Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan dunia kepenulisan lokal. Terima kasih.
“Apa kabar, Gusti Mahapatih...?” Haruyan menunduk hormat pada Panglima besar yang kini jadi seorang tahanan itu. Cadudasa tersenyum, “seperti yang kau lihat, aku punya kamar baru.” Haruyan juga tersenyum lalu duduk di depan Cadudasa, “anda tahu anak saya yang paling kecil?” “Tirta?” jawab Cadudasa, “tentu aku ingat, ia tampak sangat kritis. Cerdas di kemudian hari..” “Justru sifatnya itu kerap membuat saya bingung. Satu minggu yang lalu setelah berkunjung ke Lalawangan Dharmawangsa saya pulang ke rumah dengan badan nyaris remuk. Anda tahu sendiri bagaimana medan menuju Dharmawangsa..” “Aku sendiri merasa punggung kudaku sudah seruncing pedang ketika menuju ke sana..” kata Cadudasa. “Ya, dalam keadaan lelah itu Tirta datang, ia lantas betanya sambil memijit punggung saya, ‘Ayah, aku ingin bertanya sesuatu padamu...’ saya menjawab, ‘tanyakan saja’. Lalu dia bercerita tentang orang tua temannya yang tewas dimakan binatang liar saat ingin mencarikan kakaknya yang janda dan hamil bebe
“Jangan berterima kasih sekarang...” sahut Bayu cepat sambil membopong Ayunda membawanya ke tempat yang lebih aman. Ayunda hanya diam, sambil tak henti memandang wajah pemuda yang baru saja menolongnya itu. Pemuda yang beberapa saat yang lalu ia maki di dalam hatinya. Bayu membawa Ayunda ke dalam Balai Desa, untungnya bangunan itu belum menjadi sasaran amukan manusia serigala yang ganas itu. Bayu segera merebahkan tubuh Ayunda di sebuah dipan tempat ia biasa tidur. “Kau lihat apa yang terjadi di sana?” Bayu membuka suara dengan cepat. Ayunda tak menjawab, ia masih terlalu kacau untuk merespon dengan bahasa verbal. “Di sana orang-orang kita sudah semakin berkurang, sementara pihak musuh masih banyak, dua kali lipatnya kita. Aku bertaruh sebelum subuh kita sudah habis,” ujar Bayu, ”mungkin aku tak secerdas dirimu dalam peperangan, tapi aku pernah menjadi prajurit. Perang itu adalah upaya untuk menang, atau setidaknya bertahan, bukan untuk mati dan habis sia-sia. Jadi sebelum itu terj
Hamparan air berwarna hijau agak kebiru-biruan melompat-lompat menerjang udara dengan riang. Berbaur dengan suara hembus dan riak yang cukup nyaring ketika mereka saling berbenturan. Belasan kapal melaju di atas permukaan air berombak itu dengan angkuh, barisan yang sangat meyakinkan menyatakan bahwa kapal ini adalah armada perang yang cukup tangguh. Dengan persenjataan lengkap di dalamnya dan puluhan, ratusan, bahkan ribuan tentara yang siap menggadaikan nyawanya di medan perang adalah dalil yang sah yang menyatakan jika barisan kapal ini bukan sebuah lelucon atau parade kemewahan. Di barisan tengah kapal-kapal itu terdapat sebuah kapal dengan bentuk yang paling berbeda dengan yang lainnya, lebih besar, lebih mewah, dan lebih lengkap persenjataannya. Bisa ditebak jika kapal ini adalah pemimpin dari barisan menakutkan itu. Di dermaga sana, sudah menanti seorang wanita berpakaian bangsawan dengan rambut sebahu dan senyum nyaris tak pernah henti tersungging dari wajahnya. Senyum yang m
Sontak Ayunda tercengang, begitupun dengan Bayu. Apakah yang dimaksud itu adalah Kalung Gajahsora? Ayunda belum bisa memastikan, karena itu ia semakin bernafsu melontarkan tanya. “Jelaskan pada kami, kalung apa itu? Siapa pria itu dan mengapa mereka mengirim kalian untuk menculik gadis-gadis di sini? Jelaskan!” Ayunda menodongkan pedangnya ke leher sosok yang sudah semakin lemah terikat rantai itu. “Hapsari...” Kades coba menenangkan Ayunda, namun Ayunda sama sekali tak menghiraukannya. “Jawab!” kata Ayunda mendesak. Sosok itu lagi-lagi mengatur nafas dan melenguh panjang sebelum benar-benar menjawab pertanyaan Ayunda. “Balasoka dan Danggapura menaklukkan kami dan memerintahkan kami menculik gadis hingga sampai 13 kali, semua gadis itu lalu diminum darahnya dan dimakan ginjalnya. Mereka berdua yakin jika itu dapat menambah kekuatan mereka untuk merebut kalung itu. Desa ini adalah pemukiman terdekat dengan tempat tinggal kami, karena itu kami menyerangnya, kami hanya tinggal menemu
Kamar itu hanya diterangi oleh lilin-lilin kecil yang menebarkan cahaya temaram. Tirai biru di sisi kamar berkibar pelan ditiup oleh hembusan udara yang entah berasal dari mana. Ada beberapa hiasan dinding yang tak terlalu penting untuk disebutkan. Tubuh perempuan itu perlahan bangkit dari selimut tebal yang menutupi separuh tubuhnya, ia berdiri di tepi tempat tidur dan dengan pelan mengenakan kembali pakaian kebangsawanannya yang berwarna biru muda, rambutnya yang sebahu dirapikannya. Tubuhnya yang tadi tak tertutup satu helai benang pun kini telah tertutup anggun kembali, meski cahaya remang-remang tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang basah oleh peluh dan merah menahan sensasi yang tak ada seorang pun mampu memperkirakannya. Tubuh lain juga muncul dari selimut tebal itu, sosok pria tegap dengan bekas luka di dagu. Rambut lurusnya yang agak panjang sedikit bergoyang diterpa angin yang entah datang darimana. Tubuhnya yang juga tak ditutupi oleh sehelai benang pun perlahan mula
Pria itu bangun dengan mendapati dirinya terikat di sebuah tiang. Ia tak mampu bergerak dan merasakan ngilu yang cukup mengganggu di bagian belakang kepalanya. Seperti baru saja dihajar benda tumpul. Pria itu meringis dan membiarkan dirinya sejenak dalam keadaan menahan sakit itu. Ia lalu mencoba melempar ekor matanya ke beberapa sisi ruangan itu. Ruangan tempat ia berada sekarang. Dari pengamatannya yang masih kurang sempurna karena ngilu di bagian belakang kepalanya itu, ia mengira ia sedang berada di sebuah ruangan pribadi seorang bangsawan. Itu terlihat dari ada peta yang menempel di dinding ruangan, beberapa pedang antik, barang-barang mewah lainnya yang berjejer rapi, sebuah meja kerja dengan perlengkapan tulis yang cukup lengkap, dan sebuah jubah berwarna merah yang menggantung di salah satu dinding ruangan itu. Dalam tatapannya yang masih kurang fokus, pria itu masih bisa mengenali jika jubah itu mirip dengan yang biasa digunakan oleh Senopati Darmendra. Mungkinkah ia kini be
Kalyani lalu mengajak tiga tamunya itu ke koridor istana yang berada di lantai atas. Setelah berada di sana, Kalyani memberi isyarat pada seorang pengawal yang berdiri di dekat gerbang komplek istana untuk meniup terompet. Pengawal itu meniup terompet dengan nada tertentu. Dan serentak ratusan ribu prajurit perlahan berkumpul membuat barisan besar yang hampir memenuhi seluruh halaman utama istana yang memang cukup luas itu. Barisan itu begitu menakutkan dengan tentara yang berbaju besi dan senjata yang siap menerjang siapapun yang dianggap mengganggu. Wajah mereka kaku dan tajam, seolah yang ada di benak mereka hanya menerima perintah, tanpa ada kata bantahan. Seandainya diperintahkan untuk membunuh, maka membunuh. Memotong, maka memotong, membakar, maka membakar. Argani hampir tak percaya melihat pemandangan itu, mimpi yang ia bangun selama lima tahun ini seolah telah menemui muaranya. Memiliki ratusan ribu pasukan tak takut mati yang siap mewujudkan impiannya menduduki tahta Keraja
“Di sana lembah Bernawa.” ucap Ayunda pelan tanpa memandang ke arah pemuda itu. “Berarti kita hampir sampai," komentar Bayu yang tak mengira tebakannya tepat. “Mungkin dua hari perjalanan lagi,” jawab Ayunda dengan nadanya yang datar. “Apa kita bisa lebih cepat? Bukankah lembah itu terlihat cukup dekat dari sini?” “Bisa, jika kau memutuskan untuk melompati jurang ini, tapi jangan minta aku untuk mengemasi tulang-tulangmu yang berserakan,” sahut Ayunda sambil berjalan pelan meninggalkan Bayu menuju sebuah tempat yang agak lindung tak jauh dari situ dan duduk di sana. Sementara Bayu hanya melongo, agak bingung dengan Ayunda, sudah hampir dua hari penuh mereka menempuh perjalanan, dan sikap perempuan itu padanya sama sekali tak berubah, dingin, datar. Layaknya seseorang yang yang tak memiliki ketertarkan sama sekali, Bayu agak heran. Padahal sebelumnya ada tiga gadis yang terhitung cantik mencoba untuk mengambil hatinya. Lantas pemuda itu kembali berjalan dan menghampiri Ayunda lalu
Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain
Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal
Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be
Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men
Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi
Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat
“HEY, SANDANU!” Tiba-tiba Bayu telah bangkit dengan tangan mengepal, wajah merah, dan mata yang begitu menakutkan. Ia tampak sangat marah. Badannya terasa begitu tegap dari biasanya, darah dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka kini tak begitu banyak lagi menetes, termasuk luka robek di perutnya yang kini hanya menetes-netes kecil seolah tak dihiraukan pemuda yang tengah dikuasai amarah luar biasa. Sandanu menghentikan tindakannya pada Ayunda, lalu menatap Bayu dengan senyum sumringah, seolah menantang kemarahan anak muda itu. “JIKA KAU BERANI MENYENTUHNYA, MAKA AKU AKAN MENGGILA....” suara Bayu seolah begitu menggelegar menyimpan kemarahan yang tiada tara. Ayunda yang sebelumnya pernah menyaksikan hal ini, agak takut sambil beringsut memperbaiki pakaiannya yang agak robek karena perbuatan Sandanu. Ayunda merasakan jika kemarahan Bayu kali ini jauh lebih besar dari yang pernah dilihatnya di Lembah Bernawa. Sandanu perlahan bangkit sambil memasang kuda-kuda dengan menggenggam e
Duel yang jika dilihat dari sisi jumlah benar-benar tak seimbang itu ternyata sama sekali tak berpengaruh banyak terhadap fakta di arena pertarungan, Sandanu masih terlalu tangguh untuk Bayu dan Ayunda meskipun mereka telah bersama-sama menyerangnya. Jarang sekali ada pukulan atau tendangan yang bersarang di tubuhnya, jika ada itupun tak begitu mempengaruhi kecepatan dan ketahanan tubuhnya. Sementara itu Ayunda dan Bayu tampak sudah begitu kelelahan menghadapi Sandanu yang begitu kuat dan sepertinya bukan tandingan mereka. Namun mereka tetap berusaha bertahan dan melakukan serangan dengan sisa tenaga mereka, namun yang terjadi malah hal yang sama sekali tak diinginkan oleh mereka, Ayunda terlempar dan hampir saja terjatuh dari bukit itu jika tak berpegangan pada salah satu bongkahan yang agak mampu menahannya akibat tendangan bertubi-tubi dari Sandanu. Bayu menoleh ke arah Ayunda yang terlempar dengan roman khawatir, untungnya perempuan itu masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri se
“Paman Sandanu...” gumam Bayu hampir tak percaya menatap pria berjubah lusuh di depannya itu. Pria itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sambil memainkan kalung Gajahsora yang tergenggam di tangan kanannya. Pria itu memang Sandanu, namun dengan wajah dan senyum yang lebih keji. Seolah jauh berbeda dengan pria yang begitu baik pada Bayu empat tahun yang lalu. “Paman, apa maksudnya ini?” cecar pemuda itu dengan nada yang sangat tak menyenangkan. Sementara Ayunda hanya terdiam, ia sendiri juga tak menyangka jika Sandanu adalah pelakunya. Namun Ayunda merasa jika apa yang ditanyakan Bayu sendiri sudah mewakili keingin tahuannya. “Aku tak ingin membuat kalian kecewa, Bayu..” jawab Sandanu datar dengan senyum sinisnya, “tapi sejauh ini aku telah menjalankan tugasku dengan baik dan semua akan lebih baik jika akhir dari pertemuan kita ini memihak padaku..” “Apa maksudmu?” Bayu semakin tak mengerti. “Paduka Ratu Ayunda mungkin bisa menjelaskan...” Sandanu menunjuk Ayunda. Bayu tentu s