Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan dunia kepenulisan lokal. Terima kasih
Dua hari menjelang peperangan, tak ada pelatihan seperti biasa. Para prajurit diberikan waktu untuk sedikit rileks di asrama. Sambil bersiap berangkat ke ibu kota untuk meminta restu dari Raja Adighana. Selama masa rileks itu, Bayu jarang melihat Jayatsu bercakap-cakap dengan Daegal, nampaknya ia masih kesal dengan Daegal. Sementara Daegal masih terlihat ceria seperti biasa, meski tak dapat ditampik jika ada ketegangan yang kerap terbaca dari air mukanya. Sementara Bayu lebih memilih untuk melatih kemampuan bela dirinya ketika masa rileks ini. Ia merasa perlu untuk meningkatkan kemampuan bertarungnya, banyak senior-seniornya menilai, meski memiliki gerakan yang cukup cepat, namun Bayu kerap monoton dalam melancarkan serangan hingga serangannya mudah dilumpuhkan. Selain itu teknik bertahannya juga tak begitu baik jika menghadapi serangan cepat yang bertubi. Karena itu ia memperbanyak volume latihannya sendiri. Kadang-kadang ia mengajak para seniornya untuk berlatih adu tanding atau ber
Bayu yang heran lalu membalikkan tubuhnya dan dilihatnya Putri Paramitha sedang berjalan ke arahnya. Entah mengapa Bayu menjadi agak gugup, baru kali ini ia melihat Sang Putri tersenyum padanya. Ketika pertama kali bertemu Bayu hanya sering menunduk dan sang putri juga terlalu asyik dengan pertarungan di gelanggang. “Aku berharap kita akan bertemu lagi, Bayu. Jaga dirimu...” sayup terdengar suara Cadudasa dari balik punggung Bayu. Bayu menoleh ke arah Cadudasa, paman angkatnya itu telah beranjak meninggalkannya. Dan ketika Bayu kembali berbalik, Putri Paramitha telah berada di depannya. Cukup dekat sehingga wangi tubuh sang putri raja itu mampu tercium dengan jelas di hidung Bayu. “Paduka...” Bayu menunduk gugup. “Bayu, jujur aku kagum dengan pertarunganmu melawan Anarbuana lima bulan yang lalu.” “Saya, Paduka..” suara Bayu yang agak pelan tak mampu menyembunyikan nada getar kegugupannya. “Dan aku berharap ini bukan pertemuan kita yang terakhir” Bayu semakin gugup. Bagaimana tid
Malam itu pun tiba, ribuan tentara Adighana dan sekutunya mulai bergerak ke arah Barat yang menuju Negeri Danta. Sebagian menggunakan kuda, sebagian lagi hanya berjalan kaki. Beruntungnya sebagai kesatuan pasukan unggulan, Bayu mendapat bagian berkuda. Cukup lama menempuh perjalanan mereka akhirnya mendirikan kemah dan bermalam di tepi sebuah sungai. Setelah mendirikan tenda, Bayu langsung beranjak pergi sendiri menuju tepian sungai yang agak jauh dari pusat kemah malam itu sambil membawa pedangnya. Ia masih agak kesal, karena para prajurit lain masih tak berhenti membicarakannya setelah adegan yang melibatkannya dengan Putri Paramitha kemarin. Karena itulah ia lebih memilih menjauh dari mereka. Ia berniat untuk kembali berlatih pedang sendiri malam itu. Ia tak merasa memiliki aktivitas yang produktif jika hanya terus berdiam di kemah yang membuat kupingnya panas itu. Dinginnya suasana malam tampaknya tak membuat Bayu melunturkan semangatnya untuk melatih kemampuan bela dirinya. Ber
Bayu sontak berlari menuju perkemahan. Dengan sejuta tanya di benaknya yang intinya berpusat pada apa yang membuat dua sahabat karib ini bertengkar. Ketika sampai di sana, ia melihat Daegal dan Jayatsu sudah nampak saling berhadap-hadapan siap untuk saling menghantam. Bayu berhambur di antara keduanya, dan mendorong mereka. Sementara prajurit lain tampaknya tak ada yang berusaha melerai pertikaian dua sahabat ini. “Kalian berdua sudah gila!” Bayu berseru marah. Jayatsu menepis dorongan Bayu dengan kasar, “Menyingkir Bayu, kau tak ada hubungannya dengan ini...” Bayu melihat mata Jayatsu yang memerah, tampaknya ia betul-betul marah dengan Daegal. Sedangkan Daegal meskipun bersiap untuk diserang namun dari wajahnya Bayu yakin, jika ia sama sekali tak ingin hal ini terjadi. Tak ada sedikipun air muka emosi dari wajah Daegal. Bayu kembali mengambil posisi di depan tubuh Jayatsu sambil menatapnya jengkel, “Apa yang kalian sedang pikirkan? Kalian sahabat, kan? Apa yang sedang kalian laku
Bayu memacu kudanya pelan mengikuti rute para prajurit di depannya. Ini adalah hari ketiga perjalanan mereka, dan menurut perkiraan, jika tak ada gangguan cuaca, maka besok malam mereka akan sampai di gurun kawah berapi yang merupakan gurun terluas di Dunia di Balik Kabut dan sekaligus merupakan daerah terluar perbatasan Negeri Danta. Rencananya mereka akan bermalam di sana sebelum menentukan strategi menembus gerbang negeri Danta. Setelah kekacauan yang melibatkan Daegal dan Jayatsu sebagai aktor utamanya beberapa malam lalu, mereka masih belum bertegur sapa. Bayu sudah tau alasan pertengkaran mereka. Daegal menuduh Jayatsu menghasut para prajurit lain agar tidak berperang sungguh-sungguh menghadapi negeri Danta, sedangkan Jayatsu menuding Daegal adalah salah satu orang yang sangat bersemangat menyebarkan hasutan agar membunuh semua orang di negeri Danta, termasuk kaum perempuannya. Bayu tak dapat menduga siapa dan apa kira-kira yang membuat dua orang yang awalnya bersahabat ini bis
Bayu tersenyum dan kembali menyerang Sabagya, denting pedang beradu di gelapnya hutan. Kilatan besi tajam itu terlihat beberapa kali membenturkan cahaya obor dan rembulan yang menerpanya. Dan hanya sebentar, kembali Bayu melumpuhkan Sabagya. Namun nampaknya Sabagya masih belum ingin menyerah, Ia kembali menghadapi Bayu. Walaupun dalam beberapa kali kesempatan berikutnya hasilnya tetap sama. Bayu berhasil mengunggulinya. “Baik!” Sabagya mendesah pelan, “Bagaimana jika kita tak menggunakan pedang. Ada kalanya kita berada di kondisi tak punya kesempatan untuk memegang benda bodoh ini, kan?” Bayu tersenyum dan langsung melempar pedangnya. Ia kemudian kembali mengambil sikap kuda-kuda, “Menurutmu seperti ini?” Sabagya mengangguk keil sebelum melakukan serangan cepat ke arah remaja 17 tahun itu. Bayu menghindar. Meski tanpa senjata, kali ini Bayu telah cukup banyak belajar bagaimana caranya bertarung dengan tangan kosong yang baik. Kini hampir tak ada lagi yang meragukan kualitas bertaru
Perjalanan yang melelahkan itu akhirnya berhenti sejenak di Gurun Kawah Berapi. Tempat persinggahan terakhir mereka sebelum memasuki gerbang negeri Danta. Dan sesuai rencana, mereka sampai di gurun luas itu tepat di malam hari. Gurun itu tak seperti di siang hari yang begitu panas membakar, di malam hari justru dingin menusuk daging begitu ngilu. Ketika selesai membangun kemahnya, Bayu langsung menyalakan api untuk menghagatkan tubuhnya yang mulai menggigil. Ia tak ingin menyendiri dan berlatih seperti kebiasaannya setelah mendirikan kemah, udara terlalu dingin untuk berlatih. Bisa-bisa pedangnya membeku. Bayu hanya diam menenlungkupkan tangannya ke tubuhnya sambil memandang hamparan pasir hitam yang berkilauan diterpa sinar rembulan yang memancar tanpa halangan. Seumur hidupnya baru kali ini ia melihat padang pasir seluas ini, malam hari. Dulu ia pernah bersama keluarganya ke Parangtritis di Jogjakarta, di sana ada padang pasir luar yang kerap disebut sebagai Gumuk Pasir, bahasa Jawa
Bayu sebenarnya ingin kembali menghambur lalu memisahkan dua temannya itu, namun cengkeraman dan kuncian beberapa prajurit pada tubuhnya sangatlah kuat. Ia bahkan tak bisa menggerakkan jemarinya dengan leluasa. Bayu melihat kedua kubu semakin terbakar untuk menyemangati masing-masing jagoannya. Bayu mengira jika salah satu dari mereka terbunuh, maka mungkin dua kubu ini akan saling menyerang. Dan kondisi akan semakin kacau. Daegal dan Jayatsu masih beradu nyawa seperti kesetanan. Mereka saling menyerang dengan besi tajam panjang yang kapan saja bisa mencongkel jantung mereka dengan dingin. Namun di kondisi ini Daegal lebih unggul ketimbang Jayatsu, selama di asrama Daegal memang termasuk petarung pedang yang handal. Dan di pertarungan kali ini sangat terlihat Jayatsu agak kewalahan meladeni serangan Daegal yang cukup gencar. Sudah berkali-kali darah mengucur dari bagian-bagian tubuhnya yang tergores atau terkena sabetan besi tajam Daegal. Bayu tak ingin kedua temannya itu saling bun
Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain
Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal
Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be
Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men
Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi
Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat
“HEY, SANDANU!” Tiba-tiba Bayu telah bangkit dengan tangan mengepal, wajah merah, dan mata yang begitu menakutkan. Ia tampak sangat marah. Badannya terasa begitu tegap dari biasanya, darah dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka kini tak begitu banyak lagi menetes, termasuk luka robek di perutnya yang kini hanya menetes-netes kecil seolah tak dihiraukan pemuda yang tengah dikuasai amarah luar biasa. Sandanu menghentikan tindakannya pada Ayunda, lalu menatap Bayu dengan senyum sumringah, seolah menantang kemarahan anak muda itu. “JIKA KAU BERANI MENYENTUHNYA, MAKA AKU AKAN MENGGILA....” suara Bayu seolah begitu menggelegar menyimpan kemarahan yang tiada tara. Ayunda yang sebelumnya pernah menyaksikan hal ini, agak takut sambil beringsut memperbaiki pakaiannya yang agak robek karena perbuatan Sandanu. Ayunda merasakan jika kemarahan Bayu kali ini jauh lebih besar dari yang pernah dilihatnya di Lembah Bernawa. Sandanu perlahan bangkit sambil memasang kuda-kuda dengan menggenggam e
Duel yang jika dilihat dari sisi jumlah benar-benar tak seimbang itu ternyata sama sekali tak berpengaruh banyak terhadap fakta di arena pertarungan, Sandanu masih terlalu tangguh untuk Bayu dan Ayunda meskipun mereka telah bersama-sama menyerangnya. Jarang sekali ada pukulan atau tendangan yang bersarang di tubuhnya, jika ada itupun tak begitu mempengaruhi kecepatan dan ketahanan tubuhnya. Sementara itu Ayunda dan Bayu tampak sudah begitu kelelahan menghadapi Sandanu yang begitu kuat dan sepertinya bukan tandingan mereka. Namun mereka tetap berusaha bertahan dan melakukan serangan dengan sisa tenaga mereka, namun yang terjadi malah hal yang sama sekali tak diinginkan oleh mereka, Ayunda terlempar dan hampir saja terjatuh dari bukit itu jika tak berpegangan pada salah satu bongkahan yang agak mampu menahannya akibat tendangan bertubi-tubi dari Sandanu. Bayu menoleh ke arah Ayunda yang terlempar dengan roman khawatir, untungnya perempuan itu masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri se
“Paman Sandanu...” gumam Bayu hampir tak percaya menatap pria berjubah lusuh di depannya itu. Pria itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sambil memainkan kalung Gajahsora yang tergenggam di tangan kanannya. Pria itu memang Sandanu, namun dengan wajah dan senyum yang lebih keji. Seolah jauh berbeda dengan pria yang begitu baik pada Bayu empat tahun yang lalu. “Paman, apa maksudnya ini?” cecar pemuda itu dengan nada yang sangat tak menyenangkan. Sementara Ayunda hanya terdiam, ia sendiri juga tak menyangka jika Sandanu adalah pelakunya. Namun Ayunda merasa jika apa yang ditanyakan Bayu sendiri sudah mewakili keingin tahuannya. “Aku tak ingin membuat kalian kecewa, Bayu..” jawab Sandanu datar dengan senyum sinisnya, “tapi sejauh ini aku telah menjalankan tugasku dengan baik dan semua akan lebih baik jika akhir dari pertemuan kita ini memihak padaku..” “Apa maksudmu?” Bayu semakin tak mengerti. “Paduka Ratu Ayunda mungkin bisa menjelaskan...” Sandanu menunjuk Ayunda. Bayu tentu s