Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan dunia kepenulisan lokal. Terima kasih
Malam itu semua rumah terkunci dengan rapat, Desa itu tampak begitu sunyi dan sepi, hanya ada suara burung hantu yang bersenandung sembari mengusir sepi. Benteng sederhana yang tadi pagi dibangun oleh para warga masih berdiri dengan gagah menanti pasukan yang akan dihadang. Angin malam perlahan berseliweran bersama kabut yang muncul pelan entah dari mana, suasana dingin mulai menyeruak menampakkan kakunya di antara pekatnya malam yang hanya diterangi oleh cahaya redup rembulan dan semburat kecil cahaya obor yang terdapat di beberapa sudut tertentu desa itu. Tak ada orang kah di sana? Terlalu dini untuk menyimpulkan itu. Sebab ternyata di banyak sisi ada beberapa gerakan mencurigakan yang tampak sangat waspada. Berjaga di dalam gelap, mengawasi di dalam pekat. Ya, ternyata Desa itu sama sekali tak tidur, tepatnya hanya berpura-pura tidur. Para penduduk, khususnya yang telah tergabung dalam pasukan tak resmi pembasmi manusia serigala, kompak berjaga dan mengawasi keadaan sekitar dari
Sosok itu lagi-lagi menggeram mengerikan, nampaknya ia sadar bahwa wanita di depannya tak sedang main-main. Ia lalu turun dari kudanya setelah menggeletakkan begitu saja tubuh gadis yang diculiknya tadi di atas tanah. Ia berjalan perlahan, tidak terlalu tegap, namun tak menjamin jika ia mudah dilumpuhkan. Ayunda sedikit bisa melihat jelas wajah manusia iblis itu dari remang-remang cahaya api yang membakar obor dan kilatan petir yang sesekali menyambar bumi. Kulit berwarna putih pucat cenderung biru, dengan hidung yang agak kecil dan lubang pernafasan yang berukuran sama kecil. Matanya merah melengkung ke atas di bagian ujungnya. Kalau boleh jujur, makhluk ini jelas tak dapat dikatakan begitu mirip dengan serigala, hanya saja ia memiliki taring dan bulu-bulu tak teratur di sisi wajah dan tangannya. Namun itu sama sekali bukan kabar yang bagus, karena bagi siapapun, bertemu muka langsung dengan makhluk seperti ini tentu adalah masalah besar.. Pertarungan sengit mulai terjadi, sosok men
Namun Bayu tak menemukan siapapun untuk ditanya, ia akhirnya duduk di salah satu pondokkan sambil melihat aktivitas para pemuda yang sedang berlatih bela diri dengan dipimpin oleh pria dewasa yang nampaknya menjadi salah satu penjaga gerbang yang ditemuinya tadi malam itu. Saat sedang memyaksikan latihan itu, tiba-tiba ia melihat tiga orang pria berjalan ke arahnya. Dua di antaranya Bayu kenal sebagai bagian dari penjaga gerbang tadi malam, sedangkan satunya adalah pria paruh baya yang belum ia lihat. Bayu segera berdiri menyambut tiga pria itu sambil menunduk hormat memberi salam. “Selamat datang di desa kami, anak muda. Perkenalkan, saya kepala desa sini. Mohon maaf, jika kami terkesan acuh. Kau bisa lihat sendiri bagaimana kesibukan para penduduk hari ini.” Buka pria paruh baya yang merupakan kepala desa Jalupang itu. “Tak apa. Diterima dan diizinkan beristirahat di sini saja saya sudah merasa tersanjung..” Bayu merendah. “Silakan duduk..” Kepala Desa menyilakan Bayu untuk dudu
“Iya aku!” Bayu membalas tak kalah lantang, “Aku yang kau serang dengan ranting bodohmu tadi, hampir saja menusuk mataku!” Ayunda baru sadar jika seruannya tadi bisa saja membuka penyamarannya. Ia buru-buru meralat kalimatnya, “Maksudku, kau berusaha mengintip aku mandi, kan?” “Hah?” Bayu masih memalingkan wajahnya, “aku sendiri mana tahu kalau ada orang lain di tempat ini. Lagipula, kau tampak sedang memamerkannya bukan?” Ayunda sebenarnya ingin marah, namun ia baru sadar jika sedari tadi ia belum sempurna mengenakan pakaiannya, “jika berani menoleh ke sini, kuhajar kau!” Ayunda lalu dengan cepat menyelesaikan mengenakan pakaiannya sambil terheran-heran mengapa bocah yang dulu menjadi tawanan di negerinya ini justru ada di sini. Bukankah kata ibunya ia telah mati di medan perang lebih dari tiga tahun yang lalu. “Sudah selesai?” Bayu yang tak sabar mulai menggerakkan kepalanya iseng. “Jangan coba-coba...” ancam Ayunda. Bayu tertawa jahil, suara tertawanya yang pertama selama be
Pintu gerbang istana dibuka, belasan prajurit berpakaian lengkap serentak masuk ke istana sebelum melakukan salam hormat pada Raja Adighana yang dengan gagah duduk di singgasananya yang angkuh dengan dikelilingi oleh para pejabatnya, namun tak terlihat di sana seorang Cadudasa. “Jadi apa laporan yang kau bawa dari pengejaranmu selama beberapa pekan ini?” tanya Sang Raja dengan mata tajam. Salah satu prajurit yang nampaknya dianggap sebagai ketua itu maju perlahan beberapa langkah sambil menundukkan kepala. “Mohon ampun, Paduka. Kami memang tak berhasil meringkus Bayu. Namun, kami menemukan berita bahwa Bayu kini tengah berada di Lalawangan Sembaru, Negeri Pancala. Ada kemungkinan pihak sana melindungi Bayu, karena itu kami memohon penambahan pasukan untuk menggempur negeri Pancala tersebut, Paduka..” Sang Raja terdiam sejenak, sedang berpikir. “Saya rasa pasukan kita akan dengan mudah menaklukkan Pancala, Paduka...” kata salah satu pejabat. “Tidak seperti itu juga, Mahamantri Ser
Kali ini tak ada yang terlonjak. Semua merasa tebakan mereka benar, meski banyak yang tak begitu percaya. Begitu pula raja, ia tampak sangat terpukul. Namun ia berusaha untuk tenang dan bijak. Seorang raja harus tetap tenang, itu pikirnya. “Kapan pembicaraan itu terjadi?” tanya raja. “Beberapa hari sebelum kemunculan Gusti Bayu di ibukota.” “Tak dapat dipercaya...” gumam salah satu pejabat. “Kau yakin dan berani bersumpah akan hal ini?” tanya Raja Pria itu agak terdiam sejenak, “Saya yakin dan menjamin dengan nyawa saya tentang kebenaran berita ini, Paduka.” “Mohon ampun, Paduka.” kata Damendra. “Iya?” Raja menatap senopati itu tajam dengan raut muka masih agak terpukul. “Saya rasa alangkah tidak bijaknya melayangkan tuduhan tanpa bukti, bukan begitu?” “Apa maksudmu?” “Boleh saya memanggil seseorang yang sepertinya akan lebih mengagetkan kita?” Raja mengangguk dengan raut pilu. Damendra lantas memberi isyarat agar seseorang masuk ke istana, tak lama seorang pria paruh baya
Bayu sedang duduk sendirian di depan balai desa sore itu. Kini ia mengerti mengapa penduduk Desa Jalupang begitu ngotot mempertahankan diri daripada mengungsi. Tadi siang Bayu sudah berbicara dengan kades, ia berharap penduduk desa mau mengungsi. Selain karena hal itu jauh lebih aman, ia juga tentunya tak perlu repot menyabung nyawa menghadapi pasukan manusia serigala itu. Namun, jawaban yang ia temukan justru tak ia harapkan. Mereka lebih memilih untuk mempertahankan desanya. Alasannya sederhana, mereka merasa bertanggung jawab melindungi tiap jengkal tanah mereka. Alasan yang menurut Bayu sangat sentimentil. Ia merasa tersindir, penduduk desa saja yang tidak dibekali kemampuan beladiri mumpuni seperti dirinya berani mempertahankan desa demi harga dirinya, lah dia? Bayu benar-benar dilematis saat ini, ingin langsung melanjutkan perjalanan dan mencari pusaka itu, Bayu iba dengan penduduk desa ini. Ingin membantu, Bayu takut tak bisa berbuat maksimal, kasarnya, mungkin ia takut mati.
Dengan cepat, tubuh bergelimpangan, darah bermucratan, bagian tubuh yang tercecer, terpisah dengan bagian lainnya, kepala terguling-guling tanpa badan adalah kejadian berikutnya yang terjadi begitu saja. Teriakan dan erangan kesakitan bercampur dengan denting senjata yang beradu. Memang, jumlah pasukan yang dipimpin Ayunda jauh tak sebanding dengan pasukan manusia serigala, namun semangat dan kerja keras mereka membuat Bayu yang sedari tadi hanya diam sambil gemetaran mulai ragu untuk benar-benar kabur. Namun, ia juga tak memutuskan untuk menghunus pedangnya, ia justru berlari dan berlindung di antara pohon-pohon besar. Ketakutan akan mati dan ketidak percayaan dirinya terhadap kemampuannya saat ini jauh lebih besar dibanding niatnya untuk membantu para pasukan yang semakin lama kian terpojok oleh serangan ganas dari pasukan iblis itu. Di sisi lain, Anureksa, Kampalu, dan Danur seolah tak mampu membendung keganasan pasukan manusia serigala yang tak terhitung sudah berapa kali berhasil
Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain
Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal
Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be
Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men
Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi
Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat
“HEY, SANDANU!” Tiba-tiba Bayu telah bangkit dengan tangan mengepal, wajah merah, dan mata yang begitu menakutkan. Ia tampak sangat marah. Badannya terasa begitu tegap dari biasanya, darah dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka kini tak begitu banyak lagi menetes, termasuk luka robek di perutnya yang kini hanya menetes-netes kecil seolah tak dihiraukan pemuda yang tengah dikuasai amarah luar biasa. Sandanu menghentikan tindakannya pada Ayunda, lalu menatap Bayu dengan senyum sumringah, seolah menantang kemarahan anak muda itu. “JIKA KAU BERANI MENYENTUHNYA, MAKA AKU AKAN MENGGILA....” suara Bayu seolah begitu menggelegar menyimpan kemarahan yang tiada tara. Ayunda yang sebelumnya pernah menyaksikan hal ini, agak takut sambil beringsut memperbaiki pakaiannya yang agak robek karena perbuatan Sandanu. Ayunda merasakan jika kemarahan Bayu kali ini jauh lebih besar dari yang pernah dilihatnya di Lembah Bernawa. Sandanu perlahan bangkit sambil memasang kuda-kuda dengan menggenggam e
Duel yang jika dilihat dari sisi jumlah benar-benar tak seimbang itu ternyata sama sekali tak berpengaruh banyak terhadap fakta di arena pertarungan, Sandanu masih terlalu tangguh untuk Bayu dan Ayunda meskipun mereka telah bersama-sama menyerangnya. Jarang sekali ada pukulan atau tendangan yang bersarang di tubuhnya, jika ada itupun tak begitu mempengaruhi kecepatan dan ketahanan tubuhnya. Sementara itu Ayunda dan Bayu tampak sudah begitu kelelahan menghadapi Sandanu yang begitu kuat dan sepertinya bukan tandingan mereka. Namun mereka tetap berusaha bertahan dan melakukan serangan dengan sisa tenaga mereka, namun yang terjadi malah hal yang sama sekali tak diinginkan oleh mereka, Ayunda terlempar dan hampir saja terjatuh dari bukit itu jika tak berpegangan pada salah satu bongkahan yang agak mampu menahannya akibat tendangan bertubi-tubi dari Sandanu. Bayu menoleh ke arah Ayunda yang terlempar dengan roman khawatir, untungnya perempuan itu masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri se
“Paman Sandanu...” gumam Bayu hampir tak percaya menatap pria berjubah lusuh di depannya itu. Pria itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sambil memainkan kalung Gajahsora yang tergenggam di tangan kanannya. Pria itu memang Sandanu, namun dengan wajah dan senyum yang lebih keji. Seolah jauh berbeda dengan pria yang begitu baik pada Bayu empat tahun yang lalu. “Paman, apa maksudnya ini?” cecar pemuda itu dengan nada yang sangat tak menyenangkan. Sementara Ayunda hanya terdiam, ia sendiri juga tak menyangka jika Sandanu adalah pelakunya. Namun Ayunda merasa jika apa yang ditanyakan Bayu sendiri sudah mewakili keingin tahuannya. “Aku tak ingin membuat kalian kecewa, Bayu..” jawab Sandanu datar dengan senyum sinisnya, “tapi sejauh ini aku telah menjalankan tugasku dengan baik dan semua akan lebih baik jika akhir dari pertemuan kita ini memihak padaku..” “Apa maksudmu?” Bayu semakin tak mengerti. “Paduka Ratu Ayunda mungkin bisa menjelaskan...” Sandanu menunjuk Ayunda. Bayu tentu s