Hari yang begitu panjang bagi Siska. Ia menatap langit-langit kamarnya, kamar yang dulunya adalah tempat paling ternyaman di dalam rumah ini sebelum ia menikah. Dan akhirnya kini ia kembali lagi ke sini bersama dengan putri kecilnya.
Ia tarik kursi meja riasnya, menatap wajah yang sudah hampir memasuki kepala tiga dalam pantulan cermin. Ia lepaskan jilbab yang menutup kepala lalu melepaskan ikat rambutnya. Dengan perlahan ia menyisir rambut panjang yang mengungsi, senyumnya merekah. Ia pandang dirinya sendiri dengan lekat, membersihkan sisa-sisa make up nya dengan kapas lalu bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya.
Tak lupa Siska menggelar sajadah untuk melaksanakan 4 rakaat salah dzuhur. Ia tunaikan kewajibannya itu sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Allah SWT.
Setelah selesai,
Abah mengusap kepala Nabila dengan lembut lalu menatap Ilham dengan lekat, "Nabila ini sebenarnya adalah anak dari adik bungsu Abah yang meninggal akibat tertabrak kereta."Nabila bak tersengat listrik dengan tegangan tinggi. Hatinya hancur berkeping-keping, ia menggeleng tak percaya. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Begitu juga Ilham yang tak kalah terkejutnya mendengar rahasia yang selama ini telah Abah dan kekuasaan sembunyikan dari Nabila."Dan, Ibumu meninggal sewaktu baru saja melahirkanmu ke dunia ini, Nduk!" imbuh Umi yang duduk di lantai bersama dengan Nabila."Nggak! Nggak mungkin, Umi! Nabila ini anak Abah sama Umi! Ini pasti nggak bener kan, iya, kan?" Tangis Nabila pecah. Kenyataan ini tak pernah ia sangka sebelumnya. Karena memang selama ini tidak ada yang membuatnya cerita. Abah dan Umi selalu menyayanginya hingga ia tak mengira bahwa ia bukanlah anak kandung mereka.Pantas saj
(Pov Siska)Ku tatap dengan lekat wajah mantan suamiku yang sedang duduk termenung di kursi rodanya. Tak ku sangka, ini semua akan menimpa keluargaku.Aku pikir selama ini, hidupku sudah sangat sempurna. Memiliki suami yang sangat baik, pengertian, romantis dan juga tampan rupawan. Di tambah dengan anak yang sangat lucu, menjadikan kebahagiaan yang aku rasakan semakin terasa sempurna.Namun, nyatanya tidak ada satu hal pun yang abadi di dunia ini. Kini semuanya lenyap dari hidupku. Separuh jiwaku sungguh telah menghilang bersama dengan rasa sakit yang telah Mas Ilham torehkan.Aku tak tahu, apa setelah ini aku dapat memberikan sebuah kepercayaan pada laki-laki lagi atau tidak. Rasanya, aku sudah sangat cukup jika harus bersama dengan putri dan kedua orangtuaku saja.Rasa takut dan bayang-bayang diduaka
Siska masih memperhatikan Haris yang sedang menikmati makanannya. Alis yang lebat membuat Haris terlihat sangat laki-laki. Mata coklat cerah, rambut hitam mengkilat, garis rahang yang tegas, bibir kemerahan yang menarik, sedikit belahan di dagunya, semua itu adalah bentuk nyaris sempurna dari seraut wajah.Siska mengakui bahwa lelaki yang ada di hadapannya ini memang berwajah menarik. Namun, ia segera mengalihkan pandangannya. Sebagai seorang wanita muslimah, memandang laki-laki seperti ini bukanlah hal yang baik.Ia alihkan pandangan ke bunga mawar putih yang mengisi vas bunga yang ada di hadapannya."Saya awalnya speechless loh Mas, tahu kalau ternyata Bosnya Ika itu Mas Haris. Saya kira kalau Mas ini seorang dosen dan juga mengajar di pondok pesantren orangtuanya Nabila, tapi ternyata saya salah ya, hehehe," ujar Siska lalu kembali menyeruput black coffe-nya.Haris menghentikan gerak
Seharian ini Nabila hanya duduk termenung di dalam kamarnya. Meratapi kenyataan bahwa orangtua yang selama ini telah membesarkannya ternyata bukan lah orangtua kandung, walau memang masih satu darah tetap saja ini adalah hal yang sangat mengejutkan bagi dirinya.Berkali-kali ia terus mengutuk dirinya sendiri atas nasib buruk yang bertubi-tubi datang, menikah dengan laki-laki yang tidak memiliki tubuh yang utuh itu saja bagi Nabila sungguh sangat menyusahkan, tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa menyenangkan dirinya dan sekarang harus di tambah lagi dengan kabar malang ini."Kenapa begini, Ya Allah. Kenapa? Hamba hanya ingin kebahagaian, kenapa sangat susah sekali?" batin Nabila, kedua matanya sembab hingga terasa berat.Di dalam kamarnya, kini Nabila hanya memakai baju tidur piyama, ia tidak mengenakan jilbab. Rambutnya yang dibiarkan terurai panjang itu sangat acak-acakan, cairan bening dari telaganya tak berhenti mem
[Sis, hari ini saya nggak bisa ke kantor. Jadi, tolong kamu periksa berkas-berkas yang ada di meja saya, ya! Kalau ada dokumen yang harus saya tanda tangani pisahin aja dan taruh di laci saya.]Layar ponsel Siska menyala. Ada pesan masuk. Siska yang tengah menikmati sarapannya pun menghentikannya sejenak dan meletakkan sendoknya.Dari layar pemberitahuan Siska membaca pesan perlu masuk ke aplikasinya. Ternyata pesan berasal dari Haris. Pria yang sudah dua hari ini menjadi Bosnya."Makan dulu to, Nduk!" seru Ibu."Eh, iya, Bu. Ini loh Mas Haris bilang kalau hari ini dia nggak bisa ke kantor. Jadi, aku yang di suruh buat periska berkas-berkas yang ada di mejanya," balas Siska lalu jemarinya mulai membalas pesan dari Haris itu.[Baik, Mas. Nanti saja akan periksa. Memangnya Mas hari ini kemana?] - batal mengirim pesan."Eh, layaknya nggak usah nanya, deh.
Kedua mata Dewi membulat sempurna melihat Ika yang sudah berdiri tegap di ambang pintu dan menatap dirinya dengan tajam."Dipanggil Direktur tuh kamu, Dew. Lagian ngapain juga kamu di sini? Masih pagi juga udah ngerumpi aja, ini kantor!" ucap Ika sinis dengan nada suara yang tinggi."Apaan si, Dew. Ini juga belum masuk jam kerja. Lagian lo kenapa juga dari kemarin marah-marah terus?" balas Dewi dengan ketus, ia lama-lama merasa jengah dengan Ika yang sangat berlebihan.Jam kerja baru mulai lima belas menit lagi, jelas saja Dewi tidak suka dengan cara Ika berbicara. Sangat tidak sopan dan arogan menurutnya. Kalau memang dipanggil Direktur kan juga bisa bicara dengan baik-baik, tidak perlu marah seperti ini."Kenapa? Nggak suka? Masih untung aku ngasih tau kamu, kalo enggak ya udah kena marah sama Direktur!" balas Ika seraya memutar kedua bola matanya malas."Sebenernya lo lagi ada
Semua orang sedang berbincang-bincang hangat di ruang keluarga. Namun, tidak dengan Siska. Seharian ini ia merasa tubuhnya sangat letih, hingga ia memutuskan untuk segera membersihkan tubuhnya terlebih dahulu.Karena adzan mahgrib sudah berkumandang, Ilham dan juga Haris pun salat berjamaah di rumah Bapak bersama dengan Siska, Ibu dan tentunya Aqila juga ikut walau kadang kala gadis kecil itu tak melakukannya dengan benar.Setelah selesai mereka pun kembali lagi ke ruang keluarga."Jadi Mas ke sini niatnya mau bawa Qila sehari saja, Sis. Dan itu pun kalau kamu mengizinkannya," ucap Ilham dengan sangat hati-hati.Dan Siska masih diam tak bergeming. Ia masih memikirkannya dahulu, sebenarnya yang ia takutkan adalah Nabila. Siska takut jika sampai Nabila berbuat yang macam-macam dengan Aqila.Bukannya Siska mau berseuduzon. Tapi, setelah beberapa kejadian yang telah terjadi beberapa
Dari awal Ilham datang hingga sekarang selalu Haris saja yang dapat membuat putri kesayangannya itu merekahkan senyumnya. Sedangkan ia sama sekali tak bisa, Haris terlalu pandai mengambil waktu dan kesempatan yang pas. Hingga Ilham sama sekali tidak dapat bagiannya.Karena, Ilham sedari tadi terus memperhatikan Haris dan pada akhirnya yang sedang diperhatikan itu pun sadar."Kenapa?" ucap Haris lirih seraya mengangkat kedua bahu dan alisnya bersamaan.Ilham langsung terkesiap dan membenahi ekspresi wajahnya, "eh! Eng-nggak papa, Ris, hehehe.""Tapi, besok Bunda ke sana, ya! Pokoknya Qila nggak mau tau pagi-pagi Bunda udah harus ada di sana. Qila buka mata Bunda udah harus ada di depan, Qila!" ucap Qila seraya menatap Siska dengan lekatnya seraya mengeryitkan dahi dan juga menyipit kedua matanya."Qila! Sejak kapan sih kamu jadi seceriwis ini? Ya ampun, Ayah jadi gemes banget sama
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Hari-hari berjalan dengan damai. Akhirnya setelah bertubi-tubi masalah selalu hadir 5 bulan Siska benar-benar bisa merasakan sebuah ketenangan. Ia tengah sibuk bekerja, mengembangkan tokonya dan melakukan promosi sebanyak-banyaknya. Perlengkapan di tokonya juga sudah semakin banyak lagi, serta bapak dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk melayani para pembeli. Karena, Siska sudah mempekerjakan 3 orang di tokonya itu. Mungkin Ibu dan Bapak hanya sesekali saja ke sana untuk memantau. “Alhamdulillah ya, Nduk. Perlahan tokonya semakin ramai dan keuangan sudah kembali membaik. Maaf kalau Ibu sama Bapak cuma bisa nyusahin kamu aja, Nduk.” Ibu mengusap lembut punggung tangan Siska. Kini mereka tengah duduk di kursi taman. Memperhatikan Aqila yang tengah bermain-main dengan teman sebayanya di hari minggu ini. Siska menatap Ibu dengan lekat, “Ibu ini ngomong apa, sih? Nggak ada yang namanya nyusahin, Bu. Apa yang udah Siska lakuin sekarang ju
Tidak hanya Lestari, bahkan fatya pun juga cukup geram mendengarnya. Pasalnya mereka benar-benar menganggap perkataan Haris baru saja menerangkan bahwa lelaki itu menggunakan Siska sebagai umpan untuk menyeleksi para karyawannya. “Bener-bener ya kamu ini, Haris. Mana bisa kamu memperalat Siska kaya gitu, kamu nggak kasian sama dia? Hah?! Emang paling bener dia nggak perlu kerja di perusahaanmu lagi, ya. Di luar sana masih banyak kok yang bakalan nerima karyawan kompeten sepertinya. Nggak usah bertahan di perusahan toxicmu itu,” sentak Fatya yang sudah mulai tak bisa lagi menahan amarahnya. Sedari ia sudah berusaha untuk tenang dan sabar, tapi mendengar hal itu jelas saja emosinya langsung meledak. Dengan cepat Haris pun langsung menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan kesalapahaman itu, “tunggu-tunggu! Ini nggak seperti yang kalian pikirkan. Sumpah... saya nggak ada maksud untuk menjadikan Siska umpan. Saya suka sama dia makanya sa
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,
Malam ini di tengah rasa cemas, khawatir, dan bercampur bimbang Haris dengan terpaksa harus mengikuti keinginan Rosalinda untuk makan malam di luar bersama Syakira. Jangan anggap lelaki itu tidak menolaknya, sudah berulang kali Haris tidak mau, tetapi Sang Mama tetap saja memaksannya. Padahal malam ini ia ingin menemani Siska di rumah sakit, sekaligus menyelesaikan percakapan mereka yang ia anggap belum sepenuhnya selesai. Masih banyak hal yang ingin Haris katakan untuk membuat wanita itu mau memberinya kesempatan dan kepercayaan. Namun, sayangnya keadaan sama sekali tak mendukungnya. “Makan, Haris!” seru Rosalinda, sedari tadi wanita itu memperhatikan putranya yang terus sibuk dengan ponselnya tanpa memperdulikan dirinya dan juga Syakira. “Haris nggak lapar, Ma,” balas Haris lirih, lalu menghela napas panjang karena sedari tadi Siska tak mau mengangkat panggilan telepon atau pun membalas pesan-pesannya. Ingin rasanya saat ini juga ia k
Kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya Ika sendiri sangat malu. Apalagi kenyataannya dia tak mempunyai hak untuk memiliki rasa cemburu itu, bahkan sekedar dekat dengan bosnya itu pun tidak. Lalu, kenapa dia harus marah dengan Ika waktu itu? Ahhh... Ika sendiri juga tak paham tentang persoalan rasa seperti ini. Sungguh rumit dan tak bisa dijelaskan. “Iya, Kaa. Aku juga udah jaga jarak banget sama Pak Haris setelah ditegur sama Bu Rosalinda, beliau ngelarang aku buat deketin anaknya. Padahal aku sendiri juga nggak ada fikiran sampai ke sana. Nggak tahu kenapa Bu Rosalinda dan Syakira justru beranggapan yang enggak-enggak tentang aku,” balas Siska, sedih rasanya kalau semakin banyak orang yang tak menyukai dirinya seperti ini. “Namanya juga manusia, Siska. Mereka pasti berasumsi sendiri-sendiri, karena para pembenci nggak akan peduli dengan semua kebaikan yang udah kamu berbuat. Di mata mereka apa yang kamu lakukan itu akan selalu buruh,” sambun
Drttt... Drttt... Drttt... Berulang kali ponsel Siska berdering, menandakan ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk. Namun, wanita itu sengaja mengabaikannya dan justru memejamkan kedua matanya dalam posisinya yang masih duduk bersender. Ia tak mau memikirkan apapun yang akan membuat kepalanya semakin pusing. Hari ini sudah banyak sekali hal yang membuatnya penat, ingin sekali ia sejenak untuk beristirahat dari segala permasalahannya. Hingga beberapa saat kemudian Ika pun telah datang bersama dengan Fatya dan juga beberapa sahabat Siska yang lain. Wanita itu bahkan tak tahu jika Ika telah memberitahukan keadaannya yang sedang tidak baik-baik ini kepada mereka. “Assalamualikum....” ucap Ika pelan sembari berjalan ke arah Siska, namun kedua matanya justru fokus pada dua paper bag di atas nakas. “Waalaikumsalam,” balas Siska yang sudah kembali membuka kedua matanya setelah mendengar suara pintu yang terbuk