"Apa yang akan kau lakukan?" Alan menerobos masuk ke dalam kamar Andreas yang memang sudah biasa tidak terkunci.
Andreas yang tengah mengancingkan kemejanya dengan tubuh yang masih terasa sedikit nyeri melirik sepupunya itu dengan santai."Selamat pagi, Sepupu!" sapa Andreas dengan senyum lebar yang bagi Alan terlihat mencurigakan."Jawab aku, Maxwell!" desak Alan terdengar jengkel.Andreas mengangkat alisnya dengan senyum kecil."Aku akan mulai menyusun cara untuk menyingkirkan Eddie dari kursinya," jawab pria itu.Alan bertolak pinggang dengan raut cemas."Bukan itu. Kau memasukkan kunjungan ke Divine hari ini," ujar laki-laki berkulit kecoklatan itu pada atasan sekaligus saudaranya.Andreas bergeming. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi."Aku harus berterima kasih, bukan?" ucap Andreas datar.Alan menghela nafas panjang."Tidak, kita tahu tujuanmu bukan itu kesana." desak Alan seraya melipat lengannya di dada.Kekehan Andreas terdengar di kamar yang hening itu."Aku pernah bertemu gadis itu sebelumnya, Alan," ucapnya tiba-tiba.Alan berusaha menetralkan ekspresinya. Malah sebisa mungkin dia ingin mencegah sepupunya itu menyinggung apapun tentang orang yang menyelamatkannya."Benarkah? Apakah aku juga pernah bertemu dengannya?" tanya Alan mencoba hati-hati."Dia pernah melayani pesananku di The Classy beberapa minggu lalu," jawab Andreas dengan senyum miring yang tampak ceria.Alan mengernyit gelisah. Entah apa penyebabnya, takdir seolah bersikeras mempertemukan sepupunya dengan orang yang harus dihindarinya."Sudahlah, aku bisa memberinya bonus yang besar, Andre. Jaman sekarang uang lebih baik dari ucapan terima kasih," bujuk Alan sedikit gagal menyembunyikan kecemasannya.Andreas mengencangkan rahangnya. Selintas ekspresi kelam penuh kebencian terlihat di sorot matanya sebelum kembali mengurai senyum ramahnya."Aku tahu. Tapi itu tidak sopan, Sepupu." ujar Andreas dengan senyum lebarnya yang menyenangkan.Sayangnya Alan jelas tidak berhasil terkecoh dengan senyum publik andalan saudaranya itu.Laki- laki itu memicing penuh kecurigaan."Sudahlah, Alan. Kau ikut saja denganku jika itu bisa menenangkan fikiran negatifmu yang selalu menyebalkan," ejek Andreas jengkel.Alan membuang nafas kasar."Baiklah. Aku memang akan ikut," pungkas Alan dengan tegas.Andreas mendengkus kecil namun tak berkomentar apapun pada sepupunya itu.***"Lenganmu berdarah!"Misha yang sedang membersihkan jendela besar ruang makan rumah Andreas terperanjat mendengar sebuah suara bariton yang tiba-tiba terdengar di sampingnya.Gadis itu menoleh lalu membelalak seketika.Andreas yang tempo hari terlihat sekarat kini berdiri dengan senyum lebar yang tampak memikat."Kau hidup?" pekik Misha pelan tanpa sadar.Andreas sekilas tampak mengerjap."Tentu saja. Apa kau pikir aku mati hari itu?" tanya pria itu terdengar tertarik.Misha mencebik tak menjawab."Aku baik-baik saja, Misha. Berkat kalian. Terima kasih banyak," ucap Andreas terdengar begitu tulus.Misha tersenyum kecil, membuka sarung tangan tebal yang dipakainya untuk bekerja."Sama-sama. Kami senang bisa membantu," jawab gadis itu.Andreas balas tersenyum ramah.Misha sedikit terpana. Mungkin ini pertama kalinya dia melihat pria menjengkelkan itu tersenyum semenarik itu."Kita pernah bertemu sebelumnya, Misha. Apa kau ingat?" tanya Andreas tiba-tiba.Ekspresi Misha berubah kesal seketika.Hal itu membuat Andreas langsung tertawa cukup kencang."Dari ekspresimu, kurasa kau ingat." ujar pria itu