuat cerita lain, meski Jona bukan anak yang lahir dari rahimnya. Ia tidak mau kelak bayi kecil itu akan di olok-olok dan dianggap anak pembawa sial, jadi di buang oleh kedua orangtuanya."Oh, begitu. Aku pikir kau memiliki seorang bayi,"Alen bernafas lega setelah mendengarkan penjelasan dari Kiana."Tidak mungkin! Gila kamu!"pekik Kiana lalu memukul bahu Alen. Ia dan Alen cukup akrab tapi tidak sekarang seperti Joan, Alen hanya sebatas teman dekat."Hati-hati di jalan.""Iya, aku pamit dulu. Kamu juga hati-hati," Kiana berjalan menuju motornya yang terparkir di luar, cukup susah membawa itu semua dengan motor.Sesampainya di depan rumah Joan, Kiana tidak langsung masuk. Ia masih berusaha menyiapkan diri untuk bertemu Joan tanpa rasa canggung."Aku pulang …," sapa Kiana saat sudah berada di ruang tamu, ia mendapati rumah besar itu hening dan sunyi. Mungkin Joan
Cih, pesta apa itu? Ulang tahun anak TK?"jawab Joan, lalu tertawa sombong."Joan, kau juga ak …,"belum sempat Kiana menyelesaikan kalimatnya, Joan langsung menepisnya."Aku tidak akan pergi, kau juga. Kan!?""Aku sudah berjanji untuk datang bersamamu …,"Kiana langsung tertunduk mendapati tatapan tajam kini mengarah kepadanya, tatapan itu seperti menuntut pernyataan tidak padanya.Mendengar itu Joan langsung melepas piring yang ia pengang ke wastafael, ekspresi lelaki tampan itu berubah dingin. Kiana bahkan masih tertunduk tak berani berbicara kembali."Astaga Kiana … mengapa kau mengiyakan ajakannya!? Kau tidak tahu dia itu lelaki yang busuk hati!"teriak Joan di depan wajah Kiana.Tidak ingin membuat Kiana takut, Joan berusaha menahan amarahnya. Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan, setelah itu mengubah tatapan tajamnya agar Kiana kembali menatap matanya."Baiklah, aku dan kamu akan pergi bersama. Kita berdua, dalam satu mobil. Kau tidak boleh pergi dengan or
"Kami hanya orang desa yang terjebak oleh kemiskinan, anak saya terpaksa membuang putri kecilnya karena tak mampu menerima omongan para tetangga saat pulang ke kampung halaman tanpa membawa suami," nenek tua itu membuat suasana hening.Suaranya terdengar gemetar, bagai penuh tekanan batin. Pandangannya benar-benar meminta untuk di kasihani dan diberi kesempatan."Anak gadis saya di tipu dan di ambil begitu saja keperawanannya tanpa pertanggung jawaban, dan saya yang miskin ini tak mampu membantu anak saya keluar dari masalah yang telah ia tuai sendiri," sambungnya, kini tampak matanya berkaca-kaca saat menatap Hendra.Tatapan mata lelaki itu tampak sendu, wajahnya yang galak tampak mengharu mendengar curhatan isi hati nenek tua itu."Kami orang-orang miskin hanya bisa tertunduk bisu di depan orang-orang kaya yang berkuasa seperti kalian, saya malu menampakkan diri ke depan anda dengan gelar sebagai ibu dari seorang gadis bernama Melati yang dengan kejamnya membuang putri kecilnya send
"Ayah ingin orang bodoh yang memimpin perusahaan besar itu?" Ucap Joan dengan nada ketus, melayangkan tatapan dingin kearah Hendra.ucapan Hendra malah terasa menghardik dirinya, lelaki tampan itu tak ingin memimpin sebuah perusahaan dengan otak kosong, ia tak ingin malah tangan kanannya nanti yang lebih tahu tentang perusahaan."Kau sudah layak Joan, tidak kau lihat puluhan pialamu yang terpajang di ruang prestasi? Itu sudah cukup membuat ayah bangga kau dalam dunia pendidikan," tegas Hendra dengan penekanan."sekarang ayah ingin kau mengukir kemampuanku dalam dunia bisnis, hanya kamu yang bisa memimpin. ayah tidak bisa mempercayai orang lain selain putra ayah sendiri," sambungnya dengan salah satu tangan mengelus lembut punggung Joan."Ayah tidak bisa hanya mengambil satu pandangan saja, setiap orang berhak memilih," Joan menimpal dengan nada ketus sama menekannya seperti Hendra."Lagi pula itu hanyalah piala dalam bidang olahraga.""Namun setiap orang tua tak ada yang mau anaknya m
