Bab 87: Warming Up
“Yonif? Tim dari mana ini?”
“Yonif, alias Batalyon Infanteri.”
Beberapa teman setimku langsung menarik nafas yang cemas. Sementara aku yang tidak mengetahui peta kekuatan tim-tim voli di kota Bandar Baru ini bersikap biasa saja mendengar itu. Kalaupun ada sedikit rasa gentar, itu terutama disebabkan oleh kata ‘Yonif’ atau ‘Batalyon Infanteri’ yang terdengar sangat ‘huraaa!’. Maksudku, wibawa militernya begitu dahsyat.
Apakah kami akan berhasil mengalahkan tim voli Yonif ini?
Apakah kami akan berhasil mengharumkan nama kampus kami? &n
Bab 88:Sikat Habis “Mas Joko..! Mas Jokoooo..!”Ada yang memanggilku! Sontak saja aku berdiri dan menolah-noleh untuk mencari asal suara. Hemm, ini pasti hanya perasaanku saja, karena ternyata tidak ada orang yang memanggil namaku. Aku segera kembali ke dalam lapangan untuk melanjutkan pemanasan bersama rekan-rekan setimku yang lain, yaitu, Budiharto sebagai spiker, Reza sebagai all round spiker, Batara sebagai quicker, Charles sebagai setter, dan Parlin sebagai libero. Suara riuh dari ribuan penonton semakin menggila, ketika lima orang wasit dengan seragam biru langit berlogo resmi PBVSI memasuki lapangan dan menempati posisinya masing-masing. Mereka-mereka itu terdiri dari; satu orang wasit utama yang akan memimpin jalannya pertandingan, satu orang sebagai wasit kedua, satu orang sebagai pencatat skor, dan dua orang lainnya sebagai hakim garis.Sementara di sisi kanan tribun, dari
Bab 89:Sayur Priiiiiitt..! Maka, pertandingan pun dimulai.Tim kami, yaitu STMIK (Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Komputer) melakukan serve lebih dulu. Di pojok belakang, Budiharto tampak menimang-nimang bola, lalu memukul bola itu ke arah bidang lapangan Yonif. Bola yang melaju lumayan deras itu diterima oleh tim Yonif dengan passing yang cukup baik. Bola melambung lembut ke arah sang setter, yang dengan segera ditolaknya ke atas untuk memberikan umpan kepada…, tiga penyerang tim Yonif melompat bersamaan, mana yang akan..,Buuumm..!“Haah?
Bab 90: Kalah dengan Cara Terhormat Bhhuuuumm..!!! Bola yang aku pukul mendarat telak di tengah bidang lawan! Tanpa ada satu orang pun yang menduga, tanpa ada satu orang pun yang menangkis atau menepis. Semua lawan terpana, saling berpandangan dan serba salah. Syukurlah, batinku. Rasanya sekarang, ooh.., aku sudah bisa buang angin setelah perut kembung semalaman. Mana? Mana tadi para penonton yang berteriak “nomor lima sayur”? Ingin sekali aku melihat bagaimana ekspresi wajahnya sekarang. Serangan telak yang membuahkan poin itu berhasil mendongkrak semangat kawan-kawanku. Dengan kedudukan skor yang kini telah berubah menjadi 10-1 maka mental kami yang tadi sempat jatuh pun telah kembali. Apalagi kemudian, aku langsung mendapat giliran serve. Untuk ancang-ancang memukul bola di permulaan pertandingan ini aku sengaja berjalan sedikit jauh dari garis belakang. Semua orang sudah menduga bahwa aku akan melakukan jump serve, yaitu pukulan pertam
Bab 91:Pejantan Untuk Si Gendut Pukul sepuluh malam di jalan Kelapa Gading..,Joyce Angelique memasukkan mobilnya ke dalam garasi, lalu keluar dan berhenti sebentar di teras. Ada Joko yang mencegatnya persis di pintu depan.“Hai, Joko!” Sapa Joyce sembari menunduk, dan mengangkat tubuh Joko, kucing kesayangan yang sebetulnya berjenis kelamin betina itu.“Kamu sudah makan, Joko Sayang?” tanya Joyce, mengelus-elus bulu panjang si kucing dan mencubit-cubit hidungnya yang pesek. Bermula dari sebuah ”prank” yang ia lakukan kepada Joko Adiguna Jalayuda Atmojo, tetapi Joyce kebablasan dan sekarang malah lebih merasa nyaman memanggil kucingnya dengan “Joko” daripada nama
Bab 92:Si Gendut Masuk Lagi Sepuluh hari kemudian…,Seperti biasa, aku naik ke atas rooftop gedung Benua Trada, menghindari Menuk yang sejak pagi berusaha mencuri-curi waktu untuk menemui aku secara pribadi. Sekaligus untuk meredakan kekesalanku pasca mendapat omelan dari Ibu Kemas.Aku melakukan kesilapan kecil, yaitu luput membersihkan ruang serbaguna dan itu berantai dengan teguran pihak Benua Trada ke Ibu Kemas, lalu Ibu Kemas meneruskannya kepadaku.Sampai di atas rooftop aku berdiri di tepi pagar pembatas, memandang ke kejauhan dan melambungkan pikiranku sesuka-suka saja. Ada sebuah kebahagiaan dan kepuasan tersendiri bagiku, yang bisa selalu aku nikmati jika tiba-tiba aku merasakan sepi.&nbs
Bab 93:Pemain Nomor Lima “Aku cinta kamu, Ningsih. Begitu kata Mas Tentara kepadaku, setiap kami akan berpisah setelah jalan-jalan atau kencan. Aku cuma menyahutnya dengan; ‘Iya, terima kasih’, dan aku tidak pernah membalasnya menggunakan kalimat bermakna sama seperti; ‘Aku juga cinta kamu’.”“Kenapa? Karena aku sendiri masih tidak yakin bahwa aku benar-benar mencintai dia. Semuanya mengalir begitu saja ketika aku menerima dia sebagai pacarku. Selain karena desakan dan ledekan teman-teman kuliah terhadapku yang mereka bilang aku ini jomblo, juga karena aku ingin melupakan kamu, Mas Joko.”“Lalu, apakah aku berhasil melupakan kamu? Tidak, Mas Joko, tidak! Sampai detik ini aku masih saja belum bisa melupakan kamu. Aneh! Entah a
Bab 94:Antara Telepon dan Kelepon “Jujur ya, Ko, pertandingan kamu yang pertama waktu melawan tim Yonif itu aku memang tidak bisa nonton,” kata Alex padaku lewat telepon.“Kenapa?” tanyaku. “Memang semprul itu mandorku. Aku dikasih kerja lembur di pabrik, mendadak saja, padahal aku sudah bersiap-siap mau berangkat ke Gelanggang Remaja lho.”“Oh, begitu? Ya sudahlah, mau bagaimana lagi.”“Iya. Tapi waktu kalian melawan tim Tuah Minco dan babak-babak selanjutnya aku nonton kok. Aku panggil-panggil kamu dari tribun paling atas. Jokooo.., Jokooo.., begitu. Aku sampai melompat-lompat seperti cheerleader kementelan.”“Masak sih?”“Iya, tap
Bab 95:Andalas Cup “Mas Joko, kan?” teriak dia di atas motor yang masih melaju.Entah mengapa, aku langsung menaruh curiga kepada dua orang ini, yang mungkin saja punya maksud buruk kepadaku. Apalagi kemudian, orang yang mengemudikan motor sengaja mengerem, memepet, dan memaksaku untuk berhenti. Aku terpaksa berhenti dan menepikan sepedaku persis di sisi trotoar. Aku merasa kesal tapi juga penasaran pada mereka yang mengetahui namaku.Mereka berdua, lelaki tegap kekar, memakai helm dan jaket, segera turun dari motor dan menghampiriku yang tetap duduk di sadel sepedaku.“Syukurlah ketemu di sini. Barusan tadi kami berdua dari Benua Trada untuk menemui Mas Joko. Tapi rupanya petugas sekuriti di situ bilang bahwa Mas sudah pulang. Ups, maaf, kami takut salah oran