dengan geli.Misha terdiam terlihat canggung.Bukan pertemuan mereka yang menjengkelkan yang melekat di ingatannya, tapi justru sumpah serapahnya pada Andreas yang beberapa waktu lalu benar-benar menjadi kenyataan.Misha sangat terkejut karena ucapan buruknya tempo hari benar-benar terjadi."Andre! Aku mencarimu sejak tadi!" Suara laki-laki bernada cemas membuat keduanya menoleh ke arah pintu.Misha mengerjap takjub melihat pria tinggi berkulit agak gelap yang baru datang itu."Kau membuatku cemas!" gerut pria yang baru tiba itu.Misha nyaris menganga takjub melihat dua pria rupawan itu."Andreas, dia... Pacarmu?" tanya gadis itu dengan telunjuk ke arah Alan.Andreas melotot kaget lalu tertawa terbahak-bahak hingga nyaris mengeluarkan air mata.Sedangkan Alan menatap gadis montok berambut kemerahan itu dengan kesal."Hahahaha... Kau lucu sekali. Tentu saja bukan. Dia Alan saudaraku," jawab Andreas dengan geli.Misha meringis malu."Kalian sedang memeriksa pekerjaan kami?" tanya Misha dengan gusar.Alan menatapnya dengan datar."Tidak, Andreas ingin mentraktir kalian semua," jawab Alan.Misha membelalak antusias."Bisakah aku mendapatkan uang makannya saja? Aku lebih butuh itu daripada makanan," ujar Misha.Andreas maupun Alan sama-sama terperangah mendengarnya."Kau sangat terus terang," sindir Andreas.Misha melirik sekilas, lalu matanya tertuju lagi ke lengan kirinya yang tadi tergores sisa kawat yang masih menempel."Aku hanya berusaha jujur, Sir. Jika kau ingin berterima kasih, maka lakukan dengan pantas. Bukankah begitu?" Kata Misha dengan ekspresi tak acuh.Alan mendengkus kesal.Dia langsung tidak suka pada sikap tak tahu malu gadis itu."Apa kau mempunyai hutang?" tanya Andreas penasaran.Misha mendelik sekilas."Tidak. Aku hanya ingin uang, dan kau ingin berterima kasih. Bukankah itu cocok?" tanya gadis itu dengan senyum tipis.Andreas menyunggingkan senyum misterius dengan mata lekat ke arah Misha."Kau benar. Tidak ada yg gratis, bukan? Semua hal ada harganya," gumam Andreas dengan nada melamun.Misha sempat mengernyit tak nyaman melihat ekspresi aneh di wajah pria tampan itu, tapi dia memilih tak peduli dan dengan cepat mengangguk setuju."Tentu saja. Berbuat baik belum tentu membuatku kaya. Jadi aku memilih lebih realistis daripada humanis, Andreas." Jawab Misha dengan senyum yang terlihat sedikit sinis dan mengesalkan.Alan menghela nafas panjang menahan rasa jengkelnya sendiri.Gadis itu memiliki sikap keterbukaan mengerikan. Dan dia jelas tidak akan tahan untuk bersikap seramah sepupunya.Andreas tampak sedang mengotak-atik ponsel barunya sebelum menyerahkannya pada gadis berambur kemerahan itu."Tuliskan jumlah ucapan terima kasih yang kau inginkan, Nona Bulat!" perintah pria itu dengan senyum menjengkelkan sama seperti yang Misha lihat saat melayaninya di restoran."Kau memang menyebalkan," rutuk gadis itu pelan.Andreas terkekeh pelan."Lakukan saja, Misha. Khusus untukmu, aku akan membayar sesuai pertolongan yang kau berikan," ujar pria itu.Misha terdiam muram."Maaf, Andreas. Tabungan lebih penting daripada kemanusiaanku sekarang ini," batin Misha dengan menyesal.Gadis itu mengambil ponsel itu dan memasukkan jumlah yang tidak terlalu besar bagi seorang Andreas Maxwell."Kau yakin? Aku bisa memberimu lebih banyak jika kau mau," sinis Andreas.Misha mendengkus kesal."Aku suka uang, tapi aku tidak suka serakah, Mr. andreas," jawab Misha dengan sama-sama sinis.Alan berdecak kesal."Apa lagi yang kau inginkan? Benda mahal?" desak