Bab 78: Cinta Dari Kalender
“Iiiih..! Sebenarnya kamu ini siapa sih, Mas?? Jawab sekarang!”
“Iya, iya, aku jawab sekarang,” kataku sambil berusaha menepis tangan Resti yang tetap ingin mencubiti aku.
“Jangan mencla-mencle lho, aku cubit lagi nanti!”
“Iya, iya, jadi begini, Resti. Nama aku Joko Adiguna Jalayuda Atmojo. Aku berasal dari Selat Panjang..,”
“Jangan bertele-tele!”
“Iya, iya, kita sedang menuju ke sana, langsung ke rumah kamu. Jadi, lebih kurang satu tahun yang lalu aku perg
Bab 79:Ada Apa Dengan Pulpen Perkenalanku dengan Resti yang cukup mengesankan itu membuat kami berdua segera akrab. Di sesi pekuliahan berikutnya kami selalu duduk bersamping-sampingan. Lalu sebelum pulang, kami masih menyempatkan diri untuk berbincang.“Mas Joko, jadi sekarang tidak tinggal bersama Alex lagi ya?”“Iya. Sekarang aku tinggal di kos sendiri.”“Ngekos? Di mana?”“Di jalan Ikhlas.”“Di jalan Ikhlas? Di mana tuh?”
Bab 80:Antara Komputer dan Bola Voli Setelah perkuliahan berakhir, aku berbincang-bincang dengan beberapa teman kuliahku. Salah satu yang kami bahas adalah materi kuliah dan tugas-tugas yang diberi oleh dosen kami. Dari sini aku mengambil kesimpulan, bahwa aku tidak mungkin terus-terusan merental komputer untuk mengerjakan aneka macam tugas itu.Teknik informatika komputer, jurusan yang aku ambil ini pada akhirnya akan mempelajari berbagai bahasa pemrograman. Seperti Visxual Basic, Jaxva, Delpxhi dan lain-lain. Maka ini tidak bisa ditawar-tawar lagi, aku harus memiliki komputer untuk mempelajari berbagai macam bahasa pemrograman itu.Lalu mengingat fleksibilitas dan juga mobilitas, sepertinya komputer jinjing atau laptop adalah pilihan yang paling masuk akal. Akan tetapi, yang sedikit tidak masuk akal adalah kemungkinanku bisa memiliki laptop
Bab 81:Sebuah Kabar GembiraAkan tetapi, betapa terkejutnya aku ketika jeda istirahat, ada sebuah tangan perempuan berkulit putih halus yang menyodorkan sebotol air minum kepadaku. Sontak aku menoleh.“Lho..?? Kamu belum pulang?” tanyaku terkejut.Resti tersenyum. “Belum, Mas. Habis kuliah tadi aku nongkrong di perpustakaan. Waktu mau pulang, aku mendengar suara-suara ramai di sini, makanya aku ke mari. Eeeh, rupanya kamu lagi main.”“Terima kasih, ya?” kataku, menerima botol minum yang tadi disodorkan Resti.“Yups, never mind,” sahutnya tersenyum.Fiuh! Adem sekali rasanya melihat mimik wajah Resti sesaat tadi. Getaran yang menjalar di dalam hatiku ini benar-benar sama dengan yang dulu terjadi ketika pertama kali melihat penari Serimpi di dalam kalender dan juga Ningsih. Apalagi kemudian, kata-kata Resti dan juga sikapnya membuatku seras
Bab 82: Wanita di Ayunan Pantai Pukul sepuluh pagi di gedung Benua Trada..,Aku sedang membersihkan dinding kaca di lantai dua. Lantai di mana para karyawan dan para staf dari anak-anak perusahaan Benua Trada Group ini duduk di masing-masing meja kerjanya.Pembersihan dinding kaca bagian luar ini memang tidak setiap hari aku lakukan. Paling banter hanya dua kali seminggu. Dua kali seminggu yang aku maksud itu salah satunya adalah hari ini. Untuk itu aku berdiri di sebuah selasar kecil, lalu pada beberapa titik tertentu yang sulit dijangkau aku menggunakan tangga lipat dan juga memakai safety belt untuk mengantisipasi aku jatuh. Keseluruhan dinding kaca yang sedang aku bersihkan ini berjenis riben. Sehingga aku yang berada di luar tidak bisa melihat ke dalam, sementara orang yang berada di dalam bisa melihat aku di luar. Tidak adil memang, tapi begitulah fung
Bab 83:Pelukis Hati Tiba-tiba, aku tersentak, ketika menyadari suatu kemungkinan yang bisa membuatku malu jika kebetulan sedang dilihat oleh orang lain. Yaitu, “bagaimana jika para karyawan dan karyawati Benua Trada Group yang ada di dalam situ, melihatku yang telah melukis gambar hati di dinding kaca raiben yang sedang aku bersihkan ini?” Aku pun merasa penasaran. Rasa penasaran itu pula yang membuatku tergoda untuk mendekatkan wajahku pada dinding kaca. Wajahku semakin dekat, dan mataku semakin tajam, bersamaan dengan itu aku menangkupkan kedua tanganku di samping kepala untuk menghalau silau matahari. Mataku menyipit untuk menelisik ke dalam. Hidungku bahkan sampai hampir menyentuh dinding kaca.Sontak saja aku terkejut bukan kepalang. Karena ternyata, tanpa kusadari saat melukis gambar hati dengan karet wiper tadi, ada b
Bab 84:Angkatan Cik Udin “Apa julukannya?”Aku tersenyum sebentar, terbayang pada semua fakta unik dan lucu di kampusku.“Angkatan kami disebut Angkatan Cik Udin,” jawabku kemudian.“Kenapa disebut Angkatan Cik Udin?”“Karena mahasiswa yang cowok, banyak yang namanya Udin.”“Hahaha..!” Yana tertawa. “Siapa saja tuh?”“Najamudin, Saifudin, Zainuddin, Mustarudin, Qomarudin, Burhanuddin, Solahudin, Sirajudin, dan yang terakhir Didin Suradin.”“Hah? Masak sih?”“Iya, Na. Jadi kamu bisa bayangkan. Kalau ada dosen yang memanggil satu orang saja, misalnya, ‘Din!’, begitu, maka semua orang yang bernama Udin ini berdiri, ‘saya, Pak!’, begitu.”“Hahaha..!” Yana tertawa lagi.“Untung saja temanku si Alex itu tidak ik
Bab 85:Obrolan di Coffee Shop Joyce Angelique duduk berdiam diri di dalam mobilnya. Ia memandang ke depan, pada jalan raya yang kelihatannya semakin ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Dengan sedikit gelisah ia melihat jam digital yang tertampil pada panel dashboard. Masih tidak yakin, ia mengangkat lagi tangan kirinya untuk melihat arloji.“Ini sudah hampir jam lima sore, lho. Kenapa kamu belum keluar juga Joko?” tanya sang janda kembang ini dalam hatinya yang gelisah.“Jam kerja kamu sampai jam empat, kan? Masuk jam tujuh? Iya kan?”“Mana mungkin kamu bisa bohong padaku, Joko. Karena aku bos kamu.” Lebih kurang sudah empat
Bab 86:Lawan Pertama “Orang yang bernama Kurnia Sari ini, apakah dia cantik?”“Cantik, Bu,” jawabku“Seberapa cantik?”“Kalau saya membuat range penilaian dari satu sampai sepuluh, kecantikan Kurnia Sari ini saya beri poin tujuh koma lima. Tapi, manisnya, perfect!”“Hehehe, kamu pandai menilai orang ya?”“Tidak juga.”“Nah, kalau saya, kamu beri poin berapa?”“Nol!” jawabku dalam hati.“Berapa, Ko?”“Nol koma nol!” jawabku lagi dalam hati.“Ko, kamu beri poin berapa untuk saya?”“Nol koma nol nol nol nol nooool..!” jawabku tetap dalam hati.“Ko?!” Ibu Joyce tetap mengejar.Mana mungkin aku berani mengucapkan nol koma nol yang tadi. Maka, supaya Ibu Joyce tidak mendesakku lagi, ak