Bab 84: Angkatan Cik Udin
“Apa julukannya?”
Aku tersenyum sebentar, terbayang pada semua fakta unik dan lucu di kampusku.
“Angkatan kami disebut Angkatan Cik Udin,” jawabku kemudian.
“Kenapa disebut Angkatan Cik Udin?”
“Karena mahasiswa yang cowok, banyak yang namanya Udin.”
“Hahaha..!” Yana tertawa. “Siapa saja tuh?”
“Najamudin, Saifudin, Zainuddin, Mustarudin, Qomarudin, Burhanuddin, Solahudin, Sirajudin, dan yang terakhir Didin Suradin.”
“Hah? Masak sih?”
“Iya, Na. Jadi kamu bisa bayangkan. Kalau ada dosen yang memanggil satu orang saja, misalnya, ‘Din!’, begitu, maka semua orang yang bernama Udin ini berdiri, ‘saya, Pak!’, begitu.”
“Hahaha..!” Yana tertawa lagi.
“Untung saja temanku si Alex itu tidak ik
Bab 85:Obrolan di Coffee Shop Joyce Angelique duduk berdiam diri di dalam mobilnya. Ia memandang ke depan, pada jalan raya yang kelihatannya semakin ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Dengan sedikit gelisah ia melihat jam digital yang tertampil pada panel dashboard. Masih tidak yakin, ia mengangkat lagi tangan kirinya untuk melihat arloji.“Ini sudah hampir jam lima sore, lho. Kenapa kamu belum keluar juga Joko?” tanya sang janda kembang ini dalam hatinya yang gelisah.“Jam kerja kamu sampai jam empat, kan? Masuk jam tujuh? Iya kan?”“Mana mungkin kamu bisa bohong padaku, Joko. Karena aku bos kamu.” Lebih kurang sudah empat
Bab 86:Lawan Pertama “Orang yang bernama Kurnia Sari ini, apakah dia cantik?”“Cantik, Bu,” jawabku“Seberapa cantik?”“Kalau saya membuat range penilaian dari satu sampai sepuluh, kecantikan Kurnia Sari ini saya beri poin tujuh koma lima. Tapi, manisnya, perfect!”“Hehehe, kamu pandai menilai orang ya?”“Tidak juga.”“Nah, kalau saya, kamu beri poin berapa?”“Nol!” jawabku dalam hati.“Berapa, Ko?”“Nol koma nol!” jawabku lagi dalam hati.“Ko, kamu beri poin berapa untuk saya?”“Nol koma nol nol nol nol nooool..!” jawabku tetap dalam hati.“Ko?!” Ibu Joyce tetap mengejar.Mana mungkin aku berani mengucapkan nol koma nol yang tadi. Maka, supaya Ibu Joyce tidak mendesakku lagi, ak
Bab 87:Warming Up “Yonif? Tim dari mana ini?”“Yonif, alias Batalyon Infanteri.”Beberapa teman setimku langsung menarik nafas yang cemas. Sementara aku yang tidak mengetahui peta kekuatan tim-tim voli di kota Bandar Baru ini bersikap biasa saja mendengar itu. Kalaupun ada sedikit rasa gentar, itu terutama disebabkan oleh kata ‘Yonif’ atau ‘Batalyon Infanteri’ yang terdengar sangat ‘huraaa!’. Maksudku, wibawa militernya begitu dahsyat.Apakah kami akan berhasil mengalahkan tim voli Yonif ini?Apakah kami akan berhasil mengharumkan nama kampus kami?&n
Bab 88:Sikat Habis “Mas Joko..! Mas Jokoooo..!”Ada yang memanggilku! Sontak saja aku berdiri dan menolah-noleh untuk mencari asal suara. Hemm, ini pasti hanya perasaanku saja, karena ternyata tidak ada orang yang memanggil namaku. Aku segera kembali ke dalam lapangan untuk melanjutkan pemanasan bersama rekan-rekan setimku yang lain, yaitu, Budiharto sebagai spiker, Reza sebagai all round spiker, Batara sebagai quicker, Charles sebagai setter, dan Parlin sebagai libero. Suara riuh dari ribuan penonton semakin menggila, ketika lima orang wasit dengan seragam biru langit berlogo resmi PBVSI memasuki lapangan dan menempati posisinya masing-masing. Mereka-mereka itu terdiri dari; satu orang wasit utama yang akan memimpin jalannya pertandingan, satu orang sebagai wasit kedua, satu orang sebagai pencatat skor, dan dua orang lainnya sebagai hakim garis.Sementara di sisi kanan tribun, dari
Bab 89:Sayur Priiiiiitt..! Maka, pertandingan pun dimulai.Tim kami, yaitu STMIK (Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Komputer) melakukan serve lebih dulu. Di pojok belakang, Budiharto tampak menimang-nimang bola, lalu memukul bola itu ke arah bidang lapangan Yonif. Bola yang melaju lumayan deras itu diterima oleh tim Yonif dengan passing yang cukup baik. Bola melambung lembut ke arah sang setter, yang dengan segera ditolaknya ke atas untuk memberikan umpan kepada…, tiga penyerang tim Yonif melompat bersamaan, mana yang akan..,Buuumm..!“Haah?