Alan tiba-tiba.Misha menoleh ke arah pria itu dengan ekspresi berfikir."Kau boleh meminta lagi, Misha," ucap Andreas dengan senyum tipis.Misha menatap mata biru pria itu dengan serius."Aku tidak ingin bertemu lagi denganmu. Kurasa itu cukup," jawab Misha dengan mantap.Andreas memicing tajam."Kenapa?" tanya pria itu dengan nada tajan yang gagal dia sembunyikan.Misha tersenyum misterius ke arah kedua pria itu."Bagaimana jika sebenarnya justru aku yang membuatmu celaka...?Misha berjalan cepat dengan langkah panik."Kau kabur!" sebuah suara sinis menghentikan langkah gadis itu.Misha mengernyit melihat Alan berdiri di pintu keluar rumah baru Andreas."Aku tidak tahu selain materialistis ternyata penolong saudaraku itu seorang pembohong," sinis pria itu.Misha merangsek maju dengan ekspresi marah."Bisakah kalian berhenti menghinaku? Kau sama saja dengan saudaramu!" ujar Misha jengkel.Alan mendengkus kesal."Kami sudah tahu pelaku penusukan Andreas. Dan kau jelas tidak akan kuat melukai saudaraku," kata pria itu.Misha memalingkan wajahnya. Dia tidak ingin berinteraksi dengan orang-orang yang membuatnya kesal di hidip barunya ini."Aku pernah menyumpahinya celaka. Dan dia benar-benar celaka di depan mataku! Kau puas?!" desis Misha frustasi.Alan mengerjap kaget, lalu sorot sinis di matanya perlahan melunak."Kau... Merasa bersalah ternyata," gumam Alan seolah baru saja menyadari sesuatu.Misha menghindari tatapan pria berwajah tampan itu.Suara langkah
"Pantas tubuhmu berisi," Sebuah komentar bernada geli membuat Misha berhenti mengunyah.Mata biru gadis itu menyorot tajam penuh kemarahan."Kau menghinaku lagi," desis gadis itu kesal.Andreas tergelak pelan."Kau seksi dan terlihat lezat. Aku suka melihatmu, dan itu bukan hinaan," ucap pria itu pelan."Berhentilah menghina fisikku!" ujar Misha dengan marah.Andreas tertawa renyah. Tawa pria itu tampak ringan lepas.Misha membuang nafas kasar antara terpukau dan kesal.Dia sudah mendapat kejutan luar biasa saat membuka pintu dan menemukan seorang Andreas berdiri memasang senyum ramah dengan sebuah jaket hoodie berwarna navy."Bagaimana kau bisa masuk? Apartemenku harus punya kunci lift sendiri untuk naik ke lantai atas," desak Misha dengan pandangan menyelidik.Andreas meneguk segelas soda dingin dengan senyum tipis yang membuat Misha makin kesal."Aku memang tak punya kunci lift, tapi aku punya uang," jawab pria itu dengan senyum penuh arti."Tentu saja," gumam Misha agak sinis."A
"Ya Tuhan, Mish. Sayang, kau baik-baik saja?"Misha mundur dengan jijik dan marah dari pria yang menghambur seolah ingin memeluknya.Harry. Entah bagaimana laki-laki brengsek itu ada di kota ini."Apa yang kau lakukan di sini?" desis Misha dengan tegang.Harry memamerkan senyum memuakkan dengan ekspresi seolah tak berdosa."Aku selesai menemui klien penting di sini. Dan sebuah kejutan yang luar biasa saat aku melihatmu dari taksi menuju hotel," jawab Harry dengan senyum sekilas tampak mengejek.Misha menatap mantan tunangannya itu dengan tegang dan sorot panik."Siapa kau?" tiba-tiba suara bariton bernada dingin menyentak Misha dan Harry sekaligus.Andreas menatap mantan tunangan Misha itu dengan ekspresi dingin yang membuat Misha meremang gelisah.Harry yang tadinya kesal, tampak melotot saat akhirnya menyadari siapa pria dibalik hoodie yang berdiri bersama Misha."Oh, Hai! Kau Andreas Maxwell, kan? Aku Harry Barton, tunangan Misha." ucap laki-laki itu dengan senyum antusias tanpa r
