Bab 76: Pulpen Pinjaman
Aku begitu bersemangat menjalani kuliahku. Tak sabar rasanya untuk selalu pergi ke kampus, menerima materi, dan mencari-cari kesempatan untuk bisa kembali bermain voli. Lima hari jeda, yaitu antara Senin sampai Jumat, bagiku itu terasa sangat lama.
Menuk dan Yana sudah mengetahui perihal aku yang sudah berkuliah, dan demikian juga dengan Ibu Joyce. Dua orang pertama, mengetahuinya dari mulutku sendiri ketika bertemu di antara kesibukan kerja di kantor Benua Trada. Lalu orang terakhir, si jus mengkudu itu mengetahuinya dari pesan singkat yang aku kirimkan kepadanya dengan sangat terpaksa.
Hari Minggu yang lalu, di saat sesi perkuliahan sedang berlangsung, tepat di saat aku sedang mencuri-curi pandang pada Resti, tiba-tiba saja Ibu Joyce menelepon a
Bab 77:Bukan Siapa-siapa Pada jam istirahat, aku bertemu lagi dengan salah seorang pengurus klub voli, yang ternyata dia itu adalah anggota Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) sekaligus salah satu pengurus di dalam BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) pada kampus ini.Dia mengajakku lagi untuk bermain voli. Walaupun betapa inginnya aku ikut bermain, tetapi sayang aku tidak bisa menerima tawarannya kali ini. Aku lupa membawa kaus ganti seperti biasa aku lakukan di hari-hari kerjaku selama ini. Jadwal kuliahku masih panjang, paling tidak sampai jam sepuluh nanti malam, dan aku tidak ingin mengganggu teman sekelas dengan bau keringatku di sepanjang perkuliahan. Lagipula, aku sudah punya janji dengan Resti.“Oh, begitu? Kalau besok? Besok main ya?” 
Bab 78:Cinta Dari Kalender “Iiiih..! Sebenarnya kamu ini siapa sih, Mas?? Jawab sekarang!” “Iya, iya, aku jawab sekarang,” kataku sambil berusaha menepis tangan Resti yang tetap ingin mencubiti aku.“Jangan mencla-mencle lho, aku cubit lagi nanti!”“Iya, iya, jadi begini, Resti. Nama aku Joko Adiguna Jalayuda Atmojo. Aku berasal dari Selat Panjang..,”“Jangan bertele-tele!”“Iya, iya, kita sedang menuju ke sana, langsung ke rumah kamu. Jadi, lebih kurang satu tahun yang lalu aku perg
Bab 79:Ada Apa Dengan Pulpen Perkenalanku dengan Resti yang cukup mengesankan itu membuat kami berdua segera akrab. Di sesi pekuliahan berikutnya kami selalu duduk bersamping-sampingan. Lalu sebelum pulang, kami masih menyempatkan diri untuk berbincang.“Mas Joko, jadi sekarang tidak tinggal bersama Alex lagi ya?”“Iya. Sekarang aku tinggal di kos sendiri.”“Ngekos? Di mana?”“Di jalan Ikhlas.”“Di jalan Ikhlas? Di mana tuh?”
Bab 80:Antara Komputer dan Bola Voli Setelah perkuliahan berakhir, aku berbincang-bincang dengan beberapa teman kuliahku. Salah satu yang kami bahas adalah materi kuliah dan tugas-tugas yang diberi oleh dosen kami. Dari sini aku mengambil kesimpulan, bahwa aku tidak mungkin terus-terusan merental komputer untuk mengerjakan aneka macam tugas itu.Teknik informatika komputer, jurusan yang aku ambil ini pada akhirnya akan mempelajari berbagai bahasa pemrograman. Seperti Visxual Basic, Jaxva, Delpxhi dan lain-lain. Maka ini tidak bisa ditawar-tawar lagi, aku harus memiliki komputer untuk mempelajari berbagai macam bahasa pemrograman itu.Lalu mengingat fleksibilitas dan juga mobilitas, sepertinya komputer jinjing atau laptop adalah pilihan yang paling masuk akal. Akan tetapi, yang sedikit tidak masuk akal adalah kemungkinanku bisa memiliki laptop
Bab 81:Sebuah Kabar GembiraAkan tetapi, betapa terkejutnya aku ketika jeda istirahat, ada sebuah tangan perempuan berkulit putih halus yang menyodorkan sebotol air minum kepadaku. Sontak aku menoleh.“Lho..?? Kamu belum pulang?” tanyaku terkejut.Resti tersenyum. “Belum, Mas. Habis kuliah tadi aku nongkrong di perpustakaan. Waktu mau pulang, aku mendengar suara-suara ramai di sini, makanya aku ke mari. Eeeh, rupanya kamu lagi main.”“Terima kasih, ya?” kataku, menerima botol minum yang tadi disodorkan Resti.“Yups, never mind,” sahutnya tersenyum.Fiuh! Adem sekali rasanya melihat mimik wajah Resti sesaat tadi. Getaran yang menjalar di dalam hatiku ini benar-benar sama dengan yang dulu terjadi ketika pertama kali melihat penari Serimpi di dalam kalender dan juga Ningsih. Apalagi kemudian, kata-kata Resti dan juga sikapnya membuatku seras
Bab 82: Wanita di Ayunan Pantai Pukul sepuluh pagi di gedung Benua Trada..,Aku sedang membersihkan dinding kaca di lantai dua. Lantai di mana para karyawan dan para staf dari anak-anak perusahaan Benua Trada Group ini duduk di masing-masing meja kerjanya.Pembersihan dinding kaca bagian luar ini memang tidak setiap hari aku lakukan. Paling banter hanya dua kali seminggu. Dua kali seminggu yang aku maksud itu salah satunya adalah hari ini. Untuk itu aku berdiri di sebuah selasar kecil, lalu pada beberapa titik tertentu yang sulit dijangkau aku menggunakan tangga lipat dan juga memakai safety belt untuk mengantisipasi aku jatuh. Keseluruhan dinding kaca yang sedang aku bersihkan ini berjenis riben. Sehingga aku yang berada di luar tidak bisa melihat ke dalam, sementara orang yang berada di dalam bisa melihat aku di luar. Tidak adil memang, tapi begitulah fung
Bab 83:Pelukis Hati Tiba-tiba, aku tersentak, ketika menyadari suatu kemungkinan yang bisa membuatku malu jika kebetulan sedang dilihat oleh orang lain. Yaitu, “bagaimana jika para karyawan dan karyawati Benua Trada Group yang ada di dalam situ, melihatku yang telah melukis gambar hati di dinding kaca raiben yang sedang aku bersihkan ini?” Aku pun merasa penasaran. Rasa penasaran itu pula yang membuatku tergoda untuk mendekatkan wajahku pada dinding kaca. Wajahku semakin dekat, dan mataku semakin tajam, bersamaan dengan itu aku menangkupkan kedua tanganku di samping kepala untuk menghalau silau matahari. Mataku menyipit untuk menelisik ke dalam. Hidungku bahkan sampai hampir menyentuh dinding kaca.Sontak saja aku terkejut bukan kepalang. Karena ternyata, tanpa kusadari saat melukis gambar hati dengan karet wiper tadi, ada b
Bab 84:Angkatan Cik Udin “Apa julukannya?”Aku tersenyum sebentar, terbayang pada semua fakta unik dan lucu di kampusku.“Angkatan kami disebut Angkatan Cik Udin,” jawabku kemudian.“Kenapa disebut Angkatan Cik Udin?”“Karena mahasiswa yang cowok, banyak yang namanya Udin.”“Hahaha..!” Yana tertawa. “Siapa saja tuh?”“Najamudin, Saifudin, Zainuddin, Mustarudin, Qomarudin, Burhanuddin, Solahudin, Sirajudin, dan yang terakhir Didin Suradin.”“Hah? Masak sih?”“Iya, Na. Jadi kamu bisa bayangkan. Kalau ada dosen yang memanggil satu orang saja, misalnya, ‘Din!’, begitu, maka semua orang yang bernama Udin ini berdiri, ‘saya, Pak!’, begitu.”“Hahaha..!” Yana tertawa lagi.“Untung saja temanku si Alex itu tidak ik