Bab 90: Kalah dengan Cara Terhormat Bhhuuuumm..!!! Bola yang aku pukul mendarat telak di tengah bidang lawan! Tanpa ada satu orang pun yang menduga, tanpa ada satu orang pun yang menangkis atau menepis. Semua lawan terpana, saling berpandangan dan serba salah. Syukurlah, batinku. Rasanya sekarang, ooh.., aku sudah bisa buang angin setelah perut kembung semalaman. Mana? Mana tadi para penonton yang berteriak “nomor lima sayur”? Ingin sekali aku melihat bagaimana ekspresi wajahnya sekarang. Serangan telak yang membuahkan poin itu berhasil mendongkrak semangat kawan-kawanku. Dengan kedudukan skor yang kini telah berubah menjadi 10-1 maka mental kami yang tadi sempat jatuh pun telah kembali. Apalagi kemudian, aku langsung mendapat giliran serve. Untuk ancang-ancang memukul bola di permulaan pertandingan ini aku sengaja berjalan sedikit jauh dari garis belakang. Semua orang sudah menduga bahwa aku akan melakukan jump serve, yaitu pukulan pertam
Bab 91:Pejantan Untuk Si Gendut Pukul sepuluh malam di jalan Kelapa Gading..,Joyce Angelique memasukkan mobilnya ke dalam garasi, lalu keluar dan berhenti sebentar di teras. Ada Joko yang mencegatnya persis di pintu depan.“Hai, Joko!” Sapa Joyce sembari menunduk, dan mengangkat tubuh Joko, kucing kesayangan yang sebetulnya berjenis kelamin betina itu.“Kamu sudah makan, Joko Sayang?” tanya Joyce, mengelus-elus bulu panjang si kucing dan mencubit-cubit hidungnya yang pesek. Bermula dari sebuah ”prank” yang ia lakukan kepada Joko Adiguna Jalayuda Atmojo, tetapi Joyce kebablasan dan sekarang malah lebih merasa nyaman memanggil kucingnya dengan “Joko” daripada nama
Bab 92:Si Gendut Masuk Lagi Sepuluh hari kemudian…,Seperti biasa, aku naik ke atas rooftop gedung Benua Trada, menghindari Menuk yang sejak pagi berusaha mencuri-curi waktu untuk menemui aku secara pribadi. Sekaligus untuk meredakan kekesalanku pasca mendapat omelan dari Ibu Kemas.Aku melakukan kesilapan kecil, yaitu luput membersihkan ruang serbaguna dan itu berantai dengan teguran pihak Benua Trada ke Ibu Kemas, lalu Ibu Kemas meneruskannya kepadaku.Sampai di atas rooftop aku berdiri di tepi pagar pembatas, memandang ke kejauhan dan melambungkan pikiranku sesuka-suka saja. Ada sebuah kebahagiaan dan kepuasan tersendiri bagiku, yang bisa selalu aku nikmati jika tiba-tiba aku merasakan sepi.&nbs
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.