KISAH CINTA TERLARANG ANDREAS MAXWELL DAN TUNANGAN ORANG.Misha menarik nafasnya yang gemetar karena rasa takut.Dengan tangan gemetar Misha bergegas menutup gorden kamarnya, padahal waktu masih tengah hari.Dia tidak harus menebak siapa pelaku penyebaran berita buruk itu ke media."Harry sudah keterlaluan," gumamnya dengan suara bergetar karena marah.Kehidupan baru yang baru saja dimulai sepertinya tidak akan semudah yang dia bayangkan.Misha mengusap wajahnya dengan frustasi.Drrrrt... Drrrt...Suara getar ponsel di atas meja makan membuat Misha tersentak kaget. Gadis itu mengernyit bingung melihat nomor tak dikenal di layar ponselnya."Hallo!" "Misha?" Suara bariton yang terdengar familiar berbicara dengan nada cemas.Misha menegang kaku mendengarnya."Darimana kau tahu nomorku?" tanya gadis itu panik."Kau bekerja di perusahaan milik Ibu Tiriku, Misha." Jawab lawan bicaranya diikuti kekehan pelan bernada geli.Misha memejam frustasi. Dia bahkan baru tahu jika perusahaan tempatn
"Hai!" Sore hari Misha dibuka dengan sapaan sopan bernada kaku dari seorang pria tampan.Misha mengangguk sopan saat membuka pintu apartemennya dan menemukan Alan berdiri memasang senyum canggung ke arahnya.Dia sudah menghubungi keamanan gedung sebelum pria itu tiba agar memberi izin kepada tamu yang ingin menemuinya, hingga Alan bisa masuk dan naik ke lantai tiga tempat tinggal Misha."Kau mau masuk dulu?" tanya gadis itu berbasa-basi.Alan menggeleng cepat dan tampak tak nyaman."Kita pergi saja. Andreas bisa sangat menyebalkan jika harus menunggu lama." Ujar pria itu dengan senyum tipisnya.Misha mendengkus pelan."Seingatku dia memang orang yang menyebalkan," ucap Misha.Alan tertawa kecil, lalu mengangguk setuju."Baiklah, ayo!" Alan berjalan cepat mendahului Misha yang masih berkutat dengan kunci apartemennya yang baru."Alan, bisakah aku kembali kemari sebelum jam 8 malam?" tanya Misha tiba-tiba.Alan menoleh dan mengeryitkan keningnya dengan kesal."Kau bahkan belum pergi, d
"Misha, kita harus berbicara tentang berita hari ini." Andreas mencegahnya saat baru saja membuka pintu depan rumah mewah itu, dan ekspresi serius di wajah pria itulah yang membuat langkah Misha terhenti.Gadis itu menelan ludahnya gelisah. Rasa khawatir pada gosip yang bisa mengusik hidup barunya kembali menyeruak."Aku tahu, tapi aku ada janji penting hari ini," jawabnya tak sabar.Andreas menggengam lengan Misha dengan senyum menenangkan."Kita lakukan keduanya. Kita akan berbicara, dan kau akan tetap datang menepati janjimu," ujar pria itu dengan yakin.Misha menatap Andreas dengan bimbang, lalu akhirnya mengangguk setuju."Baiklah." jawab Misha dengan senyum lemah.Andreas tersenyum lega, lalu merogoh ponselnya dan menempelkannya ke telinga."Alan, aku membutuhkanmu." Ujar pria itu tanpa melepas tatapannya dari Misha.Tak lama, Alan menyusul mereka ke teras luas rumah megah itu dengan raut penasaran."Ada apa?" tanya pria itu tanpa basa-basi. "Bantu aku mencari kado ulang tahun
Misha menahan senyum melihat interaksi antara Andreas dan Barry yang terlihat dekat dan tak berjarak.Laki-laki yang punya segalanya dan cukup diagungkan banyak orang itu memperlihatkan kebaikan hatinya dengan membaur bersama para tamu di pesta kecil Lizzie tanpa ingin diistimewakan oleh siapapun."Dia bisa baik juga," gumam Misha tanpa sadar.Alan yang duduk di kursi tepat di sebelah Misha meliriknya dengan sorot cemas dan muram."Andreas memang orang baik," jawab Alan dengan tatapan melamun.Misha menoleh dan tersenyum canggung ke arah laki-laki itu. Dia lupa jika sejak tadi Alan seolah mengekorinya kemana-mana."Aku merasa kau selalu mengikutiku." Protes Misha meski dengan cara sopan.Alan melirik sekilas, lalu mengangguk."Ya, Andreas memintaku menjagamu saat dia bermain dengan anak itu," jawab Alan terus terang.Misha mendengkuskan tawa singkat."Dia memang aneh," gumam gadis itu. Misha tanpa sadar terus menatap Andreas yang kini tengah tertawa terbahak-bahak dengan Barry dan se