"Anak ini gila!? Banyak sekali pembalut yang ia beli, obat pereda? Untukku?" Kiana memandangi beberapa kotak obat pereda nyeri untuk wanita menstruasi, gadis itu cukup terkejut Joan membeli itu untuknya."Kenapa dia begitu peka akhir-akhir ini? Apa ada yang salah?"Kiana bergumam sendiri, mematung masih menatap kotak obat itu merasa tersipu malu sekaligus keheranan.Memang akhir-akhir ini Joan terlihat seperti suami siap siaga, apa ia sedang berlatih sebelum mendapatkan gelar itu?"Kiana … hey … apa semua yang ku beli benar? Buka pintunya," suara Joan dari luar terdengar seperti sedang berbisik, lelaki tampan itu menempelkan mulutnya di celah pintu agar Kiana dapat mendengarnya.malu rasanya jika Hendra dan Vera melihat kebucinannya pada Kiana, rasanya pasti akan terasa canggung."Ya, ada apa?" Kiana segera mendekat ke arah pintu, ia tak langsung membukakan pintu untuk lelaki tampan itu karena takut kewarasannya kembali hilang.tahu sendiri Joan kalau sudah tak bersama Jona atau Kiana
"Pak, ini semua barang permintaan anda," pegawai lelaki itu muncul dengan troli yang sudah full, melayangkan senyuman bahagia ke arah Joan.Joan sudah ia tandai sebagai pembeli VIP, lelaki tampan itu jika berbelanja sendirian selalu menghabiskan jutaan rupiah, entah memang ia bodoh atau tak tahu hidup di dunia dengan baik."Oh, sudah? Selamat tinggal, semangat bekerja Pak wartawan," Joan berlenggang meninggalkan kumpulan wartawan itu, tak lagi menjawab pertanyaan yang lebih dulu mereka lontarkan.padahal dirinyanya yang wartawan itu pusingkan, sudah beberapa kali mereka mencoba masuk ke dalam komplek perumahan lelaki tampan itu namun sudah di blokir untuk kedamaian."Wah, saya baru kali Ini melihat seorang lelaki membeli pembalut wanita sebanyak itu ….""Eh, tunggu! Bukannya dia bujangan yang baru saja mengadopsi seorang anak? Apa dia ingin mencari istri kedua dan meninggalkan anak dan istri pertamanya? Tidak heran, gayanya saja seperti itu. Padahal di balik maskernya terdapat wajah y
"Wah, hidup orang-orang berada nikmat sekali ya, semua orang yang ada di dunia ini bisa menjadi pesuruhnya," pria itu mematung sesaat memandangi punggung Joan yang mulai menjauh, ia melamun membayangkan sedang berada di posisi lelaki tampan itu.siapa yang tidak ingin hidup di kelilingi oleh harta dan di kejar-kejar oleh uang? sekali menjadi model saja uang sudah mengalir deras ke dalam black card-nya."Bukan nikmat lagi, sudah di atas level nikmat. Tapi di lihat-lihat wajahnya tak asing, seperti sering di lihat namun siapa?" Wanita itu kembali menimpal seraya tersenyum tipis ikut memandangi postur tubuh Joan yang benar-benar kriteria sejuta umat wanita."Hm, biasalah orang kaya memang begitu, vibesnya semuanya hampir sama. Jangan lupakan kata-kata singkatnya yang menusuk hingga ke ginjal," ucap pria itu dengan helaan nafas panjang, menggeleng pelan merasa posisi Joan adalah langit cerah yang sulit tergapai.semua orang pasti akan bermimpi tampil menjadi orang yang di hormati seperti
"Lihatlah ayah, bayi ini lucu sekali," bagai terhipnotis, Vera langsung mengelus lembut kepala Joan dengan haru. Tampak sangat excited ingin menggendong bayi kecil itu, raut wajahnya tampak begitu bahagia melihat keberadaan Jona dalam dekapan Kiana.."Dimana Joan? Anak itu tak ada lelahnya membuat saya pusing!" Berbeda dengan respon Vera, Hendra malah tampak sangat mendidih. ia sangat tak Abar bertemu dengan putra semata wayangnya penerus perusahaan besar keluarga. Kemarahannya tak dapat di redam oleh apapun, sepertinya kali ini ia benar-benar murka."Silahkan masuk kedalam, beberapa hari ini banyak wartawan yang meliput di sekitar sini," Kiana mempersilahkan keduanya untuk masuk, takut jika tiba-tiba ada wartawan yang malah menyorot dari sudut pandang yang berbeda.Vera tampak terkejut menatap tiap sudut rumah itu."terawat ya, bunda pikir akan jadi rumah angker atau gudang. Sudah berapa hari kamu menginap di sini?""Sudah … 2 Minggu lebih mungkin, Kiana tidak ingat," ucap Kiana deng
"Saya tahu kamu mulai tergila-gila dengan ketampanan saya, tapi untuk saat ini kita harus serius, okey? Kamu bisa paham, kan?" Alen berusaha menahan rasa malunya karena tersipu oleh ucapan gadis itu."Baru sedikit bumbu centil sudah terpancing," gerutu Alexa, padahal ia sendirilah yang terus memancing. Mengapa jadi kesal sendiri dengan respon Alen?"Baiklah, jelaskan semuanya dengan sejelas-jelas mungkin. Aku akan mendengarkannya, sayang …," gadis ini memang gila, jika saja Alen menggubrisnya dengan serius mana berani ia berucap demikian.Gadis itu tidak tahu saja seobsesi apa Alen pada tubuh seorang wanita, terkhusus dengan hasratnya pada Kiana."Kita akan memata-matai keduanya dari jarak jauh, kita mendekat pada mereka hanya untuk mengambil gambar yang mungkin bisa menjadi masalah," Alen kembali menekankan, mengambil keputusan sesuka hati. ya, kita tahu, dialah yang berkuasa di sana."Hm, terus …?" Alexa semakin memancing, memasang senyuman manis bak seorang istri yang menunggu untu
"Yah! Untuk hal itu akan segera kita lakukan, saya hanya perlu membujuk anak gadis saya untuk bersiap-siap menjadi seorang istri," ucap Rifky dengan senyum getir, ia benar-benar takut mengucapkan kata yang mungkin menyinggung hati lelaki yang ada di hadapannya.kekuasaan lelaki tampan itu sungguh melambung jauh dari Rifky.Rifky berperilaku seolah sangat akrab dengan lelaki tampan itu, padahal harga dirinya tengah di pertaruhkan. Dania sama sekali tidak mengetahui jika suaminya dalam tindasan pemaksaan karena hutang piutang yang berakar.Ya! Hutang, Rifky sempat berhutang pada perusahaan lelaki itu dengan jumlah yang sangat besar untuk menutupi kerugian yang membuat perusahaannya hampir bangkrut.selama ini ia tak pernah bercerita Lika liku perusahaan mereka pada kedua wanita yang sangat ia cintai, betapa kecewanya Dania jika tahu perusahaan turun temurun milik kedua orang tuanya yang di gabung oleh perusahaan Rifky jatuh bangkrut begitu saja."Ingat! Saya tidak akan tinggal diam jika
Joan segera berlari kecil menuju Kiana yang tampak sudah keberatan menggendong Jona. gadis itu sudah seperti seorang ibu muda.keduanya mendapati pintu dalam keadaan terkunci, dalam pikiran mereka harusnya ada Alexa di dalam."Pintunya di kunci? Apa gadis itu sedang tak ada di rumah?" Joan kembali mengambil ponselnya bertujuan untuk menanyakan kunci rumah pada Alexa yang mungkin ada di dalam namun tak tahu keduanya ada di depan pintu.Alexa: Alen, kunci rumah ada di pot sebelah kanan.Pesan lama dari Alexa baru saja di baca oleh Joan, lelaki tampan itu cukup terkejut. Namun di akhir senyum tipis terukir di bibirnya.Kiana menatap Joan dengan heran."Mengapa hanya tersenyum? Apa Alexa ada di dalam?" Joan masih terus menatap layar ponselnya, tatapan matanya tampak serius penuk seksama membaca tiap pesan Alexa.Joan lalu mendongak dengan mata berbinar dan senyum bahagia."Dia sudah pulang."Kiana melongo mendengar ucapan Joan, bibirnya terkatup masih tak paham."Pulang? Pulang ke Australia m