Sebuah pelukan mengetat di sekeliling tubuhnya saat akhirnya mereka berhasil menerobos kerumunan pers dan masuk ke flat kecil Misha. Sepertinya Misha tidak akan bisa tidur malam ini."Aku akan menjagamu tetap aman," bisikan lembut mengendurkan ketegangan Misha."Aku takut," bisik gadis itu.Andreas tersenyum lembut ke arahnya tanpa melepas pelukannya yang hanya dibiarkan melonggar saja."Kau sudah tidak aman di tempat ini. Aku ingin kau berada di tempat yang aman bersamaku." Mata biru Andreas menatap dengan intens ke arah Misha yang terlihat gelisah. "Tidak, aku tidak mau hidupku terlalu dekat denganmu," jawab Misha agak ketus.Andreas tersenyun tipis. Perlahan dia mendekatkan wajahnya ke samping Misha. Hembusan napas beraroma mint samar membuat Misha nyaris menoleh."Terlambat. Hidupmu sudah terikat denganku." Andreas mendekap tubuh Misha dan memeluknya erat sekali lagi."Jangan terlalu yakin, karena aku tak ingin terikat dengan siapapun." Ujar Misha, lalu melepas pelukan pria itu b
"Miranda." Misha nyaris berbisik memanggil kakak perempuannya.Miranda terlihat lebih cantik dari terakhir kali mereka bertemu. Perempuan itu memakai sebuah sweater panjang berwarna hijau tua yang tampak begitu pas di kulitnya yang putih namun tidak sepucat Misha."Sedang apa kau di sini, Mish?" Sinis Miranda meski matanya melirik penasaran pada butik terkenal yang baru dimasuki adiknya.Misha tergagap dengan wajah merona tanpa sadar."Aku akan menikah, Mira." Misha menantang mata sang kakak dengan sorot percaya diri.Miranda terkesiap kencang. Rahangnya mengencang dengan ekspresi penuh kebencian pada adiknya."Kau? Menikah lebih dulu dari aku? Sulit dipercaya. Siapa pria buta yang menikahi Adikku yang kumal ini, hah?" Miranda menghina dengan suara yang terdengar cukup kencang."Aku!" Miranda tersentak dan langsung berbalik mendengar suara bariton yang mendekat ke arah mereka.Andreas Maxwell terlihat berjalan dan menatap lurus hanya ke arah Misha. Seolah Miranda hanya serangga yang t
"Kau sudah pulang?" Andreas yang baru saja pulang dari luar kota, menyambut Misha di depan kamarnya.Misha yang masih sedih karena kontrak kerjanya diputus sepihak, hanya berdiri menatap pria itu dengan muram."Kenapa?" tanya Andreas dengan cemas.Misha menggigit bibirnya menahan gumpalan rasa sedih yang mendesak di dadanya."Aku dipecat," jawab gadis itu dengan muram.Andreas menarik nafas panjang, lalu merentangkan tangannya di depan gadis itu."Kemarilah." Misha berjalan cepat lalu menyusup masuk ke pelukan pria itu seketika."Kumohon, jangan sedih. Kau milikku sekarang, jadi kau tidak harus bersusah payah bekerja, Misha." Ucap Andreas dengan lembut.Misha masih merasa muram. Bagaimanapun hidup tanpa pekerjaan itu tidak enak baginya."Misha," panggil Andreas dengan hati-hati. "Hm?" Misha menjawab dengan gumaman."Menikahlah denganku. Aku ingin memilikimu dengan cara yang benar." Andreas melepas dekapannya dan menatap Misha dengan sorot memuja.Misha tertegun seraya memandang pria
Harry mematung dengan tangan mengepal kencang. Hatinya sakit disertai gelegak kemarahan dan rasa tersinggung yang besar pada ucapan Misha."Aku tidak suka kau yang sekarang, Mish. Kemana perginya sikap penurutmu yang manis itu?" Gumam Harry dengan mata berkilat sakit hati.Tangannya lalu meraba ponsel yang ada di saku jas yang dipakainya. Dengan rahang mengetat karena emosi, dia menghubungi satu-satunya orang yang mungkin bisa jadi pelampiasannya saat ini. "Miranda, bisakah kau datang ke hotelku? Aku merindukanmu, Sayang." Ucap pria itu dengan nada merayu, tapi mata tak ada ekspresi sama sekali."Harry? Ah ayolah, aku sudah mapan sekarang. Kau bisa mencari orang lain untuk menemanimu," jawab mantan calon iparnya itu do seberang sana.Harry memicing kesal."Aku malas, datanglah saja. Ada yang ingin aku bahas juga denganmu di sana," desak pria itu.Miranda terdiam beberapa saat."Tentang apa?" tanya wanita itu terdengar penasaran."Misha." Jawab Harry singkat.Miranda terdengar tertawa
"Apa maksudmu dengan diberhentikan?!" Pekik Misha saat melihat Tom, salah satu atasannya menyodorkan sebuah amplop coklat ke arahnya."Yah, kau izin terlalu lama kemarin. Kami sudah menggantimu dengan pegawai baru," ujar Tom dengan senyum tak enak. Misha merasakan amarah membuat tubuhnya gemetaran hebat."Aku diculik dan hampir mati, Tom! Bisa-bisanya kalian tega memutuskan pekerjaanku saat aku terkena musibah!" Protes Misha dengan lantang.Tom meringis seraya mengibaskan tangan kekarnya dengan ekspresi tak acuh."Kami butuh staf yang bekerja penuh, Nak. Entah apapun alasan kalian, kami tidak peduli. Mau kau sekarat atau bahkan mati pun, yang penting tidak menghambat kinerja tim kita." Ujar pria bertubuh tegap itu dengan kejam.Misha melotot tak percaya. Mata birunya menyorot tajam dengan campuran marah dan rasa kecewa."Tom... aku butuh pekerjaan ini. Beri aku satu kesempatan lagi. Apakah aku harus memohon juga? Aku akan berusaha untuk menjaga diri agar tidak sekarat atau mati!" Mis
"Putuskan kontrak kerja Misha Aileen! Usahakan dia tidak bisa melamar pekerjaan di manapun lagi di kota ini!" Andreas menutup panggilannya setelah memberi perintah terakhir pada salah satu orang yang selalu mengerjakan tugas darinya secara diam-diam.Pria itu lalu termenung sendiri di ruang kerjanya di sebuah stasiun televisi berita ternama. Rencananya masih berlanjut pada Misha. Bedanya kini setiap kali dia bertindak, rasa tak nyaman selalu mengganggunya."Kau sudah mendapatkan gadis itu. Bukankah tindakanmu tadi berlebihan?" Andreas tersentak kaget melihat sepupunya yang tiba-tiba masuk dengan wajah kesal. "Berhentilah ikut campur, Xavier!" desis Andreas tak suka."Apa lagi yang kau butuhkan? Misha sudah ada di rumahmu, dia bahkan sudah mulai menggantungkan hidupnya darimu. Apa itu tidak cukup?" Sinis Alan sambil duduk di kursi di depan meja kerja saudaranya itu.Andreas termenung. Dia merasa masih ada yang kurang. Misha harus sepenuhnya jadi miliknya dan ada di bawah kendalinya
"Apa yang kau lakukan?" Eddie menerobos apartemen Miranda yang beberapa bulan ini jadi simpanannya.Miranda yang tengah tertidur seketika tersentak bangun dan menatap pria paruh baya yang menjadi sumber uangnya dengan bingung."Apa maksudmu?" tanya perempuan itu."Maxwell akan menendangku dalam rapat akhir direksi. Dia bilang itu bayaran karena kau menyentuh pacarnya!" Hardik pria itu dengan kesal.Mata Miranda melebar kaget, dia tentu tidak akan menyangka jika perbuatannya akan terlacak dengan cepat."Aku tidak melakukan apapun, Ed," kilah perempuan itu dengan gugup.Eddie Morgan berkacak pinggang dengan kesal ke arah wanita itu."Kau benar-benar bodoh. Aku harus keluar banyak uang untuk lolos dari kasusku dengan si brengsek Maxwell. Dan sekarang kau malah menjerumuskanku lagi pada bajingan itu!" Bentak Eddie dengan marah.Miranda menelan ludah dengan sedikit takut. Jadi dengan manja perempuan itu bangun dan menghampiri pria separuh tua yang menjadi sumber materi pentingnya akhir-akh
Andreas berlari menuju rumah sakit dengan hati yang berat. Setiap detik terasa sangat lama baginya. Apalagi melihat Misha malah terlihat semakin pucat selama perjalanan tadi.Saat dia tiba di rumah sakit, dia segera menuju ruangan baru tempat Misha dirawat. Wanita itu sempat dalam kondisi kritis akibat racun yang dikonsumsinya. Setelah mendapat penanganan serius beberapa jam, akhirnya dokter memindahkannya ke sebuah ruang ICU yang justru menambah kecemasan Andreas pada kondisi gadis itu."Aku akan masuk," ujar Andreas pada perawat perempuan yang berjaga."Tidak bisa, Mr. Maxwell. Kondisinya tidak baik saat ini," jawab si perawat dengan tegas."Tunggu selama 1 jam. Jika dia stabil, aku akan meminta izin khusus agar kau bisa masuk ke sana," lanjut perawat itu dengan senyum ramah.Andreas mengalah dan duduk di depan ruangan itu tanpa mengeluh lagi.Sekitar 2 jam setelahnya, setelah mendapat izin khusus Andreas diizinkan masuk dengan didampingi seorang petugas medis. Akhirnya dia bisa meli
Sesuatu yang mirip rasa takut membuat Andreas nyaris mencengkram kemudinya sekencang mungkin. Dia sudah berkeliling di sekitaran perkakas 24 jam yang dikunjungi Misha awal malam kemarin. Dan tidak ada apapun yang ditemukannya."Maxwell! Aku berhasil mendapat rekaman cctv dari sebuah kedai pizza yang berada di sebrang tempat Misha berada sebelumnya." Alan datang dengan wajah serius dan napas terengah-engah.Andreas bergegas keluar dari mobilnya."Apa yang kau lihat di rekamannya?" tanya Andreas dengan gusar.Alan terdiam. Bukannya menjawab, dia malah memandang sepupunya dengan gelisah."Andre, kau tidak..." Alan menghentikan ucapannya saat melihar sorot murka di mata sepupunya."Tidak! Aku tidak melakukan apapun yang bisa membuatnya celaka, Xavier!" desis Andreas dengan kesal. Alan mengangguk lega tanpa berkomentar. Ya, dia akan berusaha percaya pada sepupunya itu. Bagaimana pun Andre tidak akan sejahat itu pada Misha."Ada 2 orang yang membawa Misha dari cctv yang kulihat," Alan seol
"Cari informasi lengkap mengenai Miranda Doner. Aku ingin tahu di mana dia tinggal, siapa mucikari hingga lingkungannya!" Andreas memberikan sebuah perintah tegas pada seseorang yang dihubunginya."Anak Stevan bukan cuma Misha. Aku akan melakukan hal yang sama pada keduanya," Andreas nyaris berbisik pada lawan bicara di ponselnya.Misha yang melihat pria itu menjauh dan terlihat sibuk dengan ponselnya mengernyit penasaran.'Harusnya dia tak di sini jika banyak pekerjaan,' Misha membatin dengan tak enak.Tak lama, Andreas terlihat menyimpan ponselnya dan kembali membantu Misha yang masih mengemasi sisa barang yang akan dibawanya ke rumah pria itu esok hari. Misha diam-diam melirik Andreas yang sedang membantunya sejak beberapa jam lalu hingga tak terasa sekarang sudah hampir malam hari . Untung barangnya tak banyak perabot yang besar dan sulit dibereskan, hingga tidak membuatnya harus repot menyewa truk.Dalam keheningan, Misha menyelami perasaannya untuk laki-laki itu. Ada